Benturan hebat terjadi dipembatas jalan,membuat besi pembatas jalan penyok karena benturan mobil. Darah segar mengalir didahi wanita itu, Dea nama wanita itu. Wanita yang seminggu lagi akan melaksanakan hari bahagianya.
Rasa nyeri menjalar disekujur tubuhnya, serpihan kaca lembut menancap dikulitnya yang putih mulus, terlihat kabin mobil yang hancur didepannya, kaca yang semula melindunginya dari bahaya ketika berkendara kini menjadi bumerang yang melukai tubuhnya. Dengan pengheliatan kabur dia melihat kekasihnya yang bersimbah darah disampingnya dengan kepala yang sudah tertancap disetir mobil. Airon nama kekasih Dea, sekaligus yang akan menjadi suaminya kelak. Degup jantungnya terasa begitu hebat, badannya merinding sekaligus nyeri ketika dia melihat darah, badannya menjadi kaku dan sulit digerakkan. Dengan pengheliatan yang buram, Dea melihat bibir Airon yang tersenyum tipis.
“Kakk,” panggil Dea kepada kekasihnya, mencoba mengulurkan tangan untuk memegang tubuh kekasihnya itu, tidak ada respon dari laki-laki yang disampingnya. Kepalanya yang terasa pusing memaksanya untuk menutup mata. Dea dan Airon tidak sadarkan diri, semua orang yang berada didekat kejadian langsung berkumpul dan mencoba menyelamatkan mereka berdua.
Gelap, dingin, sendirian yang dirasakan perempuan itu, berjalan tidak menentu mencari jalan keluar, tapi semakin dia berjalan semakin terasa bahwa tempat ini sangat luas. Berkelebatan orang-orang yang dia kenal tetapi ketika dia mencoba mendekatinya, mereka semua menjauh pergi, dia mendekati orang-orang itu berkali-kali tetap tidak bisa, semakin mendekat semakin menjauh. Hingga dia menyadari bahwa itu akan sia-sia, karena mereka hanya sebuah ilusi.
‘Ini dimana?’ batinnya. ‘Halusinasi? Ilusi? Fatamorgana? Atau alam bawah sadar?’
Dea mengingat-ingat apa yang terjadi sebelumnya. Dia sedang pergi dengan tunangannya berniat untuk fitting baju pernikahan, dalam perjalanan tiba-tiba rem mobil blong, mau tidak mau tunangannya membanting setir kepembatas jalan daripada menabrak orang-orang yang sedang menunggu lampu hijau menyala dilalu lintas.
Nginggg...!! dengungan dalam gendang telinganya, begitu menyakitkan. Dea berteriak, "Arghhhh..! sakit." Dengan memegang kedua telinganya Dea berjalan kesana kemari, dengungan telinganya hilang. kali ini berganti dadanya yang terasa sakit. Dea tersungkur, badannya terasa sakit semua, detak jantungnya terasa sangat menyakitkan bak ditusuk panah listrik tepat dijantungnya. Dea sangat tersiksa membuatnya berteriak berkali-kali. Beberapa waktu setelah itu rasa sakit yang dia rasakan menghilang.
Kini suhu dikelilingnya berubah menjadi semakin dingin, dia memeluk tubuhnya sendiri agar bisa merasakan kehangatan, tapi sia-sia tubuhnya semakin merasa kedinginan.
“Hahhh….” dihembuskan udara dari mulutnya telapak tangannya berharap menemukan kehangatan, tapi tidak ada. Dia mencoba menghembuskan nafasnya beberapa kali, menggosok-gosokkan telapak tangannya, tetapi tidak ada yang berhasil menghangatkan badannya.
Tiba-tiba sepasang tangan memegang tangannya, menghadirkan sebuah kehangatan, Dea mendongakkan kepalanya untuk melihat siapa gerangan yang memegang tangannya.
“Kakk,” panggilnya dengan kedua bola mata yang membelalak lebar seakan tak percaya bahwa ada orang lain ditempat luas dan gelap ini yang bisa dia sentuh. Laki-laki itu tersenyum simpul, Airon tunangannya. Dea langsung memeluk laki-laki itu dengan erat. Menangis dengan sesenggukan karena merasa lega. Akhirnya dia tidak sendiri ditempat gelap ini.
“Hiks hiks,” sisa sesenggukan wanita itu dalam pelukan Airon. Ketika dia sudah merasa baikan, dia melepas pelukannya. Laki-laki itu masih menghadirkan senyum yang begitu indah untuknya. Menghapus sisa air mata yang mengalir dipipi Dea, dengan lembut, tatapan yang begitu memabukkan. Airon memegang kedua pipinya, mengecup keningnya dengan lembut. Lalu tangan laki-laki itu menunjuk sebuah pintu disamping mereka. Pintu kayu yang terbuka, disana terdapat sosok laki-laki yang wanita itu kenal.
“Ayah,” panggil wanita itu. Ayahnya sedang merentang kedua tangannya yang seakan mengatakan, ‘Ayo sini peluk Ayah juga’
Dea menoleh pada Airon. Airon tersenyum, mengangkat Dea agar segera berdiri, mereka berjalan beriringan menuju pintu, ketika sampai didepan daun pintu ayahnya sudah mengulurkan salah satu tangannya, dengan senang wanita itu menyambut uluran tangan sang ayah. Dengan paksa ayahnya menariknya sehingga tangannya terlepas dari gandengan tangan sang laki-laki. Cahaya putih menyilaukan memenuhi ruangan itu.
“Ayo pulang,” ucap ayah padanya dengan pelukan yang sangat erat.
“Kakk… ayo bangun,” suara purau lemah terdengar ditelinga Dea. ’Itu suara Ayah!’ dia berusaha membuka matanya tetapi tidak bisa.
“Hiks.. hiks.. sampai kapan Kakak tidur terus?” tanya seseorang, tapi wanita ini tau bahwa itu mamanya.
Dia berusaha membuka matanya tetapi tidak bisa.
“Sudah hampir tiga minggu Dia tidak bangun,” ucap mama yang sangat mengahawatirkan Dea, wanita yang terbaring diranjang rumah sakit ini. Sudah tiga minggu Dea tidak sadarkan diri.
“Sabar Ma.. kita doakan yang terbaik biar Kakak cepat bangun,” ujar ayah yang berusaha menenangkan mama.
“Kata dokter keadaannya sudah stabil tapi kenapa belum bangun juga,” keluh mama.
Tok tok tok.. klek..
“Assalamualaikum,” salam seseorang. Suara laki-laki berbadan tinggi agak berisi yang membuka pintu kamar rawat Dea, diikuti wanita paruh baya tinggi semampai. Itu mertuanya.
“Waalaikumsalam,” jawab ayah. Mereka menghampiri ayah dan langsung cipika-cipiki.
“Bagaimana keadaan Dea?” tanya Imam, ayah mertua Dea.
“Sudah stabil tetapi belum bangun juga dari komanya,” jawab ayah. Lilis mertua perempuan menghampiri Dea, mengelus lembut ujung rambut Dea.
“Bangun yuk Nak.. kami khawatir ngeliat kamu kayak gini,” ucap Lilis dengan suara lembutnya, matanya kelihatan sangat sembab. Tanpa terasa air mata keluar dari pelupuknya. Mereka semua mendekat keranjang Dea.
‘Ahhh mereka semua khawatir kepadaku. Tapi susah sekali’ keluh Dea dari dalam hati.
“Ayok anak cantik,” ucap ayah mertuanya.
“Ayo Kakak pasti bisa, Ayah tau Kakak bisa dengar kami semua disini,” ujar ayah menyemangati Dea yang sedang berusaha membuka matanya. Mama Dea hanya menangis ketika mereka semua menyemangati Dea untuk membuka matanya.
