“Kita memang sudah menikah. Tapi bukan berarti aku akan sudi menyentuhmu. Sampai kapanpun, yang memiliki hatiku hanya Karin!” tegas Gama sambil menyorot Hera dengan tatapan tajamnya. Menjadi yatim piatu setelah ditinggalkan kedua orang tuanya, Hera diminta menjalankan wasiat dari sang ayah. Yaitu menikah dengan seorang duda tampan namun tak berperasaan seperti Gama Dirgantara. Gama tak pernah menganggap Hera sebagai istrinya. Sampai suatu malam, ia menyentuh Hera dalam keadaan mabuk. Akankah Hera dan Gama mampu menyelamatkan pernikahan mereka? Atau akakah takdir berkata lain?
View More"Bagaimana saksi? Sah?" seru penghulu mengedarkan pandangannya pada para saksi yang hadir dalam acara ijab kabul ini."
Sah!" seru mereka kompak.
Semua orang pun berdoa sambil menengadahkan kedua tangan. Wajah kedua orang tua Gama tampak bahagia menyaksikan pernikahan putra mereka.
Hera yang hari ini menjadi mempelai pengantin wanita, hanya tertunduk dengan wajah merahnya. Matanya memanas menahan tangis, teringat pada orang tuanya yang sudah tiada.
'Ma! Pa! Aku merindukan kalian. Hari ini aku sudah menjalankan wasiat yang kalian inginkan. Aku sudah menikah dengan Gama. Semoga kalian berdua bahagia di sana,' jerit Hera dalam batinnya.
Dua minggu yang lalu kedua orang tua Hera meninggal karena kecelakaan mobil. Menyisakan Hera yang hanya sebatangkara. Sebelum meninggal, ayahnya menuliskan sebuah wasiat melalui seorang pengacara agar Hera menikah dengan anak dari sahabat mereka yang bernama Gama Dirgantara.
Hera tak bisa menolak. Ini adalah wasiat dari orang yang sangat dicintainya. Beruntung kedua orang tua Gama menyambut baik isi wasiat itu. Dengan senang hati mereka menerima Hera sebagai menantu.
Tapi entahlah dengan Gama. Hera tidak tahu isi hati lelaki itu. Saat ini Gama hanya duduk dengan wajah tegasnya di samping Hera. Bahkan tak sekalipun Gama berniat menoleh ke arah Hera yang sekarang sudah sah menjadi istrinya.
"Selamat atas pernikahan kalian, Gama!"
Kini Gama dan Hera berdiri di atas pelaminan. Menyalami para tamu undangan yang berbaris mengucapkan selamat pada mereka. Hera tetap dengan senyum manis yang ia umbar. Sementara Gama? Wajahnya tetap kaku. Bahkan ia terlihat tak menyukai pernikahan ini. Setidaknya begitu yang Hera pikirkan.
Sampai dua orang wanita berpakaian seksi tiba di depan mereka, menyalami Gama dan mengabaikan Hera begitu saja. Seakan mereka menganggap Hera selayaknya patung yang tak bergerak.
"Wah, Gama. Aku tidak menyangka akhirnya kau menikah lagi."
"Istri barumu cantik juga. Walaupun tetap cantik istrimu yang pertama."
"Selamat atas pernikahan keduamu ya, Gama!"
Hera terhenyak mendengar itu. Ia menoleh ke arah Gama yang tatapannya masih sedingin es. Hera tidak mengerti dengan maksud dari ucapan kedua wanita tadi.
'Mengapa mereka bilang kalau aku adalah istri kedua Gama? Apa pernikahan ini bukan yang pertama kalinya untuk Gama?' batin Hera bertanya-tanya.
***
Menjelang malam, acara pernikahan yang digelar di hotel bintang lima itu telah usai. Gama dan seluruh keluarganya pun kembali pulang ke rumah dengan membawa Hera.
Mobil mereka berhenti di pelataran rumah yang sangat luas. Gama keluar dari mobil dan ia melangkah lebih dulu menuju pintu utama.
