"Kau bisa pulang hari ini, Nona Nagita," jelas Dokter Joshua. "Kondisimu semakin baik, tapi tetap pastikan dirimu beristirahat dengan cukup." Nagita mengangguk pelan. Akhirnya setelah penantian panjang, ia diperbolehkan pulang atas izin dokter. "Terima kasih banyak, Dok," balas Nagita lembut. Daniel berjalan mendekat. Ia bersyukur menyaksikan Nagita berangsur pulih, tapi tidak bisa dipungkiri bila ada kesedihan yang nampak dari sorot mata Daniel. "Kau siap?" Suara Daniel terdengar berat. Ada perasaan tidak rela terselip dalam pertanyaannya, tetapi Daniel mencoba bersikap tegar. Pria itu mengulurkan tangan, membantu Nagita berdiri dari ranjang. Nagita mengangguk mantap sebagai jawaban. Hari kebebasan yang ia nanti selama ini akhirnya tiba. Seharusnya hari ini ia merayakan perpisahan dengan bersorak girang, tetapi Nagita hanya tersenyum tipis tanpa gairah. Daniel menuntun jalan Nagita dengan sabar. Tangannya merangkul Nagita sembari berjalan menuju mobil yang telah ia siapkan. Nagi
Nagita menahan diri agar tidak mendesah nikmat di depan Daniel, menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Sensasi panas menelusup masuk ke tubuh Nagita. Perempuan itu menahan napas saat Daniel bermain-main di lehernya, menyentuhnya dengan penuh gairah, sengaja meninggalkan tanda merah di leher Nagita. Daniel sejenak menghentikan aksi, menatap Nagita yang masih terdiam tanpa mengatakan sepatah kata. "Apa kau menyukainya?" Daniel bertanya lembut. Tubuh Nagita menegang, menatap Daniel yang begitu dekat dengan dirinya. Jantungnya berdegup kencang. Bohong jika ia tidak menyukai sentuhan yang Daniel lakukan. "Apa aku ...." "Lakukan saja," terang Nagita seakan terhipnotis begitu cepat, mengizinkan Daniel untuk berbuat lebih banyak lagi pada tubuhnya. Nagita tahu mereka sudah melewati batas, tapi kenikmatan yang Daniel berikan membuatnya terhanyut dan melayang. Ia sungguh menikmati rangsangan yang Daniel berikan. Daniel lalu menatap Nagita penuh gairah. Tatapan Daniel kini seperti hewan buas
Semua barang milik Nagita berada di apartemen, dan sayangnya ia tidak punya akses untuk masuk ke dalam sana. Nagita merasa buntu, terjebak tanpa tahu jalan keluar. Nagita bahkan baru menyadari satu hal, ia tidak punya ongkos untuk pergi menemui keluarganya. Nagita merasa sendirian, seperti anak tersesat yang tidak tahu jalan pulang. Nagita lalu iseng meraba tas yang ia bawa, yang di dalamnya ia masukkan wig dan juga kacamata. Nagita merasa ... kedua benda itu akan ia gunakan di lain kesempatan. Firasatnya mengatakan benda itu penting untuk Nagita simpan. "Hah?" Dan betapa terkejutnya Nagita saat menemukan black card terselip di dalamnya. Daniel rupanya diam-diam memasukkan benda itu ke dalam tas Nagita. Perempuan itu sontak bernapas lega. Meski Daniel melepasnya pergi, tapi pria itu masih menunjukkan kepedulian yang nyata untuk Nagita. Namun .... Nagita ragu untuk menggunakan kartu eksklusif itu. Bukankah ia tak ingin terlibat lagi? Bukankah ia bertekad untuk tak mau merepotk
