Mata Salwa memaksakan diri untuk membuka tatkala merasakan sesuatu yang lembab dan basah menyapu ujung dadanya. Permukaan tubuhnya terasa mengigil, seolah-olah tiada kain yang melindungi tubuh kurus dari hawa dingin ruangan ber-AC itu. Dia terkesiap di saat matanya terbuka sempurna, lalu bersiap membuka mulut untuk berteriak. Akan tetapi, suaranya tertahan karena sebuah tangan kekar tiba-tiba membungkam mulutnya."Tugasmu belum selesai, Kucing Mungil!" ucap seorang lelaki yang telah mengganggu tidur lelap Salwa. Dia melepas bungkamannya setelah dirasa perempuan itu sedikit tenang."Tuan, ...." Belum selesai sebuah kalimat terucap, tetapi lelaki itu sudah memerangkap tubuh Salwa, menindih dengan memosisikan tubuh mungil itu di bawahnya. Dia menundukkan wajah, menempelkan ujung hidungnya ke ujung hidung Salwa."Aku tidak suka jika melakukan itu dengan wanita yang sedang tertidur. Kau harus tetap sadar ketika aku menginginkannya lagi.""Tapi, ...." Dia ingin menyela, mengungkapkan ketida
Dua puluh menit berlalu. Motor Tante Ayi sudah terparkir di parkiran sebuah rumah sakit yang terletak di sudut kota. Bukan rumah sakit besar, tetapi cukup lengkap untuk fasilitasnya.Salwa segera melepas helm, lalu meletakkan helm itu di jok motor Tante Ayi. Pikirannya masih berkecamuk dengan perasaan gelisah yang kini sedang membebat hatinya. Sampai suara Tante Ayi menyadarkannya, memaksa lamunan Salwa agar segera terlepas begitu saja.Salwa mengangguk menanggapi. Dengan wajah pasi, Salwa mengikuti ke mana Tante Ayi mengajaknya pergi. Dia menundukkan pandangan, mengekor jalan Tante Ayi yang ada di depannya. Hingga tanpa terasa mereka sudah berada di area ruang perawatan pasien.Dengan sekilas pandang saja Salwa bisa melihat bahwa ruangan itu diperuntukkan bagi pasien kelas menengah ke bawah. Bukan sebuah ruangan yang dipisahkan sekat-sekat kecil menggunakan kelambu, melainkan sebuah ruangan luas yang terdapat banyak sekali ranjang berjajar dengan saling berhadap-hadapan.Keuangan yan
Salwa membuka jendela kamarnya ketika langit telah menurunkan hujan dengan debit air yang tidak terlalu deras. Salwa mengapit sebuah koran yang baru dibeli kemarin, yaitu ketika perjalanan menjemput orang tuanya pulang dari rumah sakit. Dia sudah melingkari beberapa lowongan pekerjaan yang tertera pada surat kabar itu.Keputusannya untuk bekerja sudah bulat. Dia akan berjuang demi memenuhi kebutuhan keluarganya. Berharap dengan pengorbanannya ini, adik-adiknya akan tetap bisa bersekolah tanpa memusingkan biaya yang harus dibayarkan.Dia mengamati perusahaan-perusahaan yang membutuhkan karyawan lulusan Sekolah Menengah Atas. Ada Officegirl, kasir, Waiters, dan Babysitter. Salwa memutuskan melamar sebagai kasir di sebuah supermarket, karena jika dilihat dari gaji pekerjaan tersebut lebih menghasilkan.Namun, saat dia beralih ke halaman lain, sebuah artikel menggiurkan membuat gadis berbulu mata lentik itu mengurungkan niatnya. Ya, sebuah artikel yang menunjukkan jalan keluar bagi perma
Sebuah unit rusun dijadikan tempat bernaung sementara. Sebelum sang majikan menjemput para pekerja wanita, mereka tinggal di rusun sempit yang dihuni oleh beberapa calon pekerja.Salwa merapikan barang-barangnya, menatanya dengan efisien, menggunakan area yang sempit itu agar tak memakan banyak tempat. Setelah dirasa semua barang-barangnya telah rapi tersusun, perempuan itu mengistirahatkan tubuhnya dengan berbaring di ranjang.Belum sempat matanya terpejam, seseorang di luar kamar mengetuk pintu sembari memanggil namanya membuat perempuan itu urung mengistirahatkan tubuh. Sebuah kepala menyembul dari pintu yang terbuka dari luar, lalu bertanya kepada Salwa. "Salwa, kamu sudah selesai?"Dia adalah Anis, teman seperjuangan Salwa di yayasan, tetapi berangkat lebih dulu beberapa minggu yang lalu. Dia belum dijemput sang majikan sehingga harus menunggu di rusun yang sama dengan Salwa."Sudah, Mbak. Apa ada yang bisa kubantu?" Salwa segera memosisikan dirinya yang sebelumnya terbaring menj
"Salwa, kamu udah ditungguin di bawah." Anis meletakkan kuncir rambutnya di atas nakas, lalu menyisir rambutnya agar lebih rapi.Salwa mengangguk, ada rasa ragu menerpa begitu mendapatkan pemberitahuan bahwa hari ini calon majikannya akan menjemput. Namun, dia harus tetap datang karena untuk inilah dirinya jauh-jauh datang ke Hong Kong, yaitu demi mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi.Salwa menarik kopernya, berpamitan kepada penghuni rusun yang biasa bercengkerama dengannya. "Mbak Anis, nanti kalau aku sudah punya ponsel, aku akan menghubungimu."Satu per satu penghuni rusun itu memeluk Salwa. Tinggal beberapa hari bersama di tempat asing membuat ikatan mereka sudah seperti saudara. Apalagi Salwa adalah gadis yang suka membantu, baik pekerjaan rumah maupun hal lain terkait asmara. Menaiki elevator, Salwa turun ke lantai bawah di mana tempat calon majikannya menunggu. Dia sedikit gugup ketika pandangannya mengarah kepada dua orang berpakaian formal serba hitam, kacamata hitam den
"Saya ... Salwa pembantu baru di sini." Salwa berucap dengan gugup, wajahnya masih menengadah karena tangan lelaki itu memaksanya untuk tetap dalam posisi itu.Di saat tangan lelaki itu menurun, melepaskan dagu Salwa, perempuan itu segera mundur ke belakang. Namun, pergerakannya justru terhalang oleh pantry dapur membuatnya hanya bisa menundukkan kepala. Sejenak ia terpaku di tempat, wajahnya sudah memerah karena di depannya lelaki itu tidak mengenakan pakaian atas, hanya menyisakan celana panjangnya saja.Salwa semakin menunduk, tetapi sesuatu yang menempel di tangannya membuat perempuan itu terkejut dengan membelalakkan mata."Da-da-darah?"Napasnya tiba-tiba memburu melihat darah segar menempel di tangan."Iya, darah." Suara dingin yang terdengar santai itu membuat Salwa semakin tak percaya.Seketika Salwa menatap pria tersebut, tubuhnya yang tak berpenghalang menempel banyak darah di sana. Barulah ia menyadari siapa pria di depannya itu begitu ingatan tentang pria malang yang dipu
Sean Arthur berjalan melewati depan kubikel-kubikel para staf kantor yang sedang menunduk, menekuri berkas-berkas di atas meja kerja mereka. Tak berani menengadahkan kepala, semua begitu sibuk atau sepertinya pura-pura sibuk, mengerjakan apa saja agar tetap terlihat sibuk karena ada sang atasan tiba-tiba datang melewati area kerja mereka.Sebuah gebrakan di pintu itu terdengar memekakkan telinga, membuat semua orang yang berada dalam satu lantai itu terkejut, mendongakkan kepala, melihat hal apa yang terjadi. Sean dengan aura gelapnya menatap tajam ke arah seseorang yang sedang berada di dalam ruangan itu. "Maafkan saya, Tuan!" Seorang laki-laki terlihat mengiba, membungkuk kepada Sean dengan menyentuh kaki lelaki itu."Leon!" Sean memanggil asistennya. "Aku tidak ingin melihatnya!"Leon mengangguk, dia mengedikkan dagu ke arah belakang di mana pengawal Sean yang mengenakan stelan formal serba hitam berada. Mereka beranjak mendekat, menyeret pria menyedihkan itu menjauh dari majikann
Sean Arthur memilih pulang setelah gagal menyalurkan hasrat biologisnya. Ia masih bingung dengan dirinya sendiri. Bagaimana wajah seorang pembantu justru melintas di kepalanya ketika dia sedang berhubungan badan?Tidak mungkin dia tertarik dengan perempuan dari kasta rendah seperti Salwa. Apa kata dunia jika mengetahui seorang pengusaha yang merajai bisnis di banyak bidang justru tertarik kepada pembantu sendiri. Tidak, itu tidak boleh terjadi.Sean menggelengkan kepala, memastikan jika apa yang ia bayangkan baru saja adalah hal yang tak mungkin terjadi. Meskipun ia tak menampik jika sampai saat ini, perempuan itu sempat membuat perhatiannya teralihkan.Hampir pukul dua belas malam, Sean baru sampai di penthouse. Pandanganya menyapu sekeliling, semuanya masih sama, sepi seperti biasa.Sean memilih langsung masuk ke dalam kamarnya, untuk segera mengistirahatkan diri. Namun, rasa kantuk belum juga merengkuh dirinya lantaran hasrat belum bisa tertuntaskan. "Sial!" Ia mengacak rambutnya
Alan kembali tertawa. Tawa renyah tanpa takut Sean akan menghajarnya setelah itu."Tentu saja tidak. Kau sangat menggemaskan, Tuan Arthur.""Kau!"Sean beranjak berdiri, ingin mencekik Alan yang kembali mentertawainya. Namun, Alan segera menghindar, ikut berdiri dengan menghadapkan ke depan kedua telapak tangannya yang terbuka lebar."Ayolah, Sean. Aku hanya bercanda.""Bercandamu tidak lucu. Pulang saja ke negaramu!" ucap Sean menahan kesal kepada sahabatnya itu.***Malam ini adalah minggu ke dua setelah tragedi mualnya Salwa yang anti didekati oleh Sean. Sean terpaksa menahan diri agar tidak menyentuh Salwa, padahal dia termasuk lelaki yang tidak sanggup menahan kebutuhan hasrat biologisnya dalam waktu lama.Dia terpaksa tidur di ruang kerja yang berada tepat di samping kamar tidur utama. Dia berusaha memejamkan mata, mengatasi rasa menggigil ingin dihangatkan oleh tubuh wanita yang dicintainya.Suara derit pintu terdengar lirih, dengan langkah kaki yang menapak lantai marmer di ru
Jelas perhatian semua tamu undangan kini beralih pada sosok tegap yang wajahnya terlihat meradang. Lelaki tinggi dengan berbalut tuxedo mahal berjalan di atas karpet merah menuju panggung di mana Salwa dan Angela berdiri di sana.Langkah kakinya terdengar tegas begitu berada di atas panggung. Tangannya mengambil paksa microphone di tangan Angela, lalu mengeluarkan sapu tangan dari saku celana untuk digunakan mengelap kepala serta gagang microphone tersebut. Hal itu sengaja ia pertontonkan di hadapan Angela, menunjukkkan bahwa perempuan itu lebih menjijikkan dari dugaannya.Sementara sebelah tangan Sean memeluk pinggang Salwa, menarik perempuan itu agar lebih mendekat ke arahnya. Tatapannya tertuju pada semua tamu undangan yang sebelumnya tampak riuh karena ulah Angela, kini tiba-tiba hening dan senyap."Dia memang pernah menjadi pelayanku. Dia juga pernah mengandung anakku." Air mata Salwa seketika menetes mendengar perkataan Sean. Ada apa ini? Apakah ia datang ke sini hanya untuk dip
Tidak ada kata terlambat untuk menciptakan kehidupan yang diinginkan. Semua akan berjalan sesuai dengan apa yang sedang kita perjuangkan.Pria bermata biru mengusap kepala sang istri yang baru saja tersadar setelah pemeriksaan dokter dilewati beberapa menit yang lalu. Bibirnya menyunggingkan senyum ketika memandang bulu mata lentik mengerjap ringan. Mata bulat itu memandang dengan sayu, buliran air pun menggenang di pelupuk mata, lantas menetes dengan aliran ringan membasahi pipi."Syukurlah kau sudah sadar." Sean menyeka air mata di pipi Salwa dengan ibu jari kanannya secara bergantian. Pria itu tak menanyakan hal yang sesungguhnya ingin sekali ia tanyai, terkait apa saja yang sudah Salwa lakukan dengan Ramunsen di kamar mereka."Mas, ...." Suara Salwa terdengar serak, mungkin karena terlalu banyak menangis. Menyadari hal itu, Sean mengambilkan minum untuknya, membantu Salwa duduk dari pembaringan.Sedikit demi sedikit air di dalam gelas itu berpindah ke mulut Salwa, membasahi tenggo
Mobil sport yang memiliki kecepatan lintasan di atas rata-rata digunakan Sean untuk mengejar Edward dan Salwa. Zoe bertugas mengendarai, sementara Sean duduk di sampingnya sembari berpikir dan mendengar segala laporan anak buahnya yang telah memata-matai Ramunsen dari atas ketinggian.Mobil mewah berwarna metalic itu menerobos apa saja yang ada di depan mata, memacu secepat yang ia bisa di tengah keramaian. Kepiawaian Zoe dalam mengendarai mobil tersebut sudah tidak diragukan lagi. Lelaki itu mengernyit ketika titik koordinat yang akan mereka lewati menuju daerah dataran tinggi."Tuan, mobil mereka ...."Sean hanya diam, meski Zoe tidak melanjutkan kalimatnya. Lelaki itu terlihat berpikir serius, tentang apa yang dilakukan Ramunsen di tempat seperti itu. Benar-benar tidak masuk akal.Sekelebat bayangan seorang wanita hamil dari kejauhan tampak tertatih-tatih dalam menahan kesakitan dan di sebelahnya dirangkul oleh seorang laki-laki yang kemungkinan besar adalah suaminya, menjadi perh
Salwa bernapas lega melihat siapa yang datang. Air mata yang sejak tadi mengalir terus saja berlinang tiada henti. Dia terisak, tetapi tetap membungkam mulutnya.Pria itu adalah Sean Arthur bersama Zoe sang asisten yang berdiri di belakangnya. Rasa lega bukan hanya karena Salwa merasa aman sebab ada yang menyelamatkannya, tetapi juga melihat sang suami masih hidup dan dalam keadaan sehat. Padahal sebelumnya ia sudah sangat putus asa karena informasi akan keadaan Sean yang sedang bertaruh nyawa dengan bahan peledak, tetapi ternyata Tuhan memberinya secercah harapan."Jangan bergerak! Tetap di tempat." Ramunsen membuang gelas tersebut hingga pecah dan membasahi karpet bulu yang membentang di hampir seluruh permukaan lantai. Tangannya merogoh sesuatu di balik saku celana, lalu menunjukkan benda itu kepada semua orang. Sebuah suntikan berukuran mikro kini berada dalam genggaman lelaki itu."Ini adalah zat afrodisiak. Aku sudah memasukkan afrodisiak ini dalam konsentrasi tinggi. Bayangkan,
Lima jam berlalu setelah melakukan penerbangan kembali ke Indonesia. Baru saja Sean menyalakan mode data smarphone, sebuah email masuk dari Zoe sang asisten mengharuskan Sean menatap layar digital tipis miliknya untuk memeriksa. Di sana, Zoe mengirimkan file attachment di mana berisi foto-foto dan potongan berita khusus yang membuat Sean tercengang. Segera ia hubungi lelaki itu untuk mengetahui kejelasan lebih dalam dari email yang baru saja dikirimkan kepadanya."Tuan Arthur," ucap Zoe begitu menghormati Sean sesaat lelaki itu menjawab panggilan."Katakan, apa maksud semua ini? Mayat siapa itu?" Sean tak kuasa menahan diri. Semua yang terpampang di depan mata seperti sebuah teka-teki.Namun, Zoe di seberang sana terdengar menghela napas panjang sebelum pada akhirnya menjawab, "Polisi telah menemukan jenazah hancur kepalanya sekitar tiga bulan yang lalu. Jika dilihat dari kondisi jenazah itu, kemungkinan besar dia adalah korban pembunuhan sadis dan kejam. Dia ditemukan di sebuah alir
Hingga beberapa waktu mereka menunggu, tiada sesuatu yang terjadi. Semua pasang mata terbuka hampir bersamaan. Ketakutan dan kepasrahan kini berubah menjadi rasa penasaran. Dilihatnya bom itu telah berhenti di angka 00.01 yang artinya, terlambat hanya dalam satu detik saja, mereka semua akan lenyap dari muka bumi.Terdengar helaan napas dari bibir semua orang. Rasa lega belum sepenuhnya terobati, Fang Yi melihat sinar merah di kepala Abust. Dia menyeret lelaki itu, tetapi dirinya justru terjatuh dengan tubuh Abust menimpa dirinya."Cih, minggir! Kau bau." Abust segera berguling ketika kedua tangan Fang Yi menolaknya. Sementara sinar itu tetap mengarah kepadanya."Kau sendiri yang menyeretku. Kalau suka bilang saja."Fang Yi melihat sosok dari balik pagar sedang bersiap menarik pelatuk, dia segera menarik kembali tubuh Abust, membiarkan pria itu menimpanya sekali lagi dan ....Suara lesatan peluru itu terdengar, menerbangkan debu-debu yang ada di puncak gedung rumah sakit itu. Semua or
Fang Yi menuruni anak tangga darurat sembari mengatur frekuensi di earpiece yang tersemat di telinganya. Ia lebih yakin untuk membuntuti empat pria bertubuh kekar dengan orang tua berwajah mencurigakan daripada langsung menuju ruang bawah tanah. Instingnya bekerja cepat, merasa ada hal tidak beres dengan sekelompok mereka tadi. Meskipun Abust tidak memercayai perkataannya, tetapi ia sangat yakin dengan keyakinannya.Dia kehilangan jejak mereka, tetapi terus saja melangkah karena merasa mendengar suara sayup-sayup di lorong tangga darurat. Suara itu menggema, mungkin karena tiada benda-benda yang memantulkan suara dengan sembarang arah, sehingga lebih terdengar jelas di indra pendengaran.Langkah kaki Fang Yi menapak hati-hati, mengurangi suara pantulan sepatu agar tidak membuat kecurigaan seseorang yang mungkin sedang bersembunyi tanpa sepengetahuannya.Tepat ketika kaki Fang Yi melangkah melewati kelokan, menuruni anak tangga berikutnya, sebuah tangan mendekap kepalanya.Dia berontak
Abust menoleh ke arah sumber suara, melihat sosok berpakaian putih dengan badan tegap membawa troli dengan kain-kain putih ternoda. Tampaknya lelaki itu adalah petugas rumah sakit.Merasa tidak ada waktu berbasa-basi, Abust segera menodongkan senjata ke dahi lelaki itu. Mata pria berpakaian putih membukat, tak menyangka akan mendapatkan serangan mendadak seperti itu. Kedua tangan ia angkat ke atas dengan telapak tangan membuka lebar."Jongkok!" perintah Abust.Pria itu mengangguk hati-hati, menurut dengan merendahkan diri sembari melipat kaki."Katakan! Di mana ruang rahasia itu?"Lelaki itu menggeleng. "Ruang rahasia apa? Aku hanya petugas pembersih.""Sudah berapa lama kau bekerja?""Empat tahun. Tolong, aku tidak tahu apa-apa. Biarkan aku bekerja dengan tenang."Abust tak menuruti. Dia masih meletakkan ujung senjata di dahi pria itu. Empat tahun lamanya menjadi petugas di ruangan itu, mana mungkin tidak menyadari sesuatu."Jika kau masih mencintai pekerjaanmu, kau harus menunjukkan