Semenjak ruang rahasia Daniel diketahui Nagita, keheningan menyelimuti mereka, menjadi sosok asing satu sama lain meski berada dalam satu atap yang sama. Mansion terasa lebih kosong, hampa, dan tanpa ada kehangatan di dalamnya. Daniel setiap pagi berangkat bekerja lebih awal. Nagita hanya menatap punggung Daniel yang menghilang ditelan pintu seiring waktu, membiarkan kepergian Daniel tanpa perlu mengucap sepatah katapun. Tidak ada lagi percakapan selepas perdebatan di ruang rahasia itu. Baik Nagita maupun Daniel, keduanya kompak memilih bungkam. Namun, perang dingin itu bukan berarti Daniel mengabaikan Nagita sepenuhnya. Setiap malam tiba, pria itu mengecek kamar Nagita, berdiri di depan pintu, memandangi dari jauh dan memastikan bila Nagita sudah terlelap tidur. Suara pintu terbuka ... Nagita tentu menyadari itu tanpa sepengetahuan Daniel. Ia kerapkali membuka mata, terbangun dari tidurnya ketika suara pintu mulai terdengar. Walaupun tidak ada interaksi langsung yang tercipta,
Daniel menatap kosong jendela kantor yang memamerkan pemandangan kota. Walau raga Daniel berada di sana, di dalam gedung megah itu, tapi jiwanya melayang pada peristiwa yang kurang mengenakkan untuk Daniel resapi dalam ingatan. Penolakan keluarga Nagita adalah kegagalan yang mampu menjadikan harapan pria itu pupus perlahan. Ingatan di ruang rapat keluarga Nagita seakan terus menghantui Daniel. "Apa-apaan?" desis Daniel tak suka kala saat itu tidak sesuai yang Daniel bayangkan. Tangan pria itu terkepal. Daniel tahu bahwa keputusannya saat itu untuk masuk ke ruang rapat adalah sebuah langkah yang nekat, tapi karena kegigihan yang tak terbendung, Daniel memberanikan diri menyusup masuk ke kediaman keluarga Nagita. Setelah mengelabui satpam yang berjaga di depan pintu gerbang—menyamar sebagai karyawan di perusahaan keluarga Nagita yang ingin memberikan berkas penting perusahaan—Daniel dipersilahkan masuk. Daniel lalu berjalan mantap mendekati pintu besar di ujung koridor. Sayup-sayup
Dapur Daniel begitu luas dengan meja marmer berkilau, dilengkapi peralatan dapur yang tertata rapi di sekelilingnya. Nagita memandangi ruangan dapur dengan tatapan berbinar. Setidaknya berada di sini membuat rasa bosan Nagita mereda, sebab terkurung dalam mansion tanpa tahu dunia luar tentu saja teramat menjemukan. Nagita butuh kegiatan yang bisa membangkitkan semangatnya untuk terus bertahan. "Memasak mungkin bisa membuatku merasa lebih tenang," gumam Nagita. Senyuman manis seketika terbit di bibir mungilnya. Perempuan itu lalu membuka lemari es, mengeluarkan bahan, mulai menyiapkan bumbu-bumbu untuk memasak. "Sempurna!" sahutnya tersenyum kecil melihat alat dan bahan telah lengkap di depan mata."Sudah lama tidak melihatmu memasak," sahut Daniel yang tiba-tiba menghampiri Nagita. Pria itu melangkah mendekat, melihat apa yang sedang dimasak oleh Nagita. "Sop ayam, ya?"Nagita mengangguk sebagai jawaban. Setelah sempat berselisih, hubungan mereka berangsur lebih baik. "Kau mau?" ta
Suasana kota di malam hari tampak begitu hidup, dihiasi gemerlap lampu jalan dengan berbagai kendaraan yang berlalu-lalang. Hembusan angin sejuk menelusup masuk ke dalam mobil, membelai wajah lembut Nagita yang duduk tepat di samping Daniel. Mereka sedang dalam perjalanan menuju restoran. "Bagaimana? Apa rasanya aneh?" Daniel bertanya penasaran seraya sibuk menyetir. Matanya yang fokus memerhatikan jalan sesekali melirik ke arah Nagita. Perempuan itu kini mengenakan wig pendek dengan kacamata hitam sesuai permintaan Daniel. "Ini cukup aneh. Aku tidak terbiasa dengan penampilan seperti ini, tapi aku tidak terlalu mempermasalahkannya," aku Nagita cepat, tidak keberatan bila harus mengabulkan keinginan Daniel. Nagita tidak masalah jika harus menyamarkan penampilan agar seseorang tidak mengenalinya. Yang penting sekarang ia bisa mengirup udara segar, menikmati sedikit kebebasan dalam hidupnya walau sekejap. Mereka lalu tiba di restoran bernuansa klasik dengan kaca-kaca besar yang meman
"Di mana?" Nagita bergumam lirih. Perempuan itu melirik jam di pergelangan tangan. Perasaan khawatir merayap dalam dirinya, menunggu kehadiran Jordan. Grand opening sudah dipersiapkan dengan matang. Pintu masuk Pastel Dreams Cafe telah dihias indah dengan balon-balon berwarna. Karpet merah dibiarkan terbentang untuk menyambut para tamu yang datang. Meja tertata rapi dengan bunga segar di atasnya. Namun, persiapan ini rasanya belum lengkap bila Jordan belum berada di sisi Nagita. "Nona, apa kita mulai sekarang?" Seorang pelayan menghampiri Nagita. "Tunggu sebentar lagi," sanggah Nagita penuh harapan. "Aku masih menunggu Jordan." Nagita mencoba bersikap tenang. Tentu saja Jordan akan datang seperti yang pria itu katakan. Namun, untuk acara sepenting ini ... tidak bisakah calon suaminya datang lebih awal? "Nona, para tamu sudah menunggu. Sebaiknya ini segera dimulai." Nagita menghela napas panjang, mulai meragukan keajaiban bila Jordan akan segera tiba. Tak ingin menunda wa
Tepat seminggu selepas dari acara grand opening Pastel Dreams Cafe. Suasana gelap mulai menyelimuti kafe yang nyaman. Malam telah datang. Nagita mendesah pelan, ketegangan terus menyertai seiring waktu berjalan. Bayangan makan malam bersama Daniel membuat Nagita merenung lama. Bagaimana jika Jordan mengetahui ini? Nagita tidak ingin menciptakan kesalahpahaman. Laura jadi semakin merasa bersalah saat melihat ekspresi Nagita. "Maafkan saya, Nona. Saya tidak bermaksud menyulitkan, sungguh. Saya benar-benar tidak sengaja," ucap Laura tidak enak hati. Laura berharap Nagita masih mau memaafkan dirinya, meskipun ia merasa ada yang mengganjal. Pria bernama Daniel itu sengaja menyodorkan kakinya hingga Laura tersandung dan kehilangan keseimbangan. Namun, Laura tidak punya keberanian untuk meluruskan. Orang kaya seperti Daniel punya kuasa untuk membalikkan fakta. Nagita menjawab dingin, "Tidak perlu meminta maaf. Kamu tidak salah, Laura. Kita hanya kurang beruntung bertemu pria seperti
Jordan berada di tempat tidur bersama seorang perempuan yang Nagita kenal dengan cukup baik semasa kuliah. Sepasang insan biadab yang tengah bercinta itu menghentikan aksi ketika mendengar teriakan. "Teganya kau ...," Nagita berujar tidak menyangka. Kekecewaan tergambar jelas dari suaranya yang bergetar. Alih-alih terkejut, Jordan hanya tersenyum nakal. Seolah ketahuan selingkuh bukan masalah besar sama sekali. Tidak ada penyesalan dari raut wajahnya yang tampan, yang kini terlihat memuakkan bagi Nagita. "Pergilah sebelum calon istriku mengamuk," ujar pria itu pada Claudia yang semula berada di atas tubuhnya. Perempuan selingkuhannya itu mengangguk patuh. Ia turun dari pangkuan Jordan dan tanpa rasa malu mulai memakai pakaian dengan santai, sedangkan Jordan hanya menutup senjata masa depannya saja, membiarkan dirinya hanya memakai boxer di hadapan Nagita. "Kita belum selesai, Jordan,” ujar Claudia sembari mencium manja pipi Jordan, yang dibalas dengan senyuman tipis oleh pria
Nagita perlahan membuka mata, terbangun dengan kepala yang masih berdentum hebat. Meski tubuhnya masih terasa lemas, ia memaksakan diri untuk beranjak duduk, mengamati sekitar. Kamar bernuansa putih gading, terletak lampu gantung kristal di atasnya, serta jendela besar dengan balutan tirai beludru yang langsung menampakkan keindahan taman membuat Nagita kontan menyipitkan mata. Ia sedang berada di kamar siapa? Namun, kamar ini entah kenapa terasa familiar. "Kau sudah bangun?" Suara khas seorang pria menyadarkan Nagita dari lamunan panjang. Pria itu mengenakan kemeja putih yang ia gulung sampai ke siku. Ia mendekati Nagita dengan penuh kekhawatiran, menempelkan telapak tangannya pada kening Nagita. "Syukurlah, ini lebih mendingan." "Daniel?" Nagita refleks mundur perlahan sampai tubuhnya menempel pada sandaran kasur. Ia panik saat menyadari pakaiannya sudah berganti tanpa sepengetahuannya. Piyama biru dengan ukuran yang pas membalut tubuh ramping Nagita. Ribuan pertanyaan