Nagita terbangun dengan nuansa yang nampak berbeda. Tidak ada lagi kamar putih gading yang luas tapi terasa seperti penjara saat ia membuka mata. Namun, meski begitu, ini juga bukan kamar lama Nagita setelah ia memutuskan pergi dari mansion Daniel. Ini kamarnya yang baru. Nagita membeli apartemen baru dengan black card milik Daniel. Entah Daniel menyadari ini atau tidak, yang jelas Nagita terpaksa bertahan hidup dengan kartu hitam yang berharga itu. Semua kebutuhannya bisa terpenuhi hanya dengan memegang kartu yang diberikan oleh Daniel. Mereka memang tidak lagi tinggal bersama, tapi kartu ini menjelaskan bahwa keduanya masih terikat. Tidak banyak yang Nagita lakukan di apartemen barunya. Aktivitasnya hanya merenungi nasib. Ia kehilangan semangat, menutup diri dari berbagai aktivitas. Untuk keperluan makan pun, ia lebih memilih gofood. Beberapa hari ini hanya kegiatan monoton dan memuakkan itu yang Nagita lakukan. Keluarganya pun tidak mencarinya. Ini semakin membuat Nagita kecewa
"Aku tidak ingin anak dari Claudia. Aku hanya ingin punya anak darimu, Nagita." Bualan yang Jordan lontarkan membuat Nagita spontan menjaga jarak. Nagita mundur beberapa langkah saat matanya menangkap sorot penuh hasrat dari mata Jordan. "Menjauh dariku!" Nagita terus mundur, sampai akhirnya pergerakannya terhenti karena dinding yang membatasi. Jordan melangkah lebih dekat, menempelkan telapak tangannya ke dinding, mengurung Nagita dengan senyuman miring. "Aku hanya menginginkanmu, Nagita. Hanya kamu satu-satunya." Nagita benci situasi ini. Saat Jordan mengatakan omong kosong itu, membuat hatinya jelas teriris. Apa yang Jordan katakan sebagai satu-satunya? Nagita justru menyadari bahwa ia hanyalah salah satunya. Tanpa pikir panjang, Nagita mendorong dada Jordan sekuat tenaga. "Berengsek!" Nagita mulai berlari mendekati pintu. Jordan yang menyadari Nagita berniat kabur, dengan cekatan mengejar Nagita, mencengkeram pergelangan tangan Nagita dengan kuat. "Mau lari ke mana, Saya
Nagita mencium bau khas rumah sakit yang menyengat hidung. Ditemani Gilbert dan Lucas, Nagita berada dalam salah satu ruang rawat inap, berdiri di sisi ranjang kamar Jordan. Nagita menatap dalam layar monitor yang berbunyi pelan, menandakan bahwa Jordan masih hidup walaupun pria itu entah kapan akan terbangun. Ia terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang rumah sakit. Lengannya telah dipasangi selang infus. Luka lebam yang Jordan terima terlihat membiru. "Kau terlalu baik pada pria tidak tahu diri itu, Nona," simpul Gilbert sembari bersender di dinding dengan tangan bersedekap. Ada rasa kesal dalam hatinya melihat pria seberengsek Jordan masih bernyawa dan dilarikan ke rumah sakit atas permintaan Nagita. Nagita menghela napasnya, menatap Jordan sembari mengingat kenangan yang sempat mereka ukir bersama. "Dia mungkin pantas mendapatkan ini, tapi dia pernah menjadi bagian dalam hidupku. Aku tidak setega itu jika meninggalkannya terluka." "Jadi Nona masih mencintai Jordan ...," Luca
Di ruang kerja Daniel yang luas dan tertata rapi, pria itu menatap layar ponselnya dengan perasaan tak karuan. Laporan yang ia terima dari Gilbert membuat ia spontan menggebrak meja. Jordan sialan! Apa pria itu belum puas mengusik Nagita? Rasanya kepala Daniel mendidih mengetahui kabar tersebut. Terlebih, ia terbakar cemburu saat Nagita masih menunjukkan kepedulian pada pria seberengsek Jordan. Hatinya tercabik panas saat tahu Nagita masih berbaik hati menemani Jordan di rumah sakit padahal pria itu jelas berniat jahat. Namun, yang membuat Daniel sedikit tenang adalah Nagita baik-baik saja. Perempuan itu aman berada di bawah pengawasan Gilbert dan Lucas. 'Aku segera menyusul.'Daniel segera mengirim pesan itu pada Gilbert. Rasanya Daniel tidak puas jika tidak melihat Nagita di depan matanya. Rasa rindu yang kian membesar tidak bisa lagi Daniel tahan. Daniel bisa gila jika rindu ini hanya sebatas rindu belaka. Ia perlu menyalurkan rindunya dengan menemui Nagita. Ia akan terus men
