Gama balas menatap Hera dengan mengedikkan bahunya santai. "Ya. Apa ucapanku tadi belum jelas? Kau akan tinggal di paviliun bersama dengan para pelayanku. Kenapa? Kau merasa keberatan, Hera? Atau kau ingin tinggal di rumah ini bersama denganku? Begitu, hmm?" tanya Gama menaikan sebelah alisnya. Ia memasang wajah mengejek pada Hera yang saat ini tercenung melihatnya.
"Jangan pernah bermimpi terlalu tinggi, Hera! Aku tidak mencintaimu! Mungkin kita memang sudah menikah. Tetapi jangan berpikir kalau aku akan sudi menyentuhmu! Hal yang paling mustahil kulakukan!" desis Gama mengangkat telunjuknya dan menekankan setiap kata-katanya pada Hera.
Gama ingin membuat Hera mengerti jika wanita itu tidak bisa masuk dalam kehidupannya. Gama ingin membuat jarak di antara mereka. Hera harus tahu, jika hati Gama lebih keras dari sebuah batu sekalipun.
Hera tidak membalas ucapan Gama. Tetapi ia hanya menatap bola mata lelaki itu dengan tatapan dalam. Mungkin Hera merasa sakit dalam hatinya atas ucapan lelaki itu. Tapi ia lebih memilih diam alih-alih membalas perkataan Gama yang menusuk hatinya.
"Diar!" teriak Gama memanggil salah seorang dari puluhan pelayan itu.
"Iya, Tuan Gama?" Diar bergerak menghampiri Gama dan berdiri di depan tuannya dengan kepala yang sedikit menunduk.
"Antar dia ke kamar yang masih kosong di paviliun. Dan biarkan dia membawa barang-barangnya sendiri!" perintah Gama pada Diar yang langsung diangguki oleh pelayan itu.
"Baik, Tuan Gama." meski merasa tidak enak pada Hera yang seharusnya diperlakukan spesial di rumah ini karena ia adalah istri dari tuannya, tetapi mau tak mau Diar tetap menjalankan perintah Gama.
Diar mengajak Hera agar membawa kopernya dan mengikutinya ke paviliun. Sebelum pergi, Hera sempat melayangkan tatapan benci pada Gama yang balas menatapnya tajam. Gama tampak tak peduli jika Hera membencinya. Mungkin hal itu justru akan lebih baik bagi Gama karena Hera akan cepat pergi dan menyerah dalam pernikahan ini.
Sesampainya di paviliun, Hera menjatuhkan kopernya di lantai sebuah kamar yang tampak bersih meskipun tidak sebesar kamarnya saat di rumahnya dulu.
Ah, Hera jadi teringat dengan rumahnya dan juga kedua orang tuanya.
"Maaf, Nyonya Hera. Kamar ini mungkin tidak sebesar kamar yang ada di rumah utama. Dan maaf juga karena tidak seharusnya saya mengajak Anda ke sini," suara Diar terdengar mencicit. Ia menunduk tak enak melihat Hera yang berdiri di depannya.
Semua kamar yang ada di dalam paviliun ini memang khusus untuk pelayan. Maka dari itu kamar yang ada di sana ukurannya tak sebesar kamar yang ada di rumah utama yang ditempati oleh Gama.
Diar merasa Hera tak pantas tinggal di paviliun karena bagaimanapun Hera adalah majikannya juga. Tetapi apa yang bisa para pelayan itu lakukan selain mematuhi perintah Gama?
Hera menggeleng sembari melempar senyum tipis. "Bukan masalah. Tidak apa jika Gama memang ingin aku tinggal di sini. Lagipula aku lebih suka tidur di paviliun bersama dengan kalian daripada harus tidur di rumah mewah yang seperti neraka itu," kata Hera mengucapkannya dengan lantang tanpa takut Gama mendengarnya.
Sementara Diar meringis. Ia berharap ucapan Hera tadi tidak akan sampai ke telinga Gama.
"Aku salut pada kalian. Karena tetap patuh meski memiliki tuan yang tak punya perasaan seperti lelaki itu." Hera semakin berani melontarkan kata-katanya.
"Nyonya..." Diar berniat mengingatkan Hera agar menjaga ucapannya, takut jika Gama mendengar.
"Jangan memanggilnya dengan sebutan Nyonya, Diar!" namun ternyata Gama malah sudah berdiri di ambang pintu. Membuat Diar dan Hera terhenyak menatapnya yang saat ini sedang menatap Hera dengan mengetatkan giginya. Kedua tangan Gama masuk ke dalam saku celana.
Jika sosok iblis tidak ada dalam diri Gama, mungkin Hera akan mengakui bahwa Gama adalah lelaki paling tampan yang pernah ia temui. Tubuh lelaki itu nyaris sempurna. Membuat hati wanita manapun pasti akan berdesir melihatnya.
Hanya saja, ketampanan itu tertutup oleh sikapnya yang dingin dan tak tersentuh. Yang ada Hera malah merasa suasana selalu mencekam setiap kali Gama menatapnya.
Jantung Hera bagai diremas ketika Gama melangkah makin dekat ke arahnya. Lantas berdiri di depan Hera dengan wajah yang menantang.
"Tidak boleh ada satu orang pun yang memanggil dia dengan sebutan Nyonya!" tegas Gama lagi mengulang pernyataannya sambil menujuk pada wajah Hera. "Karena dia tidak pantas disebut begitu. Panggil saja dia dengan nama. Aku sudah tegaskan tadi kalau dia tidak istimewa sama sekali. Jadi perlakukan dia sama seperti kalian memperlakukan sesama pelayan!" lanjut Gama yang tak melepaskan pandangannya sedikitpun dari wajah Hera yang tampak marah. Namun Hera masih bisa mengendalikan emosinya.
Tak ingin dianggap rendah dan membuat Gama semakin senang, Hera balas mengangkat dagunya dan berseru pada lelaki itu.
"Aku juga tidak ingin sedikitpun dianggap istimewa apalagi oleh monster sepertimu!" kini giliran Hera yang menunjuk wajah Gama. Rasanya Hera ingin menampar wajah Gama yang sayangnya sudah terlanjur ia nikahi itu.
"Oh iya? Baguslah kalau kau sudah tahu bahwa suami yang kau nikahi ini adalah monster," ucap Gama yang malah mendekatkan wajahnya dan membalas ucapan Hera dengan raut mengejek.
"Kau harus sadar dimana posisimu dan dimana posisiku! Jika kau merasa menderita, salahkan saja kedua orang tuamu yang telah membuat wasiat konyol ini hingga membuat kita terjebak dalam pernikahan yang sama sekali tidak diinginkan. Wasiatnya benar-benar menyusahkan!" desis Gama lalu mendengkus kesal.
Mendengar Gama membawa-bawa nama kedua orang tuanya, membuat darah Hera mendidih.
"Kau boleh menghinaku sepuas hatimu dan marah karena tidak menyukai pernikahan ini. Tapi jangan pernah menghina kedua orang tuaku! Aku tidak akan terima dengan hal itu!" tegas Hera. Ia berteriak pada Gama. Siapa yang akan senang mendengar kedua orang tuanya direndahkan.
Gama menaikan sebelah alisnya pada Hera. Sepertinya ia sangat suka memancing kemarahan Hera.
"Memangnya kenapa? Aku berkata sesuai fakta. Aku tahu jika sebenarnya kau pun tidak menginginkan pernikahan ini. Tapi lihatlah! Kedua orang tuamu itu meskipun sudah terkubur dalam tanah, malah membuat susah orang lain!"
"Lalu bagaimana dengan Karin? Bukankah dia juga sudah terkubur di dalam tanah, tapi dia masih saja membuat hubunganmu dengan kedua orang tuamu menjadi renggang. Jadi apa bedanya Karin dengan kedua orang tuaku?!" Hera benar-benar menunjukkan keberaniannya. Ia membalas telak ucapan Gama hingga membuat lelaki itu naik pitam.
"Kau?!" Gama mengepalkan tangan di kedua sisi tubuhnya. Nyaris saja Gama mengangkatnya untuk menampar Hera. Tapi ia kembali menjatuhkan tangannya lagi saat akal sehat sedikit mengusainya.
Hera yang sempat memejamkan mata, bersiap menerima tamparan dari Gama kini membuka matanya perlahan. Dan yang pertama Hera lihat adalah tatapan Gama yang begitu menusuk padanya. Lelaki itu benar-benar menyiratkan amarah yang luar biasa setiap kali mendengar nama Karin direndahkan.
"Diar! Tutup pintu kamar ini dan biarkan dia sendirian!" perintah Gama pada Diar yang hanya bisa mengangguk patuh. Gama kemudian membalikan badan dan berjalan melewati pintu dengan langkah lebarnya.
"Jangan ada satu orang pun yang berani memberinya makan malam ini! Jika ada yang melanggar, aku akan langsung memecatnya saat itu juga!" Hera masih bisa mendengar suara Gama yang memerintah pada para pelayan yang ada di luar sana.Sementara Diar sudah memegang gagang pintu. Lagi-lagi ia menatap Hera dengan tatapan tidak enaknya."Maafkan saya, Nyonya.." ucap Diar dengan bibirnya yang bergerak tanpa suara. Mungkin Diar takut Gama akan mendengarnya.Hera hanya menjawabnya dengan anggukan kepala. Tanda bahwa ia tak merasa keberatan jika Diar menguncinya malam ini.Setelahnya pintu itu menutup dengan rapat, Hera lalu menatap nyalang ke depan dan ia menjatuhkan pantatnya di pinggir ranjang bersamaan dengan helaan napas berat yang sejak tadi ia tahan di dadanya."Ma.. Pa.. aku merindukan kalian berdua," desah Hera teringat akan kedua orang tuanya yang sudah tiada.Suara perutnya yang mengerucuk membuat Hera menelan ludah. Gama sudah memerint
Namun langkahnya belum sampai melewati pintu, Hera kembali bersuara."Jangan terlalu percaya diri, Gama. Jika bukan karena kau suamiku, aku tidak akan mau bersusah payah memasak untuk lelaki yang tak tahu berterimakasih sepertimu. Aku melakukannya bukan demi dirimu, tapi demi kedua orang tuaku yang selalu berpesan agar aku melayani suamiku dengan baik. Tapi sayangnya mereka tidak tahu jika lelaki yang kunikahi adalah manusia yang tak berperasaan!" teriak Hera menatap punggung Gama yang tegap dan lebar.Gama berbalik menatap Hera dengan alis yang terangkat."Terserah. Kalau begitu lakukan saja apa yang kau mau. Dan aku tidak akan peduli!" balas Gama melayangkan tatapannya yang menusuk ke arah Hera, sebelum ia melengos pergi dan tubuhnya menghilang di balik pintu itu.Hera mematung. Lalu ia menjatuhkan dirinya di kursi yang tadi ia duduki. Hatinya mencelos mendengar ucapan Gama. Hera tersenyum miris menertawakan kebodohannya sendiri.Hera memegangi d
"Jangan! Jangan! Aku mohon jangan ganggu karirku. Pekerjaanku hanya sebagai model saja. Jika aku sampai diblacklist dari semua agency model, darimana aku mencari uang?" mohon Bastian. Yang kemudian dibalas oleh Gama dengan dengkusan masam seraya mengedikkan bahunya tak peduli."Itu bukan urusanku!" tegas Gama melayangkan tatapannya yang setajam elang. Tatapannya itu mampu menembus hingga ke jantung Bastian. Membuat tubuh lelaki itu membeku di tempat duduknya.Bastian tidak menyangka jika si lelaki bertopeng tadi adalah orang suruhan Gama. Bisa jadi dia salah satu dari sekian banyak bodyguard yang Gama miliki. Dan sialnya, Bastian seperti mati kutu. Ia tidak berdaya di hadapan Gama yang tentu saja memiliki kekuasaan dibanding dirinya."Kau telah salah memilih musuh. Seharusnya sebelum bertindak, kau harus mencari tahu dulu tentang siapa musuhmu sebenarnya," geram Gama sambil menarik rahang Bastian hingga mendongkak menatapnya."A-apa maksudmu?" Basti
"Diar. Apa Gama belum pulang?"Diar sedikit terkejut mendengar pertanyaan Hera. Namun senyum kecil tertahan di bibir pelayan itu. Rupanya, Gama lah yang sedang Hera pikirkan.Ini memang sudah pukul dua belas malam. Seharusnya di jam seperti ini, semua orang di paviliun sudah tidur. Tapi Hera malah menyibukan diri memikirkan suaminya.Diar menggeleng pelan. "Belum, Nyonya Hera. Tuan Gama belum pulang." jawaban itu membuat Hera mendesah kecewa.Diar tersenyum lagi saat melihat raut khawatir tampak di wajah Hera. Gurat kecemasan itulah yang membuat Hera sulit untuk tidur.'Di mana Gama? Ini sudah mau tengah malam tapi dia belum pulang juga. Bahkan sekarang hujan deras. Sial! Kenapa aku jadi mencemaskannya seperti ini.' Hera mengutuk dirinya sendiri dalam hati.Jika mengingat sikap Gama yang tidak ada manis-manisnya, seharusnya Hera tak perlu mengacuhkan lelaki itu meskipun ia diterkam serigala, atau ditelan ikan paus sek
Kini langkah Gama sudah memasuki ke dalam paviliun. Paviliun itu tampak sepi. Karena semua orang yang tinggal di dalamnya sudah tertidur di kamar mereka masing-masing.Tujuan Gama adalah kamar Hera. Entah iblis darimana yang menuntunnya untuk pergi ke kamar wanita itu. Tapi Hera adalah istrinya.KLEK!Tangan Gama membuka pintu kamar Hera secara perlahan. Dilihatnya wanita itu sedang terlelap di atas ranjang. Dengan selimut tebal yang menutupi hingga ke pinggangnya.Dalam cahaya remang lampu tidur, Hera tampak begitu cantik. Rambut indahnya terurai menutupi bantal. Dan Gama melangkah makin dekat, berdiri di samping ranjang sembari matanya menatap Hera dengan pandangan berkabut penuh gairah."Hhhhh.." Gama mendesah.'Mengapa dia terlihat begitu cantik, terlebih saat sedang tidur dengan tenang seperti ini?' batin Gama.Setahun menjadi suami Hera, baru kali ini Gama melihat istrinya itu tertidur pulas di depannya. Gama t
Kemudian Hera turun dari ranjang dengan menahan sakit di kewanitaannya. Hera membawa serta selimut tebal yang kini membalut tubuhnya itu ke dalam kamar mandi. Karena pakaian tidurnya sudah tak terselamatkan. Hanya sisa robekan kainnya yang berserakan di lantai.Ingin menghilangkan rasa sentuhan tangan Gama dalam tubuhnya, Hera segera menyalakan shower, membuat airnya yang deras jatuh membasahi rambut dan seluruh tubuhnya."Iblis! Tidak memiliki hati! Tidak berperasaan! Kau sangat kejam, Gama. Aku tahu kalau aku adalah istrimu. Dan sudah kewajibanku memberikan nafkah batin untukmu. Tapi bukan seperti ini caranya. Kau malah membuat terhina. Malam ini kau memperlakukanku seperti pelacur. Aku membencimu. Sangat membencimu."Hera tak henti-hentinya merutuki apa yang telah Gama lakukan padanya. Sembari ia menggosok-gosok tangan dan tubuhnya dengan kasar. Berharap aroma parfum lelaki itu tidak tercium lagi di tubuhnya.Setengah jam berlalu, Her
“Apa kau bilang? Hera pergi?! Pergi bagaimana maksudnya?”Sore ini, kedua orang tua Gama datang bermaksud ingin bertemu dengan anak dan menantu mereka. Namun saat tiba di sana, mereka tidak menemukan Hera.Biasanya saat Darma dan Jessy berkunjung, Gama selalu menyuruh Hera berpura-pura jika pernikahan mereka baik-baik saja. Kedua orang tua Gama bahkan tak pernah tahu sebelumnya jika Hera selalu tinggal di paviliun. Yang mereka tahu, Hera tinggal satu atap dengan Gama. Sebagaimana suami-istri kebanyakan.Dan ketika Darma dan Jessi menanyakan dimana Hera berada pada Gama, dengan hembusan napas lelah Gama menjawab kalau Hera pergi dari rumah.“Gama! Kenapa diam saja? Papa sedang bertanya padamu. Apa yang terjadi pada Hera?! Mengapa dia sampai pergi dari rumah? Ke mana dia?” dengan kesabaran yang mulai habis, Darma meninggikan suaranya. Mendesak Gama yang sedang berdiri di hadapannya itu untuk bicara.Jessy juga mena
Riak wajah Darma yang tadi merah padam karena kemarahannya pada Gama, kini rona itu sudah menghilang. Darma hanya menatap putranya dengan raut lelah. Sementara tangannya kembali menepuk pundak Gama, bedanya kali ini mereka sudah berdiri saling berhadapan.“Cari Hera sampai ketemu. Kau harus menemukannya. Bagaimanapun dia istrimu. Meskipun sebenarnya Papa sangat kecewa padamu, Gama. Tapi semuanya sudah terjadi. Mungkin ini salah Papa karena sudah memaksamu menikah dengan Hera padahal kau tidak mencintainya. Jika nanti Hera ketemu, Papa pasrah kalaupun nantinya kalian akan memilih berpisah. Mungkin pernikahan kalian memang tidak bisa dipertahankan meski sebenarnya Papa sangat menyayangi Hera dan merasa tidak enak dengan ayahnya yang sudah tiada.”Darma berusaha berpikir bijak. Ia tidak lagi berapi-api memarahi ataupun menampar Gama. Darma pikir sedikit banyak ia juga berperan dalam hal ini.Karena Darma lah yang sudah memaksa Gama untuk menikahi Hera.
Steve menyentuh lengan Hera, mengusap punggungnya menenangkan.“Maaf. Aku tidak tahu kalau Mentari akan jadi murung dan tidak mau makan seperti ini karena bersikeras menunggu Gama.” anak itu memang tidak mau makan. Padahal Steve sudah menjelaskan padanya bahwa sebenarnya Gama tidak akan datang ke Singapore.Tetapi anak itu tetap bersikukuh menunggu Gama sambil menatap ke luar jendela yang terbuka, membiarkan angin menerpa kulit wajahnya yang putih, terkadang menggoyangkan rambutnya perlahan.Suara bell yang berbunyi membuyarkan lamunan mereka. Hera mengerjap, menoleh ke arah pintu.“Mungkin itu tukang laundry. Aku akan bukakan pintu dulu,” katanya yang dijawab anggukan oleh Steve.Kaki jenjang Hera berjalan menuju pintu, tangan itu menarik kenop dan membukanya.Selanjutnya mata Hera membeliak lebar. Mulutnya terbuka saking tidak percayanya dengan apa yang ia lihat saat ini.“Ga-Gama!” pe
“Ma? Kita akan kembali ke Singapore ya? Kita akan naik pesawat lagi seperti waktu itu?” berjalan di bandara, Mentari yang dituntun oleh Steve dan Hera di kedua sisi, kini mendongkakan kepala menatap Hera.Hera menunduk, lalu tersenyum mengangguk.“Benar, sayang. Kita akan kembali ke Singapore.”“Tapi kenapa kita harus kembali ke sana, Ma? Padahal aku sudah betah di rumah Kakek Bimo dan Nenek Fatma.” pertanyaan kedua kembali meluncur dari mulut mungilnya, mendesak Hera untuk segera memutar otak, mencari jawaban yang paling tepat.“Mama sangat merindukan Singapore. Dan kau pun merasakan hal yang sama, bukan?” Hera mencubit pelan hidung mungil Mentari. Di sampingnya, Steve mengulum senyum tipis.“Ma. Apa Papa tidak ikut dengan kita?”Hera tertegun menghentikan langkahnya. Nama lelaki yang tidak ingin ia dengar, kini justru keluar dari mulut anaknya sendiri.Hera dan Steve
Mobil Gama dan mobil Steve keluar beriringan melewati gerbang rumah Iren.Di balik kemudi, Gama memukul setir, sembari mengeletukan giginya saat matanya terus menatap tajam ke arah mobil Steve yang melaju di depan sana.“Aku penasaran. Apa benar dia sedekat itu dengan Hera?” gumamnya diliputi rasa cemburu.Mendadak Steve menghentikan mobilnya ketika tiba-tiba mobil Gama menghadang di depan sana. Sepertinya Gama sengaja menghalangi laju mobil Steve.Membuat Steve mengerutkan keningnya heran. “Apa yang dia lakukan? Apa maksudnya menghentikan mobil di depan mobilku?”Sedikit kesal Steve membuka seatbeltnya. Tangannya membuka pintu, kakinya turun menapaki aspal. Lantas dengan menyingsingkan lengan kemejanya, Steve berjalan menghampiri Gama yang kini sudah berdiri di depannya sambil berpangku tangan.“Ada masalah apa kau denganku, Brother? Apa kau tidak tahu bagaimana caranya menghentikan mobil di jalanan?” tan
“Kalian berbeda karena—““Iren!” Bimo yang datang langsung menegur Iren agar tidak melanjutkan ucapannya. Membuat Hera dan Gama yang sempat terkejut, kini bisa menarik napas lega.Bimo mendekat, menghampiri Mentari dan mengusap puncak kepala anak itu. “Tidak, sayang. Jangan pikirkan apa yang Tante Iren katakan. Kau kembali belajar ya.”“Iya, Kek.” Mentari mengangguk, kembali fokus menunduk pada buku tiga dimensi di pangkuannya, lalu mengenali setiap gambar yang ada di sana.Sedangkan Bimo melayangkan tatapan tajamnya pada Iren. Membuat Iren kebingungan. Karena ia merasa tak melakukan salah apapun.“Lain kali jaga bicaramu. Jangan sampai kau mengatakan sesuatu yang akan mengganggu pikiran dan perasaan Mentari!” bisik Bimo di telinga Iren.Setelahnya, Gama mengajak Mentari bermain di halaman belakang. Hera membantu Fatma menyiapkan makan siang di atas meja. Saat akan menga
Malam ini hujan deras mengguyur kota Jakarta. Langitnya hitam pekat, sepekat perasaan Gama saat ini.Mendesah pelan, Gama berdiri menyandarkan punggungnya pada tembok rumah sakit. Dengan ditemani Hera yang berdiri di sampingnya. Setelah Iren tak sadarkan diri, ia langsung dilarikan ke rumah sakit. Beruntung Iren tidak terlambat mendapatkan pertolongan medis. Mengingat ia bisa saja kehabisan darah.“Apa Mentari sudah tidur?” tanya Gama pada Hera, tetapi matanya tetap menatap nyalang ke depan.Hera melirik Gama sebentar, lalu mengangguk. “Ya. Bibi mengirimkan pesan, katanya dia sudah tidur setengah jam yang lalu,” jawab Hera.Gama mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. Gama memijit pangkal hidungnya, kepalanya terasa pening. Banyak sekali masalah yang memenuhi pikirannya. Dan sepertinya masalah yang terjadi saat ini adalah yang paling berat. Gama tidak tahu apa ia sanggup m
Baru saja pantatnya menyentuh kursi kemudi, matanya kembali melirik ke arah papper bag itu yang sekarang sudah bergabung dengan bunga yang Gama beli. Itu juga khusus untuk Hera.“Semoga dia akan menyukainya. Ah, aku sangat tidak sabar. Ingin segera menikahimu dan memulai semuanya dari awal lagi. Kali ini tidak boleh ada penderitaan, rasa terpaksa, atau saling menyakiti. Pernikahan kita harus berdasar cinta dan kasih sayang. Karena hanya cinta yang akan menjadi pondasi terbaik dalam pernikahan. Meskipun aku belum pernah mendengar kata cinta dari mulut Hera, tetapi cukup melalui tatapannya saja, aku sudah tahu kalau Hera pun mencintaiku.”Setelah mengucapkan itu, senyumnya kembali melebar. Hatinya melambung tinggi, rasanya Gama ingin segera bertemu Hera, melihat wajah cantiknya, mendekapnya seerat yang ia bisa.Untuk bisa mewujudkan keinginannya itu, maka Gama segera melajukan mobilnya menuju ke rumah Bimo dan Fatma. Dimana dua wanita yang sangat
Hera tersenyum. Menggeser pandangannya hingga tertuju pada Mentari. Lalu ditariknya tangan Gama untuk mendekati kursi roda Mentari.Gama tidak tahu apa yang akan Hera lakukan. Tetapi ia tetap mengikuti wanita itu.“Mama! Om Gama!” mata bulat Mentari berbinar senang begitu Gama dan Hera tiba di hadapannya.Gama tersenyum pedih. Mendengar mulut Mentari masih menyebutnya om, membuat hati Gama meringis.Hera berjongkok, meraih tangan Mentari lalu menatap matanya lamat. Fatma dan Bimo hanya memerhatikan dari samping kiri dan kanan bocah mungil itu.“Mentari. Mama ingin mengatakan sesuatu padamu. Jadi dengarkan Mama baik-baik. Oke?”“Iya, Ma.” kepala mungilnya mengangguk.Hera menarik napas sebentar, melirik sesaat ke arah Gama yang berdiri gelisah, kemudian matanya kembali menatap Mentari yang memasang wajah penasaran di depannya.“Apa kau ingat, dulu kau sering bertanya tentang siapa nama P
Gama hanya menatap Iren dengan lurus. Meski hatinya juga tak tega melihat Iren menangis di depannya.“Ayahmu bukannya tidak menyayangimu. Tetapi dia tahu kau tidak akan bahagia jika menikah denganku,” ucap Gama meralat perkataan Iren.Tetapi Iren menggeleng, tetap dengan anggapannya.“Tapi hatiku sangat yakin kalau aku akan bahagia dengan pernikahan kita. Aku yakin itu!”Kali ini Gama yang menggelengkan kepalanya, melepaskan genggaman tangan Iren hingga membuat raut wajahnya semakin merengut kecewa.“Ini pasti sangat berat buatmu. Tapi aku lebih setuju dengan Ayahmu. Jadi maaf, aku tetap pada pendirianku. Rencana pernikahan kita tidak akan bisa dilanjutkan.”Gama kemudian membalikan badan, mengalihkan pandangan dari Iren, enggan terus melihat tangis wanita itu yang membuatnya semakin merasa tak tega.Iren membuka mulutnya terperangah. Matanya menatap Gama dengan wajah sedih. Hatiny
Dengan tangan yang gemetar, Darma mengusap air di sudut matanya. Perlahan kakinya melangkah mendekati sofa dimana Mentari duduk.“G… H… I… J…”“Mentari!” panggilnya pelan.Mentari mendongkak menatap Darma, alisnya bertaut bingung, matanya mengerjap bertanya-tanya, siapa kiranya lelaki tua yang saat ini menatapnya berkaca-kaca ini? Mengapa dia mengetahui namanya?“Kakek siapa?” tanyanya penasaran.Di belakang sana, Hera tersenyum melihat Darma yang ikut duduk di samping Mentari. Menyentuh kedua tangan mungilnya, mengecupinya berkali-kali.“Kakek jangan menciumku! Kata Mama aku tidak boleh dicum sembarangan oleh orang asing!” dengan cepat Mentari mengusap kedua pipinya yang baru saja diciumi oleh Darma, Darma terkekeh melihat itu.Hera meringis, ia memang pernah memberitahu Mentari untuk tidak sembarangan menerima ciuman orang karena takut dengan kas