Demi kebaikan bersama, aku terpaksa pergi meninggalkan rumah. Tak ada satu anak pun yang kubawa, melainkan Lova, anak pungut kami. Semoga dengan ini Mas Tyas bisa belajar, keluarga adalah harta yang paling berharga. Cinta sejati takkan pernah mati meskipun telah tersakiti berulang kali.
View MoreTidak, itu tidak mungkin terjadi!
Bagaimana bisa, Mas Tyas lebih memilih tinggal serumah dengan Ibu padahal ada kami, isteri dan anak-anaknya? Lalu, untuk apa dia membangun rumah yang sebesar ini dulu, jika pada akhirnya hanya menjadi tempat untuk transit? Pulang sebentar mengantarkan jatah makan atau kebutuhan kami yang lainnya lalu pergi lagi. Tanpa mau berbicara barang sepatah kata pun denganku. Membisu, membeku. "Ibu sudah tua, Yung!" Mas Tyas mengulangi kata-katanya tadi, "Siapa lagi yang akan merawat Ibu kalau bukan aku? Aku yang paling dekat. Kamu tahu kan, adik-adikku semua tinggal di luar Jawa? Kebangetan, kalau kamu tetep nggak bisa nerima aku tinggal di rumah Ibu. Nggak punya perasaan!" Ya, aku tahu, Ibu sudah tua dan mulai sering sakit-sakitan. Aku juga tahu kalau Dik Sri tinggal di Palembang dan Dik Bekti tinggal di Bali tapi kami? Bagaimana dengan kami? Kalau memang Mas Tyas tidak egois, bisa kan dia mengajak Ibu untuk tinggal bersama di sini? Atau sebaliknya, mengajak aku dan anak-anak pindah ke rumah Ibu. Kalau begitu kan, kami jadi bisa menjaga dan merawat Ibu bersama-sama. Toh, sekolah anak-anak juga tidak terlalu jauh dari Malioboro. Walaupun akan menjadi dua kali lipat jaraknya jika dibandingkan dari Jalan Palagan."Lho, kok jadi aku yang kebangetan dan nggak punya perasaan, Mas?""Lah itu, kamu nggak bisa terima aku jagain Ibu, ngerawatin …?"
"Bukan gitu lho Mas, maksudku. Aku kan nggak pernah nggak setuju apalagi sampai melarang kamu menjaga atau merawat Ibu, Mas. Aku hanya nggak bisa nerima cara kamu yang sama sekali nggak konfirmasi ke aku. Tahu-tahu berangkat ngojek, tahu-tahu nggak pulang. Pulang sebentar tengah malam, terus balik lagi ke rumah Ibu, tidur di sana. Padahal kan, kamu bisa tidur di rumah kan, Mas? Itu maksudnya apa ya, Mas? Bisa tolong jelaskan?"
Mas Tyas diam. Tidak memandangku tapi juga tidak membuang muka. Tatapannya lurus ke depan, ke arah tangga ke lantai dua. Entah, apa yang ada dalam benaknya. Sampai aku menggendong Lova ke kamar, dia masih menatap ke arah tangga. Menyebalkan, cukup mengundang kemarahan. "Sampai kapan kita begini, Mas?" pelan-pelan aku bertanya, setelah menidurkan Lova di tempat tidur, kasihan juga dia kalau terus kupangku dalam situasi yang memanas antara aku dan Mas Tyas, "Kenapa kamu tega sama kami, Mas? Sama anak-anak terutama. Ingat Mas, mereka masih membutuhkan kasih sayang kamu! Mereka nggak hanya butuh makan tapi juga perhatian kita, Mas. Terutama Langit, sebentar lagi dia naik ke kelas sembilan. Butuh banyak perhatian dan kasih sayang untuk menyiapkan mentalnya mengikuti ujian akhir." Gusar, Mas Tyas meraih jaketnya yang tadi diletakkan begitu saja di meja ruang tamu, "Udah, nggak usah dibahas sekarang. Aku mau berangkat. Nanti nggak dapet duit, ngamuk lagi?"Ngamuk?Aku, ngamuk gara-gara Mas Tyas nggak dapat uang? Sejak kapan aku bisa mengamuk?
"Lho, kamu kok, ngomongnya gitu sih Mas?" sergahku sambil menghentikan langkahnya yang terlihat gontai, "Sejak kapan coba, aku marah sama kamu gara-gara duit, ha?""Cerewet … Bikin nggak betah di rumah!" umpat Mas Tyas sambil terus berjalan menuju pintu, "Asal ngomong aja, kayak orang gila!" Dug! Seketika detak jantungku terasa berhenti, mendengar kata-kata umpatan Mas Tyas. Tapi meskipun begitu, dengan cepat tanganku menarik lengan kanannya yang sudah hampir menyentuh gagang pintu. Sekuat mungkin aku menariknya ke belakang. Untung tidak terjatuh dan masih bisa melanjutkan pembicaraan ini. Benar-benar moment langka. Jarang sekali berbicara berdua, sekalinya bicara malah langsung baku hantam. Mantap! "Kamu yang gila, Mas!" umpatku setengah menjerit, "Gila kamu, menelantarkan anak istrimu sendiri hanya demi menuruti ego!" lanjutku masih sambil memegangi lengan kanannya yang bergeming, "Aku minta kamu pikirkan dengan lebih baik lagi, Mas. Jangan sampai menyesal di belakang. Aku nggak apa-apa kalau kamu mau pulang ke rumah Ibu tapi tolong pikirkan anak-anak. Mereka juga butuh kasih sayang kamu, Mas!"Plaaakkk …! Itulah jawaban yang kudapatkan dari Mas Tyas. Sebuah tamparan yang sangat keras di pipi kiriku. Apa salahku? Salahkah, jika seorang ibu membela hak anak-anaknya?***Dulu, Mas Tyas orang yang sangat baik. Lembut dan penyabar. Tidak banyak bicara tapi penuh perhatian. Pokoknya tidak pernah berbicara kasar apalagi sampai ringan tangan. Ngemong lah, bukan malah memain-mainkan perasaan seperti yang terjadi belakangan ini. Ambil contoh, aku mau menjenguk Bapak di Wonosari, ya dia langsung mengusahakan. Bagaimana caranya supaya kami bisa ke sana, meskipun harus bersabar menunggu, berhari-hari atau berminggu-minggu. "Sabar ya Yung, aku cari sangu dulu kalau kamu kangen pingin jenguk Bapak?""Iya, Mas. Aku juga ngerti, kok. Kamu kan, harus nabung dulu, Mas?"
"Iya, Yung. Makasih ya, udah mau ngertiin aku?"
Ya, tentu saja aku maklum, mencari uang juga bukan perkara yang enteng. Tak seenteng mengangkat kantong plastik kosong. Jadi, pasti bersabar menunggu sampai Mas Tyas bisa mengantarkan kami ke Wonosari. Terpenting, Bapak bahagia karena anak perempuannya ini bisa sering-sering menjenguknya. Lagi pula, orangtua juga tinggal Bapak satu-satunya. Kapan lagi kan, bisa membuatnya tersenyum gembira? Contoh lain, aku ingin mengajak anak-anak jalan-jalan di pantai waktu weekend. Mas Tyas tidak marah atau keberatan, sama sekali. Justeru, bekerja lebih keras lagi, supaya keinginanku terpenuhi. Memperbanyak dagangan dan lebih awal berangkat jualan tempura dan kawan-kawannya di Alun-alun Kidul.Tapi sekarang?Jangankan memperjuangkan keinginanku yang notabene family time, diajak berbicara pun sudah tak bisa menanggapi dengan baik. Adanya hanya satu hal saja, tidak setuju dan akhirnya marah tidak jelas. Kalau tidak, dia akan segera tancap gas ke rumah Ibu. Tak peduli susahnya kami di rumah, tetap saja begitu. Kami kelaparan, kekurangan, ada yang sakit … Tidak memperhatikan sama sekali. Tak jarang, malah memarahi kami. Menyalahkan aku. Seolah-olah semua keadaan dan kesulitan itu terjadi semata-mata karena kesalahanku. Apa, suami seperti apa itu namanya? "Harusnya kamu diskusi dulu sama aku Yung, sebelum kamu bawa Lova ke sini!" Selalu itu yang diucapkan Mas Tyas setiap kali marah, frustrasi atau sejenisnya dengan keadaan hidup kami yang sedang terpuruk, "Sekarang, begini kan, jadinya? Dua juta cuma untuk Lova saja, Yung. Itu saja kadang-kadang kurang. Makanya, susunya jangan boros-boros!" Padahal, kalau dirunut ulang aku sudah konfirmasi lho, waktu keluarga Lova datang ke rumah untuk menawarkannya siapa tahu kami mau mengadopsi. Kasihan, ibunya hamil di luar nikah tapi tak ada yang mau bertanggung jawab. Ya, terus terang aku langsung jingkrak-jingkrak. Toh, setiap anak terlahir dalam keadaan suci, kan? Mas Tyas juga sih sebenarnya, sungguh. Sampai kiamat pun aku tidak akan lupa, bagaimana raut wajah plus gesture Mas Tyas waktu tahu kalau akhirnya akan ada bayi perempuan di rumah. "Gimana, Mas?""Ya udah … Kita ambil aja, Yung. Kapan lagi, mumpung perempuan, kan?"
"Yes! Iya, Mas. Makasih banyak ya, Mas?"
"Iya, sama-sama, Yung. Akhirnya, setelah sembilan tahun … Kok bisa pas gini ya Yung, aku juga tadi pagi kepikiran sama janjiku yang dulu, sebelum kamu melahirkan Laut."
Masa Mas Tyas lupa, sih? Lova kan, baru berumur enam bulan? Itu pun masih kurang satu minggu lagi. Hemmmhhh! Eh, apa Mas Tyas juga lupa ya, kalau kami sempat berpelukan setelah sepakat untuk mengadopsi Lova? Di depan semua keluarganya, malah. Bukannya permisi ke belakang dulu atau bagaimana. Bukankah itu menandakan kalau dia juga bahagia dengan kehadiran Lova? Tapi ya begitu, setiap ada masalah sedikit saja, dia pasti marah-marah. Pasti mengungkit bagaimana aku langsung jatuh cinta pada pandangan pertama begitu melihat wajah cantik Lova. Bukan hanya cantik tapi lembut, imut-imut, wangi, kulitnya seputih susu … Siapa yang tidak jatuh hati kalau seperti itu? Kalau aku sih, sama sekali tidak menampik. Aku yakin, Mas Tyas juga. Buktinya, dari sejak kami sampai di klinik bersalin untuk menjemput Lova, dia terlihat lengket, tuh? Tidak sedikit pun menjauh dari box bayi, terus menerus memandang ke arah Lova. Tok, tok, tok! "Assalamu'alaikum Yung, Payung?" suara Ajeng membuatku terkesiap, "Dek, Dek Lova. Ini, Mbak Cindy mau main!" Klik, klik … Kriiit! "W*'alaikumussalam … Ehhh, Mbak Cindy. Masuk dulu, Mbak. Itu Dek Lova masih bobok.""Sehat, Yung?"
"Alhamdulillah. Kalian, Jeng?"
"Sehat juga, cuma mumet mikirin bapak Cindy!"