"Di mana?" Nagita bergumam lirih. Perempuan itu melirik jam di pergelangan tangan. Perasaan khawatir merayap dalam dirinya, menunggu kehadiran Jordan. Grand opening sudah dipersiapkan dengan matang. Pintu masuk Pastel Dreams Cafe telah dihias indah dengan balon-balon berwarna. Karpet merah dibiarkan terbentang untuk menyambut para tamu yang datang. Meja tertata rapi dengan bunga segar di atasnya. Namun, persiapan ini rasanya belum lengkap bila Jordan belum berada di sisi Nagita. "Nona, apa kita mulai sekarang?" Seorang pelayan menghampiri Nagita. "Tunggu sebentar lagi," sanggah Nagita penuh harapan. "Aku masih menunggu Jordan." Nagita mencoba bersikap tenang. Tentu saja Jordan akan datang seperti yang pria itu katakan. Namun, untuk acara sepenting ini ... tidak bisakah calon suaminya datang lebih awal? "Nona, para tamu sudah menunggu. Sebaiknya ini segera dimulai." Nagita menghela napas panjang, mulai meragukan keajaiban bila Jordan akan segera tiba. Tak ingin menunda wa
Di ruang kerja Daniel yang luas dan tertata rapi, pria itu menatap layar ponselnya dengan perasaan tak karuan. Laporan yang ia terima dari Gilbert membuat ia spontan menggebrak meja. Jordan sialan! Apa pria itu belum puas mengusik Nagita? Rasanya kepala Daniel mendidih mengetahui kabar tersebut. Terlebih, ia terbakar cemburu saat Nagita masih menunjukkan kepedulian pada pria seberengsek Jordan. Hatinya tercabik panas saat tahu Nagita masih berbaik hati menemani Jordan di rumah sakit padahal pria itu jelas berniat jahat. Namun, yang membuat Daniel sedikit tenang adalah Nagita baik-baik saja. Perempuan itu aman berada di bawah pengawasan Gilbert dan Lucas. 'Aku segera menyusul.'Daniel segera mengirim pesan itu pada Gilbert. Rasanya Daniel tidak puas jika tidak melihat Nagita di depan matanya. Rasa rindu yang kian membesar tidak bisa lagi Daniel tahan. Daniel bisa gila jika rindu ini hanya sebatas rindu belaka. Ia perlu menyalurkan rindunya dengan menemui Nagita. Ia akan terus men
Nagita mencium bau khas rumah sakit yang menyengat hidung. Ditemani Gilbert dan Lucas, Nagita berada dalam salah satu ruang rawat inap, berdiri di sisi ranjang kamar Jordan. Nagita menatap dalam layar monitor yang berbunyi pelan, menandakan bahwa Jordan masih hidup walaupun pria itu entah kapan akan terbangun. Ia terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang rumah sakit. Lengannya telah dipasangi selang infus. Luka lebam yang Jordan terima terlihat membiru. "Kau terlalu baik pada pria tidak tahu diri itu, Nona," simpul Gilbert sembari bersender di dinding dengan tangan bersedekap. Ada rasa kesal dalam hatinya melihat pria seberengsek Jordan masih bernyawa dan dilarikan ke rumah sakit atas permintaan Nagita. Nagita menghela napasnya, menatap Jordan sembari mengingat kenangan yang sempat mereka ukir bersama. "Dia mungkin pantas mendapatkan ini, tapi dia pernah menjadi bagian dalam hidupku. Aku tidak setega itu jika meninggalkannya terluka." "Jadi Nona masih mencintai Jordan ...," Luca
"Aku tidak ingin anak dari Claudia. Aku hanya ingin punya anak darimu, Nagita." Bualan yang Jordan lontarkan membuat Nagita spontan menjaga jarak. Nagita mundur beberapa langkah saat matanya menangkap sorot penuh hasrat dari mata Jordan. "Menjauh dariku!" Nagita terus mundur, sampai akhirnya pergerakannya terhenti karena dinding yang membatasi. Jordan melangkah lebih dekat, menempelkan telapak tangannya ke dinding, mengurung Nagita dengan senyuman miring. "Aku hanya menginginkanmu, Nagita. Hanya kamu satu-satunya." Nagita benci situasi ini. Saat Jordan mengatakan omong kosong itu, membuat hatinya jelas teriris. Apa yang Jordan katakan sebagai satu-satunya? Nagita justru menyadari bahwa ia hanyalah salah satunya. Tanpa pikir panjang, Nagita mendorong dada Jordan sekuat tenaga. "Berengsek!" Nagita mulai berlari mendekati pintu. Jordan yang menyadari Nagita berniat kabur, dengan cekatan mengejar Nagita, mencengkeram pergelangan tangan Nagita dengan kuat. "Mau lari ke mana, Saya
Nagita terbangun dengan nuansa yang nampak berbeda. Tidak ada lagi kamar putih gading yang luas tapi terasa seperti penjara saat ia membuka mata. Namun, meski begitu, ini juga bukan kamar lama Nagita setelah ia memutuskan pergi dari mansion Daniel. Ini kamarnya yang baru. Nagita membeli apartemen baru dengan black card milik Daniel. Entah Daniel menyadari ini atau tidak, yang jelas Nagita terpaksa bertahan hidup dengan kartu hitam yang berharga itu. Semua kebutuhannya bisa terpenuhi hanya dengan memegang kartu yang diberikan oleh Daniel. Mereka memang tidak lagi tinggal bersama, tapi kartu ini menjelaskan bahwa keduanya masih terikat. Tidak banyak yang Nagita lakukan di apartemen barunya. Aktivitasnya hanya merenungi nasib. Ia kehilangan semangat, menutup diri dari berbagai aktivitas. Untuk keperluan makan pun, ia lebih memilih gofood. Beberapa hari ini hanya kegiatan monoton dan memuakkan itu yang Nagita lakukan. Keluarganya pun tidak mencarinya. Ini semakin membuat Nagita kecewa
Semua barang milik Nagita berada di apartemen, dan sayangnya ia tidak punya akses untuk masuk ke dalam sana. Nagita merasa buntu, terjebak tanpa tahu jalan keluar. Nagita bahkan baru menyadari satu hal, ia tidak punya ongkos untuk pergi menemui keluarganya. Nagita merasa sendirian, seperti anak tersesat yang tidak tahu jalan pulang. Nagita lalu iseng meraba tas yang ia bawa, yang di dalamnya ia masukkan wig dan juga kacamata. Nagita merasa ... kedua benda itu akan ia gunakan di lain kesempatan. Firasatnya mengatakan benda itu penting untuk Nagita simpan. "Hah?" Dan betapa terkejutnya Nagita saat menemukan black card terselip di dalamnya. Daniel rupanya diam-diam memasukkan benda itu ke dalam tas Nagita. Perempuan itu sontak bernapas lega. Meski Daniel melepasnya pergi, tapi pria itu masih menunjukkan kepedulian yang nyata untuk Nagita. Namun .... Nagita ragu untuk menggunakan kartu eksklusif itu. Bukankah ia tak ingin terlibat lagi? Bukankah ia bertekad untuk tak mau merepotk
Nagita menahan diri agar tidak mendesah nikmat di depan Daniel, menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Sensasi panas menelusup masuk ke tubuh Nagita. Perempuan itu menahan napas saat Daniel bermain-main di lehernya, menyentuhnya dengan penuh gairah, sengaja meninggalkan tanda merah di leher Nagita. Daniel sejenak menghentikan aksi, menatap Nagita yang masih terdiam tanpa mengatakan sepatah kata. "Apa kau menyukainya?" Daniel bertanya lembut. Tubuh Nagita menegang, menatap Daniel yang begitu dekat dengan dirinya. Jantungnya berdegup kencang. Bohong jika ia tidak menyukai sentuhan yang Daniel lakukan. "Apa aku ...." "Lakukan saja," terang Nagita seakan terhipnotis begitu cepat, mengizinkan Daniel untuk berbuat lebih banyak lagi pada tubuhnya. Nagita tahu mereka sudah melewati batas, tapi kenikmatan yang Daniel berikan membuatnya terhanyut dan melayang. Ia sungguh menikmati rangsangan yang Daniel berikan. Daniel lalu menatap Nagita penuh gairah. Tatapan Daniel kini seperti hewan buas
"Kau bisa pulang hari ini, Nona Nagita," jelas Dokter Joshua. "Kondisimu semakin baik, tapi tetap pastikan dirimu beristirahat dengan cukup." Nagita mengangguk pelan. Akhirnya setelah penantian panjang, ia diperbolehkan pulang atas izin dokter. "Terima kasih banyak, Dok," balas Nagita lembut. Daniel berjalan mendekat. Ia bersyukur menyaksikan Nagita berangsur pulih, tapi tidak bisa dipungkiri bila ada kesedihan yang nampak dari sorot mata Daniel. "Kau siap?" Suara Daniel terdengar berat. Ada perasaan tidak rela terselip dalam pertanyaannya, tetapi Daniel mencoba bersikap tegar. Pria itu mengulurkan tangan, membantu Nagita berdiri dari ranjang. Nagita mengangguk mantap sebagai jawaban. Hari kebebasan yang ia nanti selama ini akhirnya tiba. Seharusnya hari ini ia merayakan perpisahan dengan bersorak girang, tetapi Nagita hanya tersenyum tipis tanpa gairah. Daniel menuntun jalan Nagita dengan sabar. Tangannya merangkul Nagita sembari berjalan menuju mobil yang telah ia siapkan. Nagi
Cahaya mentari pagi menyelinap masuk dari jendela kamar. Dengan perlahan Nagita membuka mata, terbangun dengan tubuh yang masih terasa lemah. Kepalanya tengah berdenyut-denyut, tapi ia memaksakan diri untuk mengingat apa yang telah terjadi pada dirinya. Nagita lalu memerhatikan sekeliling, spontan terkejut ketika menemukan mesin monitor berada di dalam kamarnya. "Apa ini?" Dengan rasa keterkejutan itu, ia memandang tajam mesin monitor yang menampilkan detak jantungnya yang terlihat stabil, seakan menunjukkan bahwa ia masih diberi kesempatan untuk hidup lebih lama lagi. "Isshhh ...," ringis Nagita yang kini merasakan nyeri pada pergelangan tangan. Perempuan itu sontak teringat tindakan yang pernah ia lakukan. Helaan napasnya terdengar saat matanya menangkap sebuah perban yang terlilit di lengan kirinya. Sesaat, Nagita tidak menyangka bila ia sampai bertindak senekat itu. 'Aku hampir mati bunuh diri ...,' gumamnya pada diri sendiri, bergidik ngeri. Namun, sesuatu yang hangat membuat
Daniel terbelalak saat tubuh Nagita tersungkur, jatuh tepat dalam pelukannya. Atmosfer yang semula terasa tegang kontan berubah dingin dan menyesakkan, menghantam tepat jantung Daniel penuh rasa cemas. Kaki Daniel terkulai lemas, terduduk di lantai sembari memeluk tubuh dingin Nagita dengan tangan gemetar. "Nagita, sadarlah!" Daniel berseru khawatir dengan wajah pucat, mencoba menghentikan pendarahan di pergelangan tangan, merobek kaosnya untuk membalutkannya di luka Nagita. "Bertahanlah ...." Suara Daniel lirih, tersirat penuh akan kecemasan. Di luar kamar, Gilbert dan Lucas tak tinggal diam, tidak tahan bila hanya berdiam diri tanpa bertindak. Mereka menyadari kericuhan tak bisa lagi mereka abaikan, sehingga mereka mendobrak pintu tanpa harus menunggu perintah. Kedua bodyguard itu menerobos masuk saat pintu berhasil dibuka. Seketika itu pula Gilbert dan Lucas terbelalak kaget melihat apa yang ada di depan mata mereka. Lihatlah, tangan Daniel kini berlumuran darah, sedangkan tubu