Dea berusaha membuka matanya, sangat sulit. Dia berusaha membukanya lagi, menjaga kesadaran dirinya agar bisa membuka matanya, perlahan mata itu terbuka. Cahaya menyilaukan dari lampu kamar membuatnya harus beradaptasi. Perlahan Dea mulai bisa melihat dengan jelas, semua orang tampak terkejut ketika dia berhasil membuka matanya.
Dea berhasil membuka matanya, semua orang yang berada disana senang dan langsung mengucapkan syukur.
"Alhamdulillah ya Allah."
Ayah langsung berlari keluar kamar memanggil dokter untuk mengecek keadaan Dea, mama yang semakin menangis haru memeluk badan Dea.
"Terimakasih Sayang, udah mau membuka mata buat mama," ucap mama dengan tersedu-sedu.
Mama mertua menangis dipelukan suaminya, Imam memeluk istrinya dengan erat dan tanpa sadar airmatanya ikut lolos dari kedua matanya. Ayah datang bersama dokter yang didampingi suster untuk mengecek keadaan Dea. Kepala Dea masih sangat pusing, jadi perlahan dia tidur kembali.
Dea rawat inap selama lima hari dirumah sakit, dan hari ini adalah hari terakhir dia berada dirumah sakit. Mama sedang mengemasi barang-barang yang ada dikamar.
“Sudah Ma?” tanya ayah semangat kepada mama yang menutup resleting koper.
“Udah,” jawab mama, lalu mengangkat tas ditangan kanannya.
“Oke. Ayo kak,” ucap ayah kepada Dea. Ayah membopong tubuh Dea, tetapi tiba-tiba suster masuk dengan membawa kursi roda.
“Didorong pakai ini aja pak, biar nggak kesusahan,” ucap suster itu kepada ayah.
“Iya. Makasih ya Sus,” ucap ayah kepada suster.
“Sama-sama pak,” jawab suster. Dea duduk diatas kursi roda dibantu oleh ayah.
“Yaudah ya Sus kita pamit pulang dulu, makasih udah bantu kami,” pamit mama. lalu memeluk suster.
“Sama-sama Bun, memang tugas saya adalah merawat dan melayani pasien. Semoga lekas membaik ya Kak,” ucap suster kepada mama dan Dea. Dea hanya tersenyum kepada suster.
Ayah mulai mendorong kursi roda menuju mobil yang terparkir didepan rumah sakit. Lalu Masuk kedalam mobil. Ketika didalamm mobil, dada Dea berdegup dengan kencang, dia berusaha mengatur agar tubuhnya tetap tenang, merilekskan tubuhnya.
Mobil mulai melaju ke jalanan menuju rumah, dalam perjalanan Dea termenung sambil menenangkan dirinya yang tidak juga merasa tenang, tiba-tiba ingatan dia pasca kecelakaan terulang dipikirannya, dia berusaha tetap tenang tidak mau membuat orangtuanya khawatir, sehingga dalam perjalanan dia diam saja.
Selama lima hari ini Dea selalu bertanya-tanya dimana tunangannya berada, ketika dia bertanya semua orang pasti akan mengalihkan pembicaraan, atau pura-pura tidak dengar. Hal itu membuatnya semakin curiga. Mobil sudah berhenti didepan rumahnya, ayah membantunya turun dari mobil. Semua keluarga sudah menyambutnya diteras rumah. "Yeyy Kakak pulang," girang adik perempuannya yang langsung berlari memeluk erat tubuhnya. Disusul adik laki-lakinya. "Udah-udah bantu Mama bawa tas sana," usir ayah pada kedua adiknya. Kedua adiknya bergegas membantu mama membawa tas yang berisi barang-barang milik dea kedalam rumah. “Makan dulu ya,” Ajak bude kepada mereka yang baru saja sampai rumah. “Okey. Yuk Kak,” jawab ayah dengan bersemangat. Ayah menuntun Dea perlahan, karena kakinya mengalami cedera ringan. Adeknya yang laki-laki sudah memposisikan kursi agar dia bisa duduk dengan nyaman, lalu duduk disamping Dea. Adeknya ini memang memili
Selama dua tahun ini Dea menjalani perawatan psikis, harus teratur mengunjungi psikiaternya. Beberapa kali Dea mencoba bunuh diri karena tidak bisa mengontrol emosinya, sering sekali tidak sadarkan diri, sering berhalusinasi sedang bersama dengan Airon, berteriak-teriak memanggil Airon dan ketika dia marah dadanya akan sesak beresiko mengalami serangan jantung. Tapi itu terjadi ketika dia melakukan terapi pada tahun pertama, orang tua dan mertuanya secara bergantian menemani Dea konsultasi ke psikiater, memberi semangat untuk sembuh. Seiring berjalannya waktu keadaannya kian membaik, semakin hari Dea sadar bahwa semua orang sedang mengkhawatirkannya. Tahun kedua Dea masih berkonsultasi dengan psikiaternya, tetapi sekarang dia sudah tidak mengonsumsi banyak obat-obatan seperti tahun pertama. Kondisi psikisnya kian stabil, tetapi berakibat perubahan sifatnya yang semakin jadi pendiam, itu lebih baik ketimbang dia mangamuk tanpa sebab dengan berteriak-teriak memanggil Airon.
Aiden melihat Dea yang membawa dua botol susu dan bungkus snack, dan tiga kucing yang mengikutinya dari belakang. "Susu?" batin Aiden, "trus ngapain kucing-kucing itu ikutan." Dea menaruh salah satu botol susu di depan Aiden, lalu menaruh satu botol susu disampingnya. Dea membuka bungkusan snack, ternyata itu snack untuk kucingnya, Aiden mengira untuk mereka berdua. Dea membagi rata snack menjadi tiga bagian, kucingnya mulai memakan snack pemberian Dea. Dea mencuci tangannya diwashtafel samping gazebo. lalu kembali duduk disamping Aiden, dia mencari sandaran untuk punggungnya sembari membuka sedotan dan memasukkan kebotol susu lalu dia mulai meminum susunya. Tiba-tiba Dea melirik Aiden, dan memberi isyarat pada Aiden untuk segera meminum susunya. Aiden pun buru-buru meminum susunya. Keheningan pun menyelimuti mereka berdua. "Yaelah dah gede masih minum susu aja," batin Aiden. Sudah lama Aiden tidak meminum susu apalagi rasa coklat. Tiba-tiba D
Gazebo tengah taman, tiga kucing yang menatap mereka berdua secara bergantian, kolam ikan didepan gazebo, langit hitam yang ditaburi bintang, menjadi saksi bisu keawarkadan Dea dan Aiden. Salah satu kucing menghampiri Dea, Dea mangangkat kedua alisnya karena tiba-tiba sikucing duduk dipangkuannya. Dengkuran lembut dari si kucing membuat Dea gemas, itu signal kucingnya merasa nyaman berada dipangkuannya. “Suka kucing De?” tanya Aiden yang ikutan gemas melihat kucing, tanpa sadar Aiden menggigit bibir bagian dalam karena saking gemasnya. “Suka, tapi aku lebih suka Kamu,” goda Dea dengan sudut bibir yang terangkat. “Jangan bercanda De,” ucap Aiden yang mulai kesal karena dari tadi mendapat candaan yang tidak ada habisnya dari Dea. “Santai aja kali,” jawab Dea. “Dah santai loh,” ketus Aiden. Tanpa sadar dia sendiri yang tidak bisa santai. “lahh.. kok sewot,” ujar Dea. “Siapa yang sewot?” tanya Aiden. “Kamu,” jawab
Setelah beberapa jam berlalu akhirnya mobilnya sudah terparkir didepan rumahnya. Pak Gino selaku satpam, pak Lastro sebagai supir, bik Asih yang mengurus rumah atau lebih tepatnya kepala pelayan dirumahnya dan beberapa pelayan dibelakang mereka sudah menyambut Aiden dan Dea dengan senyuman. Aiden melepaskan sabuk pengamannya. Dilihat Dea masih tidur dengan pulas. “De, bangun De. Udah nyampek nih,” ujar aiden dengan menepuk-nepuk pipi Dea. Tidak ada respon dari Dea, bahkan dia tidak bergeming sedikitpun dari posisinya. Aiden memutuskan untuk menggendongnya, dia keluar dari pintu kemudi dan membuka pintu samping Dea, lalu melepas sabuk pengaman Dea dan mengeluarkannya dari mobil. “Bik tolong ambil semua barang-barang yang dimobilku ya, semuanya. Pak Lastro tolong cuci mobil saya ya,” ucap Aiden lalu masuk kedalam rumah. “Tidur?” tanya oma dengan kedua alis yang terngkat tinggi didahinya. Orangtua Aiden hari ini akan menginap dirumah Aiden, karena ingin menghabi
Dea berbincang-bincang dengan oma dan mertuanya hingga malam hari, canda dan tawa memenuhi setiap sudut rumah pada malam hari, dan sekarang waktunya tidur. Mama, papa, dan oma memasuki kamarnya masing-masing. Tinggal Aiden dan Dea diruang tengah, "Balik kekamar yuk," ajak Aiden beranjak dari sofa. Dea mengangguk dan mengikuti Aiden kembali kekamar. Ketika mereka berada didalam kamar, Dea masuk kekamar mandi mencuci mukanya. Aiden tidak langsung tidur. Dia mengecek pekerjaannya lewat laptop miliknya. Ketika Dea kembali kekamar dia memanggil Aiden. "Emm.. Aiden," panggil Dea tiba-tiba. "Hm," saut Aiden yang masih sibuk dengan laptopnya. "Kita tidur bareng?" tanya Dea. "Iya, kenapa?" tanya Aiden kali ini menoleh kearah Dea dengan mengangkat kedua alisnya. "Emm.. gapapa si. Bukannya lebih baik pisah aja ya," ucap Dea hati-hati. "Mau tidur pisah?" tanya Aiden. "Kalau gak keberatan si," jawab Dea. "Hmm
Pagi hari Dea sarapan bersama Aiden. Meraka memakan makanannya dalam diam, karena Aiden sibuk membalas chat dihandphone miliknya, sedangkan Dea sibuk mengunyah makanannya. Aiden buru-buru menyelesaikan sarapannya. "De aku berangkat ya, kalau ada apa-apa hubungi aku, atau suruh aja Bik Asih. Berangkat ya Bik, bye De," pamit Aiden dan berlalu pergi. "Iya Tuan," jawab bik Asih. Dea hanya diam. Bik Asih nampak khawatir melihat Dea yang semakin murung, padahal Dea tidak terjadi apa-apa dengan Dea. Bik Asih terlalu mengkhawatirkan Dea. Bik Asih mengkode anak buahnya untuk mengambilkan vitamin dan beberapa kue. Dea masih sibuk dengan makanannya, salah satu pelayan mendorong troli berisi banyak macam kue. Bik Asih menghidangkan semua kue itu didepan Dea. "Ngapain Bik?" tanya Dea. "Semua kue ini untuk Non, biar moodnya membaik," ujar bik Asih. "Ya ampun Bik, aku gasuka yang manis-manis," ujar Dea. "Non mau snack?"
Devano kembali dengan pakaian yang diberi oleh Dea. "Dev, gua mau ngomong," ujar Aiden. "Yaudah ngomong aja," ucap Devano. "Gua sama Dea cuma nikah kontrak, jadi aku minta tolong Kamu jaga rahasia ini. Termasuk status pernikahanku sama Dea," jelas Aiden. Devano bengong mendengar ucapan Aiden. "Jadi aku harus sembunyiin kalau kamu udah punya istri?" tanya Devano. "Ya, kesemua orang," jawab Aiden. "Ogah! gila ya !," tolak Devano "Please Dev. Aku gak mau kalau Wendy sampai tau," ujar Aiden. "Gila, trus ngapain nikah sama Dea?" tanya Aiden. "Biar gua bisa nikah sama Wendy, aku gak dapat restu orang tua buat nikah sama Wendy," jawab Aiden. "Bener-bener gak waras otakmu Den, gak habis pikir aku sama Kamu. Trus kamu gimana De? kok mau sama Aiden," tanya Devano. "Sama-sama ambil keuntungan si," ujar Dea. "Wahh gila-gila," ucap Devano. "Gua minta tolong sama kamu ya Dev,"
Kilauan lampu-lampu kota Monaco memantul di permukaan laut, menciptakan pemandangan yang begitu magis. Dari balkon suite mewah mereka, Dea memandangi keindahan kota yang tak pernah tidur itu, sementara di belakangnya, langkah Aiden semakin mendekat.Tanpa suara, pria itu melingkarkan lengannya di pinggang Dea, menariknya ke dalam dekapan hangat. "Kau terlalu serius menatap ke luar," gumamnya di dekat telinga istrinya, suaranya berat namun mengandung senyum.Dea tersenyum kecil, membiarkan tubuhnya bersandar ke dada bidang suaminya. "Aku masih tak percaya kita ada di sini," bisiknya, jemarinya tanpa sadar menyentuh lengan Aiden yang melingkupinya.Aiden memiringkan kepalanya, menatap wajah wanita yang kini benar-benar menjadi miliknya. "Aku sudah bilang, aku akan membawamu ke mana pun kau mau, selama kau tetap di sisiku."Dea menoleh, mata mereka bertemu dalam kehangatan yang sulit dijelaskan. "Dan kau yakin ingin terus bersamaku?" tanyanya lirih.Alih-alih menjawab dengan kata-kata, Ai
Kembali ke Pelukan yang SamaDea berlari menerobos masuk tanpa permisi. Napasnya memburu, dadanya sesak oleh perasaan yang berkecamuk. Jantungnya berdegup kencang saat menyadari beberapa orang menatapnya penuh keterkejutan."Madam! Tuan ada di kamar!" teriak Rara dari kejauhan saat menyadari perempuan itu masuk ke rumah.Tanpa ragu, Dea langsung menaiki tangga, melewati lorong yang sudah begitu familiar di ingatannya. Setiap langkah terasa begitu berat, seolah ada beban yang menekan dadanya. Ia tidak tahu apakah Aiden masih menginginkannya di sini. Ia tidak tahu apakah dirinya masih punya tempat di sisi pria itu.Tangannya gemetar saat ia mendorong pintu kamar yang tidak terkunci. Pandangannya langsung tertuju pada sosok yang duduk di tepi ranjang, membelakanginya. Aiden.Laki-laki itu tampak jauh lebih kurus dibanding terakhir kali ia melihatnya. Rambutnya berantakan, wajahnya lelah, dan di sampingnya terdapat botol alkohol yang belum sepenuhnya kosong.Dea menahan napas. Ini bukan A
Devano menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya yang bergejolak. Ia berdiri tegak, menatap Dea dengan tatapan yang lebih dalam daripada sebelumnya. Mata mereka bertemu, dan wanita itu bisa melihat kejujuran yang memancar dari dalam dirinya. Devano jarang sekali begitu terbuka, tetapi malam ini, ia merasa ini adalah saat yang tepat untuk mengungkapkan apa yang telah lama ia simpan."Aku datang untuk berbicara, Dea," katanya pelan, suaranya sedikit serak. "Ada hal yang harus aku katakan padamu."Wanita itu mengernyitkan dahi, sedikit bingung. "Ada apa? Apa yang kamu maksud?"Devano melangkah lebih dekat, meskipun hatinya terasa berat. Namun, ini adalah momen yang menentukan, dan meskipun ia tahu itu bisa membuat segalanya lebih rumit, ia tak bisa lagi menahan perasaannya."Dea, aku tahu selama ini kita hanya teman, mungkin lebih dari itu bagi sebagian orang," katanya dengan hati-hati. "Tapi aku ingin jujur padamu. Aku..." Pria itu menggantungkan ucapannya, tetapi tak berselang l
"Tentu," Dea menjawab, menatapnya dengan sorot ingin tahu. Devano menghela napas sebelum melanjutkan, suaranya sedikit lebih serius dibanding sebelumnya. "Kamu benar-benar tidak ingin kembali pada Aiden?" Langkah Dea kembali terhenti sejenak. Ada keheningan di antara mereka, hanya terdengar langkah-langkah para pengawal yang berjaga di sekitar. Mata Dea menatap Devano lurus, ekspresinya tenang, tetapi ada sesuatu dalam tatapannya yang sulit diterjemahkan."Aiden benar-benar hancur, Dea," lanjut Devano, suaranya lebih pelan kali ini. "Dia mencarimu ke mana-mana. Dia bahkan tidak lagi peduli pada pekerjaannya. Kau mungkin berpikir dia akan baik-baik saja tanpamu, tapi kenyataannya tidak begitu. Dia benar-benar hancur."Dea mengepalkan tangannya tanpa sadar. Dia tahu bahwa meninggalkan Aiden bukanlah hal mudah bagi keduanya, tapi mendengar kondisi Aiden dari mulut Devano tetap saja menimbulkan sesuatu yang menghimpit dadanya. "Aku pergi bukan karena aku ingin, Dev," kata Dea akhirnya,
Sekian bulan berlalu, namun keberadaan Dea masih menjadi misteri yang tak kunjung terpecahkan. Aiden sudah mengerahkan segala cara memanfaatkan koneksinya, menyewa detektif terbaik, bahkan mencoba melacak sendiri pergerakan orang-orang Wijaya, tetapi hasilnya nihil. Seolah-olah Dea benar-benar menghilang dari dunia ini.Pikiran Aiden dipenuhi oleh kegelisahan. Rasa frustrasi terus menghantui setiap langkahnya, membuatnya semakin tenggelam dalam keputusasaan. Ia bahkan melupakan tugas-tugasnya sebagai pemimpin perusahaan, membiarkan semuanya terbengkalai.Di rumah, Rita dan Kusuma hanya bisa memandang putra mereka dengan rasa bersalah yang semakin menumpuk. Mereka tahu bahwa ini semua adalah akibat dari keputusan yang mereka paksa Aiden untuk melepaskan kasus Andre dan menutup mata atas segala kerugian yang ditimbulkan kakaknya demi menjaga nama baik keluarga."Dia tidak bisa terus seperti ini, Pa," Rita berkata pelan saat melihat Aiden yang hanya duduk diam di ruang kerjanya, tatapann
"Ini di mana, Yah?" tanya Dea selepas ia sadarkan diri. Orang pertama yang ia lihat adalah Wijaya, kemudian Lusi. Keduanya hanya diam saat ia bertanya. Wanita itu pun dibuat kebingungan dengan situasi saat ini. Ketika keduanya memilih keluar, berganti Bad masuk dengan raut wajah yang sulit dijelaskan. "Kita berada di markas baru, Madam," ucap pria itu penuh hormat.Dea mengerutkan kening, matanya menyapu ruangan asing yang kini menjadi tempatnya terbaring. Aroma antiseptik masih tercium, tapi ini bukan rumah sakit. Ruangan ini lebih luas, tenang, dan tidak ada perawat yang berlalu-lalang. "Markas baru?" ulangnya dengan suara serak, mencoba mencerna kata-kata Bad. Pria itu mengangguk pelan. Sorot matanya penuh kehati-hatian, seolah sedang mengamati reaksi Dea. "Ya, Madam. Ketua membawa Anda ke sini untuk keselamatan Anda." Keselamatan? Dari apa? Dea mencoba duduk, tapi tubuhnya masih terasa lemah. Kepalanya berdenyut ringan, membuatnya memejamkan mata sejenak. Ia mengingat se
Hakim menghela napas berat sebelum menatap Sony dengan penuh ketegasan. "Setelah mempertimbangkan seluruh bukti dan kesaksian yang telah diberikan dalam persidangan, pengadilan menjatuhkan vonis kepada terdakwa Sony dengan hukuman 20 tahun penjara tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat, serta denda sebesar 5 miliar rupiah."Suasana ruang sidang kembali gemuruh. Hukuman yang lebih berat dari Wendy menunjukkan betapa serius kejahatan yang telah dilakukan Sony.Sony hanya mendengus kecil, tidak menunjukkan penyesalan sedikit pun. Dia menatap ke arah Aiden dan menyeringai. "Kau mungkin menang kali ini, Aiden. Tapi dunia ini tidak akan membiarkanmu hidup tenang."Aiden tidak menanggapi. Ia hanya menatap Sony dalam-dalam, menyadari bahwa musuhnya tidak akan pernah benar-benar berubah.Setelah keputusan hakim, petugas segera memborgol Sony dan membawanya keluar dari ruang sidang. Aiden menarik napas panjang, merasa lega meskipun sebagian dari dirinya masih dihantui oleh luka yang ditinggalka
Ruang sidang dipenuhi dengan suara bisik-bisik dan tatapan tajam yang tertuju pada satu sosok di tengah ruangan, Wendy. Wanita itu duduk di kursi terdakwa dengan tangan yang terborgol, tetapi ekspresinya tetap penuh keangkuhan.Hakim mengetukkan palunya, menandakan persidangan dimulai."Saudari Wendy, Anda didakwa atas berbagai tuduhan, termasuk percobaan pembunuhan terhadap Nyonya Dea, persekongkolan untuk menghancurkan perusahaan Tuan Aiden, serta keterlibatan dalam berbagai tindakan ilegal lainnya. Apakah Anda mengakui dakwaan ini?" tanya Hakim dengan suara tegas.Wendy tersenyum miring. "Saya mengakui semuanya," jawabnya santai, membuat riuh kecil di dalam ruang sidang.Aiden, yang duduk di kursi saksi bersama pengacaranya, menatap Wendy dengan rahang mengatup rapat. Dea, yang masih dalam pemulihan, hadir dalam persidangan dengan wajah pucat tetapi sorot mata tajam.Jaksa kemudian berdiri dan mulai berbicara. "Bisa Anda jelaskan motif Anda melakukan semua ini? Apa alasan Anda ingi
Insiden penyekapan berjalan dengan cepat hingga semua pelaku dikumpulkan dalam persidangan Sayangnya ada satu orang yang disinyalir menreh luka mendalam untuk keluarga Aiden, yakni Andre. Pria itu mendapat panggilan dari pihak kepolisian, tetapi dia sudah terbang ke luar negeri.Rita dan Kusuma tidak bisa menghubungi anak sulung mereka. Wajah keduanya tampak pias ketika melihat Aiden. "Sampai sekarang Mama dan Papa tidak bisa menghubungi Andre," ujar Rita pada putranya. "Tidak bisakah kamu melepaskan, Andre? Bagaimanapun dia adalah Kakakmu." Wanita itu tampak tak berdaya merasakan dilema di dalam hatinya. Pada akhirnya, Kusuma yang sedari tadi membisu mulai angkat bicara. "Biar Papa yang menghukum Kakakmu, Nak. Sebagai gantinya, sebagian warisan yang akan kami turunkan pada Andre kini kualihkan ke kamu, Aiden." Aiden hanya diam mendengarkan ucapan orangtuanya. Tak berselang lama, ia memilih pergi tanpa memberikan jawaban. Helaan napas terdengar dari mulutnya. Entah bagaimana, ia me