Sebuah unit rusun dijadikan tempat bernaung sementara. Sebelum sang majikan menjemput para pekerja wanita, mereka tinggal di rusun sempit yang dihuni oleh beberapa calon pekerja.
Salwa merapikan barang-barangnya, menatanya dengan efisien, menggunakan area yang sempit itu agar tak memakan banyak tempat. Setelah dirasa semua barang-barangnya telah rapi tersusun, perempuan itu mengistirahatkan tubuhnya dengan berbaring di ranjang.
Belum sempat matanya terpejam, seseorang di luar kamar mengetuk pintu sembari memanggil namanya membuat perempuan itu urung mengistirahatkan tubuh. Sebuah kepala menyembul dari pintu yang terbuka dari luar, lalu bertanya kepada Salwa. "Salwa, kamu sudah selesai?"
Dia adalah Anis, teman seperjuangan Salwa di yayasan, tetapi berangkat lebih dulu beberapa minggu yang lalu. Dia belum dijemput sang majikan sehingga harus menunggu di rusun yang sama dengan Salwa.
"Sudah, Mbak. Apa ada yang bisa kubantu?" Salwa segera memosisikan dirinya yang sebelumnya terbaring menjadi duduk. Perempuan itu merapikan rambutnya, menguncirnya dengan kuncir kuda.
"Mbak butuh perlengkapan mandi, pembalut, dan detergen. Kamu mau enggak belikan di Swalayan terdekat? Nanti Mbak kasih catatan biar kamu hafal jalan di sini."
Salwa mengangguk, meskipun letih karena baru selesai berberes, rasanya tak pantas jika dia menolak permintaan Anis untuk membeli pembalut. Sehingga dia memutuskan mengiakan permohonan perempuan itu sekalipun dirinya belum mengenal daerah tersebut.
Bukan hanya Anis yang ternyata membutuhkan bantuannya. Ketika dia berpamitan ingin pergi ke swalayan terdekat, teman-temannya penghuni rusun tersebut turut menitipkan belanjaan mereka. "Sekalian aku nitip juga!"
Salwa hanya bisa mengangguk untuk mengiakan, setidaknya ini bisa dijadikan pengalaman pertama baginya keluar dari rusun seorang diri meskipun dalam hati ada rasa waswas yang tak bisa dipungkiri.
Dia turun menggunakan elevator, berjalan perlahan sesuai denah yang digambarkan Anis di secarik kertas. Sambil melihat-lihat dan menghafalkan jalan yang dilewati, Salwa akhirnya bisa menemukan swalayan yang lokasinya tak jauh dari area rusun di mana dia tinggal.
Dengan bersemangat, perempuan itu masuk ke dalam swalayan tersebut, membeli barang-barang pesanan teman-temannya. Dia melihat list order yang sudah tertulis dengan lengkap sembari mencarinya satu per satu di rak gondala barang-barang yang akan dibeli. Menatap price tag yang tertempel di display rak, Salwa menghitung total belanjaan seraya mencocokkannya dengan jumlah uang yang dibawa.
Syukurlah, Salwa tak mendapatkan kendala yang berarti. Semua pesanan teman-temannya berhasil dia dapatkan dengan mudah dan uang yang dibayarkan masih berlebih sehingga tak perlu takut tidak cukup.
Salwa menghela napasnya kemudian, menjinjing kantung plastik berlogo swalayan tersebut. Berjalan perlahan, perempuan itu mulai pergi meninggalkan area swalayan untuk kembali ke rusun. Namun, ketika Salwa berada di sebuah gang sempit yang lokasinya tak jauh dari swalayan tersebut, indra pendengarannya menangkap sayup-sayup teriakan seseorang mengaduh kesakitan.
Pikiran sadarnya terketuk untuk melihat apa yang terjadi. Tanpa memikirkan akal sehat serta logika yang ada bahwa dirinya adalah orang baru di negara itu, Salwa berjalan mengikuti arah suara tersebut. Langkahnya sedikit berat, tetapi tak urung juga semakin mendekat ke tempat tujuan.
Melewati gang-gang sempit, lalu berbelok ke area belakang gedung pencakar langit yang diapit oleh gedung-gedung lainnya, Salwa terkesiap dengan mata membelalak melihat apa yang ada di depan mata.
Seorang laki-laki bertubuh jangkung tengah mencengkeram batang leher seseorang yang tampak sudah kepayahan dengan wajah penuh lebam dan darah segar di hidung serta bibir. Tak jauh dari dua orang yang sedang berkelahi itu, ada sekitar sepuluh orang laki-laki berbadan tegap, berpakaian formal serba hitam dengan kacamata hitam tampak sedang mengawasi adegan mengerikan tersebut. Bukannya menolong dan melerai, mereka hanya menjadi penonton dengan posisi bergeming dari tempatnya.
Seharusnya Salwa segera pergi dari tempat itu sebelum orang-orang yang berada di sana menyadari keberadaannya. Namun, alih-alih melarikan diri, kaki Salwa terasa tertancap di beton yang dia pijaki, tak mampu untuk digerakkan, apalagi sampai berlari dari tempat tersebut.
Tangannya memeluk kantung plastik belanjaan, tubuhnya gemetar tak sanggup untuk dikondisikan. Akan tetapi, matanya tak bisa menghindar dari pemandangan yang menyeramkan di depan mata.
Suara pukulan di rahang menimbulkan suara yang terdengar ngilu. Entah itu suara tulang patah atau gigi yang terlepas dari gusinya, Salwa bisa melihat lelaki malang itu hampir meregang nyawa. Dan tepat ketika lelaki kejam yang memunggunginya itu mengeluarkan pisau lipat dari balik saku celananya, memunculkan mata pisau berkilat tajam dan hendak mengayunkannya di tubuh pria malang itu, Salwa tanpa sadar berteriak kencang.
Buru-buru Salwa menutup mulutnya menggunakan kedua telapak tangan setelah menyadari hal bodoh yang telah dia lakukan. Dia hampir kesulitan menelan ludah ketika pria kejam itu menoleh ke arahnya.
Lelaki itu melepaskan tubuh tak berdaya yang sudah luluh lantak akibat pukulan-pukulannya, membiarkan terjatuh dan diiringi rintihan korbannya.
Kini, pandangan lelaki itu terpaku kepada Salwa. Gadis berkerudung itu semakin ketakutan ketika lelaki itu melangkah mendekat ke arahnya. Sialnya, kaki Salwa cukup gemetar hingga tak sanggup hanya untuk digerakkan menjauh, apalagi berlari kabur dari hadapan lelaki bengis itu.
Kantung plastik belanjaan terjatuh dari tangannya, tubuhnya lemas tak bertenaga dengan keringat dingin membasahi pelipisnya. Salwa mulai bisa memundurkan langkahnya untuk sedikit menjauh dari lelaki itu. Namun, siapa sangka langkahnya justru terhenti karena ada dinding yang menghalangi pergerakannya.
Salwa kembali berusaha menelan ludah yang rasanya seperti bongkahan kerikil besar dan kasar begitu lelaki itu berdiri tepat di depannya. Dia ingin pergi segera, tetapi lelaki itu memerangkap tubuhnya dengan kedua tangan yang diletakkan di dinding belakang Salwa.
Dia menengadah, menatap sosok di depannya yang menatapnya dengan tajam. Manik biru yang seharusnya indah dipandang kini justru terlihat begitu menyeramkan. Bibir Salwa bergetar, tak sanggup mengucapkan sepatah kata. Dia merasa sedang dalam bahaya. Lelaki di depannya pasti adalah orang jahat, pembunuh, atau mungkin seorang psikopat. Salwa semakin ketakutan memikirkan itu semua, menatap iris biru di depannya itu dengan penuh permohonan agar dia dilepaskan.
"Kau akan tutup mulut, 'kan?"
Salwa hanya mengangguk tanpa bisa mengucapkan sepatah kata. Embusan napas lelaki itu menerpa wajahnya, membuat Salwa merasa semakin terintimidasi.
"Bagus!" ucapnya diikuti senyum keji di bibir.
Lelaki itu menatap Salwa dari atas hingga ke bawah. Tidak ada yang menarik di matanya, hanya seorang wanita biasa dari kalangan rakyat jelata dan tak patut untuk diperhitungkan keberadaannya. Hingga ketika matanya bersitatap dengan mata bulat perempuan itu, dia sedikit terpaku kepadanya.
Mata Salwa melebar, menunjukkan ketakutan, tetapi juga sebuah tekad kuat yang tersembunyi. Tatapan yang begitu polos, tetapi terdapat banyak beban di dalamnya. Dia tertarik dengan tatapan mata itu sehingga tak melepaskan pandangannya dari mata Salwa.
Sampai ketika perempuan itu menyuarakan keinginannya, pria bermata biru baru sadar akan apa yang dia lakukan.
"Tu-an, izinkan ... sa-ya pergi!" Terbata-bata Salwa mengatakan, meskipun begitu membutuhkan dorongan dan keberanian yang kuat untuk bisa mengucapkannya.
Beruntung, lelaki itu tampaknya tak tertarik dengan dirinya yang hanya manusia biasa dari golongan kasta rendah. Dia bisa mengambil napas lega karena dirinya tak memiliki daya tarik sama sekali.
"Pergilah!" Setelah kata itu terucap, lelaki itu melepaskan tangannya dari dinding, membiarkan Salwa untuk pergi dari kungkungannya.
Setelah terlepas, Salwa melangkah menjauh, lalu segera berjongkok untuk memunguti barang-barang belanjaannya yang tercecer di lantai. Terburu-buru melakukannya, sehingga dia tak menyadari ada barang belanjaannya yang tertinggal.
Dia berdiri kaku ketika hendak meninggalkan area itu begitu pria kejam tersebut memanggilnya.
"Nona!"
Suara langkah dari sepatu pria itu berdentum, menggema di telinga Salwa. Dia kembali menelan ludah, takut jika pria tersebut berubah pikiran dan akan menghabisinya karena melihat kekejaman yang dilakukan di depan matanya. Bagaimanapun Salwa adalah saksi satu-satunya yang melihat penganiayaan lelaki kejam itu untuk bisa ditanyai oleh pihak yang berwajib.
Lelaki itu mendekat, memutar, dan berhenti tepat di depan Salwa. Tangannya diraih oleh lelaki itu dan cukup membuat Salwa terperanjat.
Namun, apa yang dilakukan lelaki tersebut ternyata justru membuat Salwa malu sendiri.
"Ini, barangmu ketinggalan," ucapnya dengan meletakkan pembalut di telapak tangan Salwa.
"Salwa, kamu udah ditungguin di bawah." Anis meletakkan kuncir rambutnya di atas nakas, lalu menyisir rambutnya agar lebih rapi.Salwa mengangguk, ada rasa ragu menerpa begitu mendapatkan pemberitahuan bahwa hari ini calon majikannya akan menjemput. Namun, dia harus tetap datang karena untuk inilah dirinya jauh-jauh datang ke Hong Kong, yaitu demi mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi.Salwa menarik kopernya, berpamitan kepada penghuni rusun yang biasa bercengkerama dengannya. "Mbak Anis, nanti kalau aku sudah punya ponsel, aku akan menghubungimu."Satu per satu penghuni rusun itu memeluk Salwa. Tinggal beberapa hari bersama di tempat asing membuat ikatan mereka sudah seperti saudara. Apalagi Salwa adalah gadis yang suka membantu, baik pekerjaan rumah maupun hal lain terkait asmara. Menaiki elevator, Salwa turun ke lantai bawah di mana tempat calon majikannya menunggu. Dia sedikit gugup ketika pandangannya mengarah kepada dua orang berpakaian formal serba hitam, kacamata hitam den
"Saya ... Salwa pembantu baru di sini." Salwa berucap dengan gugup, wajahnya masih menengadah karena tangan lelaki itu memaksanya untuk tetap dalam posisi itu.Di saat tangan lelaki itu menurun, melepaskan dagu Salwa, perempuan itu segera mundur ke belakang. Namun, pergerakannya justru terhalang oleh pantry dapur membuatnya hanya bisa menundukkan kepala. Sejenak ia terpaku di tempat, wajahnya sudah memerah karena di depannya lelaki itu tidak mengenakan pakaian atas, hanya menyisakan celana panjangnya saja.Salwa semakin menunduk, tetapi sesuatu yang menempel di tangannya membuat perempuan itu terkejut dengan membelalakkan mata."Da-da-darah?"Napasnya tiba-tiba memburu melihat darah segar menempel di tangan."Iya, darah." Suara dingin yang terdengar santai itu membuat Salwa semakin tak percaya.Seketika Salwa menatap pria tersebut, tubuhnya yang tak berpenghalang menempel banyak darah di sana. Barulah ia menyadari siapa pria di depannya itu begitu ingatan tentang pria malang yang dipu
Sean Arthur berjalan melewati depan kubikel-kubikel para staf kantor yang sedang menunduk, menekuri berkas-berkas di atas meja kerja mereka. Tak berani menengadahkan kepala, semua begitu sibuk atau sepertinya pura-pura sibuk, mengerjakan apa saja agar tetap terlihat sibuk karena ada sang atasan tiba-tiba datang melewati area kerja mereka.Sebuah gebrakan di pintu itu terdengar memekakkan telinga, membuat semua orang yang berada dalam satu lantai itu terkejut, mendongakkan kepala, melihat hal apa yang terjadi. Sean dengan aura gelapnya menatap tajam ke arah seseorang yang sedang berada di dalam ruangan itu. "Maafkan saya, Tuan!" Seorang laki-laki terlihat mengiba, membungkuk kepada Sean dengan menyentuh kaki lelaki itu."Leon!" Sean memanggil asistennya. "Aku tidak ingin melihatnya!"Leon mengangguk, dia mengedikkan dagu ke arah belakang di mana pengawal Sean yang mengenakan stelan formal serba hitam berada. Mereka beranjak mendekat, menyeret pria menyedihkan itu menjauh dari majikann
Sean Arthur memilih pulang setelah gagal menyalurkan hasrat biologisnya. Ia masih bingung dengan dirinya sendiri. Bagaimana wajah seorang pembantu justru melintas di kepalanya ketika dia sedang berhubungan badan?Tidak mungkin dia tertarik dengan perempuan dari kasta rendah seperti Salwa. Apa kata dunia jika mengetahui seorang pengusaha yang merajai bisnis di banyak bidang justru tertarik kepada pembantu sendiri. Tidak, itu tidak boleh terjadi.Sean menggelengkan kepala, memastikan jika apa yang ia bayangkan baru saja adalah hal yang tak mungkin terjadi. Meskipun ia tak menampik jika sampai saat ini, perempuan itu sempat membuat perhatiannya teralihkan.Hampir pukul dua belas malam, Sean baru sampai di penthouse. Pandanganya menyapu sekeliling, semuanya masih sama, sepi seperti biasa.Sean memilih langsung masuk ke dalam kamarnya, untuk segera mengistirahatkan diri. Namun, rasa kantuk belum juga merengkuh dirinya lantaran hasrat belum bisa tertuntaskan. "Sial!" Ia mengacak rambutnya
Ketika pagi menjelang di hari Minggu, Salwa sudah selesai menata sarapan pagi di atas meja makan. Dari arah depan, ia bisa melihat Sean Arthur baru saja masuk dengan mengenakan pakaian olahraga. Sepertinya lelaki itu menyempatkan diri untuk melakukan lari pagi sebentar di area jogging park di mana penghuni apartemen melakukan aktivitas olahraga santai. Melirik sekilas ke arah Salwa, Sean mengabaikan perempuan itu yang tampak memperhatikannya seolah ingin menyampaikan sesuatu. Untuk saat ini, sebaiknya menghindari Salwa adalah jalan yang terbaik. Ia masih tidak bisa menerima kenyataan akan apa yang dilakukannya semalam, yaitu memilih menggendong perempuan itu daripada membangunkannya agar bisa kembali ke kamarnya. Seharusnya ia tidak perlu merendahkan diri dengan membawa tubuh Salwa yang berstatus sebagai pembantu dengan menggunakan kedua tangannya sendiri. Lantaran takut jika tidur perempuan itu terusik, Sean sangat berhati-hati ketika menggendongnya.Kejadian semalam masih tidak bi
Sorot mata Sean Arthur seolah-olah sedang menelanjangi Salwa. Perempuan itu kian beringsut melindungi diri, merasa ada yang tidak beres dengan sang majikan."Tu-an, apa yang Anda lakukan di kamar saya?" Salwa terlihat ketakutan begitu Sean menutup pintu kamarnya, kemudian mengunci dari dalam.Malam ini Salwa terlupa mengunci pintu kamar lagi sehingga membuat lelaki itu lebih leluasa masuk ke dalam. Karena terlampau lelah, ia langsung tidur tanpa mengecek pintu, apakah sudah terkunci atau belum.Sean Arthur melangkah mendekat. Lelaki bertubuh jangkung tak ubahnya seperti predator kelaparan yang hendak memangsa kelinci kecil tak berdaya. Perasaan Salwa semakin tidak enak di saat melihat lelaki itu mulai melepaskan kancing-kancing kemejanya."Tuan, apa ... yang Anda lakukan?" Tangan Salwa mencengkeram selimut yang membalut tubuhnya, seolah selimut itu mampu menamenginya dari bahaya yang mengintai seorang Sean Arthur.Lelaki itu tak menjawab. Ia melemparkan kemejanya ke lantai, lantas men
Salwa mundur satu langkah ke belakang, menggelengkan kepala menanggapi perkataan mesum Sean Arthur. Mengapa pria kaya dan dewasa justru menganggap rendah kaum rakyat jelata sepertinya?"Saya tidak mau."Dia menunduk lagi. Air mata yang sebelumnya sempat diseka, kini berderai kembali. Sesak, itulah yang ia rasakan saat ini. Kehormatan dan harga diri adalah hal terpenting baginya. Ia memang bukanlah seorang agamis yang suci dan tidak berlumur dosa, tetapi ia cukup paham jika memberikan tubuh kepada seseorang yang bukan mahramnya adalah hal yang salah, dosa besar. Bahkan, agama memberikan hukuman cambuk seratus kali bagi wanita dan pria single yang nekat melakukannya."Uang pun tidak ada. Kau bisa keluar sekarang. Aku tidak akan menahanmu lagi. Jika terjadi sesuatu terhadap ayahmu, maka ... kau yang akan disalahkan."Sean menyeringai tatkala melihat gurat ketakutan di wajah Salwa. Perempuan itu mendadak ragu setelah mendapatkan jawaban dingin dari Sean Arthur. Nyawa ayahnya benar-benar d
"Apa kau sebenarnya ingin mengikatku secara diam-diam?" Sorot mata lelaki itu mengisyaratkan tuntutan akan jawaban. Dia telah terbiasa menjadi seseorang yang dipuja. Banyak wanita terpedaya dengan fisik serta kekayaannya. Pasti wanita di depannya ini tak berbeda jauh dengan wanita kebanyakan. Dia pura-pura menolak, tetapi menginginkan hal lebih, yaitu menginginkan tangkapan yang lebih besar dari sekadar cinta satu malam."Tidak, Tuan. Saya tidak memikirkan hal itu. Saya hanya ingin membayar pengobatan operasi ayah saya. Tidak lebih. Tuan bisa menceraikan saya jika Tuan sudah tidak menginginkan saya." Salwa menunduk, merasakan sakit di relung hatinya, membayangkan bagaimana sebuah pernikahan didasari oleh keputusan satu orang saja, sementara dirinya harus pasrah bagaimana Sean Arthur memperlakukannya. "Saya berjanji tidak akan mengganggu kehidupan Tuan setelah perceraian itu."Setetes air mata telah meluncur dengan lancar membasahi pipi. Salwa merasa sudah tidak berhak atas hidupnya la
Alan kembali tertawa. Tawa renyah tanpa takut Sean akan menghajarnya setelah itu."Tentu saja tidak. Kau sangat menggemaskan, Tuan Arthur.""Kau!"Sean beranjak berdiri, ingin mencekik Alan yang kembali mentertawainya. Namun, Alan segera menghindar, ikut berdiri dengan menghadapkan ke depan kedua telapak tangannya yang terbuka lebar."Ayolah, Sean. Aku hanya bercanda.""Bercandamu tidak lucu. Pulang saja ke negaramu!" ucap Sean menahan kesal kepada sahabatnya itu.***Malam ini adalah minggu ke dua setelah tragedi mualnya Salwa yang anti didekati oleh Sean. Sean terpaksa menahan diri agar tidak menyentuh Salwa, padahal dia termasuk lelaki yang tidak sanggup menahan kebutuhan hasrat biologisnya dalam waktu lama.Dia terpaksa tidur di ruang kerja yang berada tepat di samping kamar tidur utama. Dia berusaha memejamkan mata, mengatasi rasa menggigil ingin dihangatkan oleh tubuh wanita yang dicintainya.Suara derit pintu terdengar lirih, dengan langkah kaki yang menapak lantai marmer di ru
Jelas perhatian semua tamu undangan kini beralih pada sosok tegap yang wajahnya terlihat meradang. Lelaki tinggi dengan berbalut tuxedo mahal berjalan di atas karpet merah menuju panggung di mana Salwa dan Angela berdiri di sana.Langkah kakinya terdengar tegas begitu berada di atas panggung. Tangannya mengambil paksa microphone di tangan Angela, lalu mengeluarkan sapu tangan dari saku celana untuk digunakan mengelap kepala serta gagang microphone tersebut. Hal itu sengaja ia pertontonkan di hadapan Angela, menunjukkkan bahwa perempuan itu lebih menjijikkan dari dugaannya.Sementara sebelah tangan Sean memeluk pinggang Salwa, menarik perempuan itu agar lebih mendekat ke arahnya. Tatapannya tertuju pada semua tamu undangan yang sebelumnya tampak riuh karena ulah Angela, kini tiba-tiba hening dan senyap."Dia memang pernah menjadi pelayanku. Dia juga pernah mengandung anakku." Air mata Salwa seketika menetes mendengar perkataan Sean. Ada apa ini? Apakah ia datang ke sini hanya untuk dip
Tidak ada kata terlambat untuk menciptakan kehidupan yang diinginkan. Semua akan berjalan sesuai dengan apa yang sedang kita perjuangkan.Pria bermata biru mengusap kepala sang istri yang baru saja tersadar setelah pemeriksaan dokter dilewati beberapa menit yang lalu. Bibirnya menyunggingkan senyum ketika memandang bulu mata lentik mengerjap ringan. Mata bulat itu memandang dengan sayu, buliran air pun menggenang di pelupuk mata, lantas menetes dengan aliran ringan membasahi pipi."Syukurlah kau sudah sadar." Sean menyeka air mata di pipi Salwa dengan ibu jari kanannya secara bergantian. Pria itu tak menanyakan hal yang sesungguhnya ingin sekali ia tanyai, terkait apa saja yang sudah Salwa lakukan dengan Ramunsen di kamar mereka."Mas, ...." Suara Salwa terdengar serak, mungkin karena terlalu banyak menangis. Menyadari hal itu, Sean mengambilkan minum untuknya, membantu Salwa duduk dari pembaringan.Sedikit demi sedikit air di dalam gelas itu berpindah ke mulut Salwa, membasahi tenggo
Mobil sport yang memiliki kecepatan lintasan di atas rata-rata digunakan Sean untuk mengejar Edward dan Salwa. Zoe bertugas mengendarai, sementara Sean duduk di sampingnya sembari berpikir dan mendengar segala laporan anak buahnya yang telah memata-matai Ramunsen dari atas ketinggian.Mobil mewah berwarna metalic itu menerobos apa saja yang ada di depan mata, memacu secepat yang ia bisa di tengah keramaian. Kepiawaian Zoe dalam mengendarai mobil tersebut sudah tidak diragukan lagi. Lelaki itu mengernyit ketika titik koordinat yang akan mereka lewati menuju daerah dataran tinggi."Tuan, mobil mereka ...."Sean hanya diam, meski Zoe tidak melanjutkan kalimatnya. Lelaki itu terlihat berpikir serius, tentang apa yang dilakukan Ramunsen di tempat seperti itu. Benar-benar tidak masuk akal.Sekelebat bayangan seorang wanita hamil dari kejauhan tampak tertatih-tatih dalam menahan kesakitan dan di sebelahnya dirangkul oleh seorang laki-laki yang kemungkinan besar adalah suaminya, menjadi perh
Salwa bernapas lega melihat siapa yang datang. Air mata yang sejak tadi mengalir terus saja berlinang tiada henti. Dia terisak, tetapi tetap membungkam mulutnya.Pria itu adalah Sean Arthur bersama Zoe sang asisten yang berdiri di belakangnya. Rasa lega bukan hanya karena Salwa merasa aman sebab ada yang menyelamatkannya, tetapi juga melihat sang suami masih hidup dan dalam keadaan sehat. Padahal sebelumnya ia sudah sangat putus asa karena informasi akan keadaan Sean yang sedang bertaruh nyawa dengan bahan peledak, tetapi ternyata Tuhan memberinya secercah harapan."Jangan bergerak! Tetap di tempat." Ramunsen membuang gelas tersebut hingga pecah dan membasahi karpet bulu yang membentang di hampir seluruh permukaan lantai. Tangannya merogoh sesuatu di balik saku celana, lalu menunjukkan benda itu kepada semua orang. Sebuah suntikan berukuran mikro kini berada dalam genggaman lelaki itu."Ini adalah zat afrodisiak. Aku sudah memasukkan afrodisiak ini dalam konsentrasi tinggi. Bayangkan,
Lima jam berlalu setelah melakukan penerbangan kembali ke Indonesia. Baru saja Sean menyalakan mode data smarphone, sebuah email masuk dari Zoe sang asisten mengharuskan Sean menatap layar digital tipis miliknya untuk memeriksa. Di sana, Zoe mengirimkan file attachment di mana berisi foto-foto dan potongan berita khusus yang membuat Sean tercengang. Segera ia hubungi lelaki itu untuk mengetahui kejelasan lebih dalam dari email yang baru saja dikirimkan kepadanya."Tuan Arthur," ucap Zoe begitu menghormati Sean sesaat lelaki itu menjawab panggilan."Katakan, apa maksud semua ini? Mayat siapa itu?" Sean tak kuasa menahan diri. Semua yang terpampang di depan mata seperti sebuah teka-teki.Namun, Zoe di seberang sana terdengar menghela napas panjang sebelum pada akhirnya menjawab, "Polisi telah menemukan jenazah hancur kepalanya sekitar tiga bulan yang lalu. Jika dilihat dari kondisi jenazah itu, kemungkinan besar dia adalah korban pembunuhan sadis dan kejam. Dia ditemukan di sebuah alir
Hingga beberapa waktu mereka menunggu, tiada sesuatu yang terjadi. Semua pasang mata terbuka hampir bersamaan. Ketakutan dan kepasrahan kini berubah menjadi rasa penasaran. Dilihatnya bom itu telah berhenti di angka 00.01 yang artinya, terlambat hanya dalam satu detik saja, mereka semua akan lenyap dari muka bumi.Terdengar helaan napas dari bibir semua orang. Rasa lega belum sepenuhnya terobati, Fang Yi melihat sinar merah di kepala Abust. Dia menyeret lelaki itu, tetapi dirinya justru terjatuh dengan tubuh Abust menimpa dirinya."Cih, minggir! Kau bau." Abust segera berguling ketika kedua tangan Fang Yi menolaknya. Sementara sinar itu tetap mengarah kepadanya."Kau sendiri yang menyeretku. Kalau suka bilang saja."Fang Yi melihat sosok dari balik pagar sedang bersiap menarik pelatuk, dia segera menarik kembali tubuh Abust, membiarkan pria itu menimpanya sekali lagi dan ....Suara lesatan peluru itu terdengar, menerbangkan debu-debu yang ada di puncak gedung rumah sakit itu. Semua or
Fang Yi menuruni anak tangga darurat sembari mengatur frekuensi di earpiece yang tersemat di telinganya. Ia lebih yakin untuk membuntuti empat pria bertubuh kekar dengan orang tua berwajah mencurigakan daripada langsung menuju ruang bawah tanah. Instingnya bekerja cepat, merasa ada hal tidak beres dengan sekelompok mereka tadi. Meskipun Abust tidak memercayai perkataannya, tetapi ia sangat yakin dengan keyakinannya.Dia kehilangan jejak mereka, tetapi terus saja melangkah karena merasa mendengar suara sayup-sayup di lorong tangga darurat. Suara itu menggema, mungkin karena tiada benda-benda yang memantulkan suara dengan sembarang arah, sehingga lebih terdengar jelas di indra pendengaran.Langkah kaki Fang Yi menapak hati-hati, mengurangi suara pantulan sepatu agar tidak membuat kecurigaan seseorang yang mungkin sedang bersembunyi tanpa sepengetahuannya.Tepat ketika kaki Fang Yi melangkah melewati kelokan, menuruni anak tangga berikutnya, sebuah tangan mendekap kepalanya.Dia berontak
Abust menoleh ke arah sumber suara, melihat sosok berpakaian putih dengan badan tegap membawa troli dengan kain-kain putih ternoda. Tampaknya lelaki itu adalah petugas rumah sakit.Merasa tidak ada waktu berbasa-basi, Abust segera menodongkan senjata ke dahi lelaki itu. Mata pria berpakaian putih membukat, tak menyangka akan mendapatkan serangan mendadak seperti itu. Kedua tangan ia angkat ke atas dengan telapak tangan membuka lebar."Jongkok!" perintah Abust.Pria itu mengangguk hati-hati, menurut dengan merendahkan diri sembari melipat kaki."Katakan! Di mana ruang rahasia itu?"Lelaki itu menggeleng. "Ruang rahasia apa? Aku hanya petugas pembersih.""Sudah berapa lama kau bekerja?""Empat tahun. Tolong, aku tidak tahu apa-apa. Biarkan aku bekerja dengan tenang."Abust tak menuruti. Dia masih meletakkan ujung senjata di dahi pria itu. Empat tahun lamanya menjadi petugas di ruangan itu, mana mungkin tidak menyadari sesuatu."Jika kau masih mencintai pekerjaanmu, kau harus menunjukkan