Setelah menimbang-nimbang, Nagita akhirnya mengiyakan ajakan Daniel untuk makan siang bersama. Gilbert dan Lucas seperti biasa tetap mengawal Nagita dengan siaga. Mobil mereka melaju menuju kantor Daniel, melesat melewati jalan yang sibuk dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi. Mobil itu lalu berhenti tepat di kantor pusat Daniel. Gilbert dengan cekatan membukakan pintu mobil untuk Nagita. "Mari, Nona." Nagita turun dari mobil bersama Gilbert dan Lucas. Mereka memasuki gedung kantor Daniel yang megah. Gilbert dan Lucas dengan cepat dikenali karyawan, mengetahui bahwa keduanya adalah orang kepercayaan Daniel Ananta Dirga, CEO perusahaan tempat mereka sekarang bekerja. Kehadiran Nagita yang diapit oleh Gilbert dan Lucas menimbulkan tanda tanya besar bagi karyawan perusahaan Daniel. Sepenting itukah perempuan ini sampai harus dikawal oleh orang kepercayaan Daniel?Bisik-bisik mulai terdengar setiap Nagita melewati para karyawan. Mata mereka mengikuti langkah kaki Nagita, bertanya-
"Menjauh dariku!" bentak Nagita. Matanya berubah tajam, menatap Daniel penuh amarah yang memuncak. "Kalau bukan karenamu, Laura tidak akan mati seperti ini!" Nagita menggertak penuh tuduhan. "Aku bisa jelaskan ...," Daniel berujar pelan, mencoba tidak terpancing emosi di hadapan Nagita, memilih bersikap tenang. "Aku tidak seburuk itu, Nagita. Ini tidak seperti yang kau bayangkan ...." Nagita menggeleng lemah, mundur perlahan saat Daniel melangkah mendekatinya. "Apa yang perlu dijelaskan lagi? Bukankah semua sudah jelas?" lirih Nagita dengan tubuh gemetar.Menurut Nagita, motif pembunuhan Laura semata-mata karena Daniel ingin melindungi dirinya, tidak ingin dicap sebagai penculik Nagita bila pelayannya buka suara. "Aku benci caramu menghancurkan orang-orang di sekitarku!" Daniel membisu, membiarkan Nagita meluapkan amarahnya meski kata-kata itu begitu menusuk jantungnya. Daniel tahu perempuan ini sedang diselimuti rasa sedih dan kehilangan, sehingga Daniel tidak ingin membalasnya d
"Mari, Nona." Nagita turun dari mobil diiringi Gilbert dan Lucas. Warna oranye mulai menghiasi langit, tanda senja tengah menyapa. Nagita melangkah menyusuri pemakaman yang sunyi ditemani hawa dingin yang menusuk tulang. Lalu di antara bunga layu yang bertaburan di sekitarnya, nisan bertuliskan nama Laura menyayat hati Nagita. "Laura ...," bisik Nagita lemah. Hatinya tercabik penuh luka. "Maafkan aku ...." Tangisan Nagita pecah. Duka itu teramat menyesakkan untuknya. Nyatanya sulit sekali untuk menerima kenyataan di depan mata. Nagita sampai menyalahkan diri sendiri atas kehilangan ini. "Mungkin nasibmu akan jauh lebih baik jika tak mengenalku, Laura ...," lirih Nagita. Air mata terus mengalir di pipinya. "Aku pembawa sial ...." Gilbert dan Lucas berdiri lemas beberapa langkah dari Nagita yang masih berduka. Lucas, yang awalnya enggan membuka mulut, lantas angkat bicara dengan kepala tertunduk. "Ini memang menyakitkan, Nona, tapi tidak ada gunanya menyalahkan diri Nona sendiri