Kami sama-sama tertawa kecil lalu sama-sama masuk ke ruang tamu, "Baru saja aku mbatin kamu, Jeng. Kok lama nggak main? Eh, malah dateng. Seneng banget lah, aku!" "Sorry Yung, aku ribet banget ngurusin bapak Cindy." sahutnya dengan mimik wajah menderita, "Ih, cerewetnya itu lho Yung, yang buat aku mumet! Kok, kayak perempuan gitu lho, mulutnya. Ngomel saja, kayak nggak ada habisnya. Pusing, aku tinggal saja, main ke sini!" Mendengar curahan hati Ajeng, aku hanya nyengir kuda poni lalu tertawa kecil, mengikutinya. Ajeng memang hebat, kesabarannya seolah tak berbatas. Walaupun kalau mencurahkan segala sisi hatinya selalu penuh dengan emosi tapi tetap sabar menerima dan mendampingi suaminya. Padahal, kalau dipikir-pikir, masalahnya justeru jauh lebih besar dari pada masalahku, lho. Sungguh. Tidak diberi nafkah lahir batin, tidak diajak bicara selayaknya suami isteri. Serba salah dan masih banyak lagi masalah yang lain. Intinya, tersakiti lah, setiap harinya. Kalau aku jadi Ajeng, entah sanggup atau tidak."Pakai nama Mama saja, Ma?" Langit mengusulkan setelah Laut dan Bumi sibuk mencari nama untuk usaha tanaman hias yang akan kami rintis. "Payung Teduh Flowers. Cantik kan, Mama?" Sejenak, Laut dan Bumi saling memandang lalu tos dengan penuh semangat perjuangan. "Setuju berat, Mas Langit. Cantik banget namanya, Payung Teduh Flowers!" Laut memandangku dengan senyum tipis tetapi manis yang khas. Tak mau kalah, Bumi juga mengapresiasi nama yang diusulkan Langit tadi. "Cantik dan viral pasti. Karena kan unik banget namanya."Payung Teduh Flowers. Payung Teduh Flowers. Payung Teduh Flowers. Memang cantik, ya? Unik. Semoga juga bisa menjadi magnet berkahnya rezeki. "Oke, Mama juga setuju." lembut tapi tegas aku memungkas acara diskusi kami. "Kalau gitu, Mas Langit sama Mas Laut harus segera cetak banner, ya? Nanti kita buat dulu konsepnya. Mas Bumi bantu Mama memilih bunga apa saja yang akan menjadi icon PTF. Nah, habis itu kita cari grosir tanaman hias. Harus banyak survei nih Le, seka
Tiga hari berlalu sejak family time yang so sweet, aku sakit. Demam, batuk, pilek parah sampai tidak bisa bangun dari tempat tidur. Kata Dokter, aku terlalu lelah dan letih. Butuh beberapa hari untuk istirahat total. Dokter sempat menawarkan rawat inap di rumah sakit tetapi aku menolak, tentu saja. Bukankah istirahat di rumah jauh lebih menyenangkan? Ya, begitulah dan akhirnya Anak-anaklah yang dengan kompaknya merawat. Lova terlihat senang hati setiap mengambilkan minum atau menemani minum obat. Langit dan Laut, mendapat tugas membersihkan rumah plus mencuci pakaian. Sedangkan Bumi, mencuci piring dan menyiram tanaman setiap pagi, sebelum berangkat ke sekolah. Siapa yang memasak?Koki di rumah makan, hehehehe. Sorry, just kidding! Sebagai koordinator rumah tangga sementara, Langit memutuskan untuk membeli lauk dan sayur saja selama aku sakit. Kalau memasak sendiri, menurutnya terlalu ribet. Untuk nasi, dia yang memasak. Maka, nikmat dari Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"G
Aku berusaha mengikuti arahan Bu Bidan tetapi belum berhasil. Sabar, Bapak terus menyemangati dan mendoakan keselamatan kami."Nah, ayo ngeden lagi Mbak, ini kepalanya sudah kelihatan. Yuk, ngeden yang kuat. Terus, terus…!"Aku tidak terlalu ingat, bagaimana akhirnya. Hanya ketika kepala Laut sudah keluar, aku menjerit memanggil Mas Tyas. Mengejan lagi, mengikuti daya kontraksi lalu lahirlah dia, Laut Surgawi. Tidak dapat mendengar lagi kah hati Mas Tyas? Hanya Allah Yang Tahu."Sop iga, bakso rusuk, pecel lele, ikan bakar … Kita mau makan apa, Ma?" Hampir saja aku menyerempet sepeda motor karena terkejut demi mendengar pertanyaan Laut. Wah, semua ini gara-gara Mas Tyas yang tak berperasaan, jahat! "Kalian, mau makan apa?" lega tetapi sedikit geragapan aku membalikkan pertanyaan. "Mama ngikut saja, Le. Eh, tapi kayaknya enak ya, kalau makan sop iga? Sudah lama juga kan, Mama nggak masak …?"Laut mengiyakan lalu memberi tahu kalau rumah makan sop iga sapinya tinggal satu setengah kil
"Yuk, turun, anak-anak!" kataku sambil menepikan mobil di perempatan jalan kecil menuju makam Bapak. "Kita parkir di sini saja ya, takutnya Mama nggak bisa atret nanti?"Tanpa berkata-kata, anak-anak mengikuti ajakanku. Langit yang duduk si sebelahku, segera turun sambil menggendong Lova. "Bunganya sudah aku bawa turun, Ma!" lapor Bumi setengah berteriak. "Eh, Mas Laut, tolong bawa air mineralnya!'Kudengar, dengan penuh semangat Laut menyahut, "Siap, Bos!"Entah bagaimana, aku tertawa lirih. Menertawai diri sendiri, Mungkin? Why? Karena belum sempat membahagiakan Bapak semasa hidup. Bahkan, ketika Bapak meninggal dunia pun aku masih dalam keadaan susah. Bukan susah secara ekonomi, tetapi kritisnya hubungan dengan Mas Tyas. Kami sudah benar-benar tenggang, waktu itu, sudah pisah ranjang. Seperti itulah, keadaannya sampai-sampai Mamak dan Limas menghakimi. Bapak terkena serangan jantung karena stressed memikirkan aku. Padahal aku sama sekali tidak memberi tahu Bapak perihal rumah tan
Apakah ini yang disebut dengan penghalang kebahagiaan? Aku tidak tahu! Setelah menyadari apa yang telah terjadi, aku memilih untuk menyebutnya dengan challenge. Tantangan kemanusiaan. Bagaimana tidak? Kami sudah sampai di samping pintu mobil ketika tiba-tiba air ketuban Ajeng pecah. Byok …! Seperti itulah bunyinya, menciptakan panik. Anehnya, aku hanya bisa tertegun hingga beberapa detik lamanya saat cairan seperti putih telur itu membasahi punggung kaki Ajeng."Yung, aku nggak tahan lagi, Yung!" rintih Ajeng sambil merapatkan rahang. "Bayinya sudah mau lahir, Yung!""Ha, apa?" reflek, aku merespon dan tidak menyesal sedikit pun walau mungkin terkesan bodoh. "Jangan bercanda deh Jeng, sudah mau lahir gimana?"Terengah-engah, Ajeng berusaha memberikan penjelasan. "Serius, Yung. Hah, hah, haaahhh …!" Ajeng mencengkeram pintu mobil, mendobrak kesadaranku."Oke, oke!" kataku berusaha meredam panik. "Oke, tahan sebentar. Tahan sebentar ya, Jeng?" Gemetar, aku merogoh ke dalam saku gami
Sebenarnya apa salahku? Pada Mamak, Bapak dan Limas, maksudku sehingga mereka begitu membenciku. Karena menikah darurat dengan Mas Tyas? Karena gagal menjadi Sarjana? Karena akhirnya berpisah dengan Mas Tyas yang berarti kegagalan paling besar bagi mereka? Seharusnya mereka tahu tanpa disalahkan, dibenci dan dihakimi pun aku sudah remuk bubuk. Lumat oleh penyesalan dan perasaan bersalah yang begitu besar, tak tergambarkan. Jelas mereka tidak melihat itu, kan? Jelas, jelas! "Kalau aku jadi kamu ya Mbak, sesakit apa pun nggak akan pernah pisah. Ya ampun, itu kan nyakitin banget buat anak-anak, Mbak. Kasihan juga kan, status mereka jadi anak-anak broken home? Lagian, kenapa dulu kalian pacaran sampai ngawur gitu, coba? Sudah buat malu orangtua eh ujung-ujungnya pisah! Heran deh Mbak, sama kamu!" itu yang dikatakan Limas melalui saluran telepon yang super buruk saat tahu aku sudah berpisah dengan Mas Tyas. Seakan-akan dia yang bertanggung jawab atas hidupku selama ini saja! "Ya,
"Waduh, waduh yang punya rumah baru sampai cuek bebek sama keluarganya!" seloroh Mamak sambil mengulurkan tangan, menyalamiku. "Tapi kayaknya kami nggak bisa nginep, Yung. Adikmu lagi sibuk banget, banyak kerjaan. Besok malah Mamak nggak ada yang nganterin pulang."Aku merasa, otakku sudah berhenti berputar saat ini, sehingga hanya bisa diam tercenung. Oh, pasti aku terlihat sangat bodoh, sekarang. Bodoh dan lemah, tak punya harga diri. "Lah, kan, Mama bisa nganterin Mbah Mamak pulang?" pertanyaan sekaligus pernyataan Laut memulihkan separuh kekuatanku yang tadi hilang entah ke mana. Separuh lagi, berasal dari Bumi, Langit dan Lova yang tiba-tiba mengerubungi kami. Senyum tulus, sorot mata teduh mereka menyemai rasa tenteram dalam hati. "Sekalian jalan-jalan. Iya kan, Mama?"Reflek, aku mengangguk. Menyuguhkan senyum tulus. Biarlah Mamak atau siapa pun bersikap semau mereka tetapi aku tak boleh goyah. Maksudku, meskipun harus mengorbankan diri sendiri, jangan sampai balas menyakiti.
Mas Tyas juga datang? Wah, ini baru bencana! Sejujur-jujurnya kukatakan, tak ingin ada dia malam ini dan selanjutnya. Jangan ada Mas Tyas lagi, karena dia hanyalah selembar masa lalu. Masa lalu yang sangat menyakitkan! "Iya, Mas Bumi?"Bumi mengangguk. "Iya, Mama. Kayaknya, kalau aku nggak salah lihat, Ayah bawa buket bunga mawar putih, Ma." Ha, apa? Ck, Mas Tyas pasti sudah terjangkit skizofrenia. Tak bisa lagi membedakan antara khayalan dan kenyataan. Jelas-jelas kami sudah bukan siapa-siapa lagi, kan? "Mama mau temui Ayah?" pertanyaan polos sekaligus tulus dari Bumi mendobrak kesadaranku. "Mau apa nggak, Ma?"Terlambat. Semuanya sudah terlambat. Aku tak sempat lagi menghindar karena Mas Tyas sudah masuk ke ruang keluarga ini, bersama Ibu. Itu terlalu lancang bagiku tetapi sayang, tak bisa berbuat apa-apa lagi. Hanya bisa berdiri hampa."Selamat ya, Yung?" suara Mas Tyas terdengar gemetar. Entah karena efek dingin dari air conditioner atau karena efek lain salam dirinya. "Maaf,
"Ibu …!"Walau sudah berpisah dengan Mas Tyas, aku tak pernah berubah. Sama seperti dulu waktu masih menjadi anak menantu, menyambut dengan sopan lalu bersalaman. Tidak hanya mengecup punggung tangan, aku juga mencium kedua pipinya. "Alhamdulillah, Ayunng senang Ibu bisa datang." ungkapku jujur dan apa adanya ketika Ibu merengkuh tubuh ini ke dalam pelukannya. "Ibu sehat kan, Bu?""Sehat Yung, Alhamdulillah." lembut, Ibu melepaskanku dari pelukannya. "Ibu juga senang bisa datang ke sini. Selamat ya Yung, sudah punya rumah baru? Ibu doakan semoga diberkahi Allah semuanya.""Aamiin. Makasih banyak, Bu." Ibu menyimpulkan senyum tulus. Mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu yang sejak sore tadi sudah berubah menjadi taman bunga. Hehe. Anak-anak yang memilih tema dekornya. Beberapa ikat balon warni menghiasi sudut-sudut ruangan. Ada juga yang tergantung di langit-langit berplafon putih melati. Konsepnya memang sederhana tetapi terlihat manis dan hangat. Indah."Sama-sama, Ayung."
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments