Dibesarkan oleh keluarga miskin, Salwa terpaksa merantau menjadi seorang TKW demi membantu membiayai kehidupan keluarga juga biaya berobat sang ayah. Bukannya mendapatkan pekerjaan yang layak, Salwa justru kerap mendapatkan pelecehan dari Sean Arthur--sang majikan. Ketika Salwa memutuskan berhenti bekerja karena tidak tahan dengan sikap lelaki itu, ayahnya justru dalam kondisi kritis dan membutuhkan biaya berobat yang tak sedikit. "Apa yang bisa kau berikan padaku? Uang itu cukup banyak. Gajimu seumur hidup pun tak akan sanggup menggantikannya." "Saya akan mengabdi kepada Tuan seumur hidup saya." Sean Arthur terkekeh, menatap Salwa dengan pandangan merendahkan. "Tidak, itu tidak menarik. Bagaimana jika kau membayarnya dengan ... tubuhmu." Mata Salwa membulat penuh. Dengan rasa sakit yang ditahan dia menjawab, "Nikahi saya secara agama dan Anda bisa menceraikan saya kapan pun Anda menginginkan." Follow me untuk visual karakter IG: AleeNa_Anonymous
View MoreCAMILLA'S POV
The rain was pouring heavily. I rode my bike slowly, making my way home.
I had gone for a short ride a few hours ago when the weather was still good, but the rain had crept up on me.
I had to get back home to make dinner, so I had no choice but to make the dangerous journey home in the pouring rain.
I rode my bike slowly while trying my best to keep my eyes focused on the road.
I was just a few miles away from my home when I hit something. Or rather, someone.
My heart sank to my stomach as I climbed down from my bike.
I was shaking with fear as I prayed for the person I hit to be okay.
I walked over to the person lying on the floor, and I was shocked to see a small body lying on the floor. It looked like a child.
I was even more scared now.
I knelt on the floor as I helped the child stand up.
I carried the child in my arms, thinking that the child had fainted.
Just then, the child opened her eyes. I was shocked at how blue her eyes were. It was almost as blue as mine.
"Are you okay?" I asked the young girl, who was shivering in my arms.
Her clothes were soaked, and she was wet and cold. I could tell that she had been walking in the rain for a long time.
Where were her parents?
"Hello. Are you okay? Where are your parents?"I asked again when the kid did not say anything.
Was she too shocked to speak?
"You need to tell me where your parents are so I can get you back to them!" I said to the kid.
I no longer cared about my dinner. I just wanted to make sure this kid was fine. Somehow, I felt a sense of responsibility towards her. I have to keep her safe.
Still, the kid did not say anything. I looked up. The rain was increasing. Both of us could not continue to stay out here in the rain.
"I am going to take you back to my house and get you all warmed up. Then, you can
tell me who your parents are and where we can find them, okay?" I asked the kid.
She still didn't say anything. I sighed. "Okay. I'm going to take that as a yes. Let's get you home first," I said to the kid.
I stood up with the girl in my arms. Suddenly, the kid threw her arms around me and hugged me tight.
At that moment, I felt a connection to the kid. It was strange since I had never met this kid before, but something in me just wanted to keep her safe.
......
Two hours later, the kid and I were all dried up. I gave the girl one of my shirts that turned into a gown on her small body.
"What happened to you? Where are your parents, and why were you in the rain alone?" I asked the kid again.
I didn't hold much hope that she would answer me. Since she had not said anything the first time, I sighed.
"I need to know who your parents are so that I can take you home. Don't you want to get back to your mom and dad? Don't you miss your mommy?" I asked the kid.
The kid took my hand just then and started to write on my palm with her fingers.
I was confused for a second before I realised what was going on. The kid could not talk!
That was why she never answered any of my questions! I felt sorry for the kid! How can such a beautiful girl not be able to talk?
I focused on what she was writing on her finger. It was just two words.
"No"
"No? You don't miss your mommy?" I asked her.
The kid shook her head. I sighed. I wanted to ask questions, but I didn't want to pressure a kid who could not speak.
"Okay. Here's what we are going to do. I am sure your parents must be losing their minds looking for you. I would have taken you to look for your parents, but I don't know where to find them, and it's raining heavily. We can't go looking in the rain, so you'll have to spend the night here with me. Is that okay with you?" I asked the kid.
The kid nodded her head and smiled happily. It was clear that she liked this suggestion.
I smiled too at the kid. "Okay. I will make dinner for the both of us, and when we've had dinner, we are going to have fun, okay? There is this game I used to play with my mom. Do you want to play it with me?" I said to her. It was a game I liked when I was young. I had a feeling she would like it too.
She nodded her head excitedly again. I smiled. I could not remember the last time I was so happy to spend time with someone. And it was a kid.
....
About an hour later, we had both eaten dinner.
Both of us sat on the floor as we played a game.
The kid looked like she was having a lot of fun because she was more cheerful than before.
Suddenly, the kid looked up at me and smiled at me. I was stunned by her smile. I felt as if I had seen this smile somewhere else before, but I could not remember where.
Anyway, I felt happy to spend time with the kid, and I was already bonding slowly with her.
I could not help but think of the next day when I would have to pass the kid over to her real parents. I was sure going to miss her.
.....
I was still in bed when I heard someone pounding on my door.
I opened my eyes groggily. I usually don't have visitors, so I wondered who could be there.
I looked over at the kid I brought home yesterday. She was still sleeping peacefully.
I walked over to her door and opened it. To my greatest surprise, my entire house was now surrounded by bodyguards! Royal bodyguards!
I gasped when I saw them. "Who....who are you?" I asked in fear.
Just then, a man walked out from behind the bodyguards and stood in front of me.
"I know that you have my daughter. Where is she?" He asked me.
Alan kembali tertawa. Tawa renyah tanpa takut Sean akan menghajarnya setelah itu."Tentu saja tidak. Kau sangat menggemaskan, Tuan Arthur.""Kau!"Sean beranjak berdiri, ingin mencekik Alan yang kembali mentertawainya. Namun, Alan segera menghindar, ikut berdiri dengan menghadapkan ke depan kedua telapak tangannya yang terbuka lebar."Ayolah, Sean. Aku hanya bercanda.""Bercandamu tidak lucu. Pulang saja ke negaramu!" ucap Sean menahan kesal kepada sahabatnya itu.***Malam ini adalah minggu ke dua setelah tragedi mualnya Salwa yang anti didekati oleh Sean. Sean terpaksa menahan diri agar tidak menyentuh Salwa, padahal dia termasuk lelaki yang tidak sanggup menahan kebutuhan hasrat biologisnya dalam waktu lama.Dia terpaksa tidur di ruang kerja yang berada tepat di samping kamar tidur utama. Dia berusaha memejamkan mata, mengatasi rasa menggigil ingin dihangatkan oleh tubuh wanita yang dicintainya.Suara derit pintu terdengar lirih, dengan langkah kaki yang menapak lantai marmer di ru
Jelas perhatian semua tamu undangan kini beralih pada sosok tegap yang wajahnya terlihat meradang. Lelaki tinggi dengan berbalut tuxedo mahal berjalan di atas karpet merah menuju panggung di mana Salwa dan Angela berdiri di sana.Langkah kakinya terdengar tegas begitu berada di atas panggung. Tangannya mengambil paksa microphone di tangan Angela, lalu mengeluarkan sapu tangan dari saku celana untuk digunakan mengelap kepala serta gagang microphone tersebut. Hal itu sengaja ia pertontonkan di hadapan Angela, menunjukkkan bahwa perempuan itu lebih menjijikkan dari dugaannya.Sementara sebelah tangan Sean memeluk pinggang Salwa, menarik perempuan itu agar lebih mendekat ke arahnya. Tatapannya tertuju pada semua tamu undangan yang sebelumnya tampak riuh karena ulah Angela, kini tiba-tiba hening dan senyap."Dia memang pernah menjadi pelayanku. Dia juga pernah mengandung anakku." Air mata Salwa seketika menetes mendengar perkataan Sean. Ada apa ini? Apakah ia datang ke sini hanya untuk dip
Tidak ada kata terlambat untuk menciptakan kehidupan yang diinginkan. Semua akan berjalan sesuai dengan apa yang sedang kita perjuangkan.Pria bermata biru mengusap kepala sang istri yang baru saja tersadar setelah pemeriksaan dokter dilewati beberapa menit yang lalu. Bibirnya menyunggingkan senyum ketika memandang bulu mata lentik mengerjap ringan. Mata bulat itu memandang dengan sayu, buliran air pun menggenang di pelupuk mata, lantas menetes dengan aliran ringan membasahi pipi."Syukurlah kau sudah sadar." Sean menyeka air mata di pipi Salwa dengan ibu jari kanannya secara bergantian. Pria itu tak menanyakan hal yang sesungguhnya ingin sekali ia tanyai, terkait apa saja yang sudah Salwa lakukan dengan Ramunsen di kamar mereka."Mas, ...." Suara Salwa terdengar serak, mungkin karena terlalu banyak menangis. Menyadari hal itu, Sean mengambilkan minum untuknya, membantu Salwa duduk dari pembaringan.Sedikit demi sedikit air di dalam gelas itu berpindah ke mulut Salwa, membasahi tenggo
Mobil sport yang memiliki kecepatan lintasan di atas rata-rata digunakan Sean untuk mengejar Edward dan Salwa. Zoe bertugas mengendarai, sementara Sean duduk di sampingnya sembari berpikir dan mendengar segala laporan anak buahnya yang telah memata-matai Ramunsen dari atas ketinggian.Mobil mewah berwarna metalic itu menerobos apa saja yang ada di depan mata, memacu secepat yang ia bisa di tengah keramaian. Kepiawaian Zoe dalam mengendarai mobil tersebut sudah tidak diragukan lagi. Lelaki itu mengernyit ketika titik koordinat yang akan mereka lewati menuju daerah dataran tinggi."Tuan, mobil mereka ...."Sean hanya diam, meski Zoe tidak melanjutkan kalimatnya. Lelaki itu terlihat berpikir serius, tentang apa yang dilakukan Ramunsen di tempat seperti itu. Benar-benar tidak masuk akal.Sekelebat bayangan seorang wanita hamil dari kejauhan tampak tertatih-tatih dalam menahan kesakitan dan di sebelahnya dirangkul oleh seorang laki-laki yang kemungkinan besar adalah suaminya, menjadi perh
Salwa bernapas lega melihat siapa yang datang. Air mata yang sejak tadi mengalir terus saja berlinang tiada henti. Dia terisak, tetapi tetap membungkam mulutnya.Pria itu adalah Sean Arthur bersama Zoe sang asisten yang berdiri di belakangnya. Rasa lega bukan hanya karena Salwa merasa aman sebab ada yang menyelamatkannya, tetapi juga melihat sang suami masih hidup dan dalam keadaan sehat. Padahal sebelumnya ia sudah sangat putus asa karena informasi akan keadaan Sean yang sedang bertaruh nyawa dengan bahan peledak, tetapi ternyata Tuhan memberinya secercah harapan."Jangan bergerak! Tetap di tempat." Ramunsen membuang gelas tersebut hingga pecah dan membasahi karpet bulu yang membentang di hampir seluruh permukaan lantai. Tangannya merogoh sesuatu di balik saku celana, lalu menunjukkan benda itu kepada semua orang. Sebuah suntikan berukuran mikro kini berada dalam genggaman lelaki itu."Ini adalah zat afrodisiak. Aku sudah memasukkan afrodisiak ini dalam konsentrasi tinggi. Bayangkan,