Daniel menatap pintu penghalang yang sedari tadi terkunci rapat. Gilbert dan Lucas telah memperingatkan Daniel untuk segera pergi dari kamar Nagita, tapi pria itu mengabaikannya. Ia hanya ingin menemui Nagita malam ini, dan memperbaiki semua kekacauan. Daniel tidak ingin menunggu terlalu lama. Semakin Daniel membiarkan kesalahpahaman ini terjadi, Nagita akan semakin jauh dari genggaman Daniel. Dengan helaan napasnya yang terasa berat di balik wajah tegas Daniel, pria itu terus mengetuk pintu dan memanggil nama Nagita, berharap Nagita keluar dan mau bicara seperti yang Daniel harapkan. Namun, pintu itu tetap bergeming. Hanya kesunyian yang selalu setia menyambut Daniel. Meski Nagita ada di dalam sana, perempuan itu memilih tidak bersuara, enggan menyahut panggilan Daniel. "Nagita ...," ujar Daniel yang masih keukeh memanggil. "Mari kita bicara ...." Suaranya rendah, tetapi terdengar tegas. Masih tidak ada respons. Nagita tetap diam seribu bahasa. "Nona mungkin sudah tidur, Tuan,"
Tamparan yang Nagita layangkan menghujam tepat harga diri Daniel. Ruangan seketika senyap. Gilbert dan Lucas yang ikut menyaksikan itu kompak terdiam, tidak berani bersuara. "Kau pikir semua bisa selesai hanya dengan memaksaku bicara?" Nagita bertanya dingin. Emosinya meluap ke permukaan, memandang Daniel dengan penuh geram. "Kau hanya peduli tentang dirimu ... seakan semua harus sesuai kehendakmu ...." Tangan Daniel menyentuh pipinya yang masih terasa perih. Pria itu memejamkan mata, meresapi tiap kata-kata yang Nagita lontarkan. Jantungnya seperti tertusuk ribuan jarum yang tajam. Apa ia sungguh melampaui batas? "Aku begitu muak, Daniel ...," desis Nagita lelah. "Kau hanya mementingkan egomu saja, tanpa mengerti apa yang aku rasa ...." Daniel bergerak mendekati Nagita. "Nagita ...," panggil Daniel pelan, "aku hanya ingin—""Ingin apa?" potong Nagita cepat, menantang. Ia sontak mengangkat dagunya, menatap mata Daniel dengan kilatan amarah. "Kau ingin aku memaafkan semua tingkahmu
Daniel terbelalak saat tubuh Nagita tersungkur, jatuh tepat dalam pelukannya. Atmosfer yang semula terasa tegang kontan berubah dingin dan menyesakkan, menghantam tepat jantung Daniel penuh rasa cemas. Kaki Daniel terkulai lemas, terduduk di lantai sembari memeluk tubuh dingin Nagita dengan tangan gemetar. "Nagita, sadarlah!" Daniel berseru khawatir dengan wajah pucat, mencoba menghentikan pendarahan di pergelangan tangan, merobek kaosnya untuk membalutkannya di luka Nagita. "Bertahanlah ...." Suara Daniel lirih, tersirat penuh akan kecemasan. Di luar kamar, Gilbert dan Lucas tak tinggal diam, tidak tahan bila hanya berdiam diri tanpa bertindak. Mereka menyadari kericuhan tak bisa lagi mereka abaikan, sehingga mereka mendobrak pintu tanpa harus menunggu perintah. Kedua bodyguard itu menerobos masuk saat pintu berhasil dibuka. Seketika itu pula Gilbert dan Lucas terbelalak kaget melihat apa yang ada di depan mata mereka. Lihatlah, tangan Daniel kini berlumuran darah, sedangkan tubu
Cahaya mentari pagi menyelinap masuk dari jendela kamar. Dengan perlahan Nagita membuka mata, terbangun dengan tubuh yang masih terasa lemah. Kepalanya tengah berdenyut-denyut, tapi ia memaksakan diri untuk mengingat apa yang telah terjadi pada dirinya. Nagita lalu memerhatikan sekeliling, spontan terkejut ketika menemukan mesin monitor berada di dalam kamarnya. "Apa ini?" Dengan rasa keterkejutan itu, ia memandang tajam mesin monitor yang menampilkan detak jantungnya yang terlihat stabil, seakan menunjukkan bahwa ia masih diberi kesempatan untuk hidup lebih lama lagi. "Isshhh ...," ringis Nagita yang kini merasakan nyeri pada pergelangan tangan. Perempuan itu sontak teringat tindakan yang pernah ia lakukan. Helaan napasnya terdengar saat matanya menangkap sebuah perban yang terlilit di lengan kirinya. Sesaat, Nagita tidak menyangka bila ia sampai bertindak senekat itu. 'Aku hampir mati bunuh diri ...,' gumamnya pada diri sendiri, bergidik ngeri. Namun, sesuatu yang hangat membuat
"Kau bisa pulang hari ini, Nona Nagita," jelas Dokter Joshua. "Kondisimu semakin baik, tapi tetap pastikan dirimu beristirahat dengan cukup." Nagita mengangguk pelan. Akhirnya setelah penantian panjang, ia diperbolehkan pulang atas izin dokter. "Terima kasih banyak, Dok," balas Nagita lembut. Daniel berjalan mendekat. Ia bersyukur menyaksikan Nagita berangsur pulih, tapi tidak bisa dipungkiri bila ada kesedihan yang nampak dari sorot mata Daniel. "Kau siap?" Suara Daniel terdengar berat. Ada perasaan tidak rela terselip dalam pertanyaannya, tetapi Daniel mencoba bersikap tegar. Pria itu mengulurkan tangan, membantu Nagita berdiri dari ranjang. Nagita mengangguk mantap sebagai jawaban. Hari kebebasan yang ia nanti selama ini akhirnya tiba. Seharusnya hari ini ia merayakan perpisahan dengan bersorak girang, tetapi Nagita hanya tersenyum tipis tanpa gairah. Daniel menuntun jalan Nagita dengan sabar. Tangannya merangkul Nagita sembari berjalan menuju mobil yang telah ia siapkan. Nagi
Semua barang milik Nagita berada di apartemen, dan sayangnya ia tidak punya akses untuk masuk ke dalam sana. Nagita merasa buntu, terjebak tanpa tahu jalan keluar. Nagita bahkan baru menyadari satu hal, ia tidak punya ongkos untuk pergi menemui keluarganya. Nagita merasa sendirian, seperti anak tersesat yang tidak tahu jalan pulang. Nagita lalu iseng meraba tas yang ia bawa, yang di dalamnya ia masukkan wig dan juga kacamata. Nagita merasa ... kedua benda itu akan ia gunakan di lain kesempatan. Firasatnya mengatakan benda itu penting untuk Nagita simpan. "Hah?" Dan betapa terkejutnya Nagita saat menemukan black card terselip di dalamnya. Daniel rupanya diam-diam memasukkan benda itu ke dalam tas Nagita. Perempuan itu sontak bernapas lega. Meski Daniel melepasnya pergi, tapi pria itu masih menunjukkan kepedulian yang nyata untuk Nagita. Namun .... Nagita ragu untuk menggunakan kartu eksklusif itu. Bukankah ia tak ingin terlibat lagi? Bukankah ia bertekad untuk tak mau merepotk
Nagita menahan diri agar tidak mendesah nikmat di depan Daniel, menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Sensasi panas menelusup masuk ke tubuh Nagita. Perempuan itu menahan napas saat Daniel bermain-main di lehernya, menyentuhnya dengan penuh gairah, sengaja meninggalkan tanda merah di leher Nagita. Daniel sejenak menghentikan aksi, menatap Nagita yang masih terdiam tanpa mengatakan sepatah kata. "Apa kau menyukainya?" Daniel bertanya lembut. Tubuh Nagita menegang, menatap Daniel yang begitu dekat dengan dirinya. Jantungnya berdegup kencang. Bohong jika ia tidak menyukai sentuhan yang Daniel lakukan. "Apa aku ...." "Lakukan saja," terang Nagita seakan terhipnotis begitu cepat, mengizinkan Daniel untuk berbuat lebih banyak lagi pada tubuhnya. Nagita tahu mereka sudah melewati batas, tapi kenikmatan yang Daniel berikan membuatnya terhanyut dan melayang. Ia sungguh menikmati rangsangan yang Daniel berikan. Daniel lalu menatap Nagita penuh gairah. Tatapan Daniel kini seperti hewan buas
"Kau bisa pulang hari ini, Nona Nagita," jelas Dokter Joshua. "Kondisimu semakin baik, tapi tetap pastikan dirimu beristirahat dengan cukup." Nagita mengangguk pelan. Akhirnya setelah penantian panjang, ia diperbolehkan pulang atas izin dokter. "Terima kasih banyak, Dok," balas Nagita lembut. Daniel berjalan mendekat. Ia bersyukur menyaksikan Nagita berangsur pulih, tapi tidak bisa dipungkiri bila ada kesedihan yang nampak dari sorot mata Daniel. "Kau siap?" Suara Daniel terdengar berat. Ada perasaan tidak rela terselip dalam pertanyaannya, tetapi Daniel mencoba bersikap tegar. Pria itu mengulurkan tangan, membantu Nagita berdiri dari ranjang. Nagita mengangguk mantap sebagai jawaban. Hari kebebasan yang ia nanti selama ini akhirnya tiba. Seharusnya hari ini ia merayakan perpisahan dengan bersorak girang, tetapi Nagita hanya tersenyum tipis tanpa gairah. Daniel menuntun jalan Nagita dengan sabar. Tangannya merangkul Nagita sembari berjalan menuju mobil yang telah ia siapkan. Nagi
Cahaya mentari pagi menyelinap masuk dari jendela kamar. Dengan perlahan Nagita membuka mata, terbangun dengan tubuh yang masih terasa lemah. Kepalanya tengah berdenyut-denyut, tapi ia memaksakan diri untuk mengingat apa yang telah terjadi pada dirinya. Nagita lalu memerhatikan sekeliling, spontan terkejut ketika menemukan mesin monitor berada di dalam kamarnya. "Apa ini?" Dengan rasa keterkejutan itu, ia memandang tajam mesin monitor yang menampilkan detak jantungnya yang terlihat stabil, seakan menunjukkan bahwa ia masih diberi kesempatan untuk hidup lebih lama lagi. "Isshhh ...," ringis Nagita yang kini merasakan nyeri pada pergelangan tangan. Perempuan itu sontak teringat tindakan yang pernah ia lakukan. Helaan napasnya terdengar saat matanya menangkap sebuah perban yang terlilit di lengan kirinya. Sesaat, Nagita tidak menyangka bila ia sampai bertindak senekat itu. 'Aku hampir mati bunuh diri ...,' gumamnya pada diri sendiri, bergidik ngeri. Namun, sesuatu yang hangat membuat
Daniel terbelalak saat tubuh Nagita tersungkur, jatuh tepat dalam pelukannya. Atmosfer yang semula terasa tegang kontan berubah dingin dan menyesakkan, menghantam tepat jantung Daniel penuh rasa cemas. Kaki Daniel terkulai lemas, terduduk di lantai sembari memeluk tubuh dingin Nagita dengan tangan gemetar. "Nagita, sadarlah!" Daniel berseru khawatir dengan wajah pucat, mencoba menghentikan pendarahan di pergelangan tangan, merobek kaosnya untuk membalutkannya di luka Nagita. "Bertahanlah ...." Suara Daniel lirih, tersirat penuh akan kecemasan. Di luar kamar, Gilbert dan Lucas tak tinggal diam, tidak tahan bila hanya berdiam diri tanpa bertindak. Mereka menyadari kericuhan tak bisa lagi mereka abaikan, sehingga mereka mendobrak pintu tanpa harus menunggu perintah. Kedua bodyguard itu menerobos masuk saat pintu berhasil dibuka. Seketika itu pula Gilbert dan Lucas terbelalak kaget melihat apa yang ada di depan mata mereka. Lihatlah, tangan Daniel kini berlumuran darah, sedangkan tubu
Tamparan yang Nagita layangkan menghujam tepat harga diri Daniel. Ruangan seketika senyap. Gilbert dan Lucas yang ikut menyaksikan itu kompak terdiam, tidak berani bersuara. "Kau pikir semua bisa selesai hanya dengan memaksaku bicara?" Nagita bertanya dingin. Emosinya meluap ke permukaan, memandang Daniel dengan penuh geram. "Kau hanya peduli tentang dirimu ... seakan semua harus sesuai kehendakmu ...." Tangan Daniel menyentuh pipinya yang masih terasa perih. Pria itu memejamkan mata, meresapi tiap kata-kata yang Nagita lontarkan. Jantungnya seperti tertusuk ribuan jarum yang tajam. Apa ia sungguh melampaui batas? "Aku begitu muak, Daniel ...," desis Nagita lelah. "Kau hanya mementingkan egomu saja, tanpa mengerti apa yang aku rasa ...." Daniel bergerak mendekati Nagita. "Nagita ...," panggil Daniel pelan, "aku hanya ingin—""Ingin apa?" potong Nagita cepat, menantang. Ia sontak mengangkat dagunya, menatap mata Daniel dengan kilatan amarah. "Kau ingin aku memaafkan semua tingkahmu
Daniel menatap pintu penghalang yang sedari tadi terkunci rapat. Gilbert dan Lucas telah memperingatkan Daniel untuk segera pergi dari kamar Nagita, tapi pria itu mengabaikannya. Ia hanya ingin menemui Nagita malam ini, dan memperbaiki semua kekacauan. Daniel tidak ingin menunggu terlalu lama. Semakin Daniel membiarkan kesalahpahaman ini terjadi, Nagita akan semakin jauh dari genggaman Daniel. Dengan helaan napasnya yang terasa berat di balik wajah tegas Daniel, pria itu terus mengetuk pintu dan memanggil nama Nagita, berharap Nagita keluar dan mau bicara seperti yang Daniel harapkan. Namun, pintu itu tetap bergeming. Hanya kesunyian yang selalu setia menyambut Daniel. Meski Nagita ada di dalam sana, perempuan itu memilih tidak bersuara, enggan menyahut panggilan Daniel. "Nagita ...," ujar Daniel yang masih keukeh memanggil. "Mari kita bicara ...." Suaranya rendah, tetapi terdengar tegas. Masih tidak ada respons. Nagita tetap diam seribu bahasa. "Nona mungkin sudah tidur, Tuan,"
"Mari, Nona." Nagita turun dari mobil diiringi Gilbert dan Lucas. Warna oranye mulai menghiasi langit, tanda senja tengah menyapa. Nagita melangkah menyusuri pemakaman yang sunyi ditemani hawa dingin yang menusuk tulang. Lalu di antara bunga layu yang bertaburan di sekitarnya, nisan bertuliskan nama Laura menyayat hati Nagita. "Laura ...," bisik Nagita lemah. Hatinya tercabik penuh luka. "Maafkan aku ...." Tangisan Nagita pecah. Duka itu teramat menyesakkan untuknya. Nyatanya sulit sekali untuk menerima kenyataan di depan mata. Nagita sampai menyalahkan diri sendiri atas kehilangan ini. "Mungkin nasibmu akan jauh lebih baik jika tak mengenalku, Laura ...," lirih Nagita. Air mata terus mengalir di pipinya. "Aku pembawa sial ...." Gilbert dan Lucas berdiri lemas beberapa langkah dari Nagita yang masih berduka. Lucas, yang awalnya enggan membuka mulut, lantas angkat bicara dengan kepala tertunduk. "Ini memang menyakitkan, Nona, tapi tidak ada gunanya menyalahkan diri Nona sendiri
"Menjauh dariku!" bentak Nagita. Matanya berubah tajam, menatap Daniel penuh amarah yang memuncak. "Kalau bukan karenamu, Laura tidak akan mati seperti ini!" Nagita menggertak penuh tuduhan. "Aku bisa jelaskan ...," Daniel berujar pelan, mencoba tidak terpancing emosi di hadapan Nagita, memilih bersikap tenang. "Aku tidak seburuk itu, Nagita. Ini tidak seperti yang kau bayangkan ...." Nagita menggeleng lemah, mundur perlahan saat Daniel melangkah mendekatinya. "Apa yang perlu dijelaskan lagi? Bukankah semua sudah jelas?" lirih Nagita dengan tubuh gemetar.Menurut Nagita, motif pembunuhan Laura semata-mata karena Daniel ingin melindungi dirinya, tidak ingin dicap sebagai penculik Nagita bila pelayannya buka suara. "Aku benci caramu menghancurkan orang-orang di sekitarku!" Daniel membisu, membiarkan Nagita meluapkan amarahnya meski kata-kata itu begitu menusuk jantungnya. Daniel tahu perempuan ini sedang diselimuti rasa sedih dan kehilangan, sehingga Daniel tidak ingin membalasnya d