Kening kedua orang tuanya berkerut marah melihat tingkah Gama yang mengabaikan Hera.
"Gama! Jangan berjalan sendirian! Tuntun istrimu. Apa kau lupa kalau sekarang kau sudah memiliki istri?" tegur Darma, ayah kandung Gama.
Hera berdiri di samping mobil bersama dengan Jessi, mertuanya. Ia menatap punggung tegap Gama dengan tatapan bingung.
Gama menghentikan langkahnya. Tanpa menoleh ke belakang, ia berkata. "Dia punya kaki 'kan? Suruh dia jalan sendiri!" cetus Gama tak peduli. Sebelum kemudian ia melanjutkan langkahnya memasuki rumah megah itu.
Hati Hera mencelos melihat betapa dinginnya sikap Gama. Hari pernikahan biasanya akan menjadi hari yang paling membahagiakan bagi setiap orang. Tetapi sepertinya itu tidak berlaku untuk Hera. Ia sadar jika Gama tidak memiliki cinta untuknya.
"Hhh.. anak itu," desah Darma menggelengkan kepala melihat tingkah Gama yang seenaknya. Darma dan Jessi lalu menoleh pada Hera dan menatapnya lembut.
"Hera! Papa minta jangan masukan ucapan Gama ke dalam hati. Dia memang seperti itu. Tapi sebenarnya dia juga orang baik dan pengertian," kata Jessy menyentuh pangkal lengan Hera.
Hera hanya mengulum senyum hambar. Dalam hati ia mendesah.
'Baik dan pengertian? Entahlah... bahkan aku belum melihat sedikitpun sikap baik dan pengertian itu dari sosok Gama,' batin Hera.
Namun Hera tetap menganggukan kepalanya sebagai jawaban.
"Iya, Ma. Aku mengerti," balasnya. Membuat Jessi tersenyum karena ia senang memiliki menantu yang manis dan baik seperti Hera. Menurut Jessi, sikap Hera jauh sekali dengan istri pertama Gama yang bernama Karin.
Setelah itu, Darma dan Jessi membawa Hera masuk. Sementara koper milik Hera dibawakan oleh seorang pembantu.
Ketika memasuki ruang tengah, bola mata Hera bertemu dengan bola mata milik Gama yang berwarna abu. Tatapan lelaki itu terasa seperti sedang menusuknya. Gama duduk di sofa ruang tengah sambil menaikan kaki kanannya ke kaki kiri.
"Untuk apa kopernya dibawa ke lantai atas?" tanya Gama pada Bik Asih yang baru saja menapakkan kakinya di anak tangga pertama. Bik Asih menoleh takut pada Gama. Ditambah lagi sekarang lelaki itu berdiri dan berjalan mendekat sembari memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana.
"Engh.. itu, Tuan Gama—" Bik Asih gelagapan. Sebelum pembantu itu menyelesaikan ucapannya, Darma segera menyela.
"Papa yang menyuruh Bik Asih membawa koper Hera ke lantai atas. Malam ini kalian akan tidur di sana 'kan? Kalian akan tinggal beberapa hari di sini sebelum kau membawa Hera ke rumahmu," ucap Darma menjelaskan.
"Kata siapa?" Gama menaikan sebelah alisnya. Hera merasa bingung melihat sikap Gama yang begitu berani pada kedua orang tuanya. Terlebih lagi pada Darma.
"Malam ini juga aku akan membawa Hera ke rumahku!" tegas Gama.
Kening Darma berkerut dalam. "Mengapa? Tinggalah dulu di rumah Papa selama satu dua hari, Gama. Setelah itu baru kalian boleh pulang," pinta Darma. Terlihat jelas sekali dari raut wajah Darma dan Jessi jika mereka berdua sangat menyayangi Hera.
Apalagi Jessi sedari tadi tak henti menggenggam tangan Hera. Seolah menguatkan wanita itu. Dan melihat itu membuat Gama mendengkus sebal.
"Kalian tidak pernah berkata semanis itu saat hari pertama pernikahanku dengan Karin!"
"Gama! Jangan lagi menyebut namanya di rumah ini!" seru Darma mengacungkan sebelah telunjuknya pada Gama yang berdiri di hadapannya sambil berpangku tangan.
Sementara Hera terkejut mendengar Darma yang sampai semarah itu begitu Gama menyebut nama Karin.
'Jadi benar. Gama sudah menikah sebelumnya dan nama istri pertamanya adalah Karin? Tapi kenapa sepertinya Papa Darma dan Mama Jessi terlihat tidak menyukai Karin?' Hera kembali bergumam dalam hati.
Hera merasa menjadi orang bodoh yang tidak tahu apa-apa di rumah ini. Ia tidak mengerti dengan apa yang terjadi di antara Gama, kedua orang tuanya dan Karin.
"Hera! Kau ikut naik ke lantai atas bersama dengan Bik Asih ya," pinta Darma menoleh pada Hera dan menatapnya hangat. Hera paham jika sebenarnya Darma tidak ingin ia mendengar perdebatan di antara mereka.
"Baik, Pa." selayaknya menantu yang baik. Hera mengangguk dan berjalan menuju tangga. Namun langkahnya terhenti saat Gama kembali bersuara dan menyindir dirinya.
"Hanya karena ayah dari gadis itu meninggalkan sebuah wasiat, lalu Papa menjadikan aku korbannya! Aku terpaksa menerima pernikahan yang sama sekali tidak kuinginkan!" ucapan Gama terdengar penuh emosi. Membuat ulu hati Hera serasa diremas dengan tangan tak kasat mata.
Tubuh Hera membeku. Meski Bik Asih berkali-kali mengajaknya menaiki tangga, tetapi kedua kaki Hera seolah sudah dipaku. Tidak bergerak sedikitpun dari sana.
Steve menyentuh lengan Hera, mengusap punggungnya menenangkan.“Maaf. Aku tidak tahu kalau Mentari akan jadi murung dan tidak mau makan seperti ini karena bersikeras menunggu Gama.” anak itu memang tidak mau makan. Padahal Steve sudah menjelaskan padanya bahwa sebenarnya Gama tidak akan datang ke Singapore.Tetapi anak itu tetap bersikukuh menunggu Gama sambil menatap ke luar jendela yang terbuka, membiarkan angin menerpa kulit wajahnya yang putih, terkadang menggoyangkan rambutnya perlahan.Suara bell yang berbunyi membuyarkan lamunan mereka. Hera mengerjap, menoleh ke arah pintu.“Mungkin itu tukang laundry. Aku akan bukakan pintu dulu,” katanya yang dijawab anggukan oleh Steve.Kaki jenjang Hera berjalan menuju pintu, tangan itu menarik kenop dan membukanya.Selanjutnya mata Hera membeliak lebar. Mulutnya terbuka saking tidak percayanya dengan apa yang ia lihat saat ini.“Ga-Gama!” pe
“Ma? Kita akan kembali ke Singapore ya? Kita akan naik pesawat lagi seperti waktu itu?” berjalan di bandara, Mentari yang dituntun oleh Steve dan Hera di kedua sisi, kini mendongkakan kepala menatap Hera.Hera menunduk, lalu tersenyum mengangguk.“Benar, sayang. Kita akan kembali ke Singapore.”“Tapi kenapa kita harus kembali ke sana, Ma? Padahal aku sudah betah di rumah Kakek Bimo dan Nenek Fatma.” pertanyaan kedua kembali meluncur dari mulut mungilnya, mendesak Hera untuk segera memutar otak, mencari jawaban yang paling tepat.“Mama sangat merindukan Singapore. Dan kau pun merasakan hal yang sama, bukan?” Hera mencubit pelan hidung mungil Mentari. Di sampingnya, Steve mengulum senyum tipis.“Ma. Apa Papa tidak ikut dengan kita?”Hera tertegun menghentikan langkahnya. Nama lelaki yang tidak ingin ia dengar, kini justru keluar dari mulut anaknya sendiri.Hera dan Steve
Mobil Gama dan mobil Steve keluar beriringan melewati gerbang rumah Iren.Di balik kemudi, Gama memukul setir, sembari mengeletukan giginya saat matanya terus menatap tajam ke arah mobil Steve yang melaju di depan sana.“Aku penasaran. Apa benar dia sedekat itu dengan Hera?” gumamnya diliputi rasa cemburu.Mendadak Steve menghentikan mobilnya ketika tiba-tiba mobil Gama menghadang di depan sana. Sepertinya Gama sengaja menghalangi laju mobil Steve.Membuat Steve mengerutkan keningnya heran. “Apa yang dia lakukan? Apa maksudnya menghentikan mobil di depan mobilku?”Sedikit kesal Steve membuka seatbeltnya. Tangannya membuka pintu, kakinya turun menapaki aspal. Lantas dengan menyingsingkan lengan kemejanya, Steve berjalan menghampiri Gama yang kini sudah berdiri di depannya sambil berpangku tangan.“Ada masalah apa kau denganku, Brother? Apa kau tidak tahu bagaimana caranya menghentikan mobil di jalanan?” tan
“Kalian berbeda karena—““Iren!” Bimo yang datang langsung menegur Iren agar tidak melanjutkan ucapannya. Membuat Hera dan Gama yang sempat terkejut, kini bisa menarik napas lega.Bimo mendekat, menghampiri Mentari dan mengusap puncak kepala anak itu. “Tidak, sayang. Jangan pikirkan apa yang Tante Iren katakan. Kau kembali belajar ya.”“Iya, Kek.” Mentari mengangguk, kembali fokus menunduk pada buku tiga dimensi di pangkuannya, lalu mengenali setiap gambar yang ada di sana.Sedangkan Bimo melayangkan tatapan tajamnya pada Iren. Membuat Iren kebingungan. Karena ia merasa tak melakukan salah apapun.“Lain kali jaga bicaramu. Jangan sampai kau mengatakan sesuatu yang akan mengganggu pikiran dan perasaan Mentari!” bisik Bimo di telinga Iren.Setelahnya, Gama mengajak Mentari bermain di halaman belakang. Hera membantu Fatma menyiapkan makan siang di atas meja. Saat akan menga
Malam ini hujan deras mengguyur kota Jakarta. Langitnya hitam pekat, sepekat perasaan Gama saat ini.Mendesah pelan, Gama berdiri menyandarkan punggungnya pada tembok rumah sakit. Dengan ditemani Hera yang berdiri di sampingnya. Setelah Iren tak sadarkan diri, ia langsung dilarikan ke rumah sakit. Beruntung Iren tidak terlambat mendapatkan pertolongan medis. Mengingat ia bisa saja kehabisan darah.“Apa Mentari sudah tidur?” tanya Gama pada Hera, tetapi matanya tetap menatap nyalang ke depan.Hera melirik Gama sebentar, lalu mengangguk. “Ya. Bibi mengirimkan pesan, katanya dia sudah tidur setengah jam yang lalu,” jawab Hera.Gama mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. Gama memijit pangkal hidungnya, kepalanya terasa pening. Banyak sekali masalah yang memenuhi pikirannya. Dan sepertinya masalah yang terjadi saat ini adalah yang paling berat. Gama tidak tahu apa ia sanggup m
Baru saja pantatnya menyentuh kursi kemudi, matanya kembali melirik ke arah papper bag itu yang sekarang sudah bergabung dengan bunga yang Gama beli. Itu juga khusus untuk Hera.“Semoga dia akan menyukainya. Ah, aku sangat tidak sabar. Ingin segera menikahimu dan memulai semuanya dari awal lagi. Kali ini tidak boleh ada penderitaan, rasa terpaksa, atau saling menyakiti. Pernikahan kita harus berdasar cinta dan kasih sayang. Karena hanya cinta yang akan menjadi pondasi terbaik dalam pernikahan. Meskipun aku belum pernah mendengar kata cinta dari mulut Hera, tetapi cukup melalui tatapannya saja, aku sudah tahu kalau Hera pun mencintaiku.”Setelah mengucapkan itu, senyumnya kembali melebar. Hatinya melambung tinggi, rasanya Gama ingin segera bertemu Hera, melihat wajah cantiknya, mendekapnya seerat yang ia bisa.Untuk bisa mewujudkan keinginannya itu, maka Gama segera melajukan mobilnya menuju ke rumah Bimo dan Fatma. Dimana dua wanita yang sangat
Hera tersenyum. Menggeser pandangannya hingga tertuju pada Mentari. Lalu ditariknya tangan Gama untuk mendekati kursi roda Mentari.Gama tidak tahu apa yang akan Hera lakukan. Tetapi ia tetap mengikuti wanita itu.“Mama! Om Gama!” mata bulat Mentari berbinar senang begitu Gama dan Hera tiba di hadapannya.Gama tersenyum pedih. Mendengar mulut Mentari masih menyebutnya om, membuat hati Gama meringis.Hera berjongkok, meraih tangan Mentari lalu menatap matanya lamat. Fatma dan Bimo hanya memerhatikan dari samping kiri dan kanan bocah mungil itu.“Mentari. Mama ingin mengatakan sesuatu padamu. Jadi dengarkan Mama baik-baik. Oke?”“Iya, Ma.” kepala mungilnya mengangguk.Hera menarik napas sebentar, melirik sesaat ke arah Gama yang berdiri gelisah, kemudian matanya kembali menatap Mentari yang memasang wajah penasaran di depannya.“Apa kau ingat, dulu kau sering bertanya tentang siapa nama P
Gama hanya menatap Iren dengan lurus. Meski hatinya juga tak tega melihat Iren menangis di depannya.“Ayahmu bukannya tidak menyayangimu. Tetapi dia tahu kau tidak akan bahagia jika menikah denganku,” ucap Gama meralat perkataan Iren.Tetapi Iren menggeleng, tetap dengan anggapannya.“Tapi hatiku sangat yakin kalau aku akan bahagia dengan pernikahan kita. Aku yakin itu!”Kali ini Gama yang menggelengkan kepalanya, melepaskan genggaman tangan Iren hingga membuat raut wajahnya semakin merengut kecewa.“Ini pasti sangat berat buatmu. Tapi aku lebih setuju dengan Ayahmu. Jadi maaf, aku tetap pada pendirianku. Rencana pernikahan kita tidak akan bisa dilanjutkan.”Gama kemudian membalikan badan, mengalihkan pandangan dari Iren, enggan terus melihat tangis wanita itu yang membuatnya semakin merasa tak tega.Iren membuka mulutnya terperangah. Matanya menatap Gama dengan wajah sedih. Hatiny
Dengan tangan yang gemetar, Darma mengusap air di sudut matanya. Perlahan kakinya melangkah mendekati sofa dimana Mentari duduk.“G… H… I… J…”“Mentari!” panggilnya pelan.Mentari mendongkak menatap Darma, alisnya bertaut bingung, matanya mengerjap bertanya-tanya, siapa kiranya lelaki tua yang saat ini menatapnya berkaca-kaca ini? Mengapa dia mengetahui namanya?“Kakek siapa?” tanyanya penasaran.Di belakang sana, Hera tersenyum melihat Darma yang ikut duduk di samping Mentari. Menyentuh kedua tangan mungilnya, mengecupinya berkali-kali.“Kakek jangan menciumku! Kata Mama aku tidak boleh dicum sembarangan oleh orang asing!” dengan cepat Mentari mengusap kedua pipinya yang baru saja diciumi oleh Darma, Darma terkekeh melihat itu.Hera meringis, ia memang pernah memberitahu Mentari untuk tidak sembarangan menerima ciuman orang karena takut dengan kas
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments