Dua puluh menit berlalu. Motor Tante Ayi sudah terparkir di parkiran sebuah rumah sakit yang terletak di sudut kota. Bukan rumah sakit besar, tetapi cukup lengkap untuk fasilitasnya.
Salwa segera melepas helm, lalu meletakkan helm itu di jok motor Tante Ayi. Pikirannya masih berkecamuk dengan perasaan gelisah yang kini sedang membebat hatinya. Sampai suara Tante Ayi menyadarkannya, memaksa lamunan Salwa agar segera terlepas begitu saja.
Salwa mengangguk menanggapi. Dengan wajah pasi, Salwa mengikuti ke mana Tante Ayi mengajaknya pergi. Dia menundukkan pandangan, mengekor jalan Tante Ayi yang ada di depannya. Hingga tanpa terasa mereka sudah berada di area ruang perawatan pasien.
Dengan sekilas pandang saja Salwa bisa melihat bahwa ruangan itu diperuntukkan bagi pasien kelas menengah ke bawah. Bukan sebuah ruangan yang dipisahkan sekat-sekat kecil menggunakan kelambu, melainkan sebuah ruangan luas yang terdapat banyak sekali ranjang berjajar dengan saling berhadap-hadapan.
Keuangan yang serba kekurangan pada keluarga Salwa tak mampu menyewa ruang perawatan yang lebih menjaga privasi. Bapak Salwa dirawat di sebuah area bangsal yang dihuni oleh hampir lima belas pasien.
Di antara ranjang-ranjang yang tampak sudah berpenghuni itu, Salwa melihat ibunya sedang duduk menggunakan kursi plastik dengan ketiga adiknya berdiri mengitari. Mereka menangis sembari menatap tubuh yang sedang terpasang masker oksigen bertekanan tinggi di bagian wajah.
"Salwa, Tante ada urusan sebentar. Apakah kamu bisa sendiri?"
Salwa mengangguk seraya menyunggingkan senyum. "Terima kasih atas bantuannya, Tan." Tante Ayi segera pergi setelah mengucapkan sepatah dua patah kata perpisahan kepada Salwa.
Pandangan Salwa beralih ke dalam area bangsal itu lagi yang sebelumnya menatap punggung kepergian Tante Ayi. Dia melihat beberapa pasien dengan berbagai macam jenis penyakit sedang berkumpul di area itu. Salwa tak menghiraukannya, tujuannya hanya satu yaitu menemui keluarganya.
Salwa berjalan lurus ke depan, mengabaikan pemandangan pedih di sekelilingnya. Dia berhenti ketika berada beberapa langkah dari jarak di mana ibu dan adik-adiknya berada.
"Ibuk," panggil Salwa dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca.
Dia adalah Darmini, wanita paruh baya yamg biasa bekerja sebagai buruh cuci keliling. Sosok yang dipanggil Salwa Ibu pun menoleh, bersamaan dengan ketiga adik Salwa yang sedang berdiri di samping perempuan itu. Salwa segera mengambil langkah lebar, berjalan menghampiri ibu dan juga adik-adiknya.
Mereka saling berpelukan, mengurai rasa sedih dengan membentuk satu dukungan. Beban berat dipikul bersama tanpa perlu merasa menjadi kerdil lantaran tanggungan yang teramat besar.
"Apa kata Dokter, Buk?" Salwa berkata setelah melepas pelukan dari ibunya. Matanya mematri tubuh yang kini terbaring lemah di atas ranjang perawatan dengan selimut garis-garis yang dibawa dari rumahnya menutupi sampai sebatas pinggang.
"Jantung Bapak kambuh. Tapi Dokter mengatakan Bapak masih bisa diselamatkan. Kondisinya mulai membaik setelah sebelumnya hanya bisa memejamkan mata dengan mulut ternganga. Kita berdoa sama-sama untuk kesembuhan Bapak, ya?"
"Ya, kami selalu mendoakan kesembuhan Bapak," jawab Salwa dengan mengangguk.
Salwa menoleh ke arah ketiga adiknya yang berdiri di samping ibunya. Ada Ahsan, Alfatih, dan si bungsu Azlina.
Ahsan masih duduk di kelas tiga SMP, sedangkan Alfatih kelas satu SMP. Azlina si bungsu masih kelas dua SD. Hati Salwa kembali gulana ketika menyadari bahwa ketiga adiknya sangat membutuhkan biaya untuk kelangsungan hidup serta pendidikan mereka.
Mata Salwa beralih menatap Darmini. Sosok wanita hebat yang mendampingi ayahnya di waktu susah, membesarkannya juga adik-adiknya dengan penuh sayang juga kelembutan. Tak pernah sekalipun Salwa mendengar keluhan yang keluar dari bibir kehitaman wanita itu. Ibunya begitu sabar dan ikhlas menjalani kekurangan dan kesulitan perekonomian juga keterbatasan keluarganya.
"Kalian sudah makan?" tanya Salwa kepada ketiga adiknya. Mereka menggeleng secara bersamaan sambil menunjukkan mimik muka lesu.
Sesak kembali mencekik, menghimpit di dada. Salwa tak kuasa menahan haru di hatinya. Perih di perut dia tahan. Segera diraihnya tas punggung yang sedari tadi dikenakannya untuk mengambil kue yang dia dapatkan dari sekolah. Ya, Salwa mendapatkan sekotak kue pada acara pelepasan siswa di sekolahnya tadi pagi. Dia ingin memakannya, tetapi dia teringat akan adik-adiknya yang mungkin menyukai kue-kue yang ada di kotak berwarna putih itu.
"Makanlah! Jangan berebut!" ucap Salwa setelah mengulurkan kotak kue itu kepada adik-adiknya.
Ahsan, Alfatih, dan Azlina segera membuka kotak kue itu secara bersamaan. Ada empat kue di dalam kotak itu dan kesemuanya adalah kue basah. Ada kue lemper, pukis, kroket kentang, dan yang terakhir puding yang diletakkan di cup bening kecil.
Mungkin, hanya melahap satu buah kue dengan ukuran kecil itu tak membuat perut mereka kenyang, tetapi setidaknya mampu mengganjal rasa lapar yang sedari tadi mereka rasakan.
Salwa termenung dengan pandangan kosong. Dia tidak bisa melihat keluarganya terus seperti ini, serba kekurangan dan sering menahan rasa lapar. Dia sebagai anak sulung merasa tidak berguna. Seharusnya dia tidak mementingkan diri sendiri dengan melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi. Sebaiknya dia segera mencari pekerjaan untuk mengurangi beban sang Ibu. Dia tidak boleh egois. Ketiga adik-adiknya harus memiliki masa depan cerah, bukan masa depan suram yang tak patut hanya untuk dibayangkan.
Sampai ketika suara lirih Ahsan terdengar, membuat lamunan Salwa segera tertarik ke permukaan.
"Mbak Salwa, ini masih sisa satu."
Dia mengerjapkan matanya sekali, lalu menoleh ke arah Ahsan yang kini tengah mengulurkan cup bening berisi puding. Salwa menatap cup puding itu dengan perasaan ingin, tetapi segera ditepisnya rasa itu. "Kamu tidak lapar?" Dia memilih bertanya kepada Ahsan.
Ahsan kembali mengawasi puding di tangannya, tetapi buru-buru dia menggeleng. "Aku sudah kenyang, Mbak. Mbak Salwa pasti sudah sangat lapar, kan?"
Salwa tersenyum kemudian. Dia menangkap raut tidak rela di wajah Ahsan, tetapi melihat ketulusan dari adik pertamanya membuat Salwa mengambil makanan itu juga. "Terima kasih."
Tepat ketika Salwa menyendokkan puding itu dengan sendok kecil, dia memandang Darmini. Urung sendok itu mendarat ke mulutnya. Dia memilih menyuapi ibunya dengan puding tersebut.
"Ibu juga belum makan, 'kan? Kita makan puding ini sama-sama," ucap Salwa seraya mengangsurkan sendok yang berisi potongan puding ke mulut ibunya.
Darmini menerimanya. Mata tua berkaca-kaca melihat kerukunan anak-anaknya. Dia sangat bersyukur memiliki anak-anak yang baik dan penurut. Keluarganya memang tidak memiliki banyak harta, tetapi kasih sayang antar keluarga sangat kuat dan itu membuat keluarga mereka selalu merasa bahagia di tengah kesulitan yang tengah mereka alami.
***
"Usir dia! Aku tidak mau melihatnya bekerja di sini lagi."
Sean Arthur menyalakan pemantik, menyulutkan api di ujung rokok yang telah diapit di sela bibirnya. Dia mengesah kasar, lalu merebahkan tubuhnya ke sofa panjang yang ada di balkon kamar.