Lima jam berlalu setelah melakukan penerbangan kembali ke Indonesia. Baru saja Sean menyalakan mode data smarphone, sebuah email masuk dari Zoe sang asisten mengharuskan Sean menatap layar digital tipis miliknya untuk memeriksa. Di sana, Zoe mengirimkan file attachment di mana berisi foto-foto dan potongan berita khusus yang membuat Sean tercengang. Segera ia hubungi lelaki itu untuk mengetahui kejelasan lebih dalam dari email yang baru saja dikirimkan kepadanya."Tuan Arthur," ucap Zoe begitu menghormati Sean sesaat lelaki itu menjawab panggilan."Katakan, apa maksud semua ini? Mayat siapa itu?" Sean tak kuasa menahan diri. Semua yang terpampang di depan mata seperti sebuah teka-teki.Namun, Zoe di seberang sana terdengar menghela napas panjang sebelum pada akhirnya menjawab, "Polisi telah menemukan jenazah hancur kepalanya sekitar tiga bulan yang lalu. Jika dilihat dari kondisi jenazah itu, kemungkinan besar dia adalah korban pembunuhan sadis dan kejam. Dia ditemukan di sebuah alir
Hingga beberapa waktu mereka menunggu, tiada sesuatu yang terjadi. Semua pasang mata terbuka hampir bersamaan. Ketakutan dan kepasrahan kini berubah menjadi rasa penasaran. Dilihatnya bom itu telah berhenti di angka 00.01 yang artinya, terlambat hanya dalam satu detik saja, mereka semua akan lenyap dari muka bumi.Terdengar helaan napas dari bibir semua orang. Rasa lega belum sepenuhnya terobati, Fang Yi melihat sinar merah di kepala Abust. Dia menyeret lelaki itu, tetapi dirinya justru terjatuh dengan tubuh Abust menimpa dirinya."Cih, minggir! Kau bau." Abust segera berguling ketika kedua tangan Fang Yi menolaknya. Sementara sinar itu tetap mengarah kepadanya."Kau sendiri yang menyeretku. Kalau suka bilang saja."Fang Yi melihat sosok dari balik pagar sedang bersiap menarik pelatuk, dia segera menarik kembali tubuh Abust, membiarkan pria itu menimpanya sekali lagi dan ....Suara lesatan peluru itu terdengar, menerbangkan debu-debu yang ada di puncak gedung rumah sakit itu. Semua or
Fang Yi menuruni anak tangga darurat sembari mengatur frekuensi di earpiece yang tersemat di telinganya. Ia lebih yakin untuk membuntuti empat pria bertubuh kekar dengan orang tua berwajah mencurigakan daripada langsung menuju ruang bawah tanah. Instingnya bekerja cepat, merasa ada hal tidak beres dengan sekelompok mereka tadi. Meskipun Abust tidak memercayai perkataannya, tetapi ia sangat yakin dengan keyakinannya.Dia kehilangan jejak mereka, tetapi terus saja melangkah karena merasa mendengar suara sayup-sayup di lorong tangga darurat. Suara itu menggema, mungkin karena tiada benda-benda yang memantulkan suara dengan sembarang arah, sehingga lebih terdengar jelas di indra pendengaran.Langkah kaki Fang Yi menapak hati-hati, mengurangi suara pantulan sepatu agar tidak membuat kecurigaan seseorang yang mungkin sedang bersembunyi tanpa sepengetahuannya.Tepat ketika kaki Fang Yi melangkah melewati kelokan, menuruni anak tangga berikutnya, sebuah tangan mendekap kepalanya.Dia berontak
Abust menoleh ke arah sumber suara, melihat sosok berpakaian putih dengan badan tegap membawa troli dengan kain-kain putih ternoda. Tampaknya lelaki itu adalah petugas rumah sakit.Merasa tidak ada waktu berbasa-basi, Abust segera menodongkan senjata ke dahi lelaki itu. Mata pria berpakaian putih membukat, tak menyangka akan mendapatkan serangan mendadak seperti itu. Kedua tangan ia angkat ke atas dengan telapak tangan membuka lebar."Jongkok!" perintah Abust.Pria itu mengangguk hati-hati, menurut dengan merendahkan diri sembari melipat kaki."Katakan! Di mana ruang rahasia itu?"Lelaki itu menggeleng. "Ruang rahasia apa? Aku hanya petugas pembersih.""Sudah berapa lama kau bekerja?""Empat tahun. Tolong, aku tidak tahu apa-apa. Biarkan aku bekerja dengan tenang."Abust tak menuruti. Dia masih meletakkan ujung senjata di dahi pria itu. Empat tahun lamanya menjadi petugas di ruangan itu, mana mungkin tidak menyadari sesuatu."Jika kau masih mencintai pekerjaanmu, kau harus menunjukkan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments