Konten 16+ : Dea memulai hidup barunya setelah menjalani terapi psikis karena kehilangan tunangannya 3 tahun lalu. Orangtua Dea mengenalkan nya pada laki-laki bernama Aiden. Kedua keluarga sudah setuju untuk menikahkan mereka, tetapi Aiden ternyata sudah memiliki kekasih. Apa yang akan dilakukan Dea ketika mengetahui bahwa Aiden memiliki kekasih? Apa akan membatalkan perjodohan atau tetap meneruskannya?
ดูเพิ่มเติมBenturan hebat terjadi dipembatas jalan,membuat besi pembatas jalan penyok karena benturan mobil. Darah segar mengalir didahi wanita itu, Dea nama wanita itu. Wanita yang seminggu lagi akan melaksanakan hari bahagianya.
Rasa nyeri menjalar disekujur tubuhnya, serpihan kaca lembut menancap dikulitnya yang putih mulus, terlihat kabin mobil yang hancur didepannya, kaca yang semula melindunginya dari bahaya ketika berkendara kini menjadi bumerang yang melukai tubuhnya. Dengan pengheliatan kabur dia melihat kekasihnya yang bersimbah darah disampingnya dengan kepala yang sudah tertancap disetir mobil. Airon nama kekasih Dea, sekaligus yang akan menjadi suaminya kelak. Degup jantungnya terasa begitu hebat, badannya merinding sekaligus nyeri ketika dia melihat darah, badannya menjadi kaku dan sulit digerakkan. Dengan pengheliatan yang buram, Dea melihat bibir Airon yang tersenyum tipis.
“Kakk,” panggil Dea kepada kekasihnya, mencoba mengulurkan tangan untuk memegang tubuh kekasihnya itu, tidak ada respon dari laki-laki yang disampingnya. Kepalanya yang terasa pusing memaksanya untuk menutup mata. Dea dan Airon tidak sadarkan diri, semua orang yang berada didekat kejadian langsung berkumpul dan mencoba menyelamatkan mereka berdua.
Gelap, dingin, sendirian yang dirasakan perempuan itu, berjalan tidak menentu mencari jalan keluar, tapi semakin dia berjalan semakin terasa bahwa tempat ini sangat luas. Berkelebatan orang-orang yang dia kenal tetapi ketika dia mencoba mendekatinya, mereka semua menjauh pergi, dia mendekati orang-orang itu berkali-kali tetap tidak bisa, semakin mendekat semakin menjauh. Hingga dia menyadari bahwa itu akan sia-sia, karena mereka hanya sebuah ilusi.
‘Ini dimana?’ batinnya. ‘Halusinasi? Ilusi? Fatamorgana? Atau alam bawah sadar?’
Dea mengingat-ingat apa yang terjadi sebelumnya. Dia sedang pergi dengan tunangannya berniat untuk fitting baju pernikahan, dalam perjalanan tiba-tiba rem mobil blong, mau tidak mau tunangannya membanting setir kepembatas jalan daripada menabrak orang-orang yang sedang menunggu lampu hijau menyala dilalu lintas.
Nginggg...!! dengungan dalam gendang telinganya, begitu menyakitkan. Dea berteriak, "Arghhhh..! sakit." Dengan memegang kedua telinganya Dea berjalan kesana kemari, dengungan telinganya hilang. kali ini berganti dadanya yang terasa sakit. Dea tersungkur, badannya terasa sakit semua, detak jantungnya terasa sangat menyakitkan bak ditusuk panah listrik tepat dijantungnya. Dea sangat tersiksa membuatnya berteriak berkali-kali. Beberapa waktu setelah itu rasa sakit yang dia rasakan menghilang.
Kini suhu dikelilingnya berubah menjadi semakin dingin, dia memeluk tubuhnya sendiri agar bisa merasakan kehangatan, tapi sia-sia tubuhnya semakin merasa kedinginan.
“Hahhh….” dihembuskan udara dari mulutnya telapak tangannya berharap menemukan kehangatan, tapi tidak ada. Dia mencoba menghembuskan nafasnya beberapa kali, menggosok-gosokkan telapak tangannya, tetapi tidak ada yang berhasil menghangatkan badannya.
Tiba-tiba sepasang tangan memegang tangannya, menghadirkan sebuah kehangatan, Dea mendongakkan kepalanya untuk melihat siapa gerangan yang memegang tangannya.
“Kakk,” panggilnya dengan kedua bola mata yang membelalak lebar seakan tak percaya bahwa ada orang lain ditempat luas dan gelap ini yang bisa dia sentuh. Laki-laki itu tersenyum simpul, Airon tunangannya. Dea langsung memeluk laki-laki itu dengan erat. Menangis dengan sesenggukan karena merasa lega. Akhirnya dia tidak sendiri ditempat gelap ini.
“Hiks hiks,” sisa sesenggukan wanita itu dalam pelukan Airon. Ketika dia sudah merasa baikan, dia melepas pelukannya. Laki-laki itu masih menghadirkan senyum yang begitu indah untuknya. Menghapus sisa air mata yang mengalir dipipi Dea, dengan lembut, tatapan yang begitu memabukkan. Airon memegang kedua pipinya, mengecup keningnya dengan lembut. Lalu tangan laki-laki itu menunjuk sebuah pintu disamping mereka. Pintu kayu yang terbuka, disana terdapat sosok laki-laki yang wanita itu kenal.
“Ayah,” panggil wanita itu. Ayahnya sedang merentang kedua tangannya yang seakan mengatakan, ‘Ayo sini peluk Ayah juga’
Dea menoleh pada Airon. Airon tersenyum, mengangkat Dea agar segera berdiri, mereka berjalan beriringan menuju pintu, ketika sampai didepan daun pintu ayahnya sudah mengulurkan salah satu tangannya, dengan senang wanita itu menyambut uluran tangan sang ayah. Dengan paksa ayahnya menariknya sehingga tangannya terlepas dari gandengan tangan sang laki-laki. Cahaya putih menyilaukan memenuhi ruangan itu.
“Ayo pulang,” ucap ayah padanya dengan pelukan yang sangat erat.
“Kakk… ayo bangun,” suara purau lemah terdengar ditelinga Dea. ’Itu suara Ayah!’ dia berusaha membuka matanya tetapi tidak bisa.
“Hiks.. hiks.. sampai kapan Kakak tidur terus?” tanya seseorang, tapi wanita ini tau bahwa itu mamanya.
Dia berusaha membuka matanya tetapi tidak bisa.
“Sudah hampir tiga minggu Dia tidak bangun,” ucap mama yang sangat mengahawatirkan Dea, wanita yang terbaring diranjang rumah sakit ini. Sudah tiga minggu Dea tidak sadarkan diri.
“Sabar Ma.. kita doakan yang terbaik biar Kakak cepat bangun,” ujar ayah yang berusaha menenangkan mama.
“Kata dokter keadaannya sudah stabil tapi kenapa belum bangun juga,” keluh mama.
Tok tok tok.. klek..
“Assalamualaikum,” salam seseorang. Suara laki-laki berbadan tinggi agak berisi yang membuka pintu kamar rawat Dea, diikuti wanita paruh baya tinggi semampai. Itu mertuanya.
“Waalaikumsalam,” jawab ayah. Mereka menghampiri ayah dan langsung cipika-cipiki.
“Bagaimana keadaan Dea?” tanya Imam, ayah mertua Dea.
“Sudah stabil tetapi belum bangun juga dari komanya,” jawab ayah. Lilis mertua perempuan menghampiri Dea, mengelus lembut ujung rambut Dea.
“Bangun yuk Nak.. kami khawatir ngeliat kamu kayak gini,” ucap Lilis dengan suara lembutnya, matanya kelihatan sangat sembab. Tanpa terasa air mata keluar dari pelupuknya. Mereka semua mendekat keranjang Dea.
‘Ahhh mereka semua khawatir kepadaku. Tapi susah sekali’ keluh Dea dari dalam hati.
“Ayok anak cantik,” ucap ayah mertuanya.
“Ayo Kakak pasti bisa, Ayah tau Kakak bisa dengar kami semua disini,” ujar ayah menyemangati Dea yang sedang berusaha membuka matanya. Mama Dea hanya menangis ketika mereka semua menyemangati Dea untuk membuka matanya.
Dea berusaha membuka matanya, sangat sulit. Dia berusaha membukanya lagi, menjaga kesadaran dirinya agar bisa membuka matanya, perlahan mata itu terbuka. Cahaya menyilaukan dari lampu kamar membuatnya harus beradaptasi. Perlahan Dea mulai bisa melihat dengan jelas, semua orang tampak terkejut ketika dia berhasil membuka matanya.
Dea berhasil membuka matanya, semua orang yang berada disana senang dan langsung mengucapkan syukur.
"Alhamdulillah ya Allah."
Ayah langsung berlari keluar kamar memanggil dokter untuk mengecek keadaan Dea, mama yang semakin menangis haru memeluk badan Dea.
"Terimakasih Sayang, udah mau membuka mata buat mama," ucap mama dengan tersedu-sedu.
Mama mertua menangis dipelukan suaminya, Imam memeluk istrinya dengan erat dan tanpa sadar airmatanya ikut lolos dari kedua matanya. Ayah datang bersama dokter yang didampingi suster untuk mengecek keadaan Dea. Kepala Dea masih sangat pusing, jadi perlahan dia tidur kembali.
Dea rawat inap selama lima hari dirumah sakit, dan hari ini adalah hari terakhir dia berada dirumah sakit. Mama sedang mengemasi barang-barang yang ada dikamar.
“Sudah Ma?” tanya ayah semangat kepada mama yang menutup resleting koper.
“Udah,” jawab mama, lalu mengangkat tas ditangan kanannya.
“Oke. Ayo kak,” ucap ayah kepada Dea. Ayah membopong tubuh Dea, tetapi tiba-tiba suster masuk dengan membawa kursi roda.
“Didorong pakai ini aja pak, biar nggak kesusahan,” ucap suster itu kepada ayah.
“Iya. Makasih ya Sus,” ucap ayah kepada suster.
“Sama-sama pak,” jawab suster. Dea duduk diatas kursi roda dibantu oleh ayah.
“Yaudah ya Sus kita pamit pulang dulu, makasih udah bantu kami,” pamit mama. lalu memeluk suster.
“Sama-sama Bun, memang tugas saya adalah merawat dan melayani pasien. Semoga lekas membaik ya Kak,” ucap suster kepada mama dan Dea. Dea hanya tersenyum kepada suster.
Ayah mulai mendorong kursi roda menuju mobil yang terparkir didepan rumah sakit. Lalu Masuk kedalam mobil. Ketika didalamm mobil, dada Dea berdegup dengan kencang, dia berusaha mengatur agar tubuhnya tetap tenang, merilekskan tubuhnya.
Mobil mulai melaju ke jalanan menuju rumah, dalam perjalanan Dea termenung sambil menenangkan dirinya yang tidak juga merasa tenang, tiba-tiba ingatan dia pasca kecelakaan terulang dipikirannya, dia berusaha tetap tenang tidak mau membuat orangtuanya khawatir, sehingga dalam perjalanan dia diam saja.
Kilauan lampu-lampu kota Monaco memantul di permukaan laut, menciptakan pemandangan yang begitu magis. Dari balkon suite mewah mereka, Dea memandangi keindahan kota yang tak pernah tidur itu, sementara di belakangnya, langkah Aiden semakin mendekat.Tanpa suara, pria itu melingkarkan lengannya di pinggang Dea, menariknya ke dalam dekapan hangat. "Kau terlalu serius menatap ke luar," gumamnya di dekat telinga istrinya, suaranya berat namun mengandung senyum.Dea tersenyum kecil, membiarkan tubuhnya bersandar ke dada bidang suaminya. "Aku masih tak percaya kita ada di sini," bisiknya, jemarinya tanpa sadar menyentuh lengan Aiden yang melingkupinya.Aiden memiringkan kepalanya, menatap wajah wanita yang kini benar-benar menjadi miliknya. "Aku sudah bilang, aku akan membawamu ke mana pun kau mau, selama kau tetap di sisiku."Dea menoleh, mata mereka bertemu dalam kehangatan yang sulit dijelaskan. "Dan kau yakin ingin terus bersamaku?" tanyanya lirih.Alih-alih menjawab dengan kata-kata, Ai
Kembali ke Pelukan yang SamaDea berlari menerobos masuk tanpa permisi. Napasnya memburu, dadanya sesak oleh perasaan yang berkecamuk. Jantungnya berdegup kencang saat menyadari beberapa orang menatapnya penuh keterkejutan."Madam! Tuan ada di kamar!" teriak Rara dari kejauhan saat menyadari perempuan itu masuk ke rumah.Tanpa ragu, Dea langsung menaiki tangga, melewati lorong yang sudah begitu familiar di ingatannya. Setiap langkah terasa begitu berat, seolah ada beban yang menekan dadanya. Ia tidak tahu apakah Aiden masih menginginkannya di sini. Ia tidak tahu apakah dirinya masih punya tempat di sisi pria itu.Tangannya gemetar saat ia mendorong pintu kamar yang tidak terkunci. Pandangannya langsung tertuju pada sosok yang duduk di tepi ranjang, membelakanginya. Aiden.Laki-laki itu tampak jauh lebih kurus dibanding terakhir kali ia melihatnya. Rambutnya berantakan, wajahnya lelah, dan di sampingnya terdapat botol alkohol yang belum sepenuhnya kosong.Dea menahan napas. Ini bukan A
Devano menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya yang bergejolak. Ia berdiri tegak, menatap Dea dengan tatapan yang lebih dalam daripada sebelumnya. Mata mereka bertemu, dan wanita itu bisa melihat kejujuran yang memancar dari dalam dirinya. Devano jarang sekali begitu terbuka, tetapi malam ini, ia merasa ini adalah saat yang tepat untuk mengungkapkan apa yang telah lama ia simpan."Aku datang untuk berbicara, Dea," katanya pelan, suaranya sedikit serak. "Ada hal yang harus aku katakan padamu."Wanita itu mengernyitkan dahi, sedikit bingung. "Ada apa? Apa yang kamu maksud?"Devano melangkah lebih dekat, meskipun hatinya terasa berat. Namun, ini adalah momen yang menentukan, dan meskipun ia tahu itu bisa membuat segalanya lebih rumit, ia tak bisa lagi menahan perasaannya."Dea, aku tahu selama ini kita hanya teman, mungkin lebih dari itu bagi sebagian orang," katanya dengan hati-hati. "Tapi aku ingin jujur padamu. Aku..." Pria itu menggantungkan ucapannya, tetapi tak berselang l
"Tentu," Dea menjawab, menatapnya dengan sorot ingin tahu. Devano menghela napas sebelum melanjutkan, suaranya sedikit lebih serius dibanding sebelumnya. "Kamu benar-benar tidak ingin kembali pada Aiden?" Langkah Dea kembali terhenti sejenak. Ada keheningan di antara mereka, hanya terdengar langkah-langkah para pengawal yang berjaga di sekitar. Mata Dea menatap Devano lurus, ekspresinya tenang, tetapi ada sesuatu dalam tatapannya yang sulit diterjemahkan."Aiden benar-benar hancur, Dea," lanjut Devano, suaranya lebih pelan kali ini. "Dia mencarimu ke mana-mana. Dia bahkan tidak lagi peduli pada pekerjaannya. Kau mungkin berpikir dia akan baik-baik saja tanpamu, tapi kenyataannya tidak begitu. Dia benar-benar hancur."Dea mengepalkan tangannya tanpa sadar. Dia tahu bahwa meninggalkan Aiden bukanlah hal mudah bagi keduanya, tapi mendengar kondisi Aiden dari mulut Devano tetap saja menimbulkan sesuatu yang menghimpit dadanya. "Aku pergi bukan karena aku ingin, Dev," kata Dea akhirnya,
Sekian bulan berlalu, namun keberadaan Dea masih menjadi misteri yang tak kunjung terpecahkan. Aiden sudah mengerahkan segala cara memanfaatkan koneksinya, menyewa detektif terbaik, bahkan mencoba melacak sendiri pergerakan orang-orang Wijaya, tetapi hasilnya nihil. Seolah-olah Dea benar-benar menghilang dari dunia ini.Pikiran Aiden dipenuhi oleh kegelisahan. Rasa frustrasi terus menghantui setiap langkahnya, membuatnya semakin tenggelam dalam keputusasaan. Ia bahkan melupakan tugas-tugasnya sebagai pemimpin perusahaan, membiarkan semuanya terbengkalai.Di rumah, Rita dan Kusuma hanya bisa memandang putra mereka dengan rasa bersalah yang semakin menumpuk. Mereka tahu bahwa ini semua adalah akibat dari keputusan yang mereka paksa Aiden untuk melepaskan kasus Andre dan menutup mata atas segala kerugian yang ditimbulkan kakaknya demi menjaga nama baik keluarga."Dia tidak bisa terus seperti ini, Pa," Rita berkata pelan saat melihat Aiden yang hanya duduk diam di ruang kerjanya, tatapann
"Ini di mana, Yah?" tanya Dea selepas ia sadarkan diri. Orang pertama yang ia lihat adalah Wijaya, kemudian Lusi. Keduanya hanya diam saat ia bertanya. Wanita itu pun dibuat kebingungan dengan situasi saat ini. Ketika keduanya memilih keluar, berganti Bad masuk dengan raut wajah yang sulit dijelaskan. "Kita berada di markas baru, Madam," ucap pria itu penuh hormat.Dea mengerutkan kening, matanya menyapu ruangan asing yang kini menjadi tempatnya terbaring. Aroma antiseptik masih tercium, tapi ini bukan rumah sakit. Ruangan ini lebih luas, tenang, dan tidak ada perawat yang berlalu-lalang. "Markas baru?" ulangnya dengan suara serak, mencoba mencerna kata-kata Bad. Pria itu mengangguk pelan. Sorot matanya penuh kehati-hatian, seolah sedang mengamati reaksi Dea. "Ya, Madam. Ketua membawa Anda ke sini untuk keselamatan Anda." Keselamatan? Dari apa? Dea mencoba duduk, tapi tubuhnya masih terasa lemah. Kepalanya berdenyut ringan, membuatnya memejamkan mata sejenak. Ia mengingat se
Hakim menghela napas berat sebelum menatap Sony dengan penuh ketegasan. "Setelah mempertimbangkan seluruh bukti dan kesaksian yang telah diberikan dalam persidangan, pengadilan menjatuhkan vonis kepada terdakwa Sony dengan hukuman 20 tahun penjara tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat, serta denda sebesar 5 miliar rupiah."Suasana ruang sidang kembali gemuruh. Hukuman yang lebih berat dari Wendy menunjukkan betapa serius kejahatan yang telah dilakukan Sony.Sony hanya mendengus kecil, tidak menunjukkan penyesalan sedikit pun. Dia menatap ke arah Aiden dan menyeringai. "Kau mungkin menang kali ini, Aiden. Tapi dunia ini tidak akan membiarkanmu hidup tenang."Aiden tidak menanggapi. Ia hanya menatap Sony dalam-dalam, menyadari bahwa musuhnya tidak akan pernah benar-benar berubah.Setelah keputusan hakim, petugas segera memborgol Sony dan membawanya keluar dari ruang sidang. Aiden menarik napas panjang, merasa lega meskipun sebagian dari dirinya masih dihantui oleh luka yang ditinggalka
Ruang sidang dipenuhi dengan suara bisik-bisik dan tatapan tajam yang tertuju pada satu sosok di tengah ruangan, Wendy. Wanita itu duduk di kursi terdakwa dengan tangan yang terborgol, tetapi ekspresinya tetap penuh keangkuhan.Hakim mengetukkan palunya, menandakan persidangan dimulai."Saudari Wendy, Anda didakwa atas berbagai tuduhan, termasuk percobaan pembunuhan terhadap Nyonya Dea, persekongkolan untuk menghancurkan perusahaan Tuan Aiden, serta keterlibatan dalam berbagai tindakan ilegal lainnya. Apakah Anda mengakui dakwaan ini?" tanya Hakim dengan suara tegas.Wendy tersenyum miring. "Saya mengakui semuanya," jawabnya santai, membuat riuh kecil di dalam ruang sidang.Aiden, yang duduk di kursi saksi bersama pengacaranya, menatap Wendy dengan rahang mengatup rapat. Dea, yang masih dalam pemulihan, hadir dalam persidangan dengan wajah pucat tetapi sorot mata tajam.Jaksa kemudian berdiri dan mulai berbicara. "Bisa Anda jelaskan motif Anda melakukan semua ini? Apa alasan Anda ingi
Insiden penyekapan berjalan dengan cepat hingga semua pelaku dikumpulkan dalam persidangan Sayangnya ada satu orang yang disinyalir menreh luka mendalam untuk keluarga Aiden, yakni Andre. Pria itu mendapat panggilan dari pihak kepolisian, tetapi dia sudah terbang ke luar negeri.Rita dan Kusuma tidak bisa menghubungi anak sulung mereka. Wajah keduanya tampak pias ketika melihat Aiden. "Sampai sekarang Mama dan Papa tidak bisa menghubungi Andre," ujar Rita pada putranya. "Tidak bisakah kamu melepaskan, Andre? Bagaimanapun dia adalah Kakakmu." Wanita itu tampak tak berdaya merasakan dilema di dalam hatinya. Pada akhirnya, Kusuma yang sedari tadi membisu mulai angkat bicara. "Biar Papa yang menghukum Kakakmu, Nak. Sebagai gantinya, sebagian warisan yang akan kami turunkan pada Andre kini kualihkan ke kamu, Aiden." Aiden hanya diam mendengarkan ucapan orangtuanya. Tak berselang lama, ia memilih pergi tanpa memberikan jawaban. Helaan napas terdengar dari mulutnya. Entah bagaimana, ia me
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
ความคิดเห็น