Kemudian Hera turun dari ranjang dengan menahan sakit di kewanitaannya. Hera membawa serta selimut tebal yang kini membalut tubuhnya itu ke dalam kamar mandi. Karena pakaian tidurnya sudah tak terselamatkan. Hanya sisa robekan kainnya yang berserakan di lantai.
Ingin menghilangkan rasa sentuhan tangan Gama dalam tubuhnya, Hera segera menyalakan shower, membuat airnya yang deras jatuh membasahi rambut dan seluruh tubuhnya.
"Iblis! Tidak memiliki hati! Tidak berperasaan! Kau sangat kejam, Gama. Aku tahu kalau aku adalah istrimu. Dan sudah kewajibanku memberikan nafkah batin untukmu. Tapi bukan seperti ini caranya. Kau malah membuat terhina. Malam ini kau memperlakukanku seperti pelacur. Aku membencimu. Sangat membencimu."
Hera tak henti-hentinya merutuki apa yang telah Gama lakukan padanya. Sembari ia menggosok-gosok tangan dan tubuhnya dengan kasar. Berharap aroma parfum lelaki itu tidak tercium lagi di tubuhnya.
Setengah jam berlalu, Hera keluar dan sambil memegang erat handuknya yang membalut tubuh, Hera berdiri menatap tubuh besar dan jangkung lelaki itu yang tampak pulas tertidur. Tatapan itu penuh kebencian.
Lantas Hera membuka lemari. Ia membulatkan tekadnya kali ini. Hera merasa bahwa ia tidak bisa bertahan lagi.
"Ayah! Maafkan aku. Aku mohon jangan marah atau membenciku karena aku tidak tahan lagi menjalani pernikahan dengan lelaki yang tak berperasaan seperti Gama. Aku akan pergi. Setidaknya aku pernah menjalankan wasiat yang Ayah minta," desah Hera.
Ia tidak terima mendapat penghinaan dari suaminya sendiri. Gama sudah keterlaluan. Menyentuh Hera dengan cara yang paling menyakiti hati wanita. Seakan Gama menganggap Hera adalah wanita malam yang bisa diperlakukannya sesuka hati.
Tidak! Jangan harap Hera akan mau bertahan dengan lelaki arogan itu. Saat ini juga ia akan pergi. Kemanapun asal jauh dari Gama.
Hera sudah mengenakan pakaiannya, ia pun sudah mengisi koper dengan baju-baju serta barang-barang penting miliknya. Lantas tangannya mengambil sebuah buku, merobek selembar kertas di dalamnya, lalu menuliskan sesuatu yang kemudian ia taruh di atas nakas.
"Selamat tinggal, Gama," bisik Hera menatap wajah pulas Gama. Sebelum akhirnya ia meraih koper dan menyeretnya keluar dari kamar itu.
***
Gama terbangun saat matanya merasa silau. Perlahan kelopak matanya terbuka, dan mencoba menajamkan penglihatannya.
"Eeemhhh.." posisi tubuhnya yang tertelungkup, Gama meregangkan tangannya. Namun saat menyadari jika ia tidak tidur di kamarnya, Gama segera mengubah posisinya menjadi duduk.
"Mengapa aku bisa ada di sini? Ini bukan kamarku," bingung Gama lalu memendarkan pandangannya ke sekeliling. Seketika Gama merengutkan wajahnya saat ingat jika kamar yang ditempatinya saat ini adalah kamarnya Hera.
Jadi semalam Gama berada di paviliun?!
"Hera?" Gama tercenung membuka mulutnya. Matanya melihat ada noda merah yang mengotori sprei berwarna putih itu. Itu darah!
Pelan tapi pasti Gama mulai mengingat dengan jelas apa yang sudah ia lakukan semalam pada Hera. Gama masuk ke dalam kamar Hera dalam keadaan mabuk, lalu menyentuhnya dengan paksa. Bahkan Gama masih ingat dengan jerit dan teriakan Hera yang memenuhi gendang telinganya.
Pakaian milik gadis itu sudah berserakan dengan keadaan terkoyak di lantai. Sedangkan tubuh Gama sendiri tampak polos seperti bayi. Menguatkan keyakinannya jika semalam ia memang telah benar-benar melakukan itu.
"Sial! Sialan kau Gama!" maki Gama pada dirinya sendiri setelah ia mengenakan kembali semua pakaiannya. Gama memukul pahanya dengan kepalan tangan.
"Aku menyakiti Hera. Aku sudah menyakitinya semalam. Tidak seharusnya aku melampiaskan amarahku pada Hera. Padahal aku mabuk berat karena marah menerima kenyataan tentang perselingkuhan Karin. Hera pasti marah padaku. Di mana dia saat ini?" Gama mengetuk pintu kamar mandi. Mengira Hera ada di sana.
Tapi tak sedikitpun terdengar suara gemercik air, Gama membuka pintunya dan ternyata memang kosong. Tidak ada siapapun di sana selain hanya selimut tebal yang teronggok begitu saja di lantainya.
"Hera? Kau di mana? Hera?" Gama memanggil Hera, tapi tak ada sahutan.
Melihat ke arah ranjang, matanya menemukan secarik kertas yang terletak di atas nakas. Tangan Gama meraihnya, lalu ia membaca tulisan yang tertera di sana.
'Terimakasih untuk penghinaanmu tadi malam. Aku meminta cerai darimu. Aku pergi. Jangan mencariku!'
Begitulah isi tulisan di kertasi itu. Membuat hati Gama berdenyut.
"Hera pergi?" dan itu karena ulahnya.
Segera saja Gama membuka lemari, memeriksa isi di dalamnya. Dan seketika itu bahunya turun seiring dengan helaan napas pelan yang lolos dari bibirnya. Sebab yang Gama lihat lemari itu kosong. Tidak ada pakaian milik Hera selain hanya bekas baju tidur wanita itu yang sudah robek dan berserakan di atas lantai.
"Jadi dia benar-benar pergi meninggalkan rumah ini. Dia melarikan diri!" dada Gama naik-turun. Mukanya memerah menahan marah.
Kini langkahnya yang tegas berjalan keluar dari kamar Hera, Gama menghampiri satpamnya yang biasa menjaga pintu gerbang.
"Pak Sardi!" suara baritone itu terdengar menggelegar, membuat Pak Sardi yang sedang duduk dan minum kopi di pos jaga, terlonjak kaget dan terburu-buru mendekati Gama.
Ada apa dengan tuannya itu? Gama tidak pernah berteriak memanggil pekerjanya dengan suara sekeras itu.
"Iya, Tuan? Tuan Gama memanggil saya?" tanyanya dengan kepala menunduk ke bawah. Menatap pada sepatunya sendiri.
"Apa saja yang kau lakukan semalam? Hah? Sampai-sampai Hera bisa kabur dari rumah ini?!" sentak Gama. Membuat Pak Sardi melebarkan matanya.
"Nyonya Hera kabur, Tuan?"
"Jangan bertanya seperti orang bodoh! Kau tahu kalau aku bisa saja memecatmu saat ini juga! Hera melarikan diri. Dan hanya kau yang memegang kunci gerbangnya! Bagaimana mungkin kau bisa kecolongan seperti ini? Aku membayarmu dengan upah yang banyak. Tapi kerjamu tidak becus!" ketus Gama melemparkan tatapan menusuknya pada Pak Sardi.
Pak Sardi yang menunduk, menelan ludahnya kasar saat melihat kedua tangan tuannya itu mengepal dengan erat. Hingga jemarinya memutih.
Dalam hati Pak Sardi memohon, semoga saja kemarahan Gama tidak akan membuat tinjuannya melayang ke arah wajahnya. Bisa babak belur Pak Sardi yang sudah paruh baya itu jika dipukul oleh tangan yang sebesar dan selebar milik Gama.
"Maaf, Tuan Gama. Tadi pagi, kunci gerbang itu tiba-tiba saja sudah tergantung di dalam gembok. Seperti ada yang membukanya, padahal biasanya saya selalu menyimpan kuncinya di dalam saku baju," papar Pak Sardi dengan wajah takut. Kedua tangannya bergetar di depan tubuh. Kepala itu masih setia menunduk, mana berani satpam itu menatap mata Gama yang sedang berapi-api.
Gama mengetatkan rahangnya. Ia menarik kesimpulan jika Hera melarikan diri dengan diam-diam mencuri kunci gerbang dari saku baju Pak Sardi yang sedang tertidur.
'Ke mana kau, Hera..' desah Gama dalam hati.
“Apa kau bilang? Hera pergi?! Pergi bagaimana maksudnya?”Sore ini, kedua orang tua Gama datang bermaksud ingin bertemu dengan anak dan menantu mereka. Namun saat tiba di sana, mereka tidak menemukan Hera.Biasanya saat Darma dan Jessy berkunjung, Gama selalu menyuruh Hera berpura-pura jika pernikahan mereka baik-baik saja. Kedua orang tua Gama bahkan tak pernah tahu sebelumnya jika Hera selalu tinggal di paviliun. Yang mereka tahu, Hera tinggal satu atap dengan Gama. Sebagaimana suami-istri kebanyakan.Dan ketika Darma dan Jessi menanyakan dimana Hera berada pada Gama, dengan hembusan napas lelah Gama menjawab kalau Hera pergi dari rumah.“Gama! Kenapa diam saja? Papa sedang bertanya padamu. Apa yang terjadi pada Hera?! Mengapa dia sampai pergi dari rumah? Ke mana dia?” dengan kesabaran yang mulai habis, Darma meninggikan suaranya. Mendesak Gama yang sedang berdiri di hadapannya itu untuk bicara.Jessy juga mena
Riak wajah Darma yang tadi merah padam karena kemarahannya pada Gama, kini rona itu sudah menghilang. Darma hanya menatap putranya dengan raut lelah. Sementara tangannya kembali menepuk pundak Gama, bedanya kali ini mereka sudah berdiri saling berhadapan.“Cari Hera sampai ketemu. Kau harus menemukannya. Bagaimanapun dia istrimu. Meskipun sebenarnya Papa sangat kecewa padamu, Gama. Tapi semuanya sudah terjadi. Mungkin ini salah Papa karena sudah memaksamu menikah dengan Hera padahal kau tidak mencintainya. Jika nanti Hera ketemu, Papa pasrah kalaupun nantinya kalian akan memilih berpisah. Mungkin pernikahan kalian memang tidak bisa dipertahankan meski sebenarnya Papa sangat menyayangi Hera dan merasa tidak enak dengan ayahnya yang sudah tiada.”Darma berusaha berpikir bijak. Ia tidak lagi berapi-api memarahi ataupun menampar Gama. Darma pikir sedikit banyak ia juga berperan dalam hal ini.Karena Darma lah yang sudah memaksa Gama untuk menikahi Hera.
Steve tersenyum.“Kalau begitu, aku ucapkan selamat bergabung dengan Butik Anderson. Semoga kau bisa bekerja dengan baik,” ucap Steve sebelum akhirnya ia memalingkan wajahnya dan mengedarkan pandangan pada para karyawan yang berdiri menyambutnya.“Setelah ini kalian semua bisa kembali bekerja. Terimakasih untuk sambutan kalian,” tutup Steve lalu ia melanjutkan langkahnya memasuki butik yang sangat ia rindukan.Setelahnya Steve masuk, semua karyawan wanita langsung menjerit tertahan dan mengepalkan tangan mereka dengan gemas. Menatap punggung lebar lelaki itu yang masuk ke dalam lift. Ruangan boss memang berada di lantai tujuh. Sementara butik ini memiliki tujuh lantai.“Tuan Steve semakin tampan!”“Style rambutnya berubah, tapi itu tidak mengurangi ketampanannya sedikitpun!”“Ya Tuhan! Terimakasih sudah menciptakan lelaki setampan Tuan Steve di dunia ini.”Hera meringis
Tiba di dalam toilet wanita, Hera segera memuntahkan cairan dari perutnya. Meskipun mulutnya sudah tidak memuntahkan apapun, anehnya ia tetap merasa mual.“Tuan Steve?” desah Hera lemas menatap pada kaca, dimana pantulan tubuh jangkung Steve ada di sana.“Apa kau masih ingin muntah?” tanya Steve. Rupanya tadi ia mengikuti Hera hingga ke toilet wanita.Tidak ada yang akan berani menegur Steve meski ia masuk ke toilet khusus wanita karena Steve adalah pemilik butik ini.Hera mengangguk lemah. Lalu kembali menunduk di atas wastafel. Sedangkan Steve membantu memijit tengkungnya.Sampai akhirnya rasa mual itu mereda, Hera membasuh mulutnya dan ia berbalik menatap Steve.“Hera, sebaiknya kuantar kau ke rumah sakit. Aku tahu keadaanmu sedang tidak sehat,” usul Steve. Ia menatap cemas pada Hera yang betul-betul mengkhawatirkan.Sebenarnya bukan hari ini saja Hera muntah-muntah
“Selamat pagi, Tuan Steve!” sapa Velia yang melihat Steve baru saja memasuki butik dan berjalan melewatinya.Hera yang sedang melayani pelanggan yang memesan rancangannya, melarikan bola matanya ke arah Steve yang ternyata juga sedang menatapnya dengan pandangan tak terbaca. Sampai membuat Hera merasa heran.‘Mengapa Tuan Steve menatapku seperti itu? Apa aku sudah melakukan salah padanya?’ gumam Hera bertanya-tanya.Sementara itu, pandangan Steve turun perlahan dan tertumbuk pada perut Hera yang masih datar.‘Hera sedang hamil. Kupikir dia masih gadis,’ desah Steve dalam hati.Steve menyimpulkan bahwa ia jatuh cinta pada wanita yang telah menikah dan akan memiliki anak. Ia memang tidak mengetahui jika sebenarnya Hera melarikan diri dari suaminya.Melihat Steve yang pergi begitu saja setelah menghentikan langkahnya sebentar di hadapan Velia dan Hera, membuat kedua wanita itu saling bersit
“Apa?! Jadi sebenarnya Hera tidak tinggal dengan suaminya di Singapura? Orang tua Hera sudah meninggal? Lalu, apa suaminya tahu kalau Hera hamil?” Steve melebarkan mata setelah mendengar ucapan Velia.Ya! Karena merasa penasaran, maka Steve mencari informasi tentang Hera pada Velia. Yang ia tahu, Velia lah yang paling dekat dengan Hera di sini.Velia menggeleng pelan. Ia duduk di depan Steve yang duduk di seberangnya. Steve sengaja mengajak Velia makan di restoran siang ini demi bertanya banyak hal mengenai Hera.“Hera sering bercerita padaku kalau ia kabur dari suaminya. Katanya, mereka sudah menikah selama satu tahun. Tapi pernikahan mereka tidak berjalan lancar seperti suami-istri kebanyakan. Hera menikah dengan lelaki yang masih mencintai mantan istrinya yang sudah meninggal. Dia bahkan disuruh tinggal di paviliun. Tidak satu atap dengan suaminya. Bayangkan, Tuan! Bagaimana perasaan Hera. Aku heran, ada suami sekejam itu di dunia ini,
Hera hanya mengangguk. Lalu membalasnya dengan senyum tipis. Sebelum ia kembali mengarahkan pandangan pada Mentari yang masih asyik dengan kedua bonekanya. Boneka pemberian dari Steve!“Mama!” rupanya bocah perempuan itu baru menyadari jika Hera berdiri tak jauh darinya, memerhatikannya.“Lihat kucing! Kelinci! Mamaku sudah datang. Mama baru saja membereskan bajuku ke dalam koper. Nanti aku akan ajak kalian naik pesawat terbang. Hore!” seru Mentari bertepuk riang.Hera dan Steve saling menoleh lalu tersenyum. Tak ingin terlalu lama membuat Mentari bermain sendirian, Hera pun menghampirinya dan duduk di depan Mentari.“Memangnya, kau mau mengajak mereka juga naik pesawat, sayang?” tanya Hera menatap wajah lucu Mentari.Bocah itu mengangguk semangat. Membuat kuncir rambutnya bergerak-gerak.“Iya, Ma. Si kucing dan kelinciku harus dibawa. Katanya mereka juga mau melihat pesawat seperti aku.
“Jangan lupa hubungi aku kalau sudah sampai di Indonesia,” pinta Steve pada Hera.Pagi ini, Hera dan Mentari akan melakukan perjalanan ke Indonesia. Mereka sudah berada di bandara Singapura diantar oleh Steve.Hera mengangguk. “Tentu saja. Aku pasti akan langsung menghubungimu begitu sampai di sana,” jawab Hera. Yang membuat hati Steve merasa sedikit lega.Steve lalu menurunkan pandangannya pada Mentari yang sejak tadi tak lepas memegang tangan kanan Hera. Bocah kecil itu berdiri di samping ibunya, dan memeluk si kucing dan si kelinci, boneka kesayangannya.“Hey, Nona manis! Kau juga harus berjanji untuk tidak melupakanku meskipun akan tinggal cukup lama di sana.” kali ini Steve meminta pada Mentari sembari tubuhnya membungkuk agar sejajar dengan bocah itu.Mentari mengangguk tersenyum sambil mengangkat tangan kanannya. “Aku janji Om Steve. Om Steve juga jangan menangis karena tidak diajak Mama
Steve menyentuh lengan Hera, mengusap punggungnya menenangkan.“Maaf. Aku tidak tahu kalau Mentari akan jadi murung dan tidak mau makan seperti ini karena bersikeras menunggu Gama.” anak itu memang tidak mau makan. Padahal Steve sudah menjelaskan padanya bahwa sebenarnya Gama tidak akan datang ke Singapore.Tetapi anak itu tetap bersikukuh menunggu Gama sambil menatap ke luar jendela yang terbuka, membiarkan angin menerpa kulit wajahnya yang putih, terkadang menggoyangkan rambutnya perlahan.Suara bell yang berbunyi membuyarkan lamunan mereka. Hera mengerjap, menoleh ke arah pintu.“Mungkin itu tukang laundry. Aku akan bukakan pintu dulu,” katanya yang dijawab anggukan oleh Steve.Kaki jenjang Hera berjalan menuju pintu, tangan itu menarik kenop dan membukanya.Selanjutnya mata Hera membeliak lebar. Mulutnya terbuka saking tidak percayanya dengan apa yang ia lihat saat ini.“Ga-Gama!” pe
“Ma? Kita akan kembali ke Singapore ya? Kita akan naik pesawat lagi seperti waktu itu?” berjalan di bandara, Mentari yang dituntun oleh Steve dan Hera di kedua sisi, kini mendongkakan kepala menatap Hera.Hera menunduk, lalu tersenyum mengangguk.“Benar, sayang. Kita akan kembali ke Singapore.”“Tapi kenapa kita harus kembali ke sana, Ma? Padahal aku sudah betah di rumah Kakek Bimo dan Nenek Fatma.” pertanyaan kedua kembali meluncur dari mulut mungilnya, mendesak Hera untuk segera memutar otak, mencari jawaban yang paling tepat.“Mama sangat merindukan Singapore. Dan kau pun merasakan hal yang sama, bukan?” Hera mencubit pelan hidung mungil Mentari. Di sampingnya, Steve mengulum senyum tipis.“Ma. Apa Papa tidak ikut dengan kita?”Hera tertegun menghentikan langkahnya. Nama lelaki yang tidak ingin ia dengar, kini justru keluar dari mulut anaknya sendiri.Hera dan Steve
Mobil Gama dan mobil Steve keluar beriringan melewati gerbang rumah Iren.Di balik kemudi, Gama memukul setir, sembari mengeletukan giginya saat matanya terus menatap tajam ke arah mobil Steve yang melaju di depan sana.“Aku penasaran. Apa benar dia sedekat itu dengan Hera?” gumamnya diliputi rasa cemburu.Mendadak Steve menghentikan mobilnya ketika tiba-tiba mobil Gama menghadang di depan sana. Sepertinya Gama sengaja menghalangi laju mobil Steve.Membuat Steve mengerutkan keningnya heran. “Apa yang dia lakukan? Apa maksudnya menghentikan mobil di depan mobilku?”Sedikit kesal Steve membuka seatbeltnya. Tangannya membuka pintu, kakinya turun menapaki aspal. Lantas dengan menyingsingkan lengan kemejanya, Steve berjalan menghampiri Gama yang kini sudah berdiri di depannya sambil berpangku tangan.“Ada masalah apa kau denganku, Brother? Apa kau tidak tahu bagaimana caranya menghentikan mobil di jalanan?” tan
“Kalian berbeda karena—““Iren!” Bimo yang datang langsung menegur Iren agar tidak melanjutkan ucapannya. Membuat Hera dan Gama yang sempat terkejut, kini bisa menarik napas lega.Bimo mendekat, menghampiri Mentari dan mengusap puncak kepala anak itu. “Tidak, sayang. Jangan pikirkan apa yang Tante Iren katakan. Kau kembali belajar ya.”“Iya, Kek.” Mentari mengangguk, kembali fokus menunduk pada buku tiga dimensi di pangkuannya, lalu mengenali setiap gambar yang ada di sana.Sedangkan Bimo melayangkan tatapan tajamnya pada Iren. Membuat Iren kebingungan. Karena ia merasa tak melakukan salah apapun.“Lain kali jaga bicaramu. Jangan sampai kau mengatakan sesuatu yang akan mengganggu pikiran dan perasaan Mentari!” bisik Bimo di telinga Iren.Setelahnya, Gama mengajak Mentari bermain di halaman belakang. Hera membantu Fatma menyiapkan makan siang di atas meja. Saat akan menga
Malam ini hujan deras mengguyur kota Jakarta. Langitnya hitam pekat, sepekat perasaan Gama saat ini.Mendesah pelan, Gama berdiri menyandarkan punggungnya pada tembok rumah sakit. Dengan ditemani Hera yang berdiri di sampingnya. Setelah Iren tak sadarkan diri, ia langsung dilarikan ke rumah sakit. Beruntung Iren tidak terlambat mendapatkan pertolongan medis. Mengingat ia bisa saja kehabisan darah.“Apa Mentari sudah tidur?” tanya Gama pada Hera, tetapi matanya tetap menatap nyalang ke depan.Hera melirik Gama sebentar, lalu mengangguk. “Ya. Bibi mengirimkan pesan, katanya dia sudah tidur setengah jam yang lalu,” jawab Hera.Gama mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. Gama memijit pangkal hidungnya, kepalanya terasa pening. Banyak sekali masalah yang memenuhi pikirannya. Dan sepertinya masalah yang terjadi saat ini adalah yang paling berat. Gama tidak tahu apa ia sanggup m
Baru saja pantatnya menyentuh kursi kemudi, matanya kembali melirik ke arah papper bag itu yang sekarang sudah bergabung dengan bunga yang Gama beli. Itu juga khusus untuk Hera.“Semoga dia akan menyukainya. Ah, aku sangat tidak sabar. Ingin segera menikahimu dan memulai semuanya dari awal lagi. Kali ini tidak boleh ada penderitaan, rasa terpaksa, atau saling menyakiti. Pernikahan kita harus berdasar cinta dan kasih sayang. Karena hanya cinta yang akan menjadi pondasi terbaik dalam pernikahan. Meskipun aku belum pernah mendengar kata cinta dari mulut Hera, tetapi cukup melalui tatapannya saja, aku sudah tahu kalau Hera pun mencintaiku.”Setelah mengucapkan itu, senyumnya kembali melebar. Hatinya melambung tinggi, rasanya Gama ingin segera bertemu Hera, melihat wajah cantiknya, mendekapnya seerat yang ia bisa.Untuk bisa mewujudkan keinginannya itu, maka Gama segera melajukan mobilnya menuju ke rumah Bimo dan Fatma. Dimana dua wanita yang sangat
Hera tersenyum. Menggeser pandangannya hingga tertuju pada Mentari. Lalu ditariknya tangan Gama untuk mendekati kursi roda Mentari.Gama tidak tahu apa yang akan Hera lakukan. Tetapi ia tetap mengikuti wanita itu.“Mama! Om Gama!” mata bulat Mentari berbinar senang begitu Gama dan Hera tiba di hadapannya.Gama tersenyum pedih. Mendengar mulut Mentari masih menyebutnya om, membuat hati Gama meringis.Hera berjongkok, meraih tangan Mentari lalu menatap matanya lamat. Fatma dan Bimo hanya memerhatikan dari samping kiri dan kanan bocah mungil itu.“Mentari. Mama ingin mengatakan sesuatu padamu. Jadi dengarkan Mama baik-baik. Oke?”“Iya, Ma.” kepala mungilnya mengangguk.Hera menarik napas sebentar, melirik sesaat ke arah Gama yang berdiri gelisah, kemudian matanya kembali menatap Mentari yang memasang wajah penasaran di depannya.“Apa kau ingat, dulu kau sering bertanya tentang siapa nama P
Gama hanya menatap Iren dengan lurus. Meski hatinya juga tak tega melihat Iren menangis di depannya.“Ayahmu bukannya tidak menyayangimu. Tetapi dia tahu kau tidak akan bahagia jika menikah denganku,” ucap Gama meralat perkataan Iren.Tetapi Iren menggeleng, tetap dengan anggapannya.“Tapi hatiku sangat yakin kalau aku akan bahagia dengan pernikahan kita. Aku yakin itu!”Kali ini Gama yang menggelengkan kepalanya, melepaskan genggaman tangan Iren hingga membuat raut wajahnya semakin merengut kecewa.“Ini pasti sangat berat buatmu. Tapi aku lebih setuju dengan Ayahmu. Jadi maaf, aku tetap pada pendirianku. Rencana pernikahan kita tidak akan bisa dilanjutkan.”Gama kemudian membalikan badan, mengalihkan pandangan dari Iren, enggan terus melihat tangis wanita itu yang membuatnya semakin merasa tak tega.Iren membuka mulutnya terperangah. Matanya menatap Gama dengan wajah sedih. Hatiny
Dengan tangan yang gemetar, Darma mengusap air di sudut matanya. Perlahan kakinya melangkah mendekati sofa dimana Mentari duduk.“G… H… I… J…”“Mentari!” panggilnya pelan.Mentari mendongkak menatap Darma, alisnya bertaut bingung, matanya mengerjap bertanya-tanya, siapa kiranya lelaki tua yang saat ini menatapnya berkaca-kaca ini? Mengapa dia mengetahui namanya?“Kakek siapa?” tanyanya penasaran.Di belakang sana, Hera tersenyum melihat Darma yang ikut duduk di samping Mentari. Menyentuh kedua tangan mungilnya, mengecupinya berkali-kali.“Kakek jangan menciumku! Kata Mama aku tidak boleh dicum sembarangan oleh orang asing!” dengan cepat Mentari mengusap kedua pipinya yang baru saja diciumi oleh Darma, Darma terkekeh melihat itu.Hera meringis, ia memang pernah memberitahu Mentari untuk tidak sembarangan menerima ciuman orang karena takut dengan kas