Beranda / Romansa / Wanita Pilihan Mafia / Bab 06. Ujian Pertama

Share

Bab 06. Ujian Pertama

Penulis: Aleena
last update Terakhir Diperbarui: 2023-03-31 13:23:12

"Saya ... Salwa pembantu baru di sini." Salwa berucap dengan gugup, wajahnya masih menengadah karena tangan lelaki itu memaksanya untuk tetap dalam posisi itu.

Di saat tangan lelaki itu menurun, melepaskan dagu Salwa, perempuan itu segera mundur ke belakang. Namun, pergerakannya justru terhalang oleh pantry dapur membuatnya hanya bisa menundukkan kepala. Sejenak ia terpaku di tempat, wajahnya sudah memerah karena di depannya lelaki itu tidak mengenakan pakaian atas, hanya menyisakan celana panjangnya saja.

Salwa semakin menunduk, tetapi sesuatu yang menempel di tangannya membuat perempuan itu terkejut dengan membelalakkan mata.

"Da-da-darah?"

Napasnya tiba-tiba memburu melihat darah segar menempel di tangan.

"Iya, darah." Suara dingin yang terdengar santai itu membuat Salwa semakin tak percaya.

Seketika Salwa menatap pria tersebut, tubuhnya yang tak berpenghalang menempel banyak darah di sana. Barulah ia menyadari siapa pria di depannya itu begitu ingatan tentang pria malang yang dipukuli di belakang bangunan gedung waktu itu terlintas kembali dalam ingatannya. Ya, tidak salah lagi, dia adalah pria yang sama. Pria yang tidak memiliki belas kasihan, memukuli seseorang meskipun lawannya sudah tak berdaya dan kepayahan.

Napasnya kian sesak membayangkan bagaimana nasibnya saat ini. Bekerja dengan seseorang yang senang menyiksa orang tanpa ampun. Apakah majikannya ini adalah seorang pembunuh bayaran? Ataukah psikopat gila yang haus darah? Sejenak ia terdiam, lantas ia menggeleng guna mengusir rasa takut yang membelenggu pikirannya. "Darah hewan, 'kan?"

"Menurutmu?" Tanpa menghiraukan rasa ketakutan Salwa, lelaki itu melangkah menuju wastafel, mencuci tangannya dengan air mengalir.

Air yang tadinya jernih berubah merah gelap dengan menguar ambu anyir, membuat Salwa bergidik ngeri. Begitu berbahayanya kah majikannya itu?

Salwa menepi, tak ingin menghalangi tuannya setelah selesai mencuci tangan bekas darah. Kepalanya menunduk, berharap pria itu memgabaikan dirinya. 

Tepat ketika lelaki itu melangkah lewat di depan Salwa, dia berkata, "Bersihkan wajahmu. Pipi dan dagumu penuh darah." 

"Apa, darah?" Salwa segera meraba wajahnya dan ia memang mendapati noda di tangan setelah mengusapnya. Ia menelan ludah, tubuhnya gemetar. Apakah itu darah manusia? Apakah tuannya itu baru saja membunuh orang? 

'Tidak perlu mencari tahu, Salwa. Bukan urusanmu.' 

Kata-kata itu selalu saja Salwa ucapkan agar ia tak memedulikan yang ada di sekitarnya karena tujuannya kali ini adalah mencari uang untuk keluarganya.

"Tu-an?" Salwa menghentikan langkah lelaki itu yang hendak meninggalkan dapur. Tanpa menoleh dan menjawab panggilan Salwa, lelaki itu bergeming di tempat. "Apakah Anda yang bernama ... Tuan Sean Arthur, majikan saya? Saya ... hanya ingin memastikan."

Menatap lurus ke depan, tak berniat menoleh ke arah Salwa, lelaki itu berkata, "Hemm." Ia pergi begitu saja, menjawab dengan jawaban yang tidak memuaskan keingintahuan Salwa.

***

Ketika hari menjelang pagi, setelah Salwa menyelesaikan dua rakaatnya, perempuan itu bergegas melanjutkan pekerjaannya, membuat menu makan pagi sembari membersihkan penthouse mewah milik Sean Arthur.

Seragam kerja yang ia kenakan cukup sopan. Celana panjang bahan, kemeja lengan panjang dengan apron kecil berenda yang diikat di bagian pinggang, tidak lupa penutup kepala sejenis kain yang diikat rapi menyerupai bando. 

Tidak ada kesulitan yang berarti yang dialami Salwa selama menjalankan tugas. Ia cukup piawai dan cekatan dalam mengoperasikan peralatan kebersihan. Meskipun peralatan tersebut baru pertama kali ini ia temui, tetapi panduan di sana cukup lengkap ditulis dalam bahasa inggris.

Ia mulai membersihkan bagian-bagian umum, seperti ruang tamu yang memang didesain tanpa sekat, lalu berpindah ke ruang tungah hingga ke dapur. Sampai ketika semua telah selesai dibersihkan, Salwa hendak melanjutkan masaknya. 

Di saat Salwa melangkah melewati kamar sang majikan, dirinya dikejutkan dengan suara lelaki itu yang masih berada di dalam kamar.

"Hei, kamu! Masuk!"

Deg.

Salwa terhenyak, terkejut dengan panggilan yang tiba-tiba itu. Bayangan tubuh sang majikan yang berlumuran darah semalam masih jelas terpatri dalam ingatannya. Ia menghela napas panjang, lalu berbalik arah. Dengan pandangan menunduk ke bawah, Salwa berjalan menuju kamar lelaki itu.

Ia memutar kenop pintu dengan perlahan, begitu hati-hati dan nyaris tak terdengar. Begitu pintu itu terbuka, ia disuguhkan dengan ruangan gelap dengan sedikit pencahayaan. Hanya secercah sinar mentari masuk di balik panel kaca yang tirainya tak tertutup sempurna. Sampai pandangannya tertuju pada siluet seorang pria yang tampak terbaring di atas ranjang dan tidak mengenakan pakaian lengkap, ia menghentikan langkah.

Salwa semakin menunduk, matanya hampir ternodai melihat tubuh atletis dengan hanya mengenakan celana boxer saja.

"Kemari!"

Salwa maju beberapa langkah, tatapannya masih mengarah ke bawah di mana lantai marmer telah tertutup oleh karpet bulu yang terasa lembut di telapak kaki.

"Ada ... yang bisa saya bantu, Tuan?" Dia bertanya dengan kikuk, sungguh situasi seperti ini tak pernah ada dalam bayangannya.

"Bersihkan kamarku! Aku mau makan di sini." Singkat dan padat, tetapi harus segera dikerjakan tanpa banyak bertanya.

"Iya, Tuan."

Lelaki itu beranjak dari pembaringan, lantas berdiri tegak. Tanpa tahu malu, ia berjalan melewati Salwa yang masih menunduk, menjauhkan pandangan yang bisa menyesakkan dada seorang gadis belia.

Begitu pintu kamar mandi ditutup, Salwa segera membuka semua tirai yang membuat cahaya matahari terhalang menerangi ruangan besar itu. Hingga kamar yang semula gelap gulita, kini berubah menjadi terang benderang. Ia membuka jendela lebar-lebar, membiarkan udara pagi menggantikan pengapnya udara yang ada di dalam kamar. Sebelum membersihkan ruangan tersebut, Salwa lebih memilih menyiapkan makanan dan segera membawanya kembali ke ruangan itu.

Hanya butuh sepuluh menit saja, Salwa sudah kembali dengan membawa baki berisi: kentang tumbuk dipadukan keju kualitas tinggi yang diolah dengan metode tertentu, tentunya akan memberikan sensasi gurih dan lumer di mulut. Tak lupa juga beef steak yang dibuat dengan daging tanderloin berkualitas tinggi sehingga membuat daging hasil olahannya akan lembut dan tidak menyakiti lidah serta tenggorokan si penikmatnya. Sajian itu ditata sedemikian rupa sesuai standart yang ada di buku resep tak kurang suatu apa pun. Standart makanan mewah yang dijadikan menu hidangan itu tak jarang menjadi penilaian sang majikan atas hasil pekerjaan pembantu barunya.

Salwa melangkah perlahan dan hati-hati agar masakan yang telah susah payah ia buat bisa mendarat sempurna di meja yang ada di sudut ruangan. Namun, tepat di saat Salwa hampir sampai di meja itu, sang majikan baru saja keluar dari kamar mandi mengalihkan perhatiannya.

Tangannya gemetar begitu melihat sosok di depannya hanya mengenakan handuk yang dililit di pinggang, mengibas-ibaskan rambut yang basah dengan beberapa bulir air menetes di ujungnya. Ia segera menunduk, mengucap istigfar berkali-kali, lantas melanjutkan melangkah ke arah meja yang sejak tadi menjadi tujuannya.

"Berapa umurmu?"

"Eh, apa?" Salwa gugup, hingga tak mendengar perkataan lelaki itu.

"Aku tidak mengulang pertanyaan yang sama."

"Maaf, Tuan." Salwa merasa tidak enak. "Saya akan membersihkan kamar ini setelah Tuan menyelesaikan sarapan."

"Siapa yang menyuruhmu pergi?"

Salwa yang hampir keluar dari ruangan itu, berdiri kaku mendengar majikannya menegur. Ia berbalik, terpaksa menatap tampilan pria maskulin dengan tubuh atletis sempurna tersebut.

Tubuh itu tidak hanya berotot, tetapi banyak gambar yang terlukis di sana. Jika diperhatikan memang tampak indah, tetapi Salwa tentu tahu jika mengagumi hal tersebut adalah salah. Ia kembali menekuri lantai daripada menatap seseorang yang sedang berbicara dengannya.

"Tunggu aku selesai makan! Pelayan baru biasanya selalu salah memasukkan bahan dan meracik makanan dengan baik. Aku pastikan kau juga akan mendapatkan penilaian yang sama."

Lelaki itu melepaskan handuk tersebut tanpa peduli ada Salwa di sana. Sungguh rasa malunya benar-benar hilang. Salwa yang merupakan gadis polos hanya bisa menundukkan kepala tanpa berani mengintip sedikit pun. Dosa, benar-benar membuat matanya berdosa karena selalu disuguhkan dengan hal-hal yang tidak benar.

Setelah berganti pakaian, pria itu melangkah ke arah meja di mana makanannya sudah tersaji dengan sempurna. Ia memberi nilai plus melihat tampilan penyajian yang pembantu barunya itu lakukan. Akan tetapi, hal penting yang harus ia nilai selanjutnya adalah cita rasa dari masakan itu. Ya, lidahnya cukup sensitif akan takaran bumbu yang tidak pas atau tekstur yang tidak sesuai dengan standart rumah makan kelas tinggi.

Garpu ia tusukkan ke daging tebal itu, mengirisnya dengan pisau secara elegan. Salwa bahkan baru melihat tata cara makan dengan begitu indah seperti yang baru saja dilakukan oleh majikannya itu. Tidak ada kunyahan yang terlalu cepat ataupun terlalu pelan, semua dilakukan secara pas.

Begitu daging itu masuk ke dalam mulut, lelaki itu merasakan bumbu-bumbu yang terasa asing di lidahnya. Ia masih mengunyahnya, mencoba menikmati sarapan perdana dari pelayan baru.

Degub jantung Salwa berpacu seiring mulut itu melakukan gerakan mengunyah. Ini adalah penilaian pertamanya, dan tentu akan mempengaruhi statusnya sebagai pelayan di sini, antara di pecat atau diterima.

"Apa yang kau masukkan di sini?" Lelaki itu mendorong piringnya menjauh. "Rasanya tidak sama dengan biasanya," imbuhnya.

Salwa membulatkan mata. Pekerjaannya terancam kali ini. Dia sudah sangat berhati-hati ketika memasak tadi, tetapi apa yang telah dia lakukan tampaknya sia-sia belaka. Majikannya itu tak menyukainya.

"Saya tidak memasukkan apa-apa, Tuan, selain bumbu yang tertera di buku resep itu. Sungguh!" Matanya tampak berkaca-kaca. Dia tidak ingin sia-sia perjalanan jauhnya sampai ke sini. Kerja kerasnya, orang tuanya, serta adik-adiknya yang kini menunggu kiriman uang darinya. 

"Bohong! Rasanya tidak seperti ini! Kau bisa bekerja dengan benar, tidak?"

Salwa mencoba merendahkan diri, memohon dengan membungkuk menyentuh kaki. "Jangan pecat saya, Tuan! Apakah rasanya tidak enak? Saya akan membuatkannya lagi. Tolong jangan pecat saya! Saya sangat membutuhkan uang."

Dengan keberanian yang ada, Salwa mengambil garpu di atas piring itu, menusuk potongan kecil yang belum dimakan tuannya untuk kemudian dimasukkan ke dalam mulutnya. Daging itu terasa empuk dan lembut. Sangat berbeda dengan daging yang pernah ia makan.

Enak, tentu saja enak. Menurut Salwa itu adalah daging terlezat yang pernah masuk ke lambungnya. Gerakan bibirnya saat mengunyah tak luput dari perhatian lelaki itu. Bibir yang di atasnya ditumbuhi rambut-rambut halus begitu tipis membuatnya tidak fokus dengan tujuan semula untuk memarahi perempuan itu.

"Kau berani mengambil makananku!" 

"Saya hanya mencoba, Tuan. Maafkan saya!" Salwa kembali mengiba.

"Aku tidak mau makan bekas orang lain. Buang saja!"

Mata bulat itu sudah mulai menitikkan air mata. Ia berusaha menatap sang majikan, memohon belas kasihan. Ia tidak ingin dipecat, harapannya tinggi untuk mendapatkan banyak uang dari pekerjaannya itu.

Lelaki itu melangkah, mengabaikan Salwa yang masih duduk bersimpuh di bawah kakinya. Ia keluar dari kamar dengan membanting pintu, tetapi tatapan mata bulat itu membuatnya menghentikan langkah.

Tidak ada yang salah dengan masakan Salwa. Hanya ia merasa rasanya berbeda dari biasanya. Peraturan yang ia tulis adalah masakan harus memiliki cita rasa yang sama dan pas agar pelayan bisa lolos untuk menjadi pelayan sesungguhnya di tahap satu minggu pertama. Dan apa yang ia rasakan tadi berbeda, bukan tidak enak, tetapi sedikit asing namun lezat. Ya, lidahnya tidak bisa berbohong jika masakan Salwa tadi sangat cocok di lidahnya. Hingga ia menghela napas kasar, lantas berbalik membuka pintu kamarnya.

"Kemas makanan itu ke dalam kotak makan! Aku ... akan membawanya ke kantor."

Salwa yang semula menunduk sedih, segera menyeka air matanya, lalu mengangguk senang. "Baik, Tuan."

"Jangan senang dulu! Aku belum meluluskanmu untuk tahap pertama. Ini hanya hari keberuntunganmu karena aku sedang berbaik hati. Lain kali aku pastikan kau tidak akan mendapatkannya."

"Iya, Tuan. Terima kasih."

Salwa beranjak dari duduknya, mengemasi makanan itu, lalu bergegas keluar dari kamar sang majikan. Harapannya masih ada. Ia akan berjuang keras untuk mempertahankan pekerjaannya itu.

Senyum ceria Salwa sedikit menular di wajah kaku lelaki itu. Garis bibirnya sedikit terangkat, meskipun tipis dan nyaris tak terluhat, tetapi ia sadar bahwa bibirnya sempat tersenyum hanya karena melihat tingkah pelayan barunya itu.

Bab terkait

  • Wanita Pilihan Mafia   Bab 07. Bayangan Mengganggu

    Sean Arthur berjalan melewati depan kubikel-kubikel para staf kantor yang sedang menunduk, menekuri berkas-berkas di atas meja kerja mereka. Tak berani menengadahkan kepala, semua begitu sibuk atau sepertinya pura-pura sibuk, mengerjakan apa saja agar tetap terlihat sibuk karena ada sang atasan tiba-tiba datang melewati area kerja mereka.Sebuah gebrakan di pintu itu terdengar memekakkan telinga, membuat semua orang yang berada dalam satu lantai itu terkejut, mendongakkan kepala, melihat hal apa yang terjadi. Sean dengan aura gelapnya menatap tajam ke arah seseorang yang sedang berada di dalam ruangan itu. "Maafkan saya, Tuan!" Seorang laki-laki terlihat mengiba, membungkuk kepada Sean dengan menyentuh kaki lelaki itu."Leon!" Sean memanggil asistennya. "Aku tidak ingin melihatnya!"Leon mengangguk, dia mengedikkan dagu ke arah belakang di mana pengawal Sean yang mengenakan stelan formal serba hitam berada. Mereka beranjak mendekat, menyeret pria menyedihkan itu menjauh dari majikann

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-31
  • Wanita Pilihan Mafia   Bab 08. Feromon Memabukkan

    Sean Arthur memilih pulang setelah gagal menyalurkan hasrat biologisnya. Ia masih bingung dengan dirinya sendiri. Bagaimana wajah seorang pembantu justru melintas di kepalanya ketika dia sedang berhubungan badan?Tidak mungkin dia tertarik dengan perempuan dari kasta rendah seperti Salwa. Apa kata dunia jika mengetahui seorang pengusaha yang merajai bisnis di banyak bidang justru tertarik kepada pembantu sendiri. Tidak, itu tidak boleh terjadi.Sean menggelengkan kepala, memastikan jika apa yang ia bayangkan baru saja adalah hal yang tak mungkin terjadi. Meskipun ia tak menampik jika sampai saat ini, perempuan itu sempat membuat perhatiannya teralihkan.Hampir pukul dua belas malam, Sean baru sampai di penthouse. Pandanganya menyapu sekeliling, semuanya masih sama, sepi seperti biasa.Sean memilih langsung masuk ke dalam kamarnya, untuk segera mengistirahatkan diri. Namun, rasa kantuk belum juga merengkuh dirinya lantaran hasrat belum bisa tertuntaskan. "Sial!" Ia mengacak rambutnya

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-31
  • Wanita Pilihan Mafia   Bab 09. Tergoda

    Ketika pagi menjelang di hari Minggu, Salwa sudah selesai menata sarapan pagi di atas meja makan. Dari arah depan, ia bisa melihat Sean Arthur baru saja masuk dengan mengenakan pakaian olahraga. Sepertinya lelaki itu menyempatkan diri untuk melakukan lari pagi sebentar di area jogging park di mana penghuni apartemen melakukan aktivitas olahraga santai. Melirik sekilas ke arah Salwa, Sean mengabaikan perempuan itu yang tampak memperhatikannya seolah ingin menyampaikan sesuatu. Untuk saat ini, sebaiknya menghindari Salwa adalah jalan yang terbaik. Ia masih tidak bisa menerima kenyataan akan apa yang dilakukannya semalam, yaitu memilih menggendong perempuan itu daripada membangunkannya agar bisa kembali ke kamarnya. Seharusnya ia tidak perlu merendahkan diri dengan membawa tubuh Salwa yang berstatus sebagai pembantu dengan menggunakan kedua tangannya sendiri. Lantaran takut jika tidur perempuan itu terusik, Sean sangat berhati-hati ketika menggendongnya.Kejadian semalam masih tidak bi

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-31
  • Wanita Pilihan Mafia   Bab 10. Membayar dengan Tubuhmu

    Sorot mata Sean Arthur seolah-olah sedang menelanjangi Salwa. Perempuan itu kian beringsut melindungi diri, merasa ada yang tidak beres dengan sang majikan."Tu-an, apa yang Anda lakukan di kamar saya?" Salwa terlihat ketakutan begitu Sean menutup pintu kamarnya, kemudian mengunci dari dalam.Malam ini Salwa terlupa mengunci pintu kamar lagi sehingga membuat lelaki itu lebih leluasa masuk ke dalam. Karena terlampau lelah, ia langsung tidur tanpa mengecek pintu, apakah sudah terkunci atau belum.Sean Arthur melangkah mendekat. Lelaki bertubuh jangkung tak ubahnya seperti predator kelaparan yang hendak memangsa kelinci kecil tak berdaya. Perasaan Salwa semakin tidak enak di saat melihat lelaki itu mulai melepaskan kancing-kancing kemejanya."Tuan, apa ... yang Anda lakukan?" Tangan Salwa mencengkeram selimut yang membalut tubuhnya, seolah selimut itu mampu menamenginya dari bahaya yang mengintai seorang Sean Arthur.Lelaki itu tak menjawab. Ia melemparkan kemejanya ke lantai, lantas men

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-12
  • Wanita Pilihan Mafia   Bab 11. Nikahi Saya secara Agama

    Salwa mundur satu langkah ke belakang, menggelengkan kepala menanggapi perkataan mesum Sean Arthur. Mengapa pria kaya dan dewasa justru menganggap rendah kaum rakyat jelata sepertinya?"Saya tidak mau."Dia menunduk lagi. Air mata yang sebelumnya sempat diseka, kini berderai kembali. Sesak, itulah yang ia rasakan saat ini. Kehormatan dan harga diri adalah hal terpenting baginya. Ia memang bukanlah seorang agamis yang suci dan tidak berlumur dosa, tetapi ia cukup paham jika memberikan tubuh kepada seseorang yang bukan mahramnya adalah hal yang salah, dosa besar. Bahkan, agama memberikan hukuman cambuk seratus kali bagi wanita dan pria single yang nekat melakukannya."Uang pun tidak ada. Kau bisa keluar sekarang. Aku tidak akan menahanmu lagi. Jika terjadi sesuatu terhadap ayahmu, maka ... kau yang akan disalahkan."Sean menyeringai tatkala melihat gurat ketakutan di wajah Salwa. Perempuan itu mendadak ragu setelah mendapatkan jawaban dingin dari Sean Arthur. Nyawa ayahnya benar-benar d

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-12
  • Wanita Pilihan Mafia   Bab 12. Pernikahan Rakyat Jelata

    "Apa kau sebenarnya ingin mengikatku secara diam-diam?" Sorot mata lelaki itu mengisyaratkan tuntutan akan jawaban. Dia telah terbiasa menjadi seseorang yang dipuja. Banyak wanita terpedaya dengan fisik serta kekayaannya. Pasti wanita di depannya ini tak berbeda jauh dengan wanita kebanyakan. Dia pura-pura menolak, tetapi menginginkan hal lebih, yaitu menginginkan tangkapan yang lebih besar dari sekadar cinta satu malam."Tidak, Tuan. Saya tidak memikirkan hal itu. Saya hanya ingin membayar pengobatan operasi ayah saya. Tidak lebih. Tuan bisa menceraikan saya jika Tuan sudah tidak menginginkan saya." Salwa menunduk, merasakan sakit di relung hatinya, membayangkan bagaimana sebuah pernikahan didasari oleh keputusan satu orang saja, sementara dirinya harus pasrah bagaimana Sean Arthur memperlakukannya. "Saya berjanji tidak akan mengganggu kehidupan Tuan setelah perceraian itu."Setetes air mata telah meluncur dengan lancar membasahi pipi. Salwa merasa sudah tidak berhak atas hidupnya la

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-12
  • Wanita Pilihan Mafia   Bab 13. You're Mine

    Angin malam itu berdesik, mengembuskan dedaunan di jalanan yang tampak sepi itu. Dingin malam terasa menusuk kulit, menggigilkan tubuh yang sudah keras kepala datang menentangnya. Di atas balkon kamar hotel nomor 101, Salwa menatap bangunan-bangunan di bawah sana yang berderet memanjang serta rapi. Jalanan yang sebelumnya ramai, sudah tak sepadat beberapa jam lalu, hanya terlihat beberapa kendaraan yang berlalu-lalang dengan pendaran lampu yang benderang menerangi.Tiupan angin menerpa wajah Salwa, mengibarkan helai demi helai rambut panjangnya yang menjuntai sebatas punggung. Malam ini adalah malam pertama di mana ia berstatus menjadi seorang istri. Istri rahasia orang berpengaruh dan entah apa lagi yang Salwa ketahui tentang suaminya itu. Salwa buta akan jati diri seorang Sean Arthur. Yang perempuan itu ketahui, Sean Arthur adalah manusia jahat dan tidak berperikemanusiaan. Dia terpaksa harus menjalani pernikahan yang tidak jelas bagaimana masa depannya. Ia hanya bisa pasrah menjala

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-13
  • Wanita Pilihan Mafia   Bab 14. Kau Bisa Merayunya

    Entah sudah berapa kali lelaki itu melakukan malam panasnya bersama Salwa. Seolah tidak ada kata puas dan lelah, Sean tak mengizinkan Salwa beristirahat sedikit pun. Perempuan itu terlalu letih, hingga akhirnya tepat ketika waktu menunjukkan pukul tiga pagi, dia sudah tidak tahan lagi. "Salwa, Salwa." Sean mengguncang bahu perempuan itu, berniat membangunkan Salwa yang telah tertidur karena terlalu lelah. "Ehhmm." Salwa hanya menjawab dengan gumaman, matanya sangat sulit terbuka karena lelaki itu menyiksanya semalam suntuk. "Bangun! Hei, ayo bangun!" Kembali guncangan dilakukan oleh Sean Arhur, tetapi Salwa mengempaskan tangan yang menyentuh bahunya yang tak berpenghalang itu. Sean mengeram. Berani sekali perempuan itu mengibaskan tangannya? Dengan gemas, lelaki itu menggigit kecil bahu Salwa. "Aaarhggh!" Salwa sangat kesal. Dengan mata terkatup dia membentak Sean Arthur. "Tuan, tolong biarkan saya tidur!" Salwa mendorong kepala Sean yang sedang menunduk di bahunya. "Saya sangat

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-13

Bab terbaru

  • Wanita Pilihan Mafia   Bab 128. Tamat

    Alan kembali tertawa. Tawa renyah tanpa takut Sean akan menghajarnya setelah itu."Tentu saja tidak. Kau sangat menggemaskan, Tuan Arthur.""Kau!"Sean beranjak berdiri, ingin mencekik Alan yang kembali mentertawainya. Namun, Alan segera menghindar, ikut berdiri dengan menghadapkan ke depan kedua telapak tangannya yang terbuka lebar."Ayolah, Sean. Aku hanya bercanda.""Bercandamu tidak lucu. Pulang saja ke negaramu!" ucap Sean menahan kesal kepada sahabatnya itu.***Malam ini adalah minggu ke dua setelah tragedi mualnya Salwa yang anti didekati oleh Sean. Sean terpaksa menahan diri agar tidak menyentuh Salwa, padahal dia termasuk lelaki yang tidak sanggup menahan kebutuhan hasrat biologisnya dalam waktu lama.Dia terpaksa tidur di ruang kerja yang berada tepat di samping kamar tidur utama. Dia berusaha memejamkan mata, mengatasi rasa menggigil ingin dihangatkan oleh tubuh wanita yang dicintainya.Suara derit pintu terdengar lirih, dengan langkah kaki yang menapak lantai marmer di ru

  • Wanita Pilihan Mafia   Bab 127. Ngidamnya Salwa

    Jelas perhatian semua tamu undangan kini beralih pada sosok tegap yang wajahnya terlihat meradang. Lelaki tinggi dengan berbalut tuxedo mahal berjalan di atas karpet merah menuju panggung di mana Salwa dan Angela berdiri di sana.Langkah kakinya terdengar tegas begitu berada di atas panggung. Tangannya mengambil paksa microphone di tangan Angela, lalu mengeluarkan sapu tangan dari saku celana untuk digunakan mengelap kepala serta gagang microphone tersebut. Hal itu sengaja ia pertontonkan di hadapan Angela, menunjukkkan bahwa perempuan itu lebih menjijikkan dari dugaannya.Sementara sebelah tangan Sean memeluk pinggang Salwa, menarik perempuan itu agar lebih mendekat ke arahnya. Tatapannya tertuju pada semua tamu undangan yang sebelumnya tampak riuh karena ulah Angela, kini tiba-tiba hening dan senyap."Dia memang pernah menjadi pelayanku. Dia juga pernah mengandung anakku." Air mata Salwa seketika menetes mendengar perkataan Sean. Ada apa ini? Apakah ia datang ke sini hanya untuk dip

  • Wanita Pilihan Mafia   Bab 126. Pesta Pernikahan

    Tidak ada kata terlambat untuk menciptakan kehidupan yang diinginkan. Semua akan berjalan sesuai dengan apa yang sedang kita perjuangkan.Pria bermata biru mengusap kepala sang istri yang baru saja tersadar setelah pemeriksaan dokter dilewati beberapa menit yang lalu. Bibirnya menyunggingkan senyum ketika memandang bulu mata lentik mengerjap ringan. Mata bulat itu memandang dengan sayu, buliran air pun menggenang di pelupuk mata, lantas menetes dengan aliran ringan membasahi pipi."Syukurlah kau sudah sadar." Sean menyeka air mata di pipi Salwa dengan ibu jari kanannya secara bergantian. Pria itu tak menanyakan hal yang sesungguhnya ingin sekali ia tanyai, terkait apa saja yang sudah Salwa lakukan dengan Ramunsen di kamar mereka."Mas, ...." Suara Salwa terdengar serak, mungkin karena terlalu banyak menangis. Menyadari hal itu, Sean mengambilkan minum untuknya, membantu Salwa duduk dari pembaringan.Sedikit demi sedikit air di dalam gelas itu berpindah ke mulut Salwa, membasahi tenggo

  • Wanita Pilihan Mafia   Bab 125. Mengejar Ramunsen

    Mobil sport yang memiliki kecepatan lintasan di atas rata-rata digunakan Sean untuk mengejar Edward dan Salwa. Zoe bertugas mengendarai, sementara Sean duduk di sampingnya sembari berpikir dan mendengar segala laporan anak buahnya yang telah memata-matai Ramunsen dari atas ketinggian.Mobil mewah berwarna metalic itu menerobos apa saja yang ada di depan mata, memacu secepat yang ia bisa di tengah keramaian. Kepiawaian Zoe dalam mengendarai mobil tersebut sudah tidak diragukan lagi. Lelaki itu mengernyit ketika titik koordinat yang akan mereka lewati menuju daerah dataran tinggi."Tuan, mobil mereka ...."Sean hanya diam, meski Zoe tidak melanjutkan kalimatnya. Lelaki itu terlihat berpikir serius, tentang apa yang dilakukan Ramunsen di tempat seperti itu. Benar-benar tidak masuk akal.Sekelebat bayangan seorang wanita hamil dari kejauhan tampak tertatih-tatih dalam menahan kesakitan dan di sebelahnya dirangkul oleh seorang laki-laki yang kemungkinan besar adalah suaminya, menjadi perh

  • Wanita Pilihan Mafia   Bab 124. Datang Tepat Waktu

    Salwa bernapas lega melihat siapa yang datang. Air mata yang sejak tadi mengalir terus saja berlinang tiada henti. Dia terisak, tetapi tetap membungkam mulutnya.Pria itu adalah Sean Arthur bersama Zoe sang asisten yang berdiri di belakangnya. Rasa lega bukan hanya karena Salwa merasa aman sebab ada yang menyelamatkannya, tetapi juga melihat sang suami masih hidup dan dalam keadaan sehat. Padahal sebelumnya ia sudah sangat putus asa karena informasi akan keadaan Sean yang sedang bertaruh nyawa dengan bahan peledak, tetapi ternyata Tuhan memberinya secercah harapan."Jangan bergerak! Tetap di tempat." Ramunsen membuang gelas tersebut hingga pecah dan membasahi karpet bulu yang membentang di hampir seluruh permukaan lantai. Tangannya merogoh sesuatu di balik saku celana, lalu menunjukkan benda itu kepada semua orang. Sebuah suntikan berukuran mikro kini berada dalam genggaman lelaki itu."Ini adalah zat afrodisiak. Aku sudah memasukkan afrodisiak ini dalam konsentrasi tinggi. Bayangkan,

  • Wanita Pilihan Mafia   Bab 123. Ramuan Laknat

    Lima jam berlalu setelah melakukan penerbangan kembali ke Indonesia. Baru saja Sean menyalakan mode data smarphone, sebuah email masuk dari Zoe sang asisten mengharuskan Sean menatap layar digital tipis miliknya untuk memeriksa. Di sana, Zoe mengirimkan file attachment di mana berisi foto-foto dan potongan berita khusus yang membuat Sean tercengang. Segera ia hubungi lelaki itu untuk mengetahui kejelasan lebih dalam dari email yang baru saja dikirimkan kepadanya."Tuan Arthur," ucap Zoe begitu menghormati Sean sesaat lelaki itu menjawab panggilan."Katakan, apa maksud semua ini? Mayat siapa itu?" Sean tak kuasa menahan diri. Semua yang terpampang di depan mata seperti sebuah teka-teki.Namun, Zoe di seberang sana terdengar menghela napas panjang sebelum pada akhirnya menjawab, "Polisi telah menemukan jenazah hancur kepalanya sekitar tiga bulan yang lalu. Jika dilihat dari kondisi jenazah itu, kemungkinan besar dia adalah korban pembunuhan sadis dan kejam. Dia ditemukan di sebuah alir

  • Wanita Pilihan Mafia   Bab 122. Penyesalan Seorang Anak

    Hingga beberapa waktu mereka menunggu, tiada sesuatu yang terjadi. Semua pasang mata terbuka hampir bersamaan. Ketakutan dan kepasrahan kini berubah menjadi rasa penasaran. Dilihatnya bom itu telah berhenti di angka 00.01 yang artinya, terlambat hanya dalam satu detik saja, mereka semua akan lenyap dari muka bumi.Terdengar helaan napas dari bibir semua orang. Rasa lega belum sepenuhnya terobati, Fang Yi melihat sinar merah di kepala Abust. Dia menyeret lelaki itu, tetapi dirinya justru terjatuh dengan tubuh Abust menimpa dirinya."Cih, minggir! Kau bau." Abust segera berguling ketika kedua tangan Fang Yi menolaknya. Sementara sinar itu tetap mengarah kepadanya."Kau sendiri yang menyeretku. Kalau suka bilang saja."Fang Yi melihat sosok dari balik pagar sedang bersiap menarik pelatuk, dia segera menarik kembali tubuh Abust, membiarkan pria itu menimpanya sekali lagi dan ....Suara lesatan peluru itu terdengar, menerbangkan debu-debu yang ada di puncak gedung rumah sakit itu. Semua or

  • Wanita Pilihan Mafia   Bab 121. Terselamatkan

    Fang Yi menuruni anak tangga darurat sembari mengatur frekuensi di earpiece yang tersemat di telinganya. Ia lebih yakin untuk membuntuti empat pria bertubuh kekar dengan orang tua berwajah mencurigakan daripada langsung menuju ruang bawah tanah. Instingnya bekerja cepat, merasa ada hal tidak beres dengan sekelompok mereka tadi. Meskipun Abust tidak memercayai perkataannya, tetapi ia sangat yakin dengan keyakinannya.Dia kehilangan jejak mereka, tetapi terus saja melangkah karena merasa mendengar suara sayup-sayup di lorong tangga darurat. Suara itu menggema, mungkin karena tiada benda-benda yang memantulkan suara dengan sembarang arah, sehingga lebih terdengar jelas di indra pendengaran.Langkah kaki Fang Yi menapak hati-hati, mengurangi suara pantulan sepatu agar tidak membuat kecurigaan seseorang yang mungkin sedang bersembunyi tanpa sepengetahuannya.Tepat ketika kaki Fang Yi melangkah melewati kelokan, menuruni anak tangga berikutnya, sebuah tangan mendekap kepalanya.Dia berontak

  • Wanita Pilihan Mafia   Bab 120. Love at The Darkness

    Abust menoleh ke arah sumber suara, melihat sosok berpakaian putih dengan badan tegap membawa troli dengan kain-kain putih ternoda. Tampaknya lelaki itu adalah petugas rumah sakit.Merasa tidak ada waktu berbasa-basi, Abust segera menodongkan senjata ke dahi lelaki itu. Mata pria berpakaian putih membukat, tak menyangka akan mendapatkan serangan mendadak seperti itu. Kedua tangan ia angkat ke atas dengan telapak tangan membuka lebar."Jongkok!" perintah Abust.Pria itu mengangguk hati-hati, menurut dengan merendahkan diri sembari melipat kaki."Katakan! Di mana ruang rahasia itu?"Lelaki itu menggeleng. "Ruang rahasia apa? Aku hanya petugas pembersih.""Sudah berapa lama kau bekerja?""Empat tahun. Tolong, aku tidak tahu apa-apa. Biarkan aku bekerja dengan tenang."Abust tak menuruti. Dia masih meletakkan ujung senjata di dahi pria itu. Empat tahun lamanya menjadi petugas di ruangan itu, mana mungkin tidak menyadari sesuatu."Jika kau masih mencintai pekerjaanmu, kau harus menunjukkan

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status