Sudah sebulan Lika tinggal di rumahku, tentu sebagai pembantu. Selama itu pula semua pergerakannya dan Mas Bagas berada dalam pantauanku. Aku sudah seperti CCTV, yang selalu aktif. Tak sekalipun kubiarkan mereka memiliki waktu berdua. Meskipun sedikit lelah, karena harus siaga 24 jam, menjaga Mas Bagas, tapi tak apalah, asalkan bisa mencegah hubungan mereka, akan aku lakukan. Bukan karena cemburu ... tidak sama sekali. Sejak aku tau Mas Bagas telah menduakanku, perlahan rasaku padanya terkikis, sedikit demi sedikit memudar.
Meski ku akui sulit untuk menghapus semua rasa yang ada, karena walau bagaimanapun, dua tahun bukanlah waktu yang singkat, meskipun juga tidak terlalu lama, tapi aku tidak bodoh. Kewarasanku masih mendominasi. Aku hanya tidak mau mereka bersenang-senang, sebelum urusan Mas Bagas denganku selesai. Setelah kami berakhir, barulah akan kuikhlaskan mereka berdua untuk bersama. Sejak Lika menjadi pembantu di rumahku, waktuku banyak untuk bersantai. Enak ternyata, semua pekerjaan sudah di ambil alih olehnya. Waktuku banyak untuk mempercantik diri. Gaji Mas Bagas pun aku yang mengatur. Kalau dulu aku cuek, berapapun yang pria itu berikan akan kusyukuri, tapi tidak untuk saat ini, dan kedepannya. Akan kuambil semua yang menjadi hakku, sebelum aku benar-benar pergi meninggalkan suamiku itu.Ting nong! Ting nong! Sedang santai menonton TV, terdengar suara bel dari luar. "Lika ... Lika …." Dengan suara nyaring aku memanggilnya. Sengaja, biar kayak di tipi-tipi, kala majikan memanggil pembantunya. Tapi sudah berapa kali panggilan, tetap tidak mendapat sahutan dari yang dipanggil. Entah kemana madu busuk itu. Suara melengking kayak gini, masih nggak didengarnya. Dasar budak. "Kemana sih, ini siLika. Pagi-pagi sudah hilang." Aku ngomel sendiri. Dengan malas kuangkat badan berdiri dan melangkah menuju pintu. Entah apa yang pembantu palsu itu lakukan di dalam sana. "Hai, cinta ...." Suara yang sangat ku kenal menggema ke seluruh sudut rumah. Ternyata sandra yang datang. Pas memang Sahabatku ini datang, jadi aku punya teman ngerjain Alika, si madu busuk. Apalagi Sandara juga sepertinya memang kesal dengan maduku itu. "Assalamu'alaikum," ucapku menyindirnya. "Kebiasaan, kalau masuk rumah tuh ucap salam, bukan can cin can cin, sudah kayak bule aja," ujarku lagi, menasehati sahabatku itu, tapi ia itu malah nyengir, nggak jelas. "Assalamu'alaikum ustadzah," balasnya tersenyum jahil, lalu mencolek dagu. Dasar Sandra. "Ayo masuk … tumben kemari? Kamu gak kerja?" tanyaku pada wanita cantik itu. Semenjak aku menikah, Sandra jarang sekali ke rumahku. Mungkin karena sejak awal dia tidak menyukai Mas Bagas. Apalagi sekarang, bertambah lagi rasa tidak sukanya pada suamiku itu. "Libur aku," ucapnya, diiringi langkah kakinya menuju sofa ruang tamu. Aku mengikuti langkah Sandra dari belakang. Sahabatku itu menghentikan langkahnya, hingga otomatis kakiku juga menghentikan langkah.Perempuan bergamis marun, dipadukan dengan pasmina putih, yang hanya dikait peniti dibawah dagu, lalu satu hujung pasminanya diletakkan diatas bahu itu, celingak-celinguk. Seperti mencari sesuatu. "Madumu mana?" tanyanya sambari menaik turunkan alis antusias. Mungkin di otaknya sudah terbayang seribu macam rencana. "Lika ... Alika ...." teriakku nyaring. Sedari tadi aku memanggil, tapi madu busuk itu tak kunjung datang. "Likaaaaaaa." Sekali lagi aku berteriak. Wanita busuk itu memang memancing emosi. Dari arah dapur Bibik muncul. Wanita paruh baya itu berlari