Dia pikir akan menjadi ratu, setelah masuk dan menghancurkan istanaku? Tidak akan! Aku akan memberinya pelajaran yang tak bisa ia lupakan.
View MoreTing!
Bunyi suara Hp, petanda ada pesan masuk. Bergegas aku melangkah besar menuju ruang tengah, tempat di mana HPku tergeletak. Aku mengernyitkan dahi, setelah membuka aplikasi berwarna hijau tersebut. Pesan dari Sandra? Tumben sekali nih anak W*. Biasanya langsung telpon. Aku berpikir sejenak, sebelum membuka pesan tersebut. "Wi, ini Bagas 'kan? Ini suamimu 'kan ?" tanya sandra lewat pesan WhatsAppnya. Ku buka foto yang dikirim Sandra. Ku amati dengan teliti dan benar itu memang foto Mas Bagas, tapi kenapa Mas Bagas memakai kemeja putih polos dilengkapi dengan songkok hitam menghiasi kepalanya. Seperti sedang melakukan proses ijab qobul. "Iya Ra … iya itu Mas Bagas. Dapat darimana kamu foto ini, dan kenapa Mas Bagas berpakaian kayak orang yang sedang melangsungkan ijab qobul," tanyaku pada Sandra. Hatiku mulai resah, tapi berusaha tetap tenang. Tanpa membalas tiba-tiba gawaiku langsung berbunyi tanda panggilan masuk. Ternyata Sandra yang menelpon. Tanpa berpikir langsung kutekan tombol hijau pada layar ponselku, lalu menempelkan benda pipih itu di daun telinga. "Hallo, Ra. Dapat darimana kamu foto Mas Bagas?" Aku langsung bertanya tanpa mengucap salam saat telepon diangkat oleh Sandra. "Sabar, Wi ... pelan-pelan," ucap sahabatku itu. Menenangkan aku yang memberondongnya dengan bermacam pertanyaan "Ra, ayo cepat katakan, darimana kamu dapat foto Mas Bagas. Kenapa pakaian yang suamiku pakai seperti mau melakukan akad nikah," desakku dengan nggak sabaran. Hati rasanya dag dig dug menunggu jawaban dari Sandra. " Wi, suamimu memang lagi melangsungkan akad nikah sekarang. Akadnya dilakukan di rumah Ibunya." Ucapan Sandra seperti belati tajam yang menembus langsung ke ulu hati. Seketika kurasa tubuhku melemas, kaki rasanya sudah tidak bisa menahan berat badan. Hingga serta merta tubuh ini merosot ke lantai. Tak kusangka, suami yang begitu kupuja selama ini dengan teganya mengkhianati pernikahan kami. Padahal kami baru menikah 2 tahun, seharusnya saat ini adalah momen yang indah bagi kami. Memang bukan pengantin baru, tapi pernikahan kami tidaklah terlalu lama sehingga madunya habis, dan ia segera mencari madu baru. Air mataku turun dengan begitu deras tanpa bisa kucegah. Hari ini adalah hari bahagia bagi Mas Bagas, suamiku. Dia bahagia di atas derasnya air mata yang mengalir dari mata istrinya. Dengan begitu teganya dia membagi kasih. Padahal selama ini kami baik-baik saja, tak ada pertengkaran berarti antara kami, tadi pagi bahkan ketika dia pamit ke kantor, pria itu masih mengecup keningku mesra. "Ra … ini bohong 'kan? Kamu lagi ngeprank aku 'kan? Mas Bagas loh lagi di kantor. Tadi pagi dia pamit ke aku kok." Aku masih berharap kalau Sandra sedang mencandaiku. "Wi, ini beneran. Aku nggak mungkin bercanda masalah ini. Suamiku lagi di sana menghadiri acaranya. Aku dapat foto ini dari suamiku." Ucapan Sandra memang benar. Mas Diki, suami sahabatku itu memang sedang menjalin kerjasama dengan kantor Mas Bagas. Tapi Mas Bagas