Pria berdarah Kanada itu menatap bangunan area belakang penthouse yang dia tempati, menyesap rokok, lalu mengembuskan kepulan asap dari dalam mulutnya.
"Kau pikir mudah mencari pelayan?" Leon yang merupakan adik angkat sekaligus tangan kanan Sean Arthur di perusahaan legalnya tampak berdecak setelah tragedi pemecatan asisten rumah tangga yang dipekerjakan Sean Arthur di penthouse milik lelaki itu.
Dalam sebulan ini, dia harus mencari asisten rumah tangga sebanyak sepuluh kali, karena Sean Arthur selalu saja menemukan ketidakcocokan dengan hasil pekerjaan mereka. Terkadang mereka sendiri yang tiba-tiba mengajukan pengunduran diri atau bahkan kabur di tengah tugas. Entah apa yang membuat semua pelayan yang telah menginjakkan kaki ke penthouse Sean Arthur tidak bertahan lama, seolah-olah ada hal yang membuat mereka ketakutan, terintimidasi, dan penuh teror.
Sean hanya menatap Leon dengan wajah dingin yang sama, lalu menyesap pipa nikotin itu tanpa menanggapi ucapan adik angkatnya. Dia mengalihkan perhatiannya pada sebuah map yang tergeletak di atas meja kecil di sisi kiri sofa yang dia duduki. Lelaki itu membacanya sekilas, menghempaskannya kemudian.
"Setiap pelayan yang kau dapatkan selalu tidak becus bekerja. Mereka semua tidak berguna."
Leon mengayunkan langkah mendekati Sean, berdiri tepat di depan lelaki itu. "Lupakan tentang pelayan. Nona Natasya menawarkan diri untuk menemanimu akhir pekan. Apakah kau bersedia?"
Lelaki berusia tiga puluh dua tahun itu menggeleng, dia merasa bosan dengan perempuan bernama Natasya. Sepertinya dia harus mengganti teman kencannya kali ini, karena waktu untuk Natasya sudah lebih dari cukup. "Carikan yang lain. Aku sudah bosan dengannya."
Hal kedua yang tidak disukai Leon dari seorang Sean Arthur adalah cepat bosan dengan wanita yang sama. Padahal Natasha baru dikencaninya selama dua pekan ini, sedangkan di pekan ketiga dia harus mencari alasan agar perempuan bernama Natasha itu tidak merengek untuk bisa bertemu Sean Arthur lagi.
"Aku melihat wanita Jepang yang menjadi model iklan produk sampo XX. Aku ingin dia untuk dua pekan mendatang." Sean menengadah ke arah Leon seraya berkata, "Kau mengerti?"
"Ya, dia akan datang sesuai keinginanmu."
"Berkas-berkas ini ...." Dia mengedikkan dagu ke arah map yang baru saja dibaca isinya. "Revisi semua! Aku ingin ide yang fresh, bukan yang seperti ini."
Leon segera mengambil berkas yang Sean maksudkan. Membuka isinya sekilas, Leon memeriksa sejenak apa yang membuat Sean tidak menyukai idenya. Dia mengesah kemudian, mengembuskan napas kasar. Sean benar-benar tipe pria perfectionist.
Dia mengangguk setelah memahami, melangkahkan kaki untuk segera pergi dari hadapan Sean Arthur. Namun, tepat ketika dirinya berada di bibir pintu kaca, lelaki berdarah Chinese itu menoleh, seraya menanyakan sesuatu. "Sejak kapan kau tertarik dengan wanita Asia?"
"Apakah kau memerlukan jawaban itu?"
Mengabaikan pertanyaan Leon, Sean Arthur justru melemparnya dengan pertanyaan.
Bagi seorang Sean Arthur, wanita dipandang sebelah mata, dianggap seonggok tubuh yang hanya berguna ketika dia sedang ingin menuntaskan hasrat biologisnya. Tidak ada yang spesial dari mereka karena dengan kuasa yang dimilikinya, tak ada seorang wanita pun yang mau menolak dan menampik pesonanya.
Perempuan-perempuan kelas atas akan dengan sabar mengantre untuk mendapatkan jatah berkencan dengannya. Bahkan karier mereka akan semakin cemerlang ketika memperkenalkan diri sebagai wanita seorang Sean Arthur.
Selama ini, wanita kelas atas yang sempat berkencan dengan Sean Arthur adalah dari kalangan model papan atas berkebangsaan Eropa atau Amerika. Sean tak pernah sekalipun memutuskan untuk berkencan dengan seorang wanita Asia. Dia memiliki sudut pandang berbeda terhadap wanita. Menurutnya, wanita barat tentu lebih berkelas daripada wanita Asia. Hingga detik ini, permintaan aneh yang keluar dari bibir lelaki itu membuat Leon sedikit tertarik.
“Karena permintaanmu, tidak biasa.”
“Jadi, apakah aku perlu membuang waktuku untuk menjelaskannya kepadamu?”
Leon terkekeh, dia menggeleng kemudian. "Ah, tidak. Itu semua terserah kepadamu. Aku hanya penasaran, apakah memang seleramu sudah berubah atau kau sengaja mengubah sudut pandangmu terhadap wanita Asia? Tapi kau tak perlu menjawabnya."
Dan sebelum kakinya melangkah lagi, dia menangkap suara Sean Arthur menjawab pertanyaannya. "Aku hanya tertarik, tidak lebih," ucap Sean sembari menyesap batang rokok itu kembali.
Leon tersenyum menanggapi. Sudah terbiasa mendengar kata Sean Arthur mengenai kesannya terhadap wanita.
“Kau tidak perlu mencemaskannya, karena dia akan datang sesuai dengan keinginanmu."
Leon segera melangkah pergi setelah mengucapkan hal itu. Membiarkan Sean Arthur menikmati waktu bersantainya.
Salwa membuka jendela kamarnya ketika langit telah menurunkan hujan dengan debit air yang tidak terlalu deras. Salwa mengapit sebuah koran yang baru dibeli kemarin, yaitu ketika perjalanan menjemput orang tuanya pulang dari rumah sakit. Dia sudah melingkari beberapa lowongan pekerjaan yang tertera pada surat kabar itu.Keputusannya untuk bekerja sudah bulat. Dia akan berjuang demi memenuhi kebutuhan keluarganya. Berharap dengan pengorbanannya ini, adik-adiknya akan tetap bisa bersekolah tanpa memusingkan biaya yang harus dibayarkan.Dia mengamati perusahaan-perusahaan yang membutuhkan karyawan lulusan Sekolah Menengah Atas. Ada Officegirl, kasir, Waiters, dan Babysitter. Salwa memutuskan melamar sebagai kasir di sebuah supermarket, karena jika dilihat dari gaji pekerjaan tersebut lebih menghasilkan.Namun, saat dia beralih ke halaman lain, sebuah artikel menggiurkan membuat gadis berbulu mata lentik itu mengurungkan niatnya. Ya, sebuah artikel yang menunjukkan jalan keluar bagi perma
Sebuah unit rusun dijadikan tempat bernaung sementara. Sebelum sang majikan menjemput para pekerja wanita, mereka tinggal di rusun sempit yang dihuni oleh beberapa calon pekerja.Salwa merapikan barang-barangnya, menatanya dengan efisien, menggunakan area yang sempit itu agar tak memakan banyak tempat. Setelah dirasa semua barang-barangnya telah rapi tersusun, perempuan itu mengistirahatkan tubuhnya dengan berbaring di ranjang.Belum sempat matanya terpejam, seseorang di luar kamar mengetuk pintu sembari memanggil namanya membuat perempuan itu urung mengistirahatkan tubuh. Sebuah kepala menyembul dari pintu yang terbuka dari luar, lalu bertanya kepada Salwa. "Salwa, kamu sudah selesai?"Dia adalah Anis, teman seperjuangan Salwa di yayasan, tetapi berangkat lebih dulu beberapa minggu yang lalu. Dia belum dijemput sang majikan sehingga harus menunggu di rusun yang sama dengan Salwa."Sudah, Mbak. Apa ada yang bisa kubantu?" Salwa segera memosisikan dirinya yang sebelumnya terbaring menj
"Salwa, kamu udah ditungguin di bawah." Anis meletakkan kuncir rambutnya di atas nakas, lalu menyisir rambutnya agar lebih rapi.Salwa mengangguk, ada rasa ragu menerpa begitu mendapatkan pemberitahuan bahwa hari ini calon majikannya akan menjemput. Namun, dia harus tetap datang karena untuk inilah dirinya jauh-jauh datang ke Hong Kong, yaitu demi mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi.Salwa menarik kopernya, berpamitan kepada penghuni rusun yang biasa bercengkerama dengannya. "Mbak Anis, nanti kalau aku sudah punya ponsel, aku akan menghubungimu."Satu per satu penghuni rusun itu memeluk Salwa. Tinggal beberapa hari bersama di tempat asing membuat ikatan mereka sudah seperti saudara. Apalagi Salwa adalah gadis yang suka membantu, baik pekerjaan rumah maupun hal lain terkait asmara. Menaiki elevator, Salwa turun ke lantai bawah di mana tempat calon majikannya menunggu. Dia sedikit gugup ketika pandangannya mengarah kepada dua orang berpakaian formal serba hitam, kacamata hitam den
"Saya ... Salwa pembantu baru di sini." Salwa berucap dengan gugup, wajahnya masih menengadah karena tangan lelaki itu memaksanya untuk tetap dalam posisi itu.Di saat tangan lelaki itu menurun, melepaskan dagu Salwa, perempuan itu segera mundur ke belakang. Namun, pergerakannya justru terhalang oleh pantry dapur membuatnya hanya bisa menundukkan kepala. Sejenak ia terpaku di tempat, wajahnya sudah memerah karena di depannya lelaki itu tidak mengenakan pakaian atas, hanya menyisakan celana panjangnya saja.Salwa semakin menunduk, tetapi sesuatu yang menempel di tangannya membuat perempuan itu terkejut dengan membelalakkan mata."Da-da-darah?"Napasnya tiba-tiba memburu melihat darah segar menempel di tangan."Iya, darah." Suara dingin yang terdengar santai itu membuat Salwa semakin tak percaya.Seketika Salwa menatap pria tersebut, tubuhnya yang tak berpenghalang menempel banyak darah di sana. Barulah ia menyadari siapa pria di depannya itu begitu ingatan tentang pria malang yang dipu
Sean Arthur berjalan melewati depan kubikel-kubikel para staf kantor yang sedang menunduk, menekuri berkas-berkas di atas meja kerja mereka. Tak berani menengadahkan kepala, semua begitu sibuk atau sepertinya pura-pura sibuk, mengerjakan apa saja agar tetap terlihat sibuk karena ada sang atasan tiba-tiba datang melewati area kerja mereka.Sebuah gebrakan di pintu itu terdengar memekakkan telinga, membuat semua orang yang berada dalam satu lantai itu terkejut, mendongakkan kepala, melihat hal apa yang terjadi. Sean dengan aura gelapnya menatap tajam ke arah seseorang yang sedang berada di dalam ruangan itu. "Maafkan saya, Tuan!" Seorang laki-laki terlihat mengiba, membungkuk kepada Sean dengan menyentuh kaki lelaki itu."Leon!" Sean memanggil asistennya. "Aku tidak ingin melihatnya!"Leon mengangguk, dia mengedikkan dagu ke arah belakang di mana pengawal Sean yang mengenakan stelan formal serba hitam berada. Mereka beranjak mendekat, menyeret pria menyedihkan itu menjauh dari majikann
Sean Arthur memilih pulang setelah gagal menyalurkan hasrat biologisnya. Ia masih bingung dengan dirinya sendiri. Bagaimana wajah seorang pembantu justru melintas di kepalanya ketika dia sedang berhubungan badan?Tidak mungkin dia tertarik dengan perempuan dari kasta rendah seperti Salwa. Apa kata dunia jika mengetahui seorang pengusaha yang merajai bisnis di banyak bidang justru tertarik kepada pembantu sendiri. Tidak, itu tidak boleh terjadi.Sean menggelengkan kepala, memastikan jika apa yang ia bayangkan baru saja adalah hal yang tak mungkin terjadi. Meskipun ia tak menampik jika sampai saat ini, perempuan itu sempat membuat perhatiannya teralihkan.Hampir pukul dua belas malam, Sean baru sampai di penthouse. Pandanganya menyapu sekeliling, semuanya masih sama, sepi seperti biasa.Sean memilih langsung masuk ke dalam kamarnya, untuk segera mengistirahatkan diri. Namun, rasa kantuk belum juga merengkuh dirinya lantaran hasrat belum bisa tertuntaskan. "Sial!" Ia mengacak rambutnya
Ketika pagi menjelang di hari Minggu, Salwa sudah selesai menata sarapan pagi di atas meja makan. Dari arah depan, ia bisa melihat Sean Arthur baru saja masuk dengan mengenakan pakaian olahraga. Sepertinya lelaki itu menyempatkan diri untuk melakukan lari pagi sebentar di area jogging park di mana penghuni apartemen melakukan aktivitas olahraga santai. Melirik sekilas ke arah Salwa, Sean mengabaikan perempuan itu yang tampak memperhatikannya seolah ingin menyampaikan sesuatu. Untuk saat ini, sebaiknya menghindari Salwa adalah jalan yang terbaik. Ia masih tidak bisa menerima kenyataan akan apa yang dilakukannya semalam, yaitu memilih menggendong perempuan itu daripada membangunkannya agar bisa kembali ke kamarnya. Seharusnya ia tidak perlu merendahkan diri dengan membawa tubuh Salwa yang berstatus sebagai pembantu dengan menggunakan kedua tangannya sendiri. Lantaran takut jika tidur perempuan itu terusik, Sean sangat berhati-hati ketika menggendongnya.Kejadian semalam masih tidak bi
Sorot mata Sean Arthur seolah-olah sedang menelanjangi Salwa. Perempuan itu kian beringsut melindungi diri, merasa ada yang tidak beres dengan sang majikan."Tu-an, apa yang Anda lakukan di kamar saya?" Salwa terlihat ketakutan begitu Sean menutup pintu kamarnya, kemudian mengunci dari dalam.Malam ini Salwa terlupa mengunci pintu kamar lagi sehingga membuat lelaki itu lebih leluasa masuk ke dalam. Karena terlampau lelah, ia langsung tidur tanpa mengecek pintu, apakah sudah terkunci atau belum.Sean Arthur melangkah mendekat. Lelaki bertubuh jangkung tak ubahnya seperti predator kelaparan yang hendak memangsa kelinci kecil tak berdaya. Perasaan Salwa semakin tidak enak di saat melihat lelaki itu mulai melepaskan kancing-kancing kemejanya."Tuan, apa ... yang Anda lakukan?" Tangan Salwa mencengkeram selimut yang membalut tubuhnya, seolah selimut itu mampu menamenginya dari bahaya yang mengintai seorang Sean Arthur.Lelaki itu tak menjawab. Ia melemparkan kemejanya ke lantai, lantas men
Alan kembali tertawa. Tawa renyah tanpa takut Sean akan menghajarnya setelah itu."Tentu saja tidak. Kau sangat menggemaskan, Tuan Arthur.""Kau!"Sean beranjak berdiri, ingin mencekik Alan yang kembali mentertawainya. Namun, Alan segera menghindar, ikut berdiri dengan menghadapkan ke depan kedua telapak tangannya yang terbuka lebar."Ayolah, Sean. Aku hanya bercanda.""Bercandamu tidak lucu. Pulang saja ke negaramu!" ucap Sean menahan kesal kepada sahabatnya itu.***Malam ini adalah minggu ke dua setelah tragedi mualnya Salwa yang anti didekati oleh Sean. Sean terpaksa menahan diri agar tidak menyentuh Salwa, padahal dia termasuk lelaki yang tidak sanggup menahan kebutuhan hasrat biologisnya dalam waktu lama.Dia terpaksa tidur di ruang kerja yang berada tepat di samping kamar tidur utama. Dia berusaha memejamkan mata, mengatasi rasa menggigil ingin dihangatkan oleh tubuh wanita yang dicintainya.Suara derit pintu terdengar lirih, dengan langkah kaki yang menapak lantai marmer di ru
Jelas perhatian semua tamu undangan kini beralih pada sosok tegap yang wajahnya terlihat meradang. Lelaki tinggi dengan berbalut tuxedo mahal berjalan di atas karpet merah menuju panggung di mana Salwa dan Angela berdiri di sana.Langkah kakinya terdengar tegas begitu berada di atas panggung. Tangannya mengambil paksa microphone di tangan Angela, lalu mengeluarkan sapu tangan dari saku celana untuk digunakan mengelap kepala serta gagang microphone tersebut. Hal itu sengaja ia pertontonkan di hadapan Angela, menunjukkkan bahwa perempuan itu lebih menjijikkan dari dugaannya.Sementara sebelah tangan Sean memeluk pinggang Salwa, menarik perempuan itu agar lebih mendekat ke arahnya. Tatapannya tertuju pada semua tamu undangan yang sebelumnya tampak riuh karena ulah Angela, kini tiba-tiba hening dan senyap."Dia memang pernah menjadi pelayanku. Dia juga pernah mengandung anakku." Air mata Salwa seketika menetes mendengar perkataan Sean. Ada apa ini? Apakah ia datang ke sini hanya untuk dip
Tidak ada kata terlambat untuk menciptakan kehidupan yang diinginkan. Semua akan berjalan sesuai dengan apa yang sedang kita perjuangkan.Pria bermata biru mengusap kepala sang istri yang baru saja tersadar setelah pemeriksaan dokter dilewati beberapa menit yang lalu. Bibirnya menyunggingkan senyum ketika memandang bulu mata lentik mengerjap ringan. Mata bulat itu memandang dengan sayu, buliran air pun menggenang di pelupuk mata, lantas menetes dengan aliran ringan membasahi pipi."Syukurlah kau sudah sadar." Sean menyeka air mata di pipi Salwa dengan ibu jari kanannya secara bergantian. Pria itu tak menanyakan hal yang sesungguhnya ingin sekali ia tanyai, terkait apa saja yang sudah Salwa lakukan dengan Ramunsen di kamar mereka."Mas, ...." Suara Salwa terdengar serak, mungkin karena terlalu banyak menangis. Menyadari hal itu, Sean mengambilkan minum untuknya, membantu Salwa duduk dari pembaringan.Sedikit demi sedikit air di dalam gelas itu berpindah ke mulut Salwa, membasahi tenggo
Mobil sport yang memiliki kecepatan lintasan di atas rata-rata digunakan Sean untuk mengejar Edward dan Salwa. Zoe bertugas mengendarai, sementara Sean duduk di sampingnya sembari berpikir dan mendengar segala laporan anak buahnya yang telah memata-matai Ramunsen dari atas ketinggian.Mobil mewah berwarna metalic itu menerobos apa saja yang ada di depan mata, memacu secepat yang ia bisa di tengah keramaian. Kepiawaian Zoe dalam mengendarai mobil tersebut sudah tidak diragukan lagi. Lelaki itu mengernyit ketika titik koordinat yang akan mereka lewati menuju daerah dataran tinggi."Tuan, mobil mereka ...."Sean hanya diam, meski Zoe tidak melanjutkan kalimatnya. Lelaki itu terlihat berpikir serius, tentang apa yang dilakukan Ramunsen di tempat seperti itu. Benar-benar tidak masuk akal.Sekelebat bayangan seorang wanita hamil dari kejauhan tampak tertatih-tatih dalam menahan kesakitan dan di sebelahnya dirangkul oleh seorang laki-laki yang kemungkinan besar adalah suaminya, menjadi perh
Salwa bernapas lega melihat siapa yang datang. Air mata yang sejak tadi mengalir terus saja berlinang tiada henti. Dia terisak, tetapi tetap membungkam mulutnya.Pria itu adalah Sean Arthur bersama Zoe sang asisten yang berdiri di belakangnya. Rasa lega bukan hanya karena Salwa merasa aman sebab ada yang menyelamatkannya, tetapi juga melihat sang suami masih hidup dan dalam keadaan sehat. Padahal sebelumnya ia sudah sangat putus asa karena informasi akan keadaan Sean yang sedang bertaruh nyawa dengan bahan peledak, tetapi ternyata Tuhan memberinya secercah harapan."Jangan bergerak! Tetap di tempat." Ramunsen membuang gelas tersebut hingga pecah dan membasahi karpet bulu yang membentang di hampir seluruh permukaan lantai. Tangannya merogoh sesuatu di balik saku celana, lalu menunjukkan benda itu kepada semua orang. Sebuah suntikan berukuran mikro kini berada dalam genggaman lelaki itu."Ini adalah zat afrodisiak. Aku sudah memasukkan afrodisiak ini dalam konsentrasi tinggi. Bayangkan,
Lima jam berlalu setelah melakukan penerbangan kembali ke Indonesia. Baru saja Sean menyalakan mode data smarphone, sebuah email masuk dari Zoe sang asisten mengharuskan Sean menatap layar digital tipis miliknya untuk memeriksa. Di sana, Zoe mengirimkan file attachment di mana berisi foto-foto dan potongan berita khusus yang membuat Sean tercengang. Segera ia hubungi lelaki itu untuk mengetahui kejelasan lebih dalam dari email yang baru saja dikirimkan kepadanya."Tuan Arthur," ucap Zoe begitu menghormati Sean sesaat lelaki itu menjawab panggilan."Katakan, apa maksud semua ini? Mayat siapa itu?" Sean tak kuasa menahan diri. Semua yang terpampang di depan mata seperti sebuah teka-teki.Namun, Zoe di seberang sana terdengar menghela napas panjang sebelum pada akhirnya menjawab, "Polisi telah menemukan jenazah hancur kepalanya sekitar tiga bulan yang lalu. Jika dilihat dari kondisi jenazah itu, kemungkinan besar dia adalah korban pembunuhan sadis dan kejam. Dia ditemukan di sebuah alir
Hingga beberapa waktu mereka menunggu, tiada sesuatu yang terjadi. Semua pasang mata terbuka hampir bersamaan. Ketakutan dan kepasrahan kini berubah menjadi rasa penasaran. Dilihatnya bom itu telah berhenti di angka 00.01 yang artinya, terlambat hanya dalam satu detik saja, mereka semua akan lenyap dari muka bumi.Terdengar helaan napas dari bibir semua orang. Rasa lega belum sepenuhnya terobati, Fang Yi melihat sinar merah di kepala Abust. Dia menyeret lelaki itu, tetapi dirinya justru terjatuh dengan tubuh Abust menimpa dirinya."Cih, minggir! Kau bau." Abust segera berguling ketika kedua tangan Fang Yi menolaknya. Sementara sinar itu tetap mengarah kepadanya."Kau sendiri yang menyeretku. Kalau suka bilang saja."Fang Yi melihat sosok dari balik pagar sedang bersiap menarik pelatuk, dia segera menarik kembali tubuh Abust, membiarkan pria itu menimpanya sekali lagi dan ....Suara lesatan peluru itu terdengar, menerbangkan debu-debu yang ada di puncak gedung rumah sakit itu. Semua or
Fang Yi menuruni anak tangga darurat sembari mengatur frekuensi di earpiece yang tersemat di telinganya. Ia lebih yakin untuk membuntuti empat pria bertubuh kekar dengan orang tua berwajah mencurigakan daripada langsung menuju ruang bawah tanah. Instingnya bekerja cepat, merasa ada hal tidak beres dengan sekelompok mereka tadi. Meskipun Abust tidak memercayai perkataannya, tetapi ia sangat yakin dengan keyakinannya.Dia kehilangan jejak mereka, tetapi terus saja melangkah karena merasa mendengar suara sayup-sayup di lorong tangga darurat. Suara itu menggema, mungkin karena tiada benda-benda yang memantulkan suara dengan sembarang arah, sehingga lebih terdengar jelas di indra pendengaran.Langkah kaki Fang Yi menapak hati-hati, mengurangi suara pantulan sepatu agar tidak membuat kecurigaan seseorang yang mungkin sedang bersembunyi tanpa sepengetahuannya.Tepat ketika kaki Fang Yi melangkah melewati kelokan, menuruni anak tangga berikutnya, sebuah tangan mendekap kepalanya.Dia berontak
Abust menoleh ke arah sumber suara, melihat sosok berpakaian putih dengan badan tegap membawa troli dengan kain-kain putih ternoda. Tampaknya lelaki itu adalah petugas rumah sakit.Merasa tidak ada waktu berbasa-basi, Abust segera menodongkan senjata ke dahi lelaki itu. Mata pria berpakaian putih membukat, tak menyangka akan mendapatkan serangan mendadak seperti itu. Kedua tangan ia angkat ke atas dengan telapak tangan membuka lebar."Jongkok!" perintah Abust.Pria itu mengangguk hati-hati, menurut dengan merendahkan diri sembari melipat kaki."Katakan! Di mana ruang rahasia itu?"Lelaki itu menggeleng. "Ruang rahasia apa? Aku hanya petugas pembersih.""Sudah berapa lama kau bekerja?""Empat tahun. Tolong, aku tidak tahu apa-apa. Biarkan aku bekerja dengan tenang."Abust tak menuruti. Dia masih meletakkan ujung senjata di dahi pria itu. Empat tahun lamanya menjadi petugas di ruangan itu, mana mungkin tidak menyadari sesuatu."Jika kau masih mencintai pekerjaanmu, kau harus menunjukkan