Berpisah Untuk Bersatu

Berpisah Untuk Bersatu

last updateLast Updated : 2022-08-12
By:  Humairah SamuderaCompleted
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
4 ratings. 4 reviews
113Chapters
11.9Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Synopsis

Demi kebaikan bersama, aku terpaksa pergi meninggalkan rumah. Tak ada satu anak pun yang kubawa, melainkan Lova, anak pungut kami. Semoga dengan ini Mas Tyas bisa belajar, keluarga adalah harta yang paling berharga. Cinta sejati takkan pernah mati meskipun telah tersakiti berulang kali.

View More

Chapter 1

Mas Tyas dan Segala Perubahannya

Tidak, itu tidak mungkin terjadi! 

Bagaimana bisa, Mas Tyas lebih memilih tinggal serumah dengan Ibu  padahal ada kami, isteri dan anak-anaknya? Lalu, untuk apa dia membangun rumah yang sebesar ini dulu, jika pada akhirnya hanya menjadi tempat untuk transit? Pulang sebentar mengantarkan jatah makan atau kebutuhan kami yang lainnya lalu pergi lagi. Tanpa mau berbicara barang sepatah kata pun denganku. Membisu, membeku. 

"Ibu sudah tua, Yung!" Mas Tyas mengulangi kata-katanya tadi, "Siapa lagi yang akan merawat Ibu kalau bukan aku? Aku yang paling dekat. Kamu tahu kan, adik-adikku semua tinggal di luar Jawa? Kebangetan, kalau kamu tetep nggak bisa nerima aku tinggal di rumah Ibu. Nggak punya perasaan!" 

Ya, aku tahu, Ibu sudah tua dan mulai sering sakit-sakitan.  Aku juga tahu kalau Dik Sri tinggal di Palembang dan Dik Bekti tinggal di Bali tapi kami? Bagaimana dengan kami? Kalau memang Mas Tyas tidak egois, bisa kan dia mengajak Ibu untuk tinggal bersama di sini? Atau sebaliknya, mengajak aku dan anak-anak pindah ke rumah Ibu. 

Kalau begitu kan, kami jadi bisa menjaga dan merawat Ibu bersama-sama. Toh, sekolah anak-anak juga tidak terlalu jauh dari Malioboro.  Walaupun akan menjadi dua kali lipat jaraknya jika dibandingkan dari Jalan Palagan.

"Lho, kok jadi aku yang kebangetan dan nggak punya perasaan, Mas?" 

"Lah itu, kamu nggak bisa terima aku jagain Ibu, ngerawatin …?" 

"Bukan gitu lho Mas, maksudku. Aku kan nggak pernah nggak setuju apalagi sampai melarang  kamu menjaga atau merawat Ibu, Mas. Aku hanya nggak bisa nerima cara kamu yang sama sekali nggak konfirmasi ke aku. Tahu-tahu berangkat ngojek, tahu-tahu nggak pulang. Pulang sebentar tengah malam, terus balik lagi ke rumah Ibu, tidur di sana. Padahal kan, kamu bisa tidur di rumah kan, Mas? Itu maksudnya apa ya, Mas? Bisa tolong jelaskan?" 

Mas Tyas diam. Tidak memandangku tapi juga tidak membuang muka. Tatapannya lurus ke depan, ke arah tangga ke lantai dua. Entah, apa yang ada dalam benaknya. Sampai aku menggendong Lova ke kamar, dia masih menatap ke arah tangga. Menyebalkan, cukup mengundang kemarahan. 

"Sampai kapan kita begini, Mas?" pelan-pelan aku bertanya, setelah menidurkan Lova di tempat tidur, kasihan juga dia kalau terus kupangku dalam situasi yang memanas antara aku dan Mas Tyas, "Kenapa kamu tega sama kami, Mas? Sama anak-anak terutama. Ingat Mas, mereka masih membutuhkan kasih sayang kamu! Mereka nggak hanya butuh makan tapi juga perhatian kita, Mas. Terutama Langit, sebentar lagi dia naik ke kelas sembilan. Butuh banyak perhatian dan kasih sayang untuk menyiapkan mentalnya mengikuti ujian akhir." 

Gusar, Mas Tyas meraih jaketnya yang tadi diletakkan begitu saja di meja ruang tamu, "Udah, nggak usah dibahas sekarang. Aku mau berangkat. Nanti nggak dapet duit, ngamuk lagi?"

Ngamuk?

Aku, ngamuk gara-gara Mas Tyas nggak dapat uang? Sejak kapan aku bisa mengamuk? 

"Lho, kamu kok, ngomongnya gitu sih Mas?" sergahku sambil menghentikan langkahnya yang terlihat gontai, "Sejak kapan coba, aku marah sama kamu gara-gara duit, ha?"

"Cerewet … Bikin nggak betah di rumah!" umpat Mas Tyas sambil terus berjalan menuju pintu, "Asal ngomong aja, kayak orang gila!" 

Dug! 

Seketika detak jantungku terasa berhenti, mendengar kata-kata umpatan Mas Tyas. Tapi meskipun begitu, dengan cepat tanganku menarik lengan kanannya yang sudah hampir menyentuh gagang pintu. Sekuat mungkin aku menariknya ke belakang. Untung tidak terjatuh dan masih bisa melanjutkan pembicaraan ini. Benar-benar moment langka. Jarang sekali berbicara berdua, sekalinya bicara malah  langsung baku hantam. 

Mantap! 

"Kamu yang gila, Mas!" umpatku setengah menjerit, "Gila kamu, menelantarkan anak istrimu sendiri hanya demi menuruti ego!" lanjutku masih sambil memegangi lengan kanannya yang bergeming, "Aku minta kamu pikirkan dengan lebih baik lagi, Mas. Jangan sampai menyesal di belakang. Aku nggak apa-apa kalau kamu mau pulang ke rumah Ibu tapi tolong pikirkan anak-anak. Mereka juga butuh kasih sayang kamu, Mas!"

Plaaakkk …! 

Itulah jawaban yang kudapatkan dari Mas Tyas. Sebuah tamparan yang sangat keras di pipi kiriku. Apa salahku? Salahkah, jika seorang ibu membela hak anak-anaknya?

***

Dulu, Mas Tyas orang yang sangat baik. Lembut dan penyabar. Tidak banyak bicara tapi penuh perhatian. Pokoknya tidak pernah berbicara kasar apalagi sampai ringan tangan. Ngemong lah, bukan malah memain-mainkan perasaan seperti yang terjadi belakangan ini. Ambil contoh, aku mau menjenguk Bapak di Wonosari, ya dia langsung mengusahakan. Bagaimana caranya supaya kami bisa ke sana, meskipun harus bersabar menunggu, berhari-hari atau berminggu-minggu. 

"Sabar ya Yung, aku cari sangu dulu kalau kamu kangen pingin jenguk Bapak?"

"Iya, Mas. Aku juga ngerti, kok. Kamu kan, harus nabung dulu, Mas?" 

"Iya, Yung. Makasih ya, udah mau ngertiin aku?" 

Ya, tentu saja aku maklum, mencari uang juga bukan perkara yang enteng. Tak seenteng mengangkat kantong plastik kosong. Jadi, pasti bersabar menunggu sampai Mas Tyas bisa mengantarkan kami ke Wonosari. Terpenting, Bapak bahagia karena anak perempuannya ini bisa sering-sering menjenguknya. Lagi pula, orangtua juga tinggal Bapak satu-satunya. Kapan lagi kan, bisa membuatnya tersenyum gembira? 

Contoh lain, aku ingin mengajak anak-anak jalan-jalan di pantai waktu weekend. Mas Tyas tidak marah atau keberatan, sama sekali. Justeru, bekerja lebih keras lagi, supaya keinginanku terpenuhi. Memperbanyak dagangan dan lebih awal berangkat jualan tempura dan kawan-kawannya di Alun-alun Kidul.

Tapi sekarang?

Jangankan memperjuangkan keinginanku yang notabene family time, diajak berbicara pun sudah tak bisa menanggapi dengan baik. Adanya hanya satu hal saja, tidak setuju dan akhirnya marah tidak jelas. Kalau tidak, dia akan segera tancap gas ke rumah Ibu. Tak peduli susahnya kami di rumah, tetap saja begitu. Kami kelaparan, kekurangan, ada yang sakit … Tidak memperhatikan sama sekali. Tak jarang, malah memarahi kami. Menyalahkan aku. Seolah-olah semua keadaan dan kesulitan itu terjadi semata-mata karena kesalahanku.  Apa, suami seperti apa itu namanya? 

"Harusnya kamu diskusi dulu sama aku Yung, sebelum kamu bawa Lova ke sini!" 

Selalu itu yang diucapkan Mas Tyas setiap kali marah, frustrasi atau sejenisnya dengan keadaan hidup kami yang sedang terpuruk, "Sekarang, begini kan, jadinya? Dua juta cuma untuk Lova saja, Yung. Itu saja kadang-kadang kurang. Makanya, susunya jangan boros-boros!" 

Padahal, kalau dirunut ulang aku sudah konfirmasi lho, waktu keluarga Lova datang ke rumah untuk menawarkannya siapa tahu kami mau mengadopsi. Kasihan, ibunya hamil di luar nikah tapi tak ada yang mau bertanggung jawab. Ya, terus terang aku langsung jingkrak-jingkrak. Toh, setiap anak terlahir dalam keadaan suci, kan? Mas Tyas juga sih  sebenarnya, sungguh. Sampai kiamat pun aku tidak akan lupa, bagaimana raut wajah plus gesture Mas Tyas waktu tahu kalau akhirnya akan ada bayi perempuan di rumah. 

"Gimana, Mas?" 

"Ya udah … Kita ambil aja, Yung. Kapan lagi, mumpung perempuan, kan?"

"Yes! Iya, Mas. Makasih banyak ya, Mas?"

"Iya, sama-sama, Yung. Akhirnya, setelah sembilan tahun … Kok bisa pas gini ya Yung, aku juga tadi pagi kepikiran sama janjiku yang dulu, sebelum kamu melahirkan Laut."

Masa Mas Tyas lupa, sih? Lova kan, baru berumur enam bulan? Itu pun masih kurang satu minggu lagi. Hemmmhhh! Eh, apa Mas Tyas juga lupa ya, kalau kami sempat berpelukan setelah sepakat untuk mengadopsi Lova? Di depan semua keluarganya, malah. Bukannya permisi ke belakang dulu atau bagaimana. Bukankah itu menandakan kalau dia juga bahagia dengan kehadiran Lova? 

Tapi ya begitu, setiap ada masalah sedikit saja, dia pasti marah-marah. Pasti mengungkit bagaimana aku langsung jatuh cinta pada pandangan pertama begitu melihat wajah cantik Lova. Bukan hanya cantik tapi lembut, imut-imut, wangi, kulitnya seputih susu … Siapa yang tidak jatuh hati kalau seperti itu? Kalau aku sih, sama sekali tidak menampik. Aku yakin, Mas Tyas juga. Buktinya, dari sejak kami sampai di klinik bersalin untuk menjemput Lova, dia terlihat lengket, tuh? Tidak sedikit pun menjauh dari box bayi, terus menerus memandang ke arah Lova. 

Tok, tok, tok! 

"Assalamu'alaikum Yung, Payung?" suara Ajeng membuatku terkesiap, "Dek, Dek Lova. Ini, Mbak Cindy mau main!" 

Klik, klik … Kriiit! 

"W*'alaikumussalam … Ehhh, Mbak Cindy. Masuk dulu, Mbak. Itu Dek Lova masih bobok."

"Sehat, Yung?"

"Alhamdulillah. Kalian, Jeng?"

"Sehat juga, cuma mumet mikirin bapak Cindy!"

Kami sama-sama tertawa kecil lalu sama-sama masuk ke ruang tamu, "Baru saja aku mbatin kamu, Jeng. Kok lama nggak main? Eh, malah dateng. Seneng banget lah, aku!" 

"Sorry Yung, aku ribet banget ngurusin bapak Cindy." sahutnya dengan mimik wajah menderita, "Ih, cerewetnya itu lho Yung, yang buat aku mumet! Kok, kayak perempuan gitu lho, mulutnya. Ngomel saja, kayak nggak ada habisnya. Pusing, aku tinggal saja, main ke sini!" 

Mendengar curahan hati Ajeng, aku hanya nyengir kuda poni lalu tertawa kecil, mengikutinya. Ajeng memang hebat, kesabarannya seolah tak berbatas. Walaupun kalau mencurahkan segala sisi hatinya selalu penuh dengan emosi tapi tetap sabar menerima dan mendampingi suaminya. Padahal, kalau dipikir-pikir, masalahnya justeru jauh lebih besar dari pada masalahku, lho. Sungguh. Tidak diberi nafkah lahir batin, tidak diajak bicara selayaknya suami isteri. Serba salah dan masih banyak lagi masalah yang lain. Intinya, tersakiti lah, setiap harinya. Kalau aku jadi Ajeng, entah sanggup atau tidak. 

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

user avatar
yenyen
udah tamat belum sih?kok endingnya gantung ya?
2022-09-09 12:44:46
1
user avatar
Eneng Susanti
saya follow, ya,K Kak
2022-04-11 19:59:43
2
user avatar
Handira Rezza
keren sekali kak. gimana kabarnya
2022-03-08 22:06:49
1
user avatar
Bach Rony
Love this story
2022-01-24 07:35:04
0
113 Chapters
Mas Tyas dan Segala Perubahannya
Tidak, itu tidak mungkin terjadi! Bagaimana bisa, Mas Tyas lebih memilih tinggal serumah dengan Ibu  padahal ada kami, isteri dan anak-anaknya? Lalu, untuk apa dia membangun rumah yang sebesar ini dulu, jika pada akhirnya hanya menjadi tempat untuk transit? Pulang sebentar mengantarkan jatah makan atau kebutuhan kami yang lainnya lalu pergi lagi. Tanpa mau berbicara barang sepatah kata pun denganku. Membisu, membeku. "Ibu sudah tua, Yung!" Mas Tyas mengulangi kata-katanya tadi, "Siapa lagi yang akan merawat Ibu kalau bukan aku? Aku yang paling dekat. Kamu tahu kan, adik-adikku semua tinggal di luar Jawa? Kebangetan, kalau kamu tetep nggak bisa nerima aku tinggal di rumah Ibu. Nggak punya perasaan!" Ya, aku tahu, Ibu sudah tua dan mulai sering sakit-sakitan.  Aku juga tahu kalau Dik Sri tinggal di Palembang dan Dik Bekti tinggal di Bali tapi kami? Bagaimana dengan kami? Kalau memang Mas Tyas tidak egois, bisa kan dia
last updateLast Updated : 2021-12-29
Read more
Curhat Sahabat
Manja, Cindy duduk di pangkuanku. Kami memang dekat, seperti anak dan mama. Sebenarnya, dulu sebelum ada Lova, aku pernah berpikiran untuk mengadopsi Cindy. Bukan karena ego, obsesi atau sejenisnya tapi karena tidak tega melihat Cindy yang tak diakui oleh bapaknya. Sudah tidak diakui yang berarti tidak diterima, eh, malah ditelantarkan juga. Ya, kalau ibunya saja tidak diberikan nafkah lahir batin, bagaimana lagi dengan anaknya? Bahkan, ibaratnya memberikan jatah lima atau sepuluh ribu setiap hari pun keberatan. Bukan karena tak mampu tapi karena kecewa Cindy terlahir sebagai anak perempuan. Bapak Cindy maunya punya anak laki-laki. Bapak Cindy pekebun salak di daerahnya sana. Kebunnya juga tidak bisa dikatakan kecil, dua atau tiga hektar lah luasnya. Kata Ajeng sih, begitu. Selain berkebun salak, dia juga bekerja di rental sound system, di daerahnya juga. Lumayan lah, gajinya. Apalagi kalau musim pengantin atau hajatan lainnya, waaah, panen uang. Tapi, yaaa, begit
last updateLast Updated : 2021-12-30
Read more
Tak Ada Yang Sempurna
Baru saja mengagumi, eh, sudah kecewa. Tak ada angin tak ada hujan, aku juga tidak membahas apa pun tentang rumah tanggaku tiba-tiba Ajeng berucap seperti itu. Bayangkanlah! Untung aku tipikal orang yang bisa dengan cepat mengendalikan diri. Kalau tidak? Mungkin dia sudah kutampar dengan sekeras-kerasnya supaya sadar, insyaf kembali. Kami boleh saja bersahabat dekat tapi jangan sampai masuk ke dalam urusan rumah tangga masing-masing. Ibarat tamu, ya sudah, duduk saja di ruang tamu. Tak perlu masuk ke sana-sana, kecuali kamar mandi. Itu pun kalau memang perlu ke kamar mandi. Lagi pula, walaupun dia bertanya sampai berbusa-busa tentang Mas Tyas pun takkan pernah kuberi tahu. Untuk apa? Seperti apa pun Mas Tyas, dia kan, suamiku? Masa kuumbar aibnya? Eh, aib Mas Tyas sudah menjadi aibku sendiri, bukan? Ya, masa aku harus mempermalukan diri sendiri? Mustahil seratus persen! "Mas Tyas baik kok, Jeng!" kataku sambil menyembunyikan perasaan kecewa di r
last updateLast Updated : 2021-12-30
Read more
Ayah Yang Ingkar Janji
Pusing, rungsing! Kenapa Mas Tyas selalu begitu? Lebuh mengutamakan Ibu di atas segala-galanya. Eh! Bukan berarti aku menginginkan Mas  Tyas menjadi anak yang durhaka atau semacamnya, lho. Kalau itu sih, amit-amit. Maksudku, kenapa dia masih saja bersikap tak peduli terhadap kami, isteri dan anak-anaknya. Mau sampai kapan coba, dia begini? Langit saja sudah tiga belas tahun, sudah Kelas VIII yang berarti sudah hampir empat belas tahun kami membina rumah tangga. Masa, dia malah semakin kekanakan dan tergantung pada Ibu? Jadi, bagini ceritanya. Langit mogok sekolah, tidak mau kembali ke pondok pesantren  gara-gara Mas Tyas ingkar janji. Menurut Langit, ayahnya itu  mau membelikan laptop bulan ini karena sudah mulai bergabung di kegiatan ekstra kurikuler jurnalistik. Lagi pula, sejak Kelas VII kemarin dia juga sudah aktif di Mujahid Muda, majalah di pondok pesantrennya. Nah, mau tidak mau, siap tak siap Mas Tyas harus menepati janjin
last updateLast Updated : 2021-12-30
Read more
Salah Pilih Suami
Tanpa kusadari, Langit turun dari taxi dan berlari masuk ke dalam rumah melalui pintu garasi yang tak pernah kami kunci. Langkah kakinya terdengar berlari menaiki tangga. Sekian detik setelahnya terdengar suara pintu terbanting dengan sangat keras dan menimbulkan suara gaduh. Braaakkk …! Tanpa ampun, aku mendelik tajam menatap Mas Tyas. Semua ini gara-gara dia yang sering ingkar janji. Langit yang anak baik, penurut, pendiam dan cerdas pun jadi emosional dan kasar begini. Sudah begitu, bisa-bisa dia justeru menyalahkan Langit. Men-judge dengan kata manja, cengeng dan mudah patah hati. Apa tidak sadar, kalau kata-katanya yang tadi itu bisa menambah luka di hati Langit? Ckckckck, kupikir, setelah belasan tahun jatuh bangun dalam perjuangan hidup Mas Tyas akan menjadi pribadi yang dewasa. Kegagalan demi kegagalan, seharusnya bisa menjadi pelajaran berharga, kan? Bukannya malah mengikatnya dalam sifat kekanakan dan egois se
last updateLast Updated : 2021-12-30
Read more
Rapat Keluarga
Aku mengadakan rapat keluarga keesokan paginya, mewajibkan Mas Tyas untuk hadir, tentu saja. Tapi seperti biasa, dia mangkir. Tanpa alasan, dia pergi begitu saja dan hanya meninggalkan uang dua puluh ribu di atas kulkas. Uang jatah belanja untuk sehari. Benar-benar handal, profesional. Bukan caranya meninggalkan uang, maksudku. Bukan jumlah uangnya juga yang membuatku mengelus dada tapi kepergiannya yang tanpa pesan maupun kesan. Padahal, baru saja dia menyakiti hati Langit dengan mengingkari janjinya untuk membelikan laptop sejak setahun yang lalu. Tapi tetap saja tidak merasa bersalah. Tetap saja angkuh dan sombong. Ada ya, anak manusia minus perasaan seperti dia? Hemmmhhh! Rasanya seperti membeli kucing dalam karung, sungguh. Oh, andai bisa memutar waktu kembali. Aku takkan sudi berkenalan dengan Mas Tyas walaupun dia bersimpuh di kakiku sekali pun. Walaupun dia memohon-mohon sampai menangis darah pun aku takkan peduli. "Ay
last updateLast Updated : 2021-12-31
Read more
Keluarga Arif Tyas Surgawi
Ada apa dangan Langit? Oh, pasti karena aku yang tak pandai membahagiakan hatinya. Tak pandai menjaga perasaan, mendidik dan membersamai selama ini. Iya, kan? Ah! Jangan-jangan karena aku dan Mas Tyas sering bertengkar? Oh, mungkin Langit bersedih hati dan merasa tertekan dengan semua itu? Tapi bagaimana lagi, Mas Tyas susah diajak bicara baik-baik. Itulah mengapa, kadang-kadang aku berteriak-teriak seperti di tengah hutan. Kalau tidak begitu, mana mau dia memasang telinga? "Ma, Ayah pulang! Sendiri dia, nggak sama Uti." bisik Bumi ditelinga kiriku dengan penuh semangat, "Adek ditaruk aja Ma, biar aku yang jaga. Kalau nggak, nanti Ayah pergi lagi. Kasihan Mas Langit. Masa, nggak balik-balik ke pondok?"Siiirrr dug, dug, duuuggg!Berarti benar apa yang kupikirkan tadi. Bumi yang baru sembilan tahun saja sudah terkena dampak dari keburukan sikap Mas Tyas, apalagi Langit? Wah, ini tidak bisa dibiarkan, mau tidak mau kami h
last updateLast Updated : 2021-12-31
Read more
Maafkan Mama, Nak!
Rasanya benar-benar sesak ketika tahu Mas Tyas habis-habisan memarahi Laut hanya gara-gara mengajukan protes atas tamparannya padaku. Halooo, di mana letak kesalahannya? Dia sudah besar, sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak. Sudah bisa merasakan, mana yang lembut dan mana yang kasar. Aku yakin, Laut juga sudah membedakan, siapa yang benar dan siapa yang salah.  Seharusnya Mas Tyas tidak semarah itu bukan, walaupun mungkin tersinggung setengah mati, misalnya. Bisa kan, mengingatkan dengan cara yang baik? "Mas, sudah, Mas!" kataku sambil menarik tangan Laut supaya menjauh dari Mas Tyas, "Malu sama tetangga, Mas!" kataku lagi, berusaha untuk menyetel suara agar tak terdengar membahana ke seluruh penjuru kampung. Sadar, kalau ini kampung padat penduduk. Jangankan bertengkar, buang angin saja tetangga bisa dengar. "Didik anakmu, ngelawan aja kerjanya ama orangtua!" cakap Mas Tyas Kasar, "Masih ingusan aja udah berani ngelawan
last updateLast Updated : 2022-01-01
Read more
Dalam Kejaran Hutang
Empat puluh juta, bayangkanlah! Tak habis pikir, untuk apa coba uang sebanyak itu? Empat tahun yang lalu, bukannya dia baru setahun di rumah setelah magang di Jepang selama tiga tahun? Uang hasil magangnya saja masih utuh tersimpan di bank. Katanya dua ratus lima puluh juta dan sengaja tidak diambil karena sudah dijadikan dana khusus untuk membangun rumah. Aku saja sampai tak berani meminta, sungguh. Jangankan meminta, untuk sekadar menanyakan saja pun tak punya nyali. Apalagi Ibu sudah memberikan warning, "Uang Tyas yang dari Jepang jangan dipakai. Mau untuk bangun rumah. Itu, tanah belakang rumah sudah dibayar Tyas, mau untuk bangun kolam ikan. Mau buat pembibitan lele dia, Yung. Delapan puluh lima juta, jatuhnya. Ibu yang nawar langsung ke yang punya."Aku yang baru selesai menidurkan Bumi, sempat oleng juga waktu itu. Tidak menyangka sama sekali kalau Mas Tyas dan Ibu bergerak di belakang layar. Artinya tidak melibatkanku sama sekali sebagaimana
last updateLast Updated : 2022-01-01
Read more
Misteri Surat Ratna
Pro: Mas TyasMas Tyas, ini aku Ratna. Kamu kok ngilang gitu aja to, Mas?Aku kan kangen, Masa kamu nggak tahu?Jangan gitu Mas sama aku!Inget, uang tujuh puluh lima juta itu nggak sedikit lho!Nanti kalau aku minta balik gimana?Kamu kan udah nggak punya usaha lagi sekarang?Kerja juga cuma ngojek!Udah lah Mas, nggak usah sok idealis segala macem!Balik sini sama aku. Nanti kubantu. Nggak kuhitung hutang, asal kamu mau jalan sama aku.Ini nomer hp ku: 082 … 890Kutunggu di istana cinta kita!(Ratna)Sungguh, rasanya dadaku seperti kejatuhan bom. Jadi, selama ini Mas Tyas selingkuh? Ratna … Ratna siapa, ya? Seingatku selama ini Mas Tyas tidak punya teman yang bernama Ratna. Iya, kan? Aku juga tidak punya.  Siapa dia? Kok, sepertinya mereka sudah lama berhubungan. Sudah terlalu dalam. Bayangkan, Ratna sampai memberikan uang tujuh puluh lima juta pada Mas Tyas!Tapi kalau dari kat
last updateLast Updated : 2022-01-01
Read more
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status