tidak mengetahui kalau Mas Diki adalah suami Sandra. Karena waktu itu, Sandra menikah di lain kota, dan kami tidak menghadiri pernikahan Sandra. Pupuslah sudah harapanku. Bisa dipastikan 99 persen yang ada dalam foto itu adalah Mas Bagas. "Tega kamu Mas. Kapal pernikahan ini baru saja berlayar, tapi kamu merusaknya dengan tanganmu sendiri, sehingga karam di tengah lautan." Batinku bicara sendiri. Perih, yah! sangat perih sekali. "Wi, kamu baik-baik aja 'kan?" Di tengah tangisku, suara Sandra dari ujung telepon menyadarkan. "Ra, kenapa Mas Bagas tega sama aku? Aku salah apa, Ra?" tanyaku dengar suara parau. Sungguh aku tak menyangka, Mas Bagas Setega ini padaku. Lelaki itu menodai pernikahan suci kami. "Sabar Wi, kamu gak salah, tapi dasar memang Bagas yang bajingan!" Walau tak dapat kulihat, tapi aku yakin saat ini Sandra sedang menahan marah. "Aku harus bagaimana sekarang, Ra? Aku gak mau dimadu … aku nggak terima Mas Bagas menikah lagi." ucapku pelan. "Dengar, Wi, sekarang kamu pura-pura nggak tahu dulu. Sampai kamu yang memegang kendali permainan. Sekarang amankan apa yang bisa kamu amankan. Karena besar kemungkinan, Bagas akan membawa istri mudanya pulang ke rumahmu." Panjang lebar sandra menjelaskan. Sandra memang tidak pernah setuju waktu aku mengatakan akan menikah dengan Mas Bagas. Entah apa alasannya, aku nggak pernah tau, tapi menurut Sandra Mas Bagas bukanlah lelaki yang baik dan tidak pantas untukku. Waktu itu, aku meyakinkan sahabatku itu, bahwa Mas Bagas mampu membuat sahabatnya ini bahagia. Namun, Sandra tetap tidak menyukai mas Bagas. Walaupun dia setuju, tapi itu semata hanya ingin melihat sahabatnya bahagia . Sejak saat itu, Sandra jarang sekali menemuiku. Apa lagi disaat ada Mas Bagas. Ucapan Sandra langsung menyadarkan ku. Gagas aku berdiri dan melangkah ke kamar dengan ponsel masih ku genggam. Setelah berada dalam kamar, aku menghampiri brankas, di mana tempat kami menyimpan semua aset dan juga uang cash. Ku tekan satu per satu angka yang tertera di bagian luar, dan brankas terbuka setelah ku masukan nomer kodenya. Satu per satu isi brankas kuperiksa, dan ternyata masih utuh. Alhamdulillah aku sangat bersyukur, karena mengetahui duluan jika suamiku telah berbuat curang. Sehingga bisa bertindak lebih dulu. Sertifikat rumah memang atas namaku, karena rumah ini dibeli hasil dari patungan antara aku dan Mas Bagas. Waktu itu dia sama sekali gak keberatan saat ku minta atas namaku. Kuambil tas ransel yang tersusun di dalam lemari tempat aku biasa menyimpan koleksi tas, lalu memindahkan isi brankas ke dalam tas. Uang cash 50 juta, sertifikat rumah dan sebidang tanah serta buku tabungan dan bpkb mobil Mas Bagas dan juga mobilku. Semua yang kami miliki bukanlah hasil Mas Bagas sendiri, tapi juga ada uangku, uang tabunganku semasa masih bekerja dulu. Tak lupa memasukkan juga semua perhiasanku yang sebagiannya kubeli pakai uangku sendiri. Sadar masih memegang telepon dan masih tersambung. Aku kembali meletakkan benda pipih itu ke telinga, dan di seberang sana sahabatku itu masih setia menunggu, tak beranjak sedikitpun. "Halo, Ra. Semua sudah ku amankan, tapi mau ku simpan dimana semua ini," tanyaku bingung. "Ok. Kamu tunggu di sana, aku akan menjemputmu." Lalu Sandra memutuskan sambungan secara sepihak. Dan saat sambungan terputus, air mata ini tumpah kembali. Pengkhianatan yang mas Bagas lakukan menorehkan luka mendalam di hati.Cinta tulusku tak ada arti baginya. Laki-laki yang kucintai itu, dengan mudahnya mengobral cinta."Saat aku dan Mas Diki tau, kalau itu kamu. Kami berencana akan mendekatkan kalian. Kayak Mak comblang gitu," ucap Sandra dengan kekehan diakhir kalimat. Aku menyimak semua kalimat dari Sandra tanpa protes. Aku ingin mendengar kenyataan tentang Pak Rayhan. Entah kenapa, hatiku begitu antusias ingin mengetahui semuanya.Sandra menggerakkan kembali badannya ke posisi awal, sahabatku itu menatap langit-langit sejenak sebelum melanjutkan kata. "Wi ... Pak Rayhan itu sangat mencintai kamu. Dalam banget, aku dan Mas Diki saksinya. Dia mengorbankan semuanya untukmu. Bahkan saat dia tau kalau Bagas itu dalang dari putusnya kamu sama Andi, Pak Rayhan marah banget, tapi saat dia kembali, untuk mengungkap segalanya, kamu sama Bagas sudah menikah dan melihatmu bahagia, lagi-lagi dia mengorbankan perasaannya hanya untuk kamu, Wi. Kasian tau!" Dalam hati bersorak riang. Entah kenapa, ada rasa bahagia yang mengalir ikut serta dalam setiap aliran darah, memompa jantung berdebar kencang. Namun seka
Pak Rayhan mengantarku ke hotel tempat aku dan Sandra menginap. Alunan lagu menunggu kamu yang di bawakan oleh Anji, membuat aku semakin terbawa suasana sepanjang perjalanan. "Lagu ini untukmu." Suara Pak Rayhan memecah keheningan malam. Aku menautkan alis mengingat sesuatu. Ku miringkan badan menghadap Pak Rayhan yang sedang menyetir."Jadi ... lagu ini sengaja Bapak nyanyikan saat di pantai waktu itu?" Laki-laki beralis tebal itu melirik sebentar, dan mengukir senyum lalu melihat lagi lurus ke depan. Pembawaannya yang bersahaja, semakin menambah ketampanannya yang seakan tak hilang meski di telan gelap malam. Membuat hatiku berdecak kagum.Pak Rayhan mengangguk pelan. "Iya," jawabnya singkat, tapi memanah tepat di jantung hatiku. "Lirik lagunya, pas denganku yang sedang berjuang menunggumu, pemegang hati." Sumpah! Kata-katanya membuat aku meleleh. Aku yakin, wanita manapun akan mencair, dengan kata-kata Pak Rayhan barusan. So sweet sekali."Gombal." Astaga! Rasanya ingin ku cabe
"Maksudnya?" Ku tautkan kedua alis. "Ya ... anda 'kan Pak Rayhan. Pria aneh yang selalu muncul dimana saja. Di pantai! Di rumah makan Padang! Di trotoar depan kantorku! Di bandara! Sudah kayak siluman," ucapku kesal. Sudah di depan mata saja, masih mau main teka-teki. Bertele-tele.Pak Rayhan menatapku dengan tatapan sayu, lalu menarik kedua sudut bibir. Mengukir senyum yang sangat terpaksa. Pria itu merogoh saku celana mengeluarkan remote, lalu balik badan menghadap layar. Ku perhatikan setiap gerakannya dengan melipat dahi. Heran dan penuh tanya.Aku menatap layar yang sudah berganti poto. Di depan sana, terpampang sebuah poto yang di dalamnya tercetak sosok dua pria. "Mas Andi," gumamku. Aku mengenali sosok yang sedang tersenyum menghadap kamera dengan merangkul pundak teman di sebelahnya. Namun tidak dengan pria berkacamata dengan rambut yang sedikit griting. Sekilas, seperti pernah melihatnya, tapi tidak mengenal."Iya ... dia Andi. Dulu kami adalah teman, dan sampai sekarang
