"Ayahnya Hera adalah sahabat Papa. Dia orang yang sangat baik dan Papa sangat berhutang budi padanya. Jika bukan karena jasa ayahnya Hera, kita tidak akan mungkin bisa menikmati hidup yang mewah seperti ini! Dulu perusahaan Papa berada diambang kebangkrutan dan hanya Ayahnya Hera yang menolong kita, Gama," papar Darma berusaha menjelaskan tentang jasa dari ayahnya Hera pada Gama.
Tetapi Gama menggelengkan kepalanya. Ia malah menyungginngkan senyum kecut. Seakan menganggap semua ucapan yang keluar dari mulut Darma tidak masuk akal.
"Aku baru dengar jika balas budi bisa dibalas dengan mengorbankan anak sendiri!" desis Gama membalas telak ucapan papanya.
Darma menatap putranya dengan mata yang membeliak. Ia tidak menyangka jika Gama akan berpikiran seperti itu. Padahal tidak sedikitpun Darma berniat menjadikan Gama sebagai korban. Tahukah Gama jika apa yang selalu Darma lakukan adalah demi kebaikannya?
"Kau memang tidak akan mengerti. Selamanya kau tidak akan pernah mengerti apa yang berusaha Papa lakukan untukmu, Gama. Karena dulu wanita itu sudah mencuci otakmu untuk membenci kami!" Darma meninggikan suaranya. Ia bahkan enggan menyebut nama Karin saking tidak sukanya dengan menantu pertamanya itu.
Gama mengepalkan tangannya. Amarahnya mendidih hingga ke ujung kepala. Ia tidak suka jika ada orang yang menjelek-jelekkan Karin. Karin adalah wanita yang sangat ia cintai. Meskipun saat ini wanita itu telah tiada.
Sedangkan Hera yang menyaksikan perdebatan di antara kedua orang itu hanya meremas pagar tangga dengan tangan kanannya. Hera dibuat semakin tidak mengerti dengan bagaimana Darma bisa sebenci itu pada Karin.
"Bagus. Aku memang tidak suka jika nama Karin keluar dari mulut kalian. Di hari pertama aku membawa Karin sebagai pengantinku ke rumah ini, bahkan sampai kematiannya, kalian tidak pernah menyukai dia. Kalian selalu memperlakukan Karin dengan tidak adil. Dia istriku! Dan sampai kapanpun hanya Karin yang pantas menjadi istriku. Bukan dia!" tegas Gama lalu ia mengarahkan telunjuknya pada Hera yang berdiri di anak tangga. Hera terhenyak melihat Gama yang kini menatapnya penuh amarah. Rahang lelaki itu terlihat mengeras seakan ingin menerkamnya.
Tetapi Hera hanya balas menatap datar lelaki yang sudah menjadi suaminya itu. Ia tidak ingin menunjukkan rasa takutnya. Gama hanyalah manusia sepertinya. Hanya saja bedanya, dia mungkin tak memiliki hati.
Setelah itu, Gama melangkah cepat menghampiri Hera. Merenggut tangan istrinya dengan kasar hingga membuat Hera sedikit meringis kesakitan.
"Aaakhh.."
"Gama! Kau mau kemana?! Lepaskan Hera! Jangan perlakukan dia sekasar itu!" Darma dan Jessi berseru panik melihat Gama yang berjalan keluar rumah dan menarik tangan Hera menuju mobil. Mereka mengejar langkah Gama dari belakang. Takut sekali jika Gama akan menyakiti menantu mereka.
"Aku tahu apa yang harus kulakukan! Kalian tidak perlu ikut campur. Mulai sekarang aku ini adalah suaminya 'kan? Hhh... setidaknya begitulah yang terjadi," kata Gama yang masih saja menarik tangan Hera.
"Lepaskan tanganku! Aku bisa jalan sendiri. Tidak perlu kau tarik-tarik seperti ini!" Hera memberontak. Membuat Gama menghentikan langkah dan menatapnya dengan tatapan setajam elang.
Hera merasa tertohok ditatap seperti itu. Ia merasa seperti sedang berhadapan sedang singa yang lapar.
"Masuk!" perintah Gama menujuk ke arah pintu mobil. Hera menatap Gama dengan benci. Ia tidak pernah diperlakukan sekaras ini oleh kedua orang tuanya. Tapi sialnya Hera juga tidak bisa menampar Gama. Ia ingat jika lelaki itu sudah berstatus suaminya.
Akhirnya Hera memilih masuk dengan bibir yang terkatup rapat. Bik Asih memasukan koper milik Hera ke dalam bagasi. Sedangkan kedua orang tua Gama kini berdiri dan menatap cemas ke arah Gama yang masih berdiri di samping mobil.
"Gama! Perlakukan Hera dengan baik. Dia itu istrimu!" pinta Darma yang mencoba mengingatkan Gama tentang status Hera sekarang.
Gama mendengkus masam. Ia meremas kunci mobil yang ada dalam genggamannya. Lalu menatap Darma dengan dagu yang terangkat.
"Jangan khawatir, Pa. Menantu kesayangan kalian tidak akan lecet sedikitpun. Sebaiknya kalian berdoa saja agar aku tidak memperlakukan Hera sama seperti cara kalian memperlakukan Karin. Selamat malam!" ucap Gama sebelum ia masuk ke dalam mobilnya dan duduk di balik kemudi.
Begitu Gama duduk di sebelahnya, seketika Hera merasa suasana di dalam mobil terasa mencekam. Bahkan bulu kuduknya lansung berdiri. Padahal Hera tahu jika lelaki itu bukanlah setan atau semacamnya. Dia adalah manusia sama seperti dirinya.
Darma dan Jessi masih menatap khawatir pada mobil Gama yang kini sudah melaju meninggalkan pekarangan rumah.
"Pa! Mama takut jika Gama akan menyakiti Hera. Gama tidak mengerti jika Karin itu sering mencuci otaknya. Karin tidak sebaik yang ia pikirkan. Wanita itu terlalu licik. Jauh sekali dengan Hera yang polos dan lugu." Jessi meremas tangan Darma. Menatap suaminya dengan mata yang berkaca-kaca.
Darma mengangguk. Ia paham dengan apa yang Jessi rasakan. Diabaikan oleh anak sendiri pastilah membuat Jessi bersedih. Tetapi yang lebih Jessi takutkan adalah perlakuan Gama pada Hera nantinya.
"Berdoa saja, Ma. Semoga Gama segera bisa melihat kebenarannya. Dia telah banyak salah paham selama ini. Papa yakin meski semarah apapun Gama, dia tidak akan sampai hati menyakiti Hera secara fisik," balas Darma menarik pundak Jessi agar bersandar ke dadanya.
Darma berusaha menguatkan Jessi, padahal dalam hatinya sendiri, Darma mendesah penuh penyesalan.
'Maafkan aku, Tio. Sepertinya aku telah salah menerima wasiatmu. Hera harus menderita menikah dengan putraku,' batin Darma meminta maaf pada Satrio, ayah kandung Hera yang telah meninggal dunia.
***
Gama menghentikan mobilnya. Ia langsung disambut oleh para pelayan yang berdiri menyapanya.
"Selamat datang, Tuan Gama!" sapa mereka. Hera pun keluar dari mobil. Ia menatap takjub pada rumah Gama yang megah dan sangat luas. Bahkan menurut Hera, rumah ini lebih pantas disebut sebagai mansion.
Gama membenarkan kelepak jassnya. Ia menatap tegas pada seluruh pelayan yang menyambutnya, lalu melirik sinis ke arah Hera yang berdiri di sampingnya.
"Dia Hera. Mulai sekarang dia akan tinggal di paviliun bersama dengan kalian. Dan jangan sungkan memberikan pekerjaan padanya. Karena di sini dia tidak akan diperlakukan istimewa!" ucap Gama begitu lantang. Mata Hera dan semua pelayan yang mendengar itu langsung membeliak lebar.
Hera menoleh pada Gama dengan mata yang menyipit. Apa maksud lelaki itu? Hera akan tinggal di paviliun? Tunggu! Bukankah Hera adalah istrinya dan sudah seharusnya berada dalam satu rumah bersama Gama?
Para pelayan Gama tahu jika tuannya itu baru saja menikahi Hera. Mereka hanya bisa menunduk menatap pada kaki mereka masing-masing. Enggan berkomentar ataupun bertanya tentang mengapa Gama bersikap seperti itu pada wanita yang baru saja dinikahinya.
"Apa maksudmu? Aku tinggal di paviliun?" tanya Hera. Keningnya berkerut dalam.
Gama balas menatap Hera dengan mengedikkan bahunya santai. "Ya. Apa ucapanku tadi belum jelas? Kau akan tinggal di paviliun bersama dengan para pelayanku. Kenapa? Kau merasa keberatan, Hera? Atau kau ingin tinggal di rumah ini bersama denganku? Begitu, hmm?" tanya Gama menaikan sebelah alisnya. Ia memasang wajah mengejek pada Hera yang saat ini tercenung melihatnya."Jangan pernah bermimpi terlalu tinggi, Hera! Aku tidak mencintaimu! Mungkin kita memang sudah menikah. Tetapi jangan berpikir kalau aku akan sudi menyentuhmu! Hal yang paling mustahil kulakukan!" desis Gama mengangkat telunjuknya dan menekankan setiap kata-katanya pada Hera.Gama ingin membuat Hera mengerti jika wanita itu tidak bisa masuk dalam kehidupannya. Gama ingin membuat jarak di antara mereka. Hera harus tahu, jika hati Gama lebih keras dari sebuah batu sekalipun.Hera tidak membalas ucapan Gama. Tetapi ia hanya menatap bola mata lelaki itu dengan tatapan dalam. Mungkin Hera merasa sak
"Jangan ada satu orang pun yang berani memberinya makan malam ini! Jika ada yang melanggar, aku akan langsung memecatnya saat itu juga!" Hera masih bisa mendengar suara Gama yang memerintah pada para pelayan yang ada di luar sana.Sementara Diar sudah memegang gagang pintu. Lagi-lagi ia menatap Hera dengan tatapan tidak enaknya."Maafkan saya, Nyonya.." ucap Diar dengan bibirnya yang bergerak tanpa suara. Mungkin Diar takut Gama akan mendengarnya.Hera hanya menjawabnya dengan anggukan kepala. Tanda bahwa ia tak merasa keberatan jika Diar menguncinya malam ini.Setelahnya pintu itu menutup dengan rapat, Hera lalu menatap nyalang ke depan dan ia menjatuhkan pantatnya di pinggir ranjang bersamaan dengan helaan napas berat yang sejak tadi ia tahan di dadanya."Ma.. Pa.. aku merindukan kalian berdua," desah Hera teringat akan kedua orang tuanya yang sudah tiada.Suara perutnya yang mengerucuk membuat Hera menelan ludah. Gama sudah memerint
Namun langkahnya belum sampai melewati pintu, Hera kembali bersuara."Jangan terlalu percaya diri, Gama. Jika bukan karena kau suamiku, aku tidak akan mau bersusah payah memasak untuk lelaki yang tak tahu berterimakasih sepertimu. Aku melakukannya bukan demi dirimu, tapi demi kedua orang tuaku yang selalu berpesan agar aku melayani suamiku dengan baik. Tapi sayangnya mereka tidak tahu jika lelaki yang kunikahi adalah manusia yang tak berperasaan!" teriak Hera menatap punggung Gama yang tegap dan lebar.Gama berbalik menatap Hera dengan alis yang terangkat."Terserah. Kalau begitu lakukan saja apa yang kau mau. Dan aku tidak akan peduli!" balas Gama melayangkan tatapannya yang menusuk ke arah Hera, sebelum ia melengos pergi dan tubuhnya menghilang di balik pintu itu.Hera mematung. Lalu ia menjatuhkan dirinya di kursi yang tadi ia duduki. Hatinya mencelos mendengar ucapan Gama. Hera tersenyum miris menertawakan kebodohannya sendiri.Hera memegangi d
"Jangan! Jangan! Aku mohon jangan ganggu karirku. Pekerjaanku hanya sebagai model saja. Jika aku sampai diblacklist dari semua agency model, darimana aku mencari uang?" mohon Bastian. Yang kemudian dibalas oleh Gama dengan dengkusan masam seraya mengedikkan bahunya tak peduli."Itu bukan urusanku!" tegas Gama melayangkan tatapannya yang setajam elang. Tatapannya itu mampu menembus hingga ke jantung Bastian. Membuat tubuh lelaki itu membeku di tempat duduknya.Bastian tidak menyangka jika si lelaki bertopeng tadi adalah orang suruhan Gama. Bisa jadi dia salah satu dari sekian banyak bodyguard yang Gama miliki. Dan sialnya, Bastian seperti mati kutu. Ia tidak berdaya di hadapan Gama yang tentu saja memiliki kekuasaan dibanding dirinya."Kau telah salah memilih musuh. Seharusnya sebelum bertindak, kau harus mencari tahu dulu tentang siapa musuhmu sebenarnya," geram Gama sambil menarik rahang Bastian hingga mendongkak menatapnya."A-apa maksudmu?" Basti
"Diar. Apa Gama belum pulang?"Diar sedikit terkejut mendengar pertanyaan Hera. Namun senyum kecil tertahan di bibir pelayan itu. Rupanya, Gama lah yang sedang Hera pikirkan.Ini memang sudah pukul dua belas malam. Seharusnya di jam seperti ini, semua orang di paviliun sudah tidur. Tapi Hera malah menyibukan diri memikirkan suaminya.Diar menggeleng pelan. "Belum, Nyonya Hera. Tuan Gama belum pulang." jawaban itu membuat Hera mendesah kecewa.Diar tersenyum lagi saat melihat raut khawatir tampak di wajah Hera. Gurat kecemasan itulah yang membuat Hera sulit untuk tidur.'Di mana Gama? Ini sudah mau tengah malam tapi dia belum pulang juga. Bahkan sekarang hujan deras. Sial! Kenapa aku jadi mencemaskannya seperti ini.' Hera mengutuk dirinya sendiri dalam hati.Jika mengingat sikap Gama yang tidak ada manis-manisnya, seharusnya Hera tak perlu mengacuhkan lelaki itu meskipun ia diterkam serigala, atau ditelan ikan paus sek
Kini langkah Gama sudah memasuki ke dalam paviliun. Paviliun itu tampak sepi. Karena semua orang yang tinggal di dalamnya sudah tertidur di kamar mereka masing-masing.Tujuan Gama adalah kamar Hera. Entah iblis darimana yang menuntunnya untuk pergi ke kamar wanita itu. Tapi Hera adalah istrinya.KLEK!Tangan Gama membuka pintu kamar Hera secara perlahan. Dilihatnya wanita itu sedang terlelap di atas ranjang. Dengan selimut tebal yang menutupi hingga ke pinggangnya.Dalam cahaya remang lampu tidur, Hera tampak begitu cantik. Rambut indahnya terurai menutupi bantal. Dan Gama melangkah makin dekat, berdiri di samping ranjang sembari matanya menatap Hera dengan pandangan berkabut penuh gairah."Hhhhh.." Gama mendesah.'Mengapa dia terlihat begitu cantik, terlebih saat sedang tidur dengan tenang seperti ini?' batin Gama.Setahun menjadi suami Hera, baru kali ini Gama melihat istrinya itu tertidur pulas di depannya. Gama t
Kemudian Hera turun dari ranjang dengan menahan sakit di kewanitaannya. Hera membawa serta selimut tebal yang kini membalut tubuhnya itu ke dalam kamar mandi. Karena pakaian tidurnya sudah tak terselamatkan. Hanya sisa robekan kainnya yang berserakan di lantai.Ingin menghilangkan rasa sentuhan tangan Gama dalam tubuhnya, Hera segera menyalakan shower, membuat airnya yang deras jatuh membasahi rambut dan seluruh tubuhnya."Iblis! Tidak memiliki hati! Tidak berperasaan! Kau sangat kejam, Gama. Aku tahu kalau aku adalah istrimu. Dan sudah kewajibanku memberikan nafkah batin untukmu. Tapi bukan seperti ini caranya. Kau malah membuat terhina. Malam ini kau memperlakukanku seperti pelacur. Aku membencimu. Sangat membencimu."Hera tak henti-hentinya merutuki apa yang telah Gama lakukan padanya. Sembari ia menggosok-gosok tangan dan tubuhnya dengan kasar. Berharap aroma parfum lelaki itu tidak tercium lagi di tubuhnya.Setengah jam berlalu, Her
“Apa kau bilang? Hera pergi?! Pergi bagaimana maksudnya?”Sore ini, kedua orang tua Gama datang bermaksud ingin bertemu dengan anak dan menantu mereka. Namun saat tiba di sana, mereka tidak menemukan Hera.Biasanya saat Darma dan Jessy berkunjung, Gama selalu menyuruh Hera berpura-pura jika pernikahan mereka baik-baik saja. Kedua orang tua Gama bahkan tak pernah tahu sebelumnya jika Hera selalu tinggal di paviliun. Yang mereka tahu, Hera tinggal satu atap dengan Gama. Sebagaimana suami-istri kebanyakan.Dan ketika Darma dan Jessi menanyakan dimana Hera berada pada Gama, dengan hembusan napas lelah Gama menjawab kalau Hera pergi dari rumah.“Gama! Kenapa diam saja? Papa sedang bertanya padamu. Apa yang terjadi pada Hera?! Mengapa dia sampai pergi dari rumah? Ke mana dia?” dengan kesabaran yang mulai habis, Darma meninggikan suaranya. Mendesak Gama yang sedang berdiri di hadapannya itu untuk bicara.Jessy juga mena
Steve menyentuh lengan Hera, mengusap punggungnya menenangkan.“Maaf. Aku tidak tahu kalau Mentari akan jadi murung dan tidak mau makan seperti ini karena bersikeras menunggu Gama.” anak itu memang tidak mau makan. Padahal Steve sudah menjelaskan padanya bahwa sebenarnya Gama tidak akan datang ke Singapore.Tetapi anak itu tetap bersikukuh menunggu Gama sambil menatap ke luar jendela yang terbuka, membiarkan angin menerpa kulit wajahnya yang putih, terkadang menggoyangkan rambutnya perlahan.Suara bell yang berbunyi membuyarkan lamunan mereka. Hera mengerjap, menoleh ke arah pintu.“Mungkin itu tukang laundry. Aku akan bukakan pintu dulu,” katanya yang dijawab anggukan oleh Steve.Kaki jenjang Hera berjalan menuju pintu, tangan itu menarik kenop dan membukanya.Selanjutnya mata Hera membeliak lebar. Mulutnya terbuka saking tidak percayanya dengan apa yang ia lihat saat ini.“Ga-Gama!” pe
“Ma? Kita akan kembali ke Singapore ya? Kita akan naik pesawat lagi seperti waktu itu?” berjalan di bandara, Mentari yang dituntun oleh Steve dan Hera di kedua sisi, kini mendongkakan kepala menatap Hera.Hera menunduk, lalu tersenyum mengangguk.“Benar, sayang. Kita akan kembali ke Singapore.”“Tapi kenapa kita harus kembali ke sana, Ma? Padahal aku sudah betah di rumah Kakek Bimo dan Nenek Fatma.” pertanyaan kedua kembali meluncur dari mulut mungilnya, mendesak Hera untuk segera memutar otak, mencari jawaban yang paling tepat.“Mama sangat merindukan Singapore. Dan kau pun merasakan hal yang sama, bukan?” Hera mencubit pelan hidung mungil Mentari. Di sampingnya, Steve mengulum senyum tipis.“Ma. Apa Papa tidak ikut dengan kita?”Hera tertegun menghentikan langkahnya. Nama lelaki yang tidak ingin ia dengar, kini justru keluar dari mulut anaknya sendiri.Hera dan Steve
Mobil Gama dan mobil Steve keluar beriringan melewati gerbang rumah Iren.Di balik kemudi, Gama memukul setir, sembari mengeletukan giginya saat matanya terus menatap tajam ke arah mobil Steve yang melaju di depan sana.“Aku penasaran. Apa benar dia sedekat itu dengan Hera?” gumamnya diliputi rasa cemburu.Mendadak Steve menghentikan mobilnya ketika tiba-tiba mobil Gama menghadang di depan sana. Sepertinya Gama sengaja menghalangi laju mobil Steve.Membuat Steve mengerutkan keningnya heran. “Apa yang dia lakukan? Apa maksudnya menghentikan mobil di depan mobilku?”Sedikit kesal Steve membuka seatbeltnya. Tangannya membuka pintu, kakinya turun menapaki aspal. Lantas dengan menyingsingkan lengan kemejanya, Steve berjalan menghampiri Gama yang kini sudah berdiri di depannya sambil berpangku tangan.“Ada masalah apa kau denganku, Brother? Apa kau tidak tahu bagaimana caranya menghentikan mobil di jalanan?” tan
“Kalian berbeda karena—““Iren!” Bimo yang datang langsung menegur Iren agar tidak melanjutkan ucapannya. Membuat Hera dan Gama yang sempat terkejut, kini bisa menarik napas lega.Bimo mendekat, menghampiri Mentari dan mengusap puncak kepala anak itu. “Tidak, sayang. Jangan pikirkan apa yang Tante Iren katakan. Kau kembali belajar ya.”“Iya, Kek.” Mentari mengangguk, kembali fokus menunduk pada buku tiga dimensi di pangkuannya, lalu mengenali setiap gambar yang ada di sana.Sedangkan Bimo melayangkan tatapan tajamnya pada Iren. Membuat Iren kebingungan. Karena ia merasa tak melakukan salah apapun.“Lain kali jaga bicaramu. Jangan sampai kau mengatakan sesuatu yang akan mengganggu pikiran dan perasaan Mentari!” bisik Bimo di telinga Iren.Setelahnya, Gama mengajak Mentari bermain di halaman belakang. Hera membantu Fatma menyiapkan makan siang di atas meja. Saat akan menga
Malam ini hujan deras mengguyur kota Jakarta. Langitnya hitam pekat, sepekat perasaan Gama saat ini.Mendesah pelan, Gama berdiri menyandarkan punggungnya pada tembok rumah sakit. Dengan ditemani Hera yang berdiri di sampingnya. Setelah Iren tak sadarkan diri, ia langsung dilarikan ke rumah sakit. Beruntung Iren tidak terlambat mendapatkan pertolongan medis. Mengingat ia bisa saja kehabisan darah.“Apa Mentari sudah tidur?” tanya Gama pada Hera, tetapi matanya tetap menatap nyalang ke depan.Hera melirik Gama sebentar, lalu mengangguk. “Ya. Bibi mengirimkan pesan, katanya dia sudah tidur setengah jam yang lalu,” jawab Hera.Gama mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. Gama memijit pangkal hidungnya, kepalanya terasa pening. Banyak sekali masalah yang memenuhi pikirannya. Dan sepertinya masalah yang terjadi saat ini adalah yang paling berat. Gama tidak tahu apa ia sanggup m
Baru saja pantatnya menyentuh kursi kemudi, matanya kembali melirik ke arah papper bag itu yang sekarang sudah bergabung dengan bunga yang Gama beli. Itu juga khusus untuk Hera.“Semoga dia akan menyukainya. Ah, aku sangat tidak sabar. Ingin segera menikahimu dan memulai semuanya dari awal lagi. Kali ini tidak boleh ada penderitaan, rasa terpaksa, atau saling menyakiti. Pernikahan kita harus berdasar cinta dan kasih sayang. Karena hanya cinta yang akan menjadi pondasi terbaik dalam pernikahan. Meskipun aku belum pernah mendengar kata cinta dari mulut Hera, tetapi cukup melalui tatapannya saja, aku sudah tahu kalau Hera pun mencintaiku.”Setelah mengucapkan itu, senyumnya kembali melebar. Hatinya melambung tinggi, rasanya Gama ingin segera bertemu Hera, melihat wajah cantiknya, mendekapnya seerat yang ia bisa.Untuk bisa mewujudkan keinginannya itu, maka Gama segera melajukan mobilnya menuju ke rumah Bimo dan Fatma. Dimana dua wanita yang sangat
Hera tersenyum. Menggeser pandangannya hingga tertuju pada Mentari. Lalu ditariknya tangan Gama untuk mendekati kursi roda Mentari.Gama tidak tahu apa yang akan Hera lakukan. Tetapi ia tetap mengikuti wanita itu.“Mama! Om Gama!” mata bulat Mentari berbinar senang begitu Gama dan Hera tiba di hadapannya.Gama tersenyum pedih. Mendengar mulut Mentari masih menyebutnya om, membuat hati Gama meringis.Hera berjongkok, meraih tangan Mentari lalu menatap matanya lamat. Fatma dan Bimo hanya memerhatikan dari samping kiri dan kanan bocah mungil itu.“Mentari. Mama ingin mengatakan sesuatu padamu. Jadi dengarkan Mama baik-baik. Oke?”“Iya, Ma.” kepala mungilnya mengangguk.Hera menarik napas sebentar, melirik sesaat ke arah Gama yang berdiri gelisah, kemudian matanya kembali menatap Mentari yang memasang wajah penasaran di depannya.“Apa kau ingat, dulu kau sering bertanya tentang siapa nama P
Gama hanya menatap Iren dengan lurus. Meski hatinya juga tak tega melihat Iren menangis di depannya.“Ayahmu bukannya tidak menyayangimu. Tetapi dia tahu kau tidak akan bahagia jika menikah denganku,” ucap Gama meralat perkataan Iren.Tetapi Iren menggeleng, tetap dengan anggapannya.“Tapi hatiku sangat yakin kalau aku akan bahagia dengan pernikahan kita. Aku yakin itu!”Kali ini Gama yang menggelengkan kepalanya, melepaskan genggaman tangan Iren hingga membuat raut wajahnya semakin merengut kecewa.“Ini pasti sangat berat buatmu. Tapi aku lebih setuju dengan Ayahmu. Jadi maaf, aku tetap pada pendirianku. Rencana pernikahan kita tidak akan bisa dilanjutkan.”Gama kemudian membalikan badan, mengalihkan pandangan dari Iren, enggan terus melihat tangis wanita itu yang membuatnya semakin merasa tak tega.Iren membuka mulutnya terperangah. Matanya menatap Gama dengan wajah sedih. Hatiny
Dengan tangan yang gemetar, Darma mengusap air di sudut matanya. Perlahan kakinya melangkah mendekati sofa dimana Mentari duduk.“G… H… I… J…”“Mentari!” panggilnya pelan.Mentari mendongkak menatap Darma, alisnya bertaut bingung, matanya mengerjap bertanya-tanya, siapa kiranya lelaki tua yang saat ini menatapnya berkaca-kaca ini? Mengapa dia mengetahui namanya?“Kakek siapa?” tanyanya penasaran.Di belakang sana, Hera tersenyum melihat Darma yang ikut duduk di samping Mentari. Menyentuh kedua tangan mungilnya, mengecupinya berkali-kali.“Kakek jangan menciumku! Kata Mama aku tidak boleh dicum sembarangan oleh orang asing!” dengan cepat Mentari mengusap kedua pipinya yang baru saja diciumi oleh Darma, Darma terkekeh melihat itu.Hera meringis, ia memang pernah memberitahu Mentari untuk tidak sembarangan menerima ciuman orang karena takut dengan kas