tergopoh-gopoh, menghampiriku dan Sandra di ruang tamu. "Iya, Bu," ucapnya, masih ngos-ngosan. "Lika mana, Bik? Dari tadi dipanggil nggak datang-datang." "Itu, Bu. Nyonya Lika … eh, Lika lagi di kamar," ucap Bibik keceplosan. Ia langsung memegang mulutnya dengan sebelah tangan, lalu menundukkan kepala. Mungkin wanita yang hampir memasuki umur 50 tahun itu, takut karena keceplosan memanggil Lika nyonya. Kutanggapi hanya dengan senyum kecil. Aku tau, ibu palsu ini, mungkin takut pada Alika. Sandra mengerutkan keningnya heran. Mungkin sahabatku itu bingung karena Bibik memanggil Lika Nyonya. Sementara denganku hanya memanggil Ibu. Aku memang belum sempat memberitahu apa status Lika di rumah ini pada Sandra. Makanya wanita itu terlihat bingung. "Ngapain jam segini masih di kamar, Bik?" tanyaku dengan nada jengkel. Berani-beraninya wanita itu. Dengan kasar aku mengangkat kaki, menapaki jejeran keramik berwarna putih, melangkah menuju kamar Lika, yang di ikuti Sandra dari belakang. "Lika ... Lika ...." teriakku lantang. Tangan ini dengan kasar menggedor-gedor pintu kamar. Wanita itu benar-benar menguji kesabaranku. Dasar benalu! Baru saja tanganku ingin menggapai handle pintu, tapi Lika membukanya duluan dari dalam. Wanita itu muncul dengan rambut yang acak-acakan. Mataku melotot hampir keluar dari tempurungnya, kala melihat penampilan madu busuk suamiku ini, begitupun dengan Sandra. "Ini madu kamu, Wi?" tanya Sandra berbisik di telingaku. Kutanggapi pertanyaan sahabatku itu dengan sekali anggukan. "Ada apa sih, Dewi," tanyanya dengan nada malas. Astaga naga .…Benar- benar tidak punya sopan santun. Berani sekali perempuan busuk ini. Tanpa banyak kata, aku melangkahkan kaki menuju dapur. Sampai di meja makan, kuisi gelas dengan air putih sampai penuh, dan tergesa-gesa balik ke kamar Lika. Byurrrr! "Banjir ...." teriak Lika, saat isi gelas di tangan kusiram ke kepalanya. Nyawanya belum sepenuhnya kembali ke alam nyata, dengan kasar wanita itu menyapu wajahnya dengan kedua tangan. Sontak aku dan Sandra tertawa besar melihat madu busuk suamiku itu. Mungkin ini terlihat sedikit kejam, tapi salah sendiri, suruh siapa jam segini masih saja tidur. Bahkan ayam sudah menghambur ke luar kandang sedari subuh. Lah … dia masih saja tidur. Dasar perempuan busuk! " Kamu keterlaluan," teriaknya. Mungkin nyawanya sudah kembali full, hingga bisa mengeluarkan suara dengan lantang. "Turunkan suaramu. Saya tidak budek," ucapku santai, sambil memeluk kedua tangan di depan dada. Lika seketika terlihat gugup. Wanita itu mungkin menyadari kesalahannya. Ia terlihat menelan air liurnya yang basi, saat matanya melihatku yang sedang menatapnya dengan sorot mata yang membunuh. "Saya menggaji kamu bukan untuk bersantai, dan tidur-tiduran. Kamu biarkan ibu kamu mengerjakan semua pekerjaan, sementara kamu hanya berpangku tangan. Dasar anak durhaka, masuk neraka tau rasa kamu!" ucapku panjang lebar. Sandra yang tidak mengerti perkataanku menatap bingung. Sahabatku itu mencolek pinggangku dengan ujung jari telunjuknya, sebagai kode meminta penjelasan. "Iya, maaf," ucap madu busuk itu singkat. "Pokoknya, aku gak mau tau, sekarang kerjakan semua pekerjaan, biarkan ibumu istirahat. Bibik istirahat aja ya, biar Lika yang menggantikan pekerjaan Bibik," ucapku. Sengaja kubuat nada seperti memerintah, biar perempuan busuk ini tau siapa dirinya. Antara ragu dan segan, Bibik masuk ke dalam kamar menuruti perintahku. "Sekarang, buatkan minum untuk tamu saya." Lagi aku menyuruhnya. Sebelum aku dan Sandra meninggalkan istri siri Mas Bagas itu, kulihat wanita itu tertunduk dengan bibir monyongnya. "Dasar nenek lampir," umpat Lika yang masih bisa kudengar. Wanita itu berjalan dengan menghentakkan kaki, tapi bodo amat, aku gak peduli. Berani menggangguku maka siap-siap dengan pembalasan seorang Dewi. Sikapku tergantung bagaimana kamu. Jangan berharap kebaikan dariku, jika kamu saja masuk ke istanaku sebagai pencuri. Kau bisa mengambil Mas Bagas, suamiku, tapi jangan berharap bisa menjadi ratu. Karena level seorang ratu berbeda dengan selir. Bak langit dan bumi.Jalan Di Belakangku "Dasar nenek lampir," umpat Lika mengataiku yang masih bisa kudengar sebelum ia berlalu ke dapur. Wanita itu berjalan dengan menghentakkan kaki, tapi bodo amat, aku gak peduli. Berani menggangguku maka siap-siap dengan pembalasan seorang Dewi.Kelakuannya benar-benar serba minim. Entah apa yang di lihat mas Bagas, sehingga menduakanku dengan wanita seperti Lika. Bukannya sombong, tapi wanita yang merusak kebahagian orang lain itu memang bukanlah wanita baik. Sikapku tergantung bagaimana kamu. Jangan berharap kebaikan dariku, jika kamu saja masuk ke istanaku sebagai pencuri. Kau bisa mengambil Mas Bagas, suamiku, tapi jangan berharap bisa menjadi ratu. Karena level seorang ratu berbeda dengan selir. Bak langit dan bumi. "Itu madu kamu?" tanya Sandra setelah menghempaskan bokongnya di sofa ruang tamu. Dari raut wajah, sahabatku itu sepertinya sangat penasaran tentang sosok Lika, si pelakor busuk. Aku yakin wanita berlesung pipi itu juga kurang suka dengan ting
Kamu Ketahuan"Loh itu 'kan bagas." Sandra menunjuk ke arah Mas Bagas dengan jari telunjuknya. Seketika mataku liar mengikuti arah jari Sandra. "Tapi tunggu dulu, ko ada dia sih," ucap sandra sedikit berbisik saat tau siapa yang sedang bersama Mas Bagas. "Sejak kapan dia jalan, kok sampai duluan dari kita," tambahnya lagi. Mungkin sahabatku itu penasaran bagaimana Lika bisa sampai duluan dari kami. Mataku rasanya ingin meloncat keluar bisa-bisanya perempuan busuk ini makan siang bersama suamiku. Meskipum itu juga suaminya. Ingin rasanya berlari ke sana dan menjambak rambut wanita itu. Untung Sandra mencekal tanganku, kalau tidak tamatlah riwayatmu wahai pelakor.Alika .... Tidak habis pikir, Bagas suamiku dan Lika si madu busuk itu sedang menikmati makan siang berdua. So sweet sekali! Perempuan busuk itu terlihat sedang merajuk dengan bimoli nya (bibir monyong lima inci). Sekilas pandang memang tidak ada yang salah karna mereka sepasang suami istri, meskipun hanya nikah siri,
Gugup 'Kan Kamu, Mas!"Sayang, kamu ko di rumah?" ucap lelaki yang masih bergelar suami sahku itu. Terlihat sekali kegugupan di matanya, meskipun ia berusaha terlihat tenang. "Loh emang aku kemana, Mas? Kok kamu nanyanya gitu?" balasku penuh selidik. Aku memicingkan mata menanti jawaban darinya. Pasti Alika bilang, jika aku dan Sandra sedang jalan. Makanya mereka merasa aman. "Oh eng–nggak ko, Sayang," gagapnya. Matanya liar kesana–kemari menghindari mataku. Ketara sekali jika ia sedang ketakutan. "Loh ... kamu kok sama dia, Mas? Kalian habis jalan," tanyaku saat melihat Lika turun dari mobil dengan langkah pelan. Lelaki di depan ku ini gelagapan. Mukanya terlihat pias dengan gakunnya yang naik turun menelan cairan dari mulutnya. Dasar kada*, giliran berbuat aja berani. "Kena kamu Mas. Ayo ... alasan apa lagi yang ingin kamu sampaikan." Dalam hati bersorak riang menunggunya mencari alasan. "Loh ... kamu ko sama dia, Mas? Kalian habis jalan?" tanyaku saat melihat Li
Harga Diri konon!"Kamu ngebelain Lika, Mas? Apa menurutmu, pantas seorang pembantu duduk di kursi depan sama majikannya? Orang yang tidak kenal pasti mengira kalian suami istri!" Mas Bagas seketika menghentikan langkah kakinya. Pria itu kemudian memutar badan menghadapku. Melihatnya berhenti, otomatis langkahku juga terhenti dengan sendiri. Kutatap laki-laki di depanku itu, tapi ia malah memalingkan wajahnya, tidak berani menatapi mataku. Ciri-ciri orang yang sedang berbohong, matanya liar kemana-mana. "Apa'an sih kamu, Sayang. Ya nggaklah! Lagian, tadi aku hanya ketemu di jalan kok sama Alika, nggak jalan bareng." Mas Bagas seakan tidak terima ucapanku, tapi aku tau, itu hanyalah topeng saja. "Loh ... aku 'kan nggak bilang kalian jalan bareng! Santai aja, Mas. Kamu kok gugup gitu sih? Seperti baru ketahuan selingkuh aja." Mata Mas Bagas membulat sempurna, mungkin merasa tertampar. "Sudah, sudah ... makin lama kamu makin ngelantur aja ngomongnya." Mas Bagas melanjutkan la
Bunglon Ketemu Kadal"Ga pa-pa. Nyonya salah dengar!" balasnya dengan menekan nada di kata Nyonya. Aku tertawa dalam hati. "Memang itulah posisi mu, pelakor." Kuambil gelas yang sudah berisi jus mangga pesananku. Ternyata pelakor suamiku ini menurut juga. Duduk di meja makan sambil meminum jus bikinan maduku, mata ini lekat memperhatikan wanita yang sedang melakukan perintah memasak dariku itu. Ia terlihat salah tingkah dengan kehadiranku. Mungkin risih, atau merasa terawasi, tapi mata ini terus saja memandang ke arahnya. Biakan dia merasa terintimidasi, biar kena mental! "Kamu itu niat kerja nggak, sih?" tanyaku dengan nada pelan. Seketika Lika menghentikan gerakannya. "Iya Nyonya," jawabnya malas, lalu melanjutkan gerakan tangannya yang sempat terhenti. "Tapi kalau saya liat, kamu sepertinya tidak ada niatan kerja. Semua kamu lakukan asal-asalan. Apa ada niat lain kamu masuk ke rumahku?" Ucapanku sontak membuat wanita bermata bulat itu membalikan badannya. Menatap
Ternya Mereka Sudah Jauh Melangkah! "Mas, kenapa sih gak jujur aja sama Dewi! Aku ini juga istrimu, Mas! Dewi memperlakukan ku seperti pembantu, dzalim, tapi kamu hanya diam! Aku capek begini terus, Mas!" Suara Lika tertangkap oleh pendengaranku. Wanita itu terdengar membentak suami sirinya "Tunggulah sebentar, Sayang. Aku akan membujuk Dewi supaya mengerti dan mau menerimamu. Kasih Mas mu ini waktu," ucap Mas Bagas terdengar sangat lembut. Kupingku memanas mendengar ucapan pria bajinga* itu. Sampai kiamat pun aku tidak akan pernah menerima Alika. Madu busuk itu tidak akan pernah menjadi madu bagiku. Jika Mas Bagas menginginkannya, maka akulah yang akan mundur. Kuedarkan pandangan mencari tempat aman untuk menguping. Aku harus tau semua yang mereka omongkan, agar bisa mematahkan semuanya. Sakit sekali rasanya hati melihat suami yang sangat di cintai memanggil sayang pada wanita lain. Rasanya tak Sudi lagi sebutan itu ia sematkan padaku. Bersusah payah aku menjaga kesetia
Kena Kamu, Mas! "Kamu jangan salah sangka gitu dong, Sayang. Lika itu perempuan baik ko, mana mungkin menaruh hati sama Mas. Majikannya iya 'kan," ucap Mas Bagas membela istri simpanannya. Astaga bisa-bisanya ia mengatakan itu. Membela selingkuhannya di depanku, istri sahnya. Hebat kamu, Mas! "Tidak sedikit rumah tangga hancur karena seorang pembantu. Bahkan ada suami yang memasukkan sendiri selingkuhannya ke dalam rumah tangga mereka. Dengan berkedok pembantu, Mas. Aku harus waspada sebelum itu semua menimpaku."Ucapan ku membuat raut wajah Mas Bagas berubah total. Lelaki itu kelihatan gugup, sesekali terlihat menelan ludahnya. Mungkin ucapanku menjadi pukulan telak buatnya. Menusuk sampai ke ulu hati. Bagaimana tidak, semua yang aku ucapkan benar terjadi. Alika adalah selingkuhan Mas Bagas, yang ia masukkan ke dalam rumah tangga kami sebagai pembantu. Kena kamu Mas! " Udah ah, Yang! Kamu makin ngawur aja," ucap Mas Bagas dengan nada tidak suka, tapi aku bisa meliha
"Aku? Emang kenapa aku, Mas? tanyaku seraya menunjuk diri sendiri. Aneh aja mendengar pertanyaan laki-laki yang sedang duduk di sebelahku ini. Harusnya pertanyaan itu ia tujukan pada dirinya sendiri. Ada apa dengannya, sehingga tega mengkhianati cinta suciku. Pria ini tidak sadar, kesalahan ada pada dirinya sendiri. "Kamu itu akhir-akhir ini jutek banget, Sayang. Selalu aja sensi. Kenapa? Aku ada salah?" Aku memutar bola mata mendengar ucapannya. Mestinya dia tidak perlu bertanya. Dasar kadal buntung. "Selalu sensi? Perasaan kamu aja kali, Mas. Lagian kalau memang aku berubah, coba tanya deh diri kamu apa penyebabnya," balasku santai, lalu menatap layar HP. "Aku? Emang aku salah apa?" tanyanya dengan kening mengerut. Pura-pura bodoh seolah bingung dengan ucapanku. Muak rasanya melihat wajah laki-laki pengkhianat ini, benar-benar tak tau diri. " Ya kali aja, Mas. Siapa tau kamu ada sesuatu yang disembunyikan dariku. Insting seorang istri itu kuat loh, Mas. Nggak tau ke
"Saat aku dan Mas Diki tau, kalau itu kamu. Kami berencana akan mendekatkan kalian. Kayak Mak comblang gitu," ucap Sandra dengan kekehan diakhir kalimat. Aku menyimak semua kalimat dari Sandra tanpa protes. Aku ingin mendengar kenyataan tentang Pak Rayhan. Entah kenapa, hatiku begitu antusias ingin mengetahui semuanya.Sandra menggerakkan kembali badannya ke posisi awal, sahabatku itu menatap langit-langit sejenak sebelum melanjutkan kata. "Wi ... Pak Rayhan itu sangat mencintai kamu. Dalam banget, aku dan Mas Diki saksinya. Dia mengorbankan semuanya untukmu. Bahkan saat dia tau kalau Bagas itu dalang dari putusnya kamu sama Andi, Pak Rayhan marah banget, tapi saat dia kembali, untuk mengungkap segalanya, kamu sama Bagas sudah menikah dan melihatmu bahagia, lagi-lagi dia mengorbankan perasaannya hanya untuk kamu, Wi. Kasian tau!" Dalam hati bersorak riang. Entah kenapa, ada rasa bahagia yang mengalir ikut serta dalam setiap aliran darah, memompa jantung berdebar kencang. Namun seka
Pak Rayhan mengantarku ke hotel tempat aku dan Sandra menginap. Alunan lagu menunggu kamu yang di bawakan oleh Anji, membuat aku semakin terbawa suasana sepanjang perjalanan. "Lagu ini untukmu." Suara Pak Rayhan memecah keheningan malam. Aku menautkan alis mengingat sesuatu. Ku miringkan badan menghadap Pak Rayhan yang sedang menyetir."Jadi ... lagu ini sengaja Bapak nyanyikan saat di pantai waktu itu?" Laki-laki beralis tebal itu melirik sebentar, dan mengukir senyum lalu melihat lagi lurus ke depan. Pembawaannya yang bersahaja, semakin menambah ketampanannya yang seakan tak hilang meski di telan gelap malam. Membuat hatiku berdecak kagum.Pak Rayhan mengangguk pelan. "Iya," jawabnya singkat, tapi memanah tepat di jantung hatiku. "Lirik lagunya, pas denganku yang sedang berjuang menunggumu, pemegang hati." Sumpah! Kata-katanya membuat aku meleleh. Aku yakin, wanita manapun akan mencair, dengan kata-kata Pak Rayhan barusan. So sweet sekali."Gombal." Astaga! Rasanya ingin ku cabe
"Maksudnya?" Ku tautkan kedua alis. "Ya ... anda 'kan Pak Rayhan. Pria aneh yang selalu muncul dimana saja. Di pantai! Di rumah makan Padang! Di trotoar depan kantorku! Di bandara! Sudah kayak siluman," ucapku kesal. Sudah di depan mata saja, masih mau main teka-teki. Bertele-tele.Pak Rayhan menatapku dengan tatapan sayu, lalu menarik kedua sudut bibir. Mengukir senyum yang sangat terpaksa. Pria itu merogoh saku celana mengeluarkan remote, lalu balik badan menghadap layar. Ku perhatikan setiap gerakannya dengan melipat dahi. Heran dan penuh tanya.Aku menatap layar yang sudah berganti poto. Di depan sana, terpampang sebuah poto yang di dalamnya tercetak sosok dua pria. "Mas Andi," gumamku. Aku mengenali sosok yang sedang tersenyum menghadap kamera dengan merangkul pundak teman di sebelahnya. Namun tidak dengan pria berkacamata dengan rambut yang sedikit griting. Sekilas, seperti pernah melihatnya, tapi tidak mengenal."Iya ... dia Andi. Dulu kami adalah teman, dan sampai sekarang
Ting!Lagi-lagi bunyi pesan masuk dari ponsel dalam genggaman. Sangat mengganggu, untuk sesaat aku merasa benci pada benda pipih yang sedanng ku genggam. Dengan ogah-ogahan jari bergerak membuka pesan. Sudah tau siapa pengirimnya, makanya membuka pun dengan setengah hati.[Kenapa belum bersiap, dan turun ke bawah. Katanya ingin tau siapa aku?] Segara kugerakan jempol membalas pesan misterius yang barusan masuk ke HPku.[Mau sholat isya' dulu! Emang kamu nggak sholat?] balasku dengan di iringi emoticon tersenyum miring.[BTW ... kamu cantik di bawah sinar bulan] Spontan kuangkat tangan ke atas hendak melempar ponsel yang ku pegang . Untung saja otakku berfungsi dengan cepat. Ku edarkan pandangan mengelilingi sekitar. Dari atas ke bawah dari samping ke sisi yang lain, tapi tak juga mendapati wujud pria yang menerorku. Balik badan, segera kuseret kaki masuk ke dalam kamar dengan perasaan frustasi. Kepala seraya mau pecah, memikirkan siapa dia. Jiwa penasaran meronta sampai ke ubun-ubu
Ting! HP di tangan bergetar seiring bunyi 'ting' yang melengking. Gagas ku alihkan pandangan pada benda pipih yang sedang menyala di tanganku. Dengan lincah jari-jari menari di atas layar.[Jangan bergidik. Aku bukan hantu, aku manusia.] Spontan leherku kembali bergerak memutar melihat sekitar. Hati mulai kesal, mengikuti teka-teki yang di ciptakan orang misterius yang hanya kukenal nomer telponnya saja. "Kenapa sih?" ucap Sandra penasaran. Wanita berparas ayu menundukkan kepalanya mendekat pada ponselku."Nah, baca sendiri! Kayaknya ada hantu yang mengikutiku," cetusku kesal. Sandra memandangku sesaat penuh tanya, sebelum membaca pesan yang ada di HPku."Penggemar rahasia ternyata," ucapnya tersenyum mengejek. Kucubit lengannya meluapkan rasa kesal. Bisa-bisanya dia masih bercanda sementara hatiku resah gelisah. "Aw ... sakit, Dewi," pekiknya seraya mengelus lengan yang barusan kucubit. Sahabatku itu meringis akibat rasa perih yang di ciptakan oleh cubitanku. "Rasain," dengusku
"Ayo, silahkan dimakan, Wi. Enak lho ini," ucap Rangga. Ku tanggapi dengan anggukan pelan.Rangga menikmati makanannya dengan lahap, namun tidak denganku. Baru dua suapan yang masuk ke dalam mulut, tapi mulutku menolak suapan yang ketiga. Alhasil, aku hanya mengaduk- ngaduk. Entah kenapa, pikiranku tertuju pada sosok Pak Rayhan. Meski sudah berusaha ku cegah, tapi entah kenapa sosok laki-laki aneh itu menerobos masuk ke dalam pikiran tanpa permisi."Kayaknya ... aku harus membenturkan kepalaku, agar kewarasan kembali," rutuk hati kecilku."Kenap nggak di makan? Nggak enak makanannya? Aku tukar ya." "Hah ... e–enak kok." Ku paksakan tersenyum lalu menyuap makanan ke dalam mulut, meski mulut menolak tapi tetap memaksa mengunyah.Rangga menatapku sejenak lalu melanjutkan kembali makannya. Pria bertopi di depanku ini, juga mungkin merasakan hal yang sama denganku, setelah ungkapan cintanya tadi. Sama-sama merasa canggung.Sebenarnya, dari dulu aku ingin sekali bisa dekat dengan Rangga
"Aku akan selalu ada di mana kamu. Aku akan selalu menjagamu." Bukannya menjawab, namun pria ini melantur kemana-mana."Pacarmu tadi mana? Seharusnya, dia tidak membiarkanmu sendirian." Dadaku naik turun mendengar ucapan yang keluar dari bibir laki-laki ini. Benar-benar tidak di saring, seenak jidatnya saja. "Dia bukan pacarku," ucapku ketus seraya membuang pandangan."Oh, kirain pacarmu. Soalnya romantisan di tengah danau." Ku alihkan kembali pandanganku padanya. Mataku semakin tajam menyorot dengan sorotan seakan ingin menelannya hidup-hidup. "Kamu mengikutiku?" tanyaku dengan nada mulai naik satu oktaf."Aku sudah bilang, aku tidak mengikutimu. Aku hanya menjagamu." Ku alihkan kedua netra melihat ke tengah danau. Rasanya, kewarasanku akan segera, habis jika terus bersamanya di sini. "Kemana sih, Sandra ini," rutukku dalam hati. Di saat seperti ini, aku butuh Sandra untuk menyelamatkanku dari laki-laki kurang se-ons ini."Maaf, jika sudah membuatmu tidak nyaman, tapi percayalah,
Aku tersenyum melihatnya. "Jangan di monyong-monyongin itu bibir. Ntar cantiknya hilang lho," ucapku mencandai Sandra."Apaan sih," ucapnya pura-pura merajuk. "Ke kintamani aja yuk!" ajaknya kemudian. Sejenak kupandangi wajah cantik sahabatku itu. "Kenapa ke kintamani? Kenapa nggak ke pantai, Ra." "Ke pantai besok aja. Hari ini aku ingin yang sedikit menantang," ucap Sandra sambil melipat tangannya di atas meja.Sebenarnya, aku lebih suka ke pantai. Entah kenapa berada di tempat itu aku merasa tenang. Meskipun di pantai juga suasananya ramai, apalagi musim liburan seperti ini, tapi berada di pantai ada kepuasan yang kurasakan. "Malah bengong." Sandra menjentikkan jarinya di depan wajahku. "Mikirin apa sih?" tanyanya. Kugelengkan kepala pelan. "Mikirin si pengantar sarapan tadi?" Aku melotot mendengar ucapannya."Sembarangan. Orang aku lagi mikirin pantai," ucapku sewot. Sandra menarik kedua ujung bibirnya seraya mengangkat bahu."Kirain mikirin penggemar rahasia," ucapnya santai.
Duduk di bibir ranjang, aku menggapai ponsel di atas meja kecil. Ingin melanjutkan bacaan cerbungku sembari menunggu Sandra. Ponsel di atas meja samping tempat tidur menjerit nyaring. Alarm menandakan sholat subuh sebentar lagi tiba. kuangkat tubuh, duduk di atas kasur dengan mata masih terpejam. Tangan terulur menggapai benda pipih yang masih menjerit, dengan nyawa masih belum genap sempurna.menurunkan kaki dari atas tempat tidur, kuseret langkah menapaki setiap lantai keramik putih menuju kamar mandi. Di bawah shower nyawa yang tadi masih tertinggal di alam tidur kembali genap. Segar! Aku sudah terbiasa mandi sebelum sholat. Selain di sukai Allah, mandi sebelum subuh juga mempunyai banyak manfaat, salah satunya membuat tubuh segar, juga bisa membuat kulit sehat segar, dan lebih cerah."Ra, bangun sudah subuh," ucapku membangunkan Sandra. Sahabatku itu menggeliat seraya mengangkat tubuhnya duduk."Sudah subuh, Wi," tanyanya, dengan mata terbuka separuh.Aku tersenyum kecil. "Sud