Ting!Lagi-lagi bunyi pesan masuk dari ponsel dalam genggaman. Sangat mengganggu, untuk sesaat aku merasa benci pada benda pipih yang sedanng ku genggam. Dengan ogah-ogahan jari bergerak membuka pesan. Sudah tau siapa pengirimnya, makanya membuka pun dengan setengah hati.[Kenapa belum bersiap, dan turun ke bawah. Katanya ingin tau siapa aku?] Segara kugerakan jempol membalas pesan misterius yang barusan masuk ke HPku.[Mau sholat isya' dulu! Emang kamu nggak sholat?] balasku dengan di iringi emoticon tersenyum miring.[BTW ... kamu cantik di bawah sinar bulan] Spontan kuangkat tangan ke atas hendak melempar ponsel yang ku pegang . Untung saja otakku berfungsi dengan cepat. Ku edarkan pandangan mengelilingi sekitar. Dari atas ke bawah dari samping ke sisi yang lain, tapi tak juga mendapati wujud pria yang menerorku. Balik badan, segera kuseret kaki masuk ke dalam kamar dengan perasaan frustasi. Kepala seraya mau pecah, memikirkan siapa dia. Jiwa penasaran meronta sampai ke ubun-ubu
Ting! HP di tangan bergetar seiring bunyi 'ting' yang melengking. Gagas ku alihkan pandangan pada benda pipih yang sedang menyala di tanganku. Dengan lincah jari-jari menari di atas layar.[Jangan bergidik. Aku bukan hantu, aku manusia.] Spontan leherku kembali bergerak memutar melihat sekitar. Hati mulai kesal, mengikuti teka-teki yang di ciptakan orang misterius yang hanya kukenal nomer telponnya saja. "Kenapa sih?" ucap Sandra penasaran. Wanita berparas ayu menundukkan kepalanya mendekat pada ponselku."Nah, baca sendiri! Kayaknya ada hantu yang mengikutiku," cetusku kesal. Sandra memandangku sesaat penuh tanya, sebelum membaca pesan yang ada di HPku."Penggemar rahasia ternyata," ucapnya tersenyum mengejek. Kucubit lengannya meluapkan rasa kesal. Bisa-bisanya dia masih bercanda sementara hatiku resah gelisah. "Aw ... sakit, Dewi," pekiknya seraya mengelus lengan yang barusan kucubit. Sahabatku itu meringis akibat rasa perih yang di ciptakan oleh cubitanku. "Rasain," dengusku
"Ayo, silahkan dimakan, Wi. Enak lho ini," ucap Rangga. Ku tanggapi dengan anggukan pelan.Rangga menikmati makanannya dengan lahap, namun tidak denganku. Baru dua suapan yang masuk ke dalam mulut, tapi mulutku menolak suapan yang ketiga. Alhasil, aku hanya mengaduk- ngaduk. Entah kenapa, pikiranku tertuju pada sosok Pak Rayhan. Meski sudah berusaha ku cegah, tapi entah kenapa sosok laki-laki aneh itu menerobos masuk ke dalam pikiran tanpa permisi."Kayaknya ... aku harus membenturkan kepalaku, agar kewarasan kembali," rutuk hati kecilku."Kenap nggak di makan? Nggak enak makanannya? Aku tukar ya." "Hah ... e–enak kok." Ku paksakan tersenyum lalu menyuap makanan ke dalam mulut, meski mulut menolak tapi tetap memaksa mengunyah.Rangga menatapku sejenak lalu melanjutkan kembali makannya. Pria bertopi di depanku ini, juga mungkin merasakan hal yang sama denganku, setelah ungkapan cintanya tadi. Sama-sama merasa canggung.Sebenarnya, dari dulu aku ingin sekali bisa dekat dengan Rangga
