Sembari menunggu Sandra, iseng aku menelpon Mas Bagas melalui panggilan video call, tapi gak diangkat olehnya. Saat panggilan ketiga dia malah mereject. Mungkin saat ini dia sedang bersama istri mudanya, hingga teleponku diabaikan.
Sekitar dua puluh menit menunggu, akhirnya sandra tiba juga. Ia tak turun dari mobil, hanya membunyikan klakson sebagai kode supaya aku yang datang menghampirinya. Setelah mengunci pintu aku berjalan ke arah mobil Sandra dengan memeluk tas ransel yang isinya pindahan dari isi brankas. Masuk ke dalam mobil dan duduk manis di sebelah Sandra. Tanpa kupinta air mata ini turun lagi. Satu hal yang paling kubenci dalam diri ini, adalah terlalu mudah untuk mengeluarkan air mata alias cengeng. Air mata ini akan turun dengan begitu mudahnya, bahkan hanya dengan menonton drama sedih, mata ini akan menangis pilu. "Sudahlah ... hapus air matamu. Jangan pernah kau tangisi laki-laki sebrengsek Bagas. Air matamu terlalu berharga untuknya," ucap Sandra mengelus pundak ku. Aku hanya tersenyum getir mendengar omongan sahabatku itu. Tak bisa kupungkiri, saat ini aku masih sangat mencintai Mas Bagas suamiku, tapi perbuatannya menikah lagi diam-diam tidak bisa kuterima. "Kita mau kemana, Ra?" tanyaku masih dengan suara bergetar. "Mengamankan semua milikmu. Jangan sampai jatuh ke tangan pelakor itu." Aku diam tak menjawab ucapan Sandra. Ingatanku melayang ke masa pacaran sampai akhirnya kami membina rumah tangga. Selama ini Mas Bagas tak pernah berperilaku kasar terhadapku, ia juga selalu romantis. Makanya jika bukan Sandra sahabatku yang memberitahuku dengan bukti, rasanya sulit untuk percaya. Hatiku sakit sekali menerima kenyataan bahwa aku telah di duakan. Suamiku telah diambil pelakor. "Apa salahku, Mas? Kenapa kamu tega sama aku." Hatiku menjerit, perih. Luka tapi tidak berdarah. Mobil Sandra memasuki parkiran sebuah bank. Setelah memarkirkan mobil dengan sempurna wanita itu lalu mengajakku turun. "Ayo turun," ajaknya, lalu membuka pintu mobil dan segera turun. "Mau ngapain?" Dengan wajah terlihat bodoh aku bertanya, karena terlalu banyak menangis hingga otakku ikutan lelet. Sontak Sandara menepuk jidat. Mungkin heran denganku, karena dulu aku adalah wanita pintar, gesit dan mandiri. "Ya Tuhan, Dewi. Ya mau mengamankan tuh semua hartamu. Masa mau pijat." Sandra hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat ulahku. Yang kutanggapi hanya dengan senyuman paksa. Hampir satu jam kami berada di bank, jika bukan karena ingin melindungi hakku. Rasanya malas jika harus berurusan begini, capek dan ribet banget. Setelah semua urusan selesai kami berdua keluar dari bank dan langsung menuju parkiran. Baru saja menutup pintu mobil, ponselku berdering, segera ku rogoh tas mencari benda persegi panjang milikku. "Mas Bagas, Ra," ucapku setelah melihat layar HP. "Angkat aja Wi, loudspeaker." Hem! Aku berdehem untuk menetralkan rasa gugup. "Assalamualaikum. Halo, mas," salamku. Terdengar helaan nafas dari seberang sana. "Waalaikumsalam ... Iya Sayang, tadi kenapa kamu VC? Mas nggak sempat angkat, tadi ada urusan dikit. Kenapa sayang?" ucapnya, menanyakan perihal VCku tadi. "Nggak kok Mas, gak ada masalah. Tadi aku cuma mau nanya, Mas lagi apa. Soalnya tiba-tiba perasaanku nggak enak. Aku mau pastiin kamu baik-baik saja," kataku berbohong. "Gak ada masalah kok Sayang. Hanya di kantor lagi banyak pekerjaan aja. Mungkin nanti aku pulangnya telat ya, Sayang. Nggak enak sama yang lain," ucapnya memberi alasan. Pintar sekali kamu mencari alasan, Mas. Aku tau kamu lagi berbohong. Mana mungkin kamu pulang, sementara ini hari pernikahanmu. "Oh ya udah Mas, lanjutin aja kerjaan Mas. Assalamu'alaikum." Setelah mengucap salam, aku langsung mematikan telepon tanpa menunggu balasan salam Mas Bagas. Sandra menggenggam tanganku erat, menyalurkan kekuatan. "Kamu harus kuat, Wi. Balas mereka yang telah menyakitimu." "Iya, Ra. Makasih ya," ucapku singkat. Perlahan mobil bergerak meninggalkan parkiran bank. Lama aku dan Sandra terdiam hingga akhirnya sahabatku itu membuka suaranya. "Semua sudah aman. Sekarang tinggal kamu beri pelajaran buat tuh pelakor dan suami brengsek mu," ucap Sandra menekankan pada kata pelakor dan brengsek. Benar apa yang dibilang Sandra, aku tidaak boleh tinggal diam. Menerima saja apa yang mereka lakukan. "Liat saja Mas. Kau berani bermain api di belakangku. Biar sekalian kubakar kau dengan gundikmu itu."**********PoV Author Sementara, setelah menjalani prosesi akad nikah, dan sebagian tamu sudah berangsur pulang ke rumah masing masing. Bagas izin masuk ke kamar ingin beristirahat. Pelan ia berjalan menuju kamar pengantin. Duduk di tepi ranjang, ingatannya kembali ke dua tahun silam. Saat dimana dia melakukan akad yang sama, tapi pada wanita yang berbeda. Meski pelaksanaannya sama, ritualnya sama hanya berbeda di nama wanitanya saja. Rasa yang dirasakannya pun begitu berbeda. Saat bersama Dewi istri pertamanya, ia merasa begitu bahagia dan sangat bergetar hatinya, tapi saat ini yang ia rasakan seperti hambar. Meski pernikahan ini terjadi atas inginnya sendiri, tapi sedikit pun ia tidak merasakan seperti saat bersama Dewi. "Dewi ... maaf telah mencurangi mu." Bagas bermonolog sendiri. 'Jangan coba-coba bermain api, kalau tidak mau terbakar.' Begitulah kata pepatah yang sering ia dengar, dan itu terjadi pada dirinya sekaran. Pertemuannya kembali dengan Alika, sang mantan pacar membawanya pada hubungan terlarang malam itu. Sekarang ia harus bertanggung jawab. Meski hanya pernikahan siri, tapi ini tetap menyakitkan bagi Dewi istri sah. Ditengah lamunannya, ia dikejutkan oleh Alika istri sirinya. Wanita yang baru beberapa saat lalu ia mengucapkan ijab qobul atas namanya. Dengan senyum mengembang di bibir yang di polesi lipstik itu, Alika bejalan menghampiri Bagas. "Mas ... aku bahagia banget, akhirnya kita menikah juga," ucap Alika. Wanita itu duduk di sebelah dan menyandarkan kepala di pundak Bagas. Bagas hanya diam seribu bahasa. Memikirkan bagaimana langkah yang akan diambil selanjutnya. "Mas, aku juga mau tinggal di rumah itu. Aku juga punya hak yang sama dengan Dewi," sambung Alika lagi. Spontan Bagas membalikan badan, hingga kepala sang istri siri lepas dari pundaknya. "Ih mas ...." Alika merajuk saat kepalanya terasa melayang. "Aku gak mungkin membawamu ke rumah itu sebagai istriku. Dewi nggak akan terima." Bagas menolak permintaan Alika. "Tapi aku juga punya hak yang sama seperti Dewi, Mas! Aku ini juga istrimu sekarang," balas Alika Tak mau kalah. "Tapi rumah itu atas nama Dewi. kalau kamu datang sebagai istriku, maka Dewi nggak akan terima. Dia akan langsung mengusirmu." Bagas tidak setuju dengan keinginan istri sirinya. "Terserah kamu mau gimana, Mas. Aku nggak mau tau! Pokoknya aku harus tinggal di rumah itu sama seperti Dewi. Kami punya hak yang sama sekarang." Dengan egoisnya Alika menuntut. "Baiklah, jika memang kamu bersikeras ingin tinggal di rumah itu. Maka kamu akan masuk sebagai pembantu. Kebetulan, Dewi sedang mencari pembantu," ujar Bagas, memberi jalan keluar. "Apa Mas?Pembantu? Kamu gila ya, Mas. Aku ini Istrimu loh. Masa aku jadi pembantu di rumah suamiku sendiri. Nggak … aku nggak mau," ucap Alika menolak. Wanita itu kaget, Tidak habis pikir dengan saran sang suami. "Ya, terserah kamu. Yang ngotot mau tinggal disana 'kan kamu," jawab Bagas cuek. Menurutnya permintaan istri sirinya itu, sangat mengada-ngada. "Baiklah Mas, tapi hanya pura-pura saat di depan Dewi saja. Jadi aku minta kamu cari pembantu beneran yang akan menemaniku, dan menggantikan posisiku saat nggak ada Dewi. Nanti kamu kenalkan aja sebagai ibuku." Alika menyetujui saran sang suami. Baginya tidak mengapa, jika harus menjadi pembantu bohongan, saat di depan Dewi, sang madu. Asalkan bisa masuk dan tinggal di rumah itu, karena itu memang bagian dari rencananya. Masuk ke istana Dewi, dan memporak porandakan isinya. "Terserah kamu aja." Bagas mengiyakan kemahuan istri sirinya. Ia berpikir, selagi Dewi tidak tau siapa Alika, maka semua akan aman. Pria itu tidak berpikir, serapat apapun menyembunyikan bangkai, pasti akan tercium juga.Sampai jam sembilan malam, belum ada tanda-tanda Mas Bagas akan pulang. Ditelpon HPnya malah mati. Mondar mandir sudah kayak setrikaan, tapi lelaki yang bergelar suamiku itu belum juga ada tanda-tanda menampakkan batang hidungnya. Menarik nafas panjang lalu menghembuskan, kuputuskan berbaring di sofa. Karena badan terasa capek, kaki pegal akibat bolak balik dari pintu ke arah sofa. Jika dihitung mungkin sudah berjalan berapa kilometer. Lama menunggu, hingga akhirnya aku terlelap. Sayup-sayup terdengar deru mobil dari arah luar. Kupandangi jam yang tergantung di dinding, menunjukkan pukul 23:00. Sudah selarut ini akhirnya orang yang ditunggupun menunjukkan wujudnya. Saat pintu terbuka sempurna, badan Mas Bagas seketika menegang saat mendapatiku yang sedang duduk di sofa menatap ke arahnya. Lelaki pengkhianat itu terlihat menarik nafas panjang, terlihat sekali jika dia sedang gugup, tapi dalam sekejap pria itu bisa menguasai diri. "Loh, kamu belum tidur, sayang?" tanyanya s
Ha ha ha ... Makan tuh. Aku tertawa jahat melihat ekspresi wajahnya. Rasanya puas sekali, niat ingin menjadi nyonya pupus seketika. "Apa gak salah, saya tidur disini?" tanyanya seraya menunjuk ke dalam kamar. Mungkin dia nggak sadar dengan ucapannya barusan. Aku mengernyitkan dahi. "Maksud kamu?" "Ma–maksud aku, apa ini gak kekecilan. Aku 'kan harus tidur dengan ibuku," ucapnya gelagapan. Dia pikir aku tidak tahu apa isi kepalanya. "Ini sudah cukup besar buat kamu dan ibu kamu. Lagian, ada ya, pembantu menawar pada majikannya." Lika hanya terdiam mendengar jawabanku. Benar-benar mati kutu. Niat hati menyamar jadi pembantu hanya untuk masuk, eh ... taunya jadi pembantu beneran. Silahkan berkhayal perempuan busuk. Aku akan menggagalkan semua rencanamu. Jika kau memang menginginkan suamiku, silahkan ambil saja, tapi takkan kubiarkan kau nikmati sepeserpun yang bukan hakmu. "Sayang, Mas berangkat ke kantor dulu ya." Tiba-tiba Mas Bagas datang menghampiri ingin pamit.
Baru saja aku dan Mas Bagas keluar dari kamar. Pagi ini, aku tak menyiapkan sarapan seperti biasa. Karena semuanya sudah dikerjakan sama Lika, sang pelakor. Dari jauh aku melihat, di meja makan, Lika sedang duduk dengan secangkir kopi di depannya. Di tangannya ada selembar roti yang sudah digigit separo. Ia sedang menikmati sarapan dengan dilayani ibu palsunya. Berani sekali wanita busuk ini, sudah terang-terangan berlaku seenaknya di rumahku. Bahkan dia sudah dengan santainya menikmati sarapan lebih dulu dariku dan Mas Bagas, selaku tuan rumah. Benar-benar tak punya etika. Ku langkahkan kaki dengan cepat menuju meja makan. Lika terlihat gelagapan saat menyadari kehadiranku di depannya, tapi seketika madu busuk itu dapat menguasai diri, saat melihat Mas Bagas menyusul di belakangku. "Apa-apaan kamu, Lika. Berani sekali kamu! Dengan santai menikmati kopi dengan dilayani oleh ibumu sendiri. Memangnya kamu siapa di sini? Dasar nggak tau diri, kamu!" ucapku dengan sinis. Sudah ka
Sudah sebulan Lika tinggal di rumahku, tentu sebagai pembantu. Selama itu pula semua pergerakannya dan Mas Bagas berada dalam pantauanku. Aku sudah seperti CCTV, yang selalu aktif. Tak sekalipun kubiarkan mereka memiliki waktu berdua. Meskipun sedikit lelah, karena harus siaga 24 jam, menjaga Mas Bagas, tapi tak apalah, asalkan bisa mencegah hubungan mereka, akan aku lakukan. Bukan karena cemburu ... tidak sama sekali. Sejak aku tau Mas Bagas telah menduakanku, perlahan rasaku padanya terkikis, sedikit demi sedikit memudar. Meski ku akui sulit untuk menghapus semua rasa yang ada, karena walau bagaimanapun, dua tahun bukanlah waktu yang singkat, meskipun juga tidak terlalu lama, tapi aku tidak bodoh. Kewarasanku masih mendominasi. Aku hanya tidak mau mereka bersenang-senang, sebelum urusan Mas Bagas denganku selesai. Setelah kami berakhir, barulah akan kuikhlaskan mereka berdua untuk bersama. Sejak Lika menjadi pembantu di rumahku, waktuku banyak untuk bersantai. Enak ternyata,
Jalan Di Belakangku "Dasar nenek lampir," umpat Lika mengataiku yang masih bisa kudengar sebelum ia berlalu ke dapur. Wanita itu berjalan dengan menghentakkan kaki, tapi bodo amat, aku gak peduli. Berani menggangguku maka siap-siap dengan pembalasan seorang Dewi.Kelakuannya benar-benar serba minim. Entah apa yang di lihat mas Bagas, sehingga menduakanku dengan wanita seperti Lika. Bukannya sombong, tapi wanita yang merusak kebahagian orang lain itu memang bukanlah wanita baik. Sikapku tergantung bagaimana kamu. Jangan berharap kebaikan dariku, jika kamu saja masuk ke istanaku sebagai pencuri. Kau bisa mengambil Mas Bagas, suamiku, tapi jangan berharap bisa menjadi ratu. Karena level seorang ratu berbeda dengan selir. Bak langit dan bumi. "Itu madu kamu?" tanya Sandra setelah menghempaskan bokongnya di sofa ruang tamu. Dari raut wajah, sahabatku itu sepertinya sangat penasaran tentang sosok Lika, si pelakor busuk. Aku yakin wanita berlesung pipi itu juga kurang suka dengan ting
Kamu Ketahuan"Loh itu 'kan bagas." Sandra menunjuk ke arah Mas Bagas dengan jari telunjuknya. Seketika mataku liar mengikuti arah jari Sandra. "Tapi tunggu dulu, ko ada dia sih," ucap sandra sedikit berbisik saat tau siapa yang sedang bersama Mas Bagas. "Sejak kapan dia jalan, kok sampai duluan dari kita," tambahnya lagi. Mungkin sahabatku itu penasaran bagaimana Lika bisa sampai duluan dari kami. Mataku rasanya ingin meloncat keluar bisa-bisanya perempuan busuk ini makan siang bersama suamiku. Meskipum itu juga suaminya. Ingin rasanya berlari ke sana dan menjambak rambut wanita itu. Untung Sandra mencekal tanganku, kalau tidak tamatlah riwayatmu wahai pelakor.Alika .... Tidak habis pikir, Bagas suamiku dan Lika si madu busuk itu sedang menikmati makan siang berdua. So sweet sekali! Perempuan busuk itu terlihat sedang merajuk dengan bimoli nya (bibir monyong lima inci). Sekilas pandang memang tidak ada yang salah karna mereka sepasang suami istri, meskipun hanya nikah siri,
Gugup 'Kan Kamu, Mas!"Sayang, kamu ko di rumah?" ucap lelaki yang masih bergelar suami sahku itu. Terlihat sekali kegugupan di matanya, meskipun ia berusaha terlihat tenang. "Loh emang aku kemana, Mas? Kok kamu nanyanya gitu?" balasku penuh selidik. Aku memicingkan mata menanti jawaban darinya. Pasti Alika bilang, jika aku dan Sandra sedang jalan. Makanya mereka merasa aman. "Oh eng–nggak ko, Sayang," gagapnya. Matanya liar kesana–kemari menghindari mataku. Ketara sekali jika ia sedang ketakutan. "Loh ... kamu kok sama dia, Mas? Kalian habis jalan," tanyaku saat melihat Lika turun dari mobil dengan langkah pelan. Lelaki di depan ku ini gelagapan. Mukanya terlihat pias dengan gakunnya yang naik turun menelan cairan dari mulutnya. Dasar kada*, giliran berbuat aja berani. "Kena kamu Mas. Ayo ... alasan apa lagi yang ingin kamu sampaikan." Dalam hati bersorak riang menunggunya mencari alasan. "Loh ... kamu ko sama dia, Mas? Kalian habis jalan?" tanyaku saat melihat Li
Harga Diri konon!"Kamu ngebelain Lika, Mas? Apa menurutmu, pantas seorang pembantu duduk di kursi depan sama majikannya? Orang yang tidak kenal pasti mengira kalian suami istri!" Mas Bagas seketika menghentikan langkah kakinya. Pria itu kemudian memutar badan menghadapku. Melihatnya berhenti, otomatis langkahku juga terhenti dengan sendiri. Kutatap laki-laki di depanku itu, tapi ia malah memalingkan wajahnya, tidak berani menatapi mataku. Ciri-ciri orang yang sedang berbohong, matanya liar kemana-mana. "Apa'an sih kamu, Sayang. Ya nggaklah! Lagian, tadi aku hanya ketemu di jalan kok sama Alika, nggak jalan bareng." Mas Bagas seakan tidak terima ucapanku, tapi aku tau, itu hanyalah topeng saja. "Loh ... aku 'kan nggak bilang kalian jalan bareng! Santai aja, Mas. Kamu kok gugup gitu sih? Seperti baru ketahuan selingkuh aja." Mata Mas Bagas membulat sempurna, mungkin merasa tertampar. "Sudah, sudah ... makin lama kamu makin ngelantur aja ngomongnya." Mas Bagas melanjutkan la
"Saat aku dan Mas Diki tau, kalau itu kamu. Kami berencana akan mendekatkan kalian. Kayak Mak comblang gitu," ucap Sandra dengan kekehan diakhir kalimat. Aku menyimak semua kalimat dari Sandra tanpa protes. Aku ingin mendengar kenyataan tentang Pak Rayhan. Entah kenapa, hatiku begitu antusias ingin mengetahui semuanya.Sandra menggerakkan kembali badannya ke posisi awal, sahabatku itu menatap langit-langit sejenak sebelum melanjutkan kata. "Wi ... Pak Rayhan itu sangat mencintai kamu. Dalam banget, aku dan Mas Diki saksinya. Dia mengorbankan semuanya untukmu. Bahkan saat dia tau kalau Bagas itu dalang dari putusnya kamu sama Andi, Pak Rayhan marah banget, tapi saat dia kembali, untuk mengungkap segalanya, kamu sama Bagas sudah menikah dan melihatmu bahagia, lagi-lagi dia mengorbankan perasaannya hanya untuk kamu, Wi. Kasian tau!" Dalam hati bersorak riang. Entah kenapa, ada rasa bahagia yang mengalir ikut serta dalam setiap aliran darah, memompa jantung berdebar kencang. Namun seka
Pak Rayhan mengantarku ke hotel tempat aku dan Sandra menginap. Alunan lagu menunggu kamu yang di bawakan oleh Anji, membuat aku semakin terbawa suasana sepanjang perjalanan. "Lagu ini untukmu." Suara Pak Rayhan memecah keheningan malam. Aku menautkan alis mengingat sesuatu. Ku miringkan badan menghadap Pak Rayhan yang sedang menyetir."Jadi ... lagu ini sengaja Bapak nyanyikan saat di pantai waktu itu?" Laki-laki beralis tebal itu melirik sebentar, dan mengukir senyum lalu melihat lagi lurus ke depan. Pembawaannya yang bersahaja, semakin menambah ketampanannya yang seakan tak hilang meski di telan gelap malam. Membuat hatiku berdecak kagum.Pak Rayhan mengangguk pelan. "Iya," jawabnya singkat, tapi memanah tepat di jantung hatiku. "Lirik lagunya, pas denganku yang sedang berjuang menunggumu, pemegang hati." Sumpah! Kata-katanya membuat aku meleleh. Aku yakin, wanita manapun akan mencair, dengan kata-kata Pak Rayhan barusan. So sweet sekali."Gombal." Astaga! Rasanya ingin ku cabe
"Maksudnya?" Ku tautkan kedua alis. "Ya ... anda 'kan Pak Rayhan. Pria aneh yang selalu muncul dimana saja. Di pantai! Di rumah makan Padang! Di trotoar depan kantorku! Di bandara! Sudah kayak siluman," ucapku kesal. Sudah di depan mata saja, masih mau main teka-teki. Bertele-tele.Pak Rayhan menatapku dengan tatapan sayu, lalu menarik kedua sudut bibir. Mengukir senyum yang sangat terpaksa. Pria itu merogoh saku celana mengeluarkan remote, lalu balik badan menghadap layar. Ku perhatikan setiap gerakannya dengan melipat dahi. Heran dan penuh tanya.Aku menatap layar yang sudah berganti poto. Di depan sana, terpampang sebuah poto yang di dalamnya tercetak sosok dua pria. "Mas Andi," gumamku. Aku mengenali sosok yang sedang tersenyum menghadap kamera dengan merangkul pundak teman di sebelahnya. Namun tidak dengan pria berkacamata dengan rambut yang sedikit griting. Sekilas, seperti pernah melihatnya, tapi tidak mengenal."Iya ... dia Andi. Dulu kami adalah teman, dan sampai sekarang
Ting!Lagi-lagi bunyi pesan masuk dari ponsel dalam genggaman. Sangat mengganggu, untuk sesaat aku merasa benci pada benda pipih yang sedanng ku genggam. Dengan ogah-ogahan jari bergerak membuka pesan. Sudah tau siapa pengirimnya, makanya membuka pun dengan setengah hati.[Kenapa belum bersiap, dan turun ke bawah. Katanya ingin tau siapa aku?] Segara kugerakan jempol membalas pesan misterius yang barusan masuk ke HPku.[Mau sholat isya' dulu! Emang kamu nggak sholat?] balasku dengan di iringi emoticon tersenyum miring.[BTW ... kamu cantik di bawah sinar bulan] Spontan kuangkat tangan ke atas hendak melempar ponsel yang ku pegang . Untung saja otakku berfungsi dengan cepat. Ku edarkan pandangan mengelilingi sekitar. Dari atas ke bawah dari samping ke sisi yang lain, tapi tak juga mendapati wujud pria yang menerorku. Balik badan, segera kuseret kaki masuk ke dalam kamar dengan perasaan frustasi. Kepala seraya mau pecah, memikirkan siapa dia. Jiwa penasaran meronta sampai ke ubun-ubu
Ting! HP di tangan bergetar seiring bunyi 'ting' yang melengking. Gagas ku alihkan pandangan pada benda pipih yang sedang menyala di tanganku. Dengan lincah jari-jari menari di atas layar.[Jangan bergidik. Aku bukan hantu, aku manusia.] Spontan leherku kembali bergerak memutar melihat sekitar. Hati mulai kesal, mengikuti teka-teki yang di ciptakan orang misterius yang hanya kukenal nomer telponnya saja. "Kenapa sih?" ucap Sandra penasaran. Wanita berparas ayu menundukkan kepalanya mendekat pada ponselku."Nah, baca sendiri! Kayaknya ada hantu yang mengikutiku," cetusku kesal. Sandra memandangku sesaat penuh tanya, sebelum membaca pesan yang ada di HPku."Penggemar rahasia ternyata," ucapnya tersenyum mengejek. Kucubit lengannya meluapkan rasa kesal. Bisa-bisanya dia masih bercanda sementara hatiku resah gelisah. "Aw ... sakit, Dewi," pekiknya seraya mengelus lengan yang barusan kucubit. Sahabatku itu meringis akibat rasa perih yang di ciptakan oleh cubitanku. "Rasain," dengusku
"Ayo, silahkan dimakan, Wi. Enak lho ini," ucap Rangga. Ku tanggapi dengan anggukan pelan.Rangga menikmati makanannya dengan lahap, namun tidak denganku. Baru dua suapan yang masuk ke dalam mulut, tapi mulutku menolak suapan yang ketiga. Alhasil, aku hanya mengaduk- ngaduk. Entah kenapa, pikiranku tertuju pada sosok Pak Rayhan. Meski sudah berusaha ku cegah, tapi entah kenapa sosok laki-laki aneh itu menerobos masuk ke dalam pikiran tanpa permisi."Kayaknya ... aku harus membenturkan kepalaku, agar kewarasan kembali," rutuk hati kecilku."Kenap nggak di makan? Nggak enak makanannya? Aku tukar ya." "Hah ... e–enak kok." Ku paksakan tersenyum lalu menyuap makanan ke dalam mulut, meski mulut menolak tapi tetap memaksa mengunyah.Rangga menatapku sejenak lalu melanjutkan kembali makannya. Pria bertopi di depanku ini, juga mungkin merasakan hal yang sama denganku, setelah ungkapan cintanya tadi. Sama-sama merasa canggung.Sebenarnya, dari dulu aku ingin sekali bisa dekat dengan Rangga
"Aku akan selalu ada di mana kamu. Aku akan selalu menjagamu." Bukannya menjawab, namun pria ini melantur kemana-mana."Pacarmu tadi mana? Seharusnya, dia tidak membiarkanmu sendirian." Dadaku naik turun mendengar ucapan yang keluar dari bibir laki-laki ini. Benar-benar tidak di saring, seenak jidatnya saja. "Dia bukan pacarku," ucapku ketus seraya membuang pandangan."Oh, kirain pacarmu. Soalnya romantisan di tengah danau." Ku alihkan kembali pandanganku padanya. Mataku semakin tajam menyorot dengan sorotan seakan ingin menelannya hidup-hidup. "Kamu mengikutiku?" tanyaku dengan nada mulai naik satu oktaf."Aku sudah bilang, aku tidak mengikutimu. Aku hanya menjagamu." Ku alihkan kedua netra melihat ke tengah danau. Rasanya, kewarasanku akan segera, habis jika terus bersamanya di sini. "Kemana sih, Sandra ini," rutukku dalam hati. Di saat seperti ini, aku butuh Sandra untuk menyelamatkanku dari laki-laki kurang se-ons ini."Maaf, jika sudah membuatmu tidak nyaman, tapi percayalah,
Aku tersenyum melihatnya. "Jangan di monyong-monyongin itu bibir. Ntar cantiknya hilang lho," ucapku mencandai Sandra."Apaan sih," ucapnya pura-pura merajuk. "Ke kintamani aja yuk!" ajaknya kemudian. Sejenak kupandangi wajah cantik sahabatku itu. "Kenapa ke kintamani? Kenapa nggak ke pantai, Ra." "Ke pantai besok aja. Hari ini aku ingin yang sedikit menantang," ucap Sandra sambil melipat tangannya di atas meja.Sebenarnya, aku lebih suka ke pantai. Entah kenapa berada di tempat itu aku merasa tenang. Meskipun di pantai juga suasananya ramai, apalagi musim liburan seperti ini, tapi berada di pantai ada kepuasan yang kurasakan. "Malah bengong." Sandra menjentikkan jarinya di depan wajahku. "Mikirin apa sih?" tanyanya. Kugelengkan kepala pelan. "Mikirin si pengantar sarapan tadi?" Aku melotot mendengar ucapannya."Sembarangan. Orang aku lagi mikirin pantai," ucapku sewot. Sandra menarik kedua ujung bibirnya seraya mengangkat bahu."Kirain mikirin penggemar rahasia," ucapnya santai.
Duduk di bibir ranjang, aku menggapai ponsel di atas meja kecil. Ingin melanjutkan bacaan cerbungku sembari menunggu Sandra. Ponsel di atas meja samping tempat tidur menjerit nyaring. Alarm menandakan sholat subuh sebentar lagi tiba. kuangkat tubuh, duduk di atas kasur dengan mata masih terpejam. Tangan terulur menggapai benda pipih yang masih menjerit, dengan nyawa masih belum genap sempurna.menurunkan kaki dari atas tempat tidur, kuseret langkah menapaki setiap lantai keramik putih menuju kamar mandi. Di bawah shower nyawa yang tadi masih tertinggal di alam tidur kembali genap. Segar! Aku sudah terbiasa mandi sebelum sholat. Selain di sukai Allah, mandi sebelum subuh juga mempunyai banyak manfaat, salah satunya membuat tubuh segar, juga bisa membuat kulit sehat segar, dan lebih cerah."Ra, bangun sudah subuh," ucapku membangunkan Sandra. Sahabatku itu menggeliat seraya mengangkat tubuhnya duduk."Sudah subuh, Wi," tanyanya, dengan mata terbuka separuh.Aku tersenyum kecil. "Sud