"Salwa, kamu udah ditungguin di bawah." Anis meletakkan kuncir rambutnya di atas nakas, lalu menyisir rambutnya agar lebih rapi.
Salwa mengangguk, ada rasa ragu menerpa begitu mendapatkan pemberitahuan bahwa hari ini calon majikannya akan menjemput. Namun, dia harus tetap datang karena untuk inilah dirinya jauh-jauh datang ke Hong Kong, yaitu demi mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi.
Salwa menarik kopernya, berpamitan kepada penghuni rusun yang biasa bercengkerama dengannya. "Mbak Anis, nanti kalau aku sudah punya ponsel, aku akan menghubungimu."
Satu per satu penghuni rusun itu memeluk Salwa. Tinggal beberapa hari bersama di tempat asing membuat ikatan mereka sudah seperti saudara. Apalagi Salwa adalah gadis yang suka membantu, baik pekerjaan rumah maupun hal lain terkait asmara.
Menaiki elevator, Salwa turun ke lantai bawah di mana tempat calon majikannya menunggu. Dia sedikit gugup ketika pandangannya mengarah kepada dua orang berpakaian formal serba hitam, kacamata hitam dengan postur tinggi tegap. Aura mereka terlihat gelap, mmebuat Salwa ragu ingin mendekat.
"Kau yang bernama Salwa?"
Salwa mengangguk ragu, menanggapi pertanyaan salah seorang dari mereka. Kedua orang itu bukanlah majikannya, karena yang Salwa tahu majikannya adalah pria asing berkewarganegaraan Kanada, sedangkan pria yang berada di depannya ini sepertinya warga lokal.
"Bagus. Ayo, ikut kami! Kami tidak memiliki banyak waktu." Setelah mengurus segala proses penjemputan, kedua orang itu menyuruh Salwa bergegas mengikuti mereka.
Salwa menurut, enggan banyak berkomentar karena dia sudah tahu bagaimana aturan yang diberlakukan calon majikannya sebelum dirinya memutuskan menandatangani kontrak kerja itu.Salwa menjadi pelayan seorang pria berstatus single dan tinggal seorang diri di sebuah penthouse mewah. Anehnya, hanya bertugas membersihkan dan membuatkan sarapan saja, dia dibayar dengan nominal tinggi sehingga membuatnya segera menyetujui syarat-syarat tertentu di surat kontrak yang sudah ia tandatangani. Tidak ingin berpikir buruk, Salwa hanya bisa berdoa agar keputusannya ini benar adanya.
Hening seakan menyapa, begitu Salwa duduk di sebuah mobil mewah dengan harum kopi menusuk hidung. Kedua pria itu duduk di depan, sementara Salwa duduk di kabin penumpang. Tiada putaran lagu untuk mencairkan suasana, hanya keheningan dan suara deru napasnya sendiri yang kini terdengar di indra pendengarannya.
Mobil berhenti tepat di sebauh basement apartemen mewah. Ada kartu akses khusus yang digunakan untuk masuk melalui pintu depan sebagai tanda pengenal penghuni apartemen itu. Salwa dan dua orang itu menaiki sebuah elevator yang akan membawa mereka ke lantai teratas gedung ini. Ya, Salwa bekerja di sana, sebuah penthouse mewah dengan ukuran seluas satu lantai apartemen itu.
"Lihat dan pelajari. Kami tidak mau mengulang-ulang perintah!"
Kedua orang itu mengajak Salwa berkeliling penthouse setelah meletakkan barangn pribadinya, menunjukkan satu per satu tugas apa saja yang harus Salwa kerjakan, yaitu dari membersihkan keseluruhan ruangan hingga membuatkan sarapan majikannya. Perempuan itu mencatat apa saja yang kedua orang itu katakan dalam buku note kecil yang ia bawa dari yayasan.
"Tuan hanya sarapan di sini. Jadi, kau hanya menyiapkan makan pagi saja untuknya. Semua menu sudah ada daftarnya di buku resep yang ada di atas rak dapur. Itu adalah resep dari koki ternama restoran yang mendapatkan predikat bintang tiga michelin star. Kau cukup melakukan sesuai instruksi karena Tuan kami lidahnya sangat sensitif. Kau bisa dipecat kapan saja jika melakukan kesalahan sekecil apa pun. Tidak banyak pelayan yang bisa bertahan lebih dari satu bulan karena kesalahan dan kecerobohan yang mereka lakukan membuat Tuan kami tidak suka."
Salwa meneguk ludah. Begitu banyak hal yang harus ia patuhi dan tidak boleh ada kesalahan sedikit pun. Bagaimana bisa?
Pantaslah gaji yang diberikan begitu besar meskipun tugasnya tidak terlalu berat, sebab tugas yang sebenarnya mudah tersebut menjadi sulit dikerjakan karena banyaknya aturan yang diterapkan."Dan pakaian anehmu ini ...." Orang itu mengedikkan dagunya menyorot ke arah pakiaan yang Salwa kenakan. "... ganti dengan seragam kerja. Kau bisa memakai pakaianmu lagi jika sudah berada di luar penthouse. Kami tidak ingin Tuan kami sakit mata melihat penampilanmu."
"Jika saya tetap mengenakannya?" Dengan ragu Salwa bertanya, menatap kedua orang tersebut yang masih terus saja bicara.
"Kau akan dipecat."
Tidak, tentu saja Salwa tidak mau dipecat. Keluarganya sangat membutuhkan uang itu. Dia harus bisa berjuang agar mendapatkan gajinya secara utuh. Apa pun yang terjadi.
"Tuan kami tidak selalu pulang setiap hari. Beliau lebih banyak menghabiskan waktu di hotel. Tapi, kau harus tetap menyiapkan sarapan karena bisa saja paginya Tuan pulang ke penthouse. Mengerti?"
"Iya, mengerti." Anggukan Salwa lakukan untuk meyakinkan kedua orang itu bahwa ia memahami semuanya.
"Kau boleh ke kamarmu. Belajar yang benar agar nasibmu lebih baik dari pelayan-pelayan sebelumnya."
Kedua orang itu segera pergi setelah mengatakan semua hal kepada Salwa. Peraturan lerja sebenarnya sudah tertulis dalam surat kontrak, tetapi tentang apa yang mereka jelaskan baru saja merupakan peraturan tak tertulis yang tetap harus dipatuhi.
***
"Tuan Sean Arthur."
Seorang pria tengah duduk dengan menundukkan wajahnya, tidak berani menatap Sean Arthur yang duduk di kursi putar di balik meja besar itu. Sementara asistennya, Leon berdiri di sampingnya menonton drama yang sebenarnya sudah sering terjadi.
"Katakan kepadaku! Apa alasanku agar bisa memafkan kesalahanmu?" Sean bersedekap dada, menatap seseorang yang memiliki jabatan sebagai manager di perusahaannya.
"Tuan, saya akan memperbaiki semuanya. Tolong beri saya kesempatan!"
"Dua puluh empat jam. Kau bisa memperbaiki kesalahanmu selama dua puluh empat jam. Sekarang keluar!"
Pria itu mengangguk, dengan tubuh gemetar ia mengatupkan kedua telapak tangannya seolah-olah sedang mengucapkan terima kasih, tetapi pergerakan Sean yang mengibaskan tangannya memberi kode perintah bahwa ia harus segera keluar meninggalkan ruangan itu.
"Kau melepaskannya?" Leon yang sedati tadi hanya diam menjadi penonton, kini akhirnya bersuara.
"Aku pastikan waktu dua puluh empat jam ini tidak ia pergunakan untuk memperbaiki kesalahan, tetapi justru menghapus semua bukti-bukti yang mengarah kepadanya." Sean menyeret personal computer yang ia gunakan, menunjukkan layar menyala kebiruan itu kepada Leon. "Aku sudah menyimpan semua dokumen asli yang belum dimanipulasi, jika setelah ia pulang deretan huruf dan angka ini berubah, aku pastikan dia akan menyesal karena telah mengelabuhi Sean Arthur."
***
Salwa terbangun dari tidur lelapnya. Sudah meninjukkan pukul dua pagi waktu setempat, tetapi dia tidak bisa memejamkan matanya. Gugup berada di tempat baru, meskipun tempat tidur yang ia gunakan pastilah lebih empuk dan mewah dati.ranjang rumahnya, tak membuat Salwa bisa tidur nyenyak sampai pagi.
Mengenakan daster babydol selutut bergambar Doraemon, Salwa mengambil air wudhu. Melaksanakan dua rakaat saja untuk menghadap sang pencipta, mencurahkan isi hati dan kegugupannya. Berharap sebuah keberhasilan akan ia dapatkan setelah bersafari sampai sejauh ini. Tidak lupa doa untuk.orang tua tercinta yang kini sedang dalam masa perawatan di rumah.
Sekitar tiga puluh menit berlalu, menumpahkan segala beban kehidupan yang ditanggungnya di atas sajadah. Memulai pekerjaan baru dengan niat serta ridho Yang Maha Esa.
Waktu subuh masih lama, Salwa belum bisa memejamkan mata lagi. Dia teringat akan buku resep yang ditunjukkan oleh dua orang lelaki tadi sore. Ia memutuskan untuk belajar banyak hal agar di hati pertama bekerja, ia bisa meminimalisir kesalahan.
Salwa membuka pintu kamarnya. Penthouse itu terlihat sunyi dan sepi, juga gelap karena hanya bermodal cahaya bulan yang masuk melewati dinding kaca lebar tanpa ada sinar lampu yang memperjelas penglihatan. Tentu saja hal itu terjadi karena tuannya belum kembali malam ini. Ia mendadak merasa ngeri tinggal di tempat sebesar ini seorang diri.
Masih mengenakan pakaian yang sama, Salwa berjalan ke area dapur, mencari buku-buku yang ingin dipelajari. Waktu pagi memang sangat cocok untuk belajar. Salwa sering melakukannya ketika akan menghadapi ujian sekolah, dan tentunya nilainya selalu memuaskan karena apa yang ia pelajari setiap pagi langsung terserap di otaknya yang masih fresh.
Lampu dapur ia nyalakan. Kaki telanjangnya menapak lantai marmer yang terasa dingin di kulit, matanya mengedar ke arah rak dapur di bagian paling atas. Sialnya, buku-buku resep berada di rak paling ujung.
Salwa menarik barstool, memosisikan berada tepat di bawah buku-buku itu. Kakinya mulai menaiki barstool itu, sedikit berjinjit agar matanya bisa menangkap secara sempurna buku-buku yang terletak di sana.
Baru saja Salwa menyunggingkan senyum setelah mendapatkan buku itu, tetapi sebuah suara mengejutkannya.
"Apa yang kau lakukan!"
Salwa terhenyak, suara itu begitu berat dan tegas. Hingga ia tak menyadari melempar buku di tangannya, sementara kakinya mendadak tidak bisa menjaga keseimbangan tubuh. Barstool yang ia pijaki bergoyang, membuat Salwa kesulitan untuk menegakkan tubuh dan ....
"Kyaaaa ...!"
Hampir saja perempuan itu jatuh dengan kaki retak, jika tidak ada sebuah tangan yang menolongnya.
Dia meneguk ludah begitu tatapannya bersua dengan bola mata biru yang indah. Jantungnya berdetak tak seirama seiring pria berahang tegas, hidung mancung dengan jambang tipis tumbuh menutupi dagu itu sedang menatap dirinya. Sampai pikiran sadarnya bekerja keras untuk tak terbuai dengan sosok rupawan di depannya, ia menggeleng, menyadari posisinya saat ini yang sangat tidak sopan.
Pria itu tak mengenakan pakaian atas, sementara tubuhnya sendiri justru berada dalam gendongan pria itu.
"Astaghfirulloh." Salwa buru-buru turun, merasa kainnya terangkat dan memperlihatkan apa yang seharusnya tidak boleh diperlihatkan. Ia menunduk, menekuri lantai marmer itu dengan tatapan matanya. "Maaf, Tuan."
Lelaki itu melangkah mendekat, mengangkat dagu runcing yang masih menunduk ke bawah, mengamati wajah yang sepertinya tak asing baginya.
Wajah itu menengadah menatapnya, begitu tangannya menyentuh dagu itu. Mata bulat dengan bulu mata lentik membingkai di sana, hidung yang sedikit mancung, dan bibir .... Dia meneguk ludah ketika tatapannya terfokus di sana. Bibir mungil yang masih murni dengan warna biram alami, membuatnya tak bisa mengerjapkan mata hanya dengan menatapnya. Seolah-ada suatu keinginan untuk menikmatinya, membelainya, dan menyesapnya hingga habis tak bersisa.
"Tu-an!"
Suara perempuan itu menegurnya, membuat ia seketika membuyarkan fantasi di kepalanya. Dia berdehem sejenak, lalu berkata dengan suara yang tiba-tiba berubah parau.
"Siapa kau?"
"Saya ... Salwa pembantu baru di sini." Salwa berucap dengan gugup, wajahnya masih menengadah karena tangan lelaki itu memaksanya untuk tetap dalam posisi itu.Di saat tangan lelaki itu menurun, melepaskan dagu Salwa, perempuan itu segera mundur ke belakang. Namun, pergerakannya justru terhalang oleh pantry dapur membuatnya hanya bisa menundukkan kepala. Sejenak ia terpaku di tempat, wajahnya sudah memerah karena di depannya lelaki itu tidak mengenakan pakaian atas, hanya menyisakan celana panjangnya saja.Salwa semakin menunduk, tetapi sesuatu yang menempel di tangannya membuat perempuan itu terkejut dengan membelalakkan mata."Da-da-darah?"Napasnya tiba-tiba memburu melihat darah segar menempel di tangan."Iya, darah." Suara dingin yang terdengar santai itu membuat Salwa semakin tak percaya.Seketika Salwa menatap pria tersebut, tubuhnya yang tak berpenghalang menempel banyak darah di sana. Barulah ia menyadari siapa pria di depannya itu begitu ingatan tentang pria malang yang dipu
Sean Arthur berjalan melewati depan kubikel-kubikel para staf kantor yang sedang menunduk, menekuri berkas-berkas di atas meja kerja mereka. Tak berani menengadahkan kepala, semua begitu sibuk atau sepertinya pura-pura sibuk, mengerjakan apa saja agar tetap terlihat sibuk karena ada sang atasan tiba-tiba datang melewati area kerja mereka.Sebuah gebrakan di pintu itu terdengar memekakkan telinga, membuat semua orang yang berada dalam satu lantai itu terkejut, mendongakkan kepala, melihat hal apa yang terjadi. Sean dengan aura gelapnya menatap tajam ke arah seseorang yang sedang berada di dalam ruangan itu. "Maafkan saya, Tuan!" Seorang laki-laki terlihat mengiba, membungkuk kepada Sean dengan menyentuh kaki lelaki itu."Leon!" Sean memanggil asistennya. "Aku tidak ingin melihatnya!"Leon mengangguk, dia mengedikkan dagu ke arah belakang di mana pengawal Sean yang mengenakan stelan formal serba hitam berada. Mereka beranjak mendekat, menyeret pria menyedihkan itu menjauh dari majikann
Sean Arthur memilih pulang setelah gagal menyalurkan hasrat biologisnya. Ia masih bingung dengan dirinya sendiri. Bagaimana wajah seorang pembantu justru melintas di kepalanya ketika dia sedang berhubungan badan?Tidak mungkin dia tertarik dengan perempuan dari kasta rendah seperti Salwa. Apa kata dunia jika mengetahui seorang pengusaha yang merajai bisnis di banyak bidang justru tertarik kepada pembantu sendiri. Tidak, itu tidak boleh terjadi.Sean menggelengkan kepala, memastikan jika apa yang ia bayangkan baru saja adalah hal yang tak mungkin terjadi. Meskipun ia tak menampik jika sampai saat ini, perempuan itu sempat membuat perhatiannya teralihkan.Hampir pukul dua belas malam, Sean baru sampai di penthouse. Pandanganya menyapu sekeliling, semuanya masih sama, sepi seperti biasa.Sean memilih langsung masuk ke dalam kamarnya, untuk segera mengistirahatkan diri. Namun, rasa kantuk belum juga merengkuh dirinya lantaran hasrat belum bisa tertuntaskan. "Sial!" Ia mengacak rambutnya
Ketika pagi menjelang di hari Minggu, Salwa sudah selesai menata sarapan pagi di atas meja makan. Dari arah depan, ia bisa melihat Sean Arthur baru saja masuk dengan mengenakan pakaian olahraga. Sepertinya lelaki itu menyempatkan diri untuk melakukan lari pagi sebentar di area jogging park di mana penghuni apartemen melakukan aktivitas olahraga santai. Melirik sekilas ke arah Salwa, Sean mengabaikan perempuan itu yang tampak memperhatikannya seolah ingin menyampaikan sesuatu. Untuk saat ini, sebaiknya menghindari Salwa adalah jalan yang terbaik. Ia masih tidak bisa menerima kenyataan akan apa yang dilakukannya semalam, yaitu memilih menggendong perempuan itu daripada membangunkannya agar bisa kembali ke kamarnya. Seharusnya ia tidak perlu merendahkan diri dengan membawa tubuh Salwa yang berstatus sebagai pembantu dengan menggunakan kedua tangannya sendiri. Lantaran takut jika tidur perempuan itu terusik, Sean sangat berhati-hati ketika menggendongnya.Kejadian semalam masih tidak bi
Sorot mata Sean Arthur seolah-olah sedang menelanjangi Salwa. Perempuan itu kian beringsut melindungi diri, merasa ada yang tidak beres dengan sang majikan."Tu-an, apa yang Anda lakukan di kamar saya?" Salwa terlihat ketakutan begitu Sean menutup pintu kamarnya, kemudian mengunci dari dalam.Malam ini Salwa terlupa mengunci pintu kamar lagi sehingga membuat lelaki itu lebih leluasa masuk ke dalam. Karena terlampau lelah, ia langsung tidur tanpa mengecek pintu, apakah sudah terkunci atau belum.Sean Arthur melangkah mendekat. Lelaki bertubuh jangkung tak ubahnya seperti predator kelaparan yang hendak memangsa kelinci kecil tak berdaya. Perasaan Salwa semakin tidak enak di saat melihat lelaki itu mulai melepaskan kancing-kancing kemejanya."Tuan, apa ... yang Anda lakukan?" Tangan Salwa mencengkeram selimut yang membalut tubuhnya, seolah selimut itu mampu menamenginya dari bahaya yang mengintai seorang Sean Arthur.Lelaki itu tak menjawab. Ia melemparkan kemejanya ke lantai, lantas men
Salwa mundur satu langkah ke belakang, menggelengkan kepala menanggapi perkataan mesum Sean Arthur. Mengapa pria kaya dan dewasa justru menganggap rendah kaum rakyat jelata sepertinya?"Saya tidak mau."Dia menunduk lagi. Air mata yang sebelumnya sempat diseka, kini berderai kembali. Sesak, itulah yang ia rasakan saat ini. Kehormatan dan harga diri adalah hal terpenting baginya. Ia memang bukanlah seorang agamis yang suci dan tidak berlumur dosa, tetapi ia cukup paham jika memberikan tubuh kepada seseorang yang bukan mahramnya adalah hal yang salah, dosa besar. Bahkan, agama memberikan hukuman cambuk seratus kali bagi wanita dan pria single yang nekat melakukannya."Uang pun tidak ada. Kau bisa keluar sekarang. Aku tidak akan menahanmu lagi. Jika terjadi sesuatu terhadap ayahmu, maka ... kau yang akan disalahkan."Sean menyeringai tatkala melihat gurat ketakutan di wajah Salwa. Perempuan itu mendadak ragu setelah mendapatkan jawaban dingin dari Sean Arthur. Nyawa ayahnya benar-benar d
"Apa kau sebenarnya ingin mengikatku secara diam-diam?" Sorot mata lelaki itu mengisyaratkan tuntutan akan jawaban. Dia telah terbiasa menjadi seseorang yang dipuja. Banyak wanita terpedaya dengan fisik serta kekayaannya. Pasti wanita di depannya ini tak berbeda jauh dengan wanita kebanyakan. Dia pura-pura menolak, tetapi menginginkan hal lebih, yaitu menginginkan tangkapan yang lebih besar dari sekadar cinta satu malam."Tidak, Tuan. Saya tidak memikirkan hal itu. Saya hanya ingin membayar pengobatan operasi ayah saya. Tidak lebih. Tuan bisa menceraikan saya jika Tuan sudah tidak menginginkan saya." Salwa menunduk, merasakan sakit di relung hatinya, membayangkan bagaimana sebuah pernikahan didasari oleh keputusan satu orang saja, sementara dirinya harus pasrah bagaimana Sean Arthur memperlakukannya. "Saya berjanji tidak akan mengganggu kehidupan Tuan setelah perceraian itu."Setetes air mata telah meluncur dengan lancar membasahi pipi. Salwa merasa sudah tidak berhak atas hidupnya la
Angin malam itu berdesik, mengembuskan dedaunan di jalanan yang tampak sepi itu. Dingin malam terasa menusuk kulit, menggigilkan tubuh yang sudah keras kepala datang menentangnya. Di atas balkon kamar hotel nomor 101, Salwa menatap bangunan-bangunan di bawah sana yang berderet memanjang serta rapi. Jalanan yang sebelumnya ramai, sudah tak sepadat beberapa jam lalu, hanya terlihat beberapa kendaraan yang berlalu-lalang dengan pendaran lampu yang benderang menerangi.Tiupan angin menerpa wajah Salwa, mengibarkan helai demi helai rambut panjangnya yang menjuntai sebatas punggung. Malam ini adalah malam pertama di mana ia berstatus menjadi seorang istri. Istri rahasia orang berpengaruh dan entah apa lagi yang Salwa ketahui tentang suaminya itu. Salwa buta akan jati diri seorang Sean Arthur. Yang perempuan itu ketahui, Sean Arthur adalah manusia jahat dan tidak berperikemanusiaan. Dia terpaksa harus menjalani pernikahan yang tidak jelas bagaimana masa depannya. Ia hanya bisa pasrah menjala
Alan kembali tertawa. Tawa renyah tanpa takut Sean akan menghajarnya setelah itu."Tentu saja tidak. Kau sangat menggemaskan, Tuan Arthur.""Kau!"Sean beranjak berdiri, ingin mencekik Alan yang kembali mentertawainya. Namun, Alan segera menghindar, ikut berdiri dengan menghadapkan ke depan kedua telapak tangannya yang terbuka lebar."Ayolah, Sean. Aku hanya bercanda.""Bercandamu tidak lucu. Pulang saja ke negaramu!" ucap Sean menahan kesal kepada sahabatnya itu.***Malam ini adalah minggu ke dua setelah tragedi mualnya Salwa yang anti didekati oleh Sean. Sean terpaksa menahan diri agar tidak menyentuh Salwa, padahal dia termasuk lelaki yang tidak sanggup menahan kebutuhan hasrat biologisnya dalam waktu lama.Dia terpaksa tidur di ruang kerja yang berada tepat di samping kamar tidur utama. Dia berusaha memejamkan mata, mengatasi rasa menggigil ingin dihangatkan oleh tubuh wanita yang dicintainya.Suara derit pintu terdengar lirih, dengan langkah kaki yang menapak lantai marmer di ru
Jelas perhatian semua tamu undangan kini beralih pada sosok tegap yang wajahnya terlihat meradang. Lelaki tinggi dengan berbalut tuxedo mahal berjalan di atas karpet merah menuju panggung di mana Salwa dan Angela berdiri di sana.Langkah kakinya terdengar tegas begitu berada di atas panggung. Tangannya mengambil paksa microphone di tangan Angela, lalu mengeluarkan sapu tangan dari saku celana untuk digunakan mengelap kepala serta gagang microphone tersebut. Hal itu sengaja ia pertontonkan di hadapan Angela, menunjukkkan bahwa perempuan itu lebih menjijikkan dari dugaannya.Sementara sebelah tangan Sean memeluk pinggang Salwa, menarik perempuan itu agar lebih mendekat ke arahnya. Tatapannya tertuju pada semua tamu undangan yang sebelumnya tampak riuh karena ulah Angela, kini tiba-tiba hening dan senyap."Dia memang pernah menjadi pelayanku. Dia juga pernah mengandung anakku." Air mata Salwa seketika menetes mendengar perkataan Sean. Ada apa ini? Apakah ia datang ke sini hanya untuk dip
Tidak ada kata terlambat untuk menciptakan kehidupan yang diinginkan. Semua akan berjalan sesuai dengan apa yang sedang kita perjuangkan.Pria bermata biru mengusap kepala sang istri yang baru saja tersadar setelah pemeriksaan dokter dilewati beberapa menit yang lalu. Bibirnya menyunggingkan senyum ketika memandang bulu mata lentik mengerjap ringan. Mata bulat itu memandang dengan sayu, buliran air pun menggenang di pelupuk mata, lantas menetes dengan aliran ringan membasahi pipi."Syukurlah kau sudah sadar." Sean menyeka air mata di pipi Salwa dengan ibu jari kanannya secara bergantian. Pria itu tak menanyakan hal yang sesungguhnya ingin sekali ia tanyai, terkait apa saja yang sudah Salwa lakukan dengan Ramunsen di kamar mereka."Mas, ...." Suara Salwa terdengar serak, mungkin karena terlalu banyak menangis. Menyadari hal itu, Sean mengambilkan minum untuknya, membantu Salwa duduk dari pembaringan.Sedikit demi sedikit air di dalam gelas itu berpindah ke mulut Salwa, membasahi tenggo
Mobil sport yang memiliki kecepatan lintasan di atas rata-rata digunakan Sean untuk mengejar Edward dan Salwa. Zoe bertugas mengendarai, sementara Sean duduk di sampingnya sembari berpikir dan mendengar segala laporan anak buahnya yang telah memata-matai Ramunsen dari atas ketinggian.Mobil mewah berwarna metalic itu menerobos apa saja yang ada di depan mata, memacu secepat yang ia bisa di tengah keramaian. Kepiawaian Zoe dalam mengendarai mobil tersebut sudah tidak diragukan lagi. Lelaki itu mengernyit ketika titik koordinat yang akan mereka lewati menuju daerah dataran tinggi."Tuan, mobil mereka ...."Sean hanya diam, meski Zoe tidak melanjutkan kalimatnya. Lelaki itu terlihat berpikir serius, tentang apa yang dilakukan Ramunsen di tempat seperti itu. Benar-benar tidak masuk akal.Sekelebat bayangan seorang wanita hamil dari kejauhan tampak tertatih-tatih dalam menahan kesakitan dan di sebelahnya dirangkul oleh seorang laki-laki yang kemungkinan besar adalah suaminya, menjadi perh
Salwa bernapas lega melihat siapa yang datang. Air mata yang sejak tadi mengalir terus saja berlinang tiada henti. Dia terisak, tetapi tetap membungkam mulutnya.Pria itu adalah Sean Arthur bersama Zoe sang asisten yang berdiri di belakangnya. Rasa lega bukan hanya karena Salwa merasa aman sebab ada yang menyelamatkannya, tetapi juga melihat sang suami masih hidup dan dalam keadaan sehat. Padahal sebelumnya ia sudah sangat putus asa karena informasi akan keadaan Sean yang sedang bertaruh nyawa dengan bahan peledak, tetapi ternyata Tuhan memberinya secercah harapan."Jangan bergerak! Tetap di tempat." Ramunsen membuang gelas tersebut hingga pecah dan membasahi karpet bulu yang membentang di hampir seluruh permukaan lantai. Tangannya merogoh sesuatu di balik saku celana, lalu menunjukkan benda itu kepada semua orang. Sebuah suntikan berukuran mikro kini berada dalam genggaman lelaki itu."Ini adalah zat afrodisiak. Aku sudah memasukkan afrodisiak ini dalam konsentrasi tinggi. Bayangkan,
Lima jam berlalu setelah melakukan penerbangan kembali ke Indonesia. Baru saja Sean menyalakan mode data smarphone, sebuah email masuk dari Zoe sang asisten mengharuskan Sean menatap layar digital tipis miliknya untuk memeriksa. Di sana, Zoe mengirimkan file attachment di mana berisi foto-foto dan potongan berita khusus yang membuat Sean tercengang. Segera ia hubungi lelaki itu untuk mengetahui kejelasan lebih dalam dari email yang baru saja dikirimkan kepadanya."Tuan Arthur," ucap Zoe begitu menghormati Sean sesaat lelaki itu menjawab panggilan."Katakan, apa maksud semua ini? Mayat siapa itu?" Sean tak kuasa menahan diri. Semua yang terpampang di depan mata seperti sebuah teka-teki.Namun, Zoe di seberang sana terdengar menghela napas panjang sebelum pada akhirnya menjawab, "Polisi telah menemukan jenazah hancur kepalanya sekitar tiga bulan yang lalu. Jika dilihat dari kondisi jenazah itu, kemungkinan besar dia adalah korban pembunuhan sadis dan kejam. Dia ditemukan di sebuah alir
Hingga beberapa waktu mereka menunggu, tiada sesuatu yang terjadi. Semua pasang mata terbuka hampir bersamaan. Ketakutan dan kepasrahan kini berubah menjadi rasa penasaran. Dilihatnya bom itu telah berhenti di angka 00.01 yang artinya, terlambat hanya dalam satu detik saja, mereka semua akan lenyap dari muka bumi.Terdengar helaan napas dari bibir semua orang. Rasa lega belum sepenuhnya terobati, Fang Yi melihat sinar merah di kepala Abust. Dia menyeret lelaki itu, tetapi dirinya justru terjatuh dengan tubuh Abust menimpa dirinya."Cih, minggir! Kau bau." Abust segera berguling ketika kedua tangan Fang Yi menolaknya. Sementara sinar itu tetap mengarah kepadanya."Kau sendiri yang menyeretku. Kalau suka bilang saja."Fang Yi melihat sosok dari balik pagar sedang bersiap menarik pelatuk, dia segera menarik kembali tubuh Abust, membiarkan pria itu menimpanya sekali lagi dan ....Suara lesatan peluru itu terdengar, menerbangkan debu-debu yang ada di puncak gedung rumah sakit itu. Semua or
Fang Yi menuruni anak tangga darurat sembari mengatur frekuensi di earpiece yang tersemat di telinganya. Ia lebih yakin untuk membuntuti empat pria bertubuh kekar dengan orang tua berwajah mencurigakan daripada langsung menuju ruang bawah tanah. Instingnya bekerja cepat, merasa ada hal tidak beres dengan sekelompok mereka tadi. Meskipun Abust tidak memercayai perkataannya, tetapi ia sangat yakin dengan keyakinannya.Dia kehilangan jejak mereka, tetapi terus saja melangkah karena merasa mendengar suara sayup-sayup di lorong tangga darurat. Suara itu menggema, mungkin karena tiada benda-benda yang memantulkan suara dengan sembarang arah, sehingga lebih terdengar jelas di indra pendengaran.Langkah kaki Fang Yi menapak hati-hati, mengurangi suara pantulan sepatu agar tidak membuat kecurigaan seseorang yang mungkin sedang bersembunyi tanpa sepengetahuannya.Tepat ketika kaki Fang Yi melangkah melewati kelokan, menuruni anak tangga berikutnya, sebuah tangan mendekap kepalanya.Dia berontak
Abust menoleh ke arah sumber suara, melihat sosok berpakaian putih dengan badan tegap membawa troli dengan kain-kain putih ternoda. Tampaknya lelaki itu adalah petugas rumah sakit.Merasa tidak ada waktu berbasa-basi, Abust segera menodongkan senjata ke dahi lelaki itu. Mata pria berpakaian putih membukat, tak menyangka akan mendapatkan serangan mendadak seperti itu. Kedua tangan ia angkat ke atas dengan telapak tangan membuka lebar."Jongkok!" perintah Abust.Pria itu mengangguk hati-hati, menurut dengan merendahkan diri sembari melipat kaki."Katakan! Di mana ruang rahasia itu?"Lelaki itu menggeleng. "Ruang rahasia apa? Aku hanya petugas pembersih.""Sudah berapa lama kau bekerja?""Empat tahun. Tolong, aku tidak tahu apa-apa. Biarkan aku bekerja dengan tenang."Abust tak menuruti. Dia masih meletakkan ujung senjata di dahi pria itu. Empat tahun lamanya menjadi petugas di ruangan itu, mana mungkin tidak menyadari sesuatu."Jika kau masih mencintai pekerjaanmu, kau harus menunjukkan