"Aku akan selalu ada di mana kamu. Aku akan selalu menjagamu." Bukannya menjawab, namun pria ini melantur kemana-mana."Pacarmu tadi mana? Seharusnya, dia tidak membiarkanmu sendirian." Dadaku naik turun mendengar ucapan yang keluar dari bibir laki-laki ini. Benar-benar tidak di saring, seenak jidatnya saja. "Dia bukan pacarku," ucapku ketus seraya membuang pandangan."Oh, kirain pacarmu. Soalnya romantisan di tengah danau." Ku alihkan kembali pandanganku padanya. Mataku semakin tajam menyorot dengan sorotan seakan ingin menelannya hidup-hidup. "Kamu mengikutiku?" tanyaku dengan nada mulai naik satu oktaf."Aku sudah bilang, aku tidak mengikutimu. Aku hanya menjagamu." Ku alihkan kedua netra melihat ke tengah danau. Rasanya, kewarasanku akan segera, habis jika terus bersamanya di sini. "Kemana sih, Sandra ini," rutukku dalam hati. Di saat seperti ini, aku butuh Sandra untuk menyelamatkanku dari laki-laki kurang se-ons ini."Maaf, jika sudah membuatmu tidak nyaman, tapi percayalah,
Aku tersenyum melihatnya. "Jangan di monyong-monyongin itu bibir. Ntar cantiknya hilang lho," ucapku mencandai Sandra."Apaan sih," ucapnya pura-pura merajuk. "Ke kintamani aja yuk!" ajaknya kemudian. Sejenak kupandangi wajah cantik sahabatku itu. "Kenapa ke kintamani? Kenapa nggak ke pantai, Ra." "Ke pantai besok aja. Hari ini aku ingin yang sedikit menantang," ucap Sandra sambil melipat tangannya di atas meja.Sebenarnya, aku lebih suka ke pantai. Entah kenapa berada di tempat itu aku merasa tenang. Meskipun di pantai juga suasananya ramai, apalagi musim liburan seperti ini, tapi berada di pantai ada kepuasan yang kurasakan. "Malah bengong." Sandra menjentikkan jarinya di depan wajahku. "Mikirin apa sih?" tanyanya. Kugelengkan kepala pelan. "Mikirin si pengantar sarapan tadi?" Aku melotot mendengar ucapannya."Sembarangan. Orang aku lagi mikirin pantai," ucapku sewot. Sandra menarik kedua ujung bibirnya seraya mengangkat bahu."Kirain mikirin penggemar rahasia," ucapnya santai.
Duduk di bibir ranjang, aku menggapai ponsel di atas meja kecil. Ingin melanjutkan bacaan cerbungku sembari menunggu Sandra. Ponsel di atas meja samping tempat tidur menjerit nyaring. Alarm menandakan sholat subuh sebentar lagi tiba. kuangkat tubuh, duduk di atas kasur dengan mata masih terpejam. Tangan terulur menggapai benda pipih yang masih menjerit, dengan nyawa masih belum genap sempurna.menurunkan kaki dari atas tempat tidur, kuseret langkah menapaki setiap lantai keramik putih menuju kamar mandi. Di bawah shower nyawa yang tadi masih tertinggal di alam tidur kembali genap. Segar! Aku sudah terbiasa mandi sebelum sholat. Selain di sukai Allah, mandi sebelum subuh juga mempunyai banyak manfaat, salah satunya membuat tubuh segar, juga bisa membuat kulit sehat segar, dan lebih cerah."Ra, bangun sudah subuh," ucapku membangunkan Sandra. Sahabatku itu menggeliat seraya mengangkat tubuhnya duduk."Sudah subuh, Wi," tanyanya, dengan mata terbuka separuh.Aku tersenyum kecil. "Sud
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments