“Apa kau bilang? Hera pergi?! Pergi bagaimana maksudnya?”
Sore ini, kedua orang tua Gama datang bermaksud ingin bertemu dengan anak dan menantu mereka. Namun saat tiba di sana, mereka tidak menemukan Hera.
Biasanya saat Darma dan Jessy berkunjung, Gama selalu menyuruh Hera berpura-pura jika pernikahan mereka baik-baik saja. Kedua orang tua Gama bahkan tak pernah tahu sebelumnya jika Hera selalu tinggal di paviliun. Yang mereka tahu, Hera tinggal satu atap dengan Gama. Sebagaimana suami-istri kebanyakan.
Dan ketika Darma dan Jessi menanyakan dimana Hera berada pada Gama, dengan hembusan napas lelah Gama menjawab kalau Hera pergi dari rumah.
“Gama! Kenapa diam saja? Papa sedang bertanya padamu. Apa yang terjadi pada Hera?! Mengapa dia sampai pergi dari rumah? Ke mana dia?” dengan kesabaran yang mulai habis, Darma meninggikan suaranya. Mendesak Gama yang sedang berdiri di hadapannya itu untuk bicara.
Jessy juga menatap Gama yang wajahnya terlihat tak bersemangat hari ini. “Iya, Gama. Ceritakan apa yang sudah terjadi? Mengapa Hera pergi?” tanya Jessy menatap lurus pada anak semata wayangnya.
Bukannya menjawab, Gama mengeluarkan secarik kertas yang terlipat dari dalam saku kemejanya, lantas ia memberikannya pada Jessy yang langsung menerimanya.
Setelah membaca kertas itu, tangan Jessy bergetar pelan. Gurat cemas dan sedih bercampur di wajahnya, sementara Darma langsung melayangkan tatapan marah pada Gama.
“Hera meminta cerai dariku. Semalam aku mabuk dan memasuki kamarnya, lalu menyentuhnya dengan paksa,” jujur Gama. Dengan wajah datar, namun Jessy masih bisa melihat raut sedih di sana.
“Jelaskan semuanya. Sebenarnya apa yang terjadi dengan kalian. Jangan membuat kami bingung, Gama! Kau bilang kau memaksa menyentuh Hera? Mendatangi kamarnya? Bukannya kalian ini suami istri dan kamar kalian adalah milik bersama. Lalu mengapa Hera bisa pergi jika kamu hanya menyentuhnya? Itu adalah hakmu sebagai suami. Papa sungguh tidak mengerti!” Darma kembali mendesak. Ia ingin mendengar sedetil-detilnya dari mulut Gama.
Sebelum menjawab, Gama menyugar rambutnya lalu mengacaknya pelan. Tampak sekali jika ia sedang gusar saat ini. Setelah menelan ludahnya kasar, barulah Gama bicara.
“Sebenarnya… aku dan Hera tidak pernah tidur satu kamar selama setahun pernikahan kita. Karena Hera tinggal di paviliun dan aku tidak pernah menyentuh Hera sebelumnya. Tapi tadi malam, aku mabuk berat dan memaksanya dengan kasar. Lalu paginya aku melihat Hera sudah tidak ada. Pakaiannya di lemari sudah kosong. Dan dia meninggalkan sebuah surat di atas nakas,” papar Gama menjelaskan semuanya pada kedua orang tuanya yang tentu saja langsung terkejut.
Jessy membekap mulutnya tak percaya. Kepalanya menggeleng lemah. Sedangkan rahang Darma mengetat, lalu tanpa dapat ditahan, sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Gama.
PLAK!
“Tamparan itu tidak sebanding dengan apa yang telah kau lakukan pada Hera, Gama! Kau menyakitinya. Menghancurkan perasaannya. Pantas saja dia sampai pergi dari rumah ini pasti karena dia tidak tahan memiliki suami yang tidak bertanggung jawab sepertimu!” sentak Darma dengan keras. Hingga urat-urat lehernya bertonjolan. Andai Jessy tidak memegangi lengannya, pasti saat ini Darma sudah melayangkan tinjuannya di wajah Gama yang hanya bisa diam.
“Papa menikahkanmu dengan Hera karena Papa berharap kau bisa membahagiakan dia. Hera wanita yang baik. Papa ingin kau berubah setelah kalian menikah. Tapi apa yang kau lakukan? Kau malah menempatkan dia di paviliun. Itu tempat para pelayan. Bagaimana bisa kau berpikir untuk menyuruh Hera tinggal di sana? Di mana akal sehatmu, Gama?!” lanjut Darma dengan berapi-api.
Dadanya naik-turun selaras dengan emosinya yang nyaris tak tertahankan.
Jessy memejamkan mata dan menaruh keningnya di pundak Darma, ia menangis mengingat apa yang terjadi pada Hera.
“Kasihan Hera… entah di mana dia sekarang. Apa dia kembali ke rumah peninggalan orang tuanya,” desah Jessy bertanya-tanya.
Gama menggeleng pelan. “Orang-orangku sudah mengecek rumah itu. Dan mereka bilang katanya Hera sudah menjual rumah peninggalan kedua orang tuanya dua bulan yang lalu. Sekarang rumah itu sudah ditempati oleh orang lain.”
Mendengar itu, membuat Jessy semakin sedih. Kenapa Hera memilih pergi ke tempat lain? Jessy menyesali Hera yang seharusnya datang ke rumahnya dan meminta perlindungan darinya. Karena Jessy bukan hanya menganggap Hera sebagai menantu, tapi juga seperti putrinya sendiri.
Darma mengusap wajahnya dengan sebelah tangan, gurat wajahnya tampak bingung dan khawatir. Dalam hati Darma meminta maaf pada ayahnya Hera yang telah meninggal. Sebab ia tak bisa menjaga Hera dengan baik.
Gama malah membuat Hera pergi meninggalkan rumah.
“Paa.. ayo cari Hera, Pa! Cari Hera! Kita harus segera menemukan dia. Dia pasti sedang sendirian saat ini. Mama khawatir pada Hera, Paa..” Jessy terisak, menarik-narik lengan kemeja Darma.
Gama yang melihat ibunya menangis, hanya bisa mendesah pelan kemudian menelan ludah. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain. Enggan melihat air mata Jessy yang membuat ulu hatinya sakit.
Darma mengangguk, merangkul pundak kiri Jessy. “Iya, Ma. Kita pasti akan segera menemukan Hera. Pasti. Mama jangan khawatir. Papa yakin kalau Hera akan baik-baik saja. Tuhan akan melindunginya,” jawab Darma berusaha untuk menenangkan istrinya.
Darma mengerti bagaimana perasaan Jessy. Karena sejujurnya, ia pun merasakan kecemasan yang sama. Kepergian menantunya itu membuatnya khawatir.
“Paa… ayo cari Heraa,” desah Jessy sebelum kemudian gelap menelannya. Ia jatuh pingsan dan tubuhnya langsung ditahan oleh Darma juga Gama.
“Mama!” mereka memekik terkejut. Menepuk-nepuk pipi Jessy pelan, mencoba menyadarkan wanita paruh baya itu. “Ma! Sadar, Ma!”
“Pa! Sebaiknya Mama dibawa ke kamar. Papa telpon dokter saja!” usul Gama. Meski masih kesal, tapi Darma langsung mengangguk sebab ia tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Jessy.
Dengan tenaganya yang kuat, Gama menggendong tubuh Jessy dan membawanya ke kamar yang biasa ditempati oleh kedua orang tuanya jika sedang menginap. Sementara Darma melakukan apa yang seharusnya ia lakukan, yaitu menghubungi dokter.
***
“Heraaa..” Jessy bergumam pelan setelah ia kembali sadar. Darma yang sejak tadi duduk di samping Jessy yang berbaring, menggenggam tangan kanan istrinya dan menekannya ke dada.
Gama hanya berdiri seperti patung di samping tempat tidur, menyaksikan dalam diam. Meskipun Gama tidak bisa memungkiri jika sebenarnya ia pun merasa khawatir pada Hera.
Entah dimana wanita itu berada saat ini. Orang-orang suruhannya belum memberi kabar sama sekali.
“Ma? Tenang dulu. Dokter berpesan, katanya Mama jangan terlalu stress,” katanya lembut. Sambil mengusap rambut Jessy.
Apa yang Darma katakan memang benar. Tadi Dokter datang dan memeriksa Jessy lalu menyarankan agar Jessy jangan terlalu banyak berpikir yang berat-berat juga harus istirahat yang cukup.
“Kasihan Hera, Pa. Di mana dia?” Jessy kembali menangis dan Darma mencoba menenangkannya lagi.
Melihat itu, Gama mengusap wajahnya dengan sebelah tangan, lalu membuang napasnya pelan. Tak ingin melihat tangisan ibunya lagi, Gama memilih menarik diri dari sana dan melangkah keluar.
Langkahnya terhenti di pintu yang menghadap kolam renang yang cukup luas di depannya. Gama menyenderkan sebelah lengannya pada kusen, matanya menatap nanar pada kolam renang itu dengan pikiran yang melayang entah kemana.
“Aku tahu aku bersalah. Seharusnya kau tidak pergi, Hera. Aku lebih suka kau memarahiku ataupun menamparku sesukamu, bukan pergi dan meninggalkan kesedihan bagi banyak orang seperti sekarang,” gumam Gama. Rupanya ia sedang memikirkan Hera.
Bohong jika Gama tidak menyesal dan merasa bersalah. Bahkan saat ini Gama sangat mengutuk kebodohannya karena telah menyakiti Hera. Gama yakin, tadi malam Hera pasti merasa jika ia diperlakukan tak ubahnya seperti seorang pelacur. Padahal Gama tidak bermaksud begitu.
Karena kekesalannya pada Karin serta pengaruh alkohol, membuat Gama kehilangan akal sehatnya sampai ia melampiaskannya pada Hera yang akhirnya membuat Hera pergi.
“Maafkan aku, Hera…”
Saat Gama sedang melamun dan menyelami pikirannya, Darma tiba-tiba menepuk pundak Gama dari belakang, membuat Gama terhenyak dan menoleh.
“Papa?!” Gama menegakan tubuh, ia tidak tahu sejak kapan Darma berdiri di belakangnya.
“Apa kau menyesali perbuatanmu?” tanya Darma. Dan Gamma menjawabnya dengan anggukan pelan.
Riak wajah Darma yang tadi merah padam karena kemarahannya pada Gama, kini rona itu sudah menghilang. Darma hanya menatap putranya dengan raut lelah. Sementara tangannya kembali menepuk pundak Gama, bedanya kali ini mereka sudah berdiri saling berhadapan.“Cari Hera sampai ketemu. Kau harus menemukannya. Bagaimanapun dia istrimu. Meskipun sebenarnya Papa sangat kecewa padamu, Gama. Tapi semuanya sudah terjadi. Mungkin ini salah Papa karena sudah memaksamu menikah dengan Hera padahal kau tidak mencintainya. Jika nanti Hera ketemu, Papa pasrah kalaupun nantinya kalian akan memilih berpisah. Mungkin pernikahan kalian memang tidak bisa dipertahankan meski sebenarnya Papa sangat menyayangi Hera dan merasa tidak enak dengan ayahnya yang sudah tiada.”Darma berusaha berpikir bijak. Ia tidak lagi berapi-api memarahi ataupun menampar Gama. Darma pikir sedikit banyak ia juga berperan dalam hal ini.Karena Darma lah yang sudah memaksa Gama untuk menikahi Hera.
Steve tersenyum.“Kalau begitu, aku ucapkan selamat bergabung dengan Butik Anderson. Semoga kau bisa bekerja dengan baik,” ucap Steve sebelum akhirnya ia memalingkan wajahnya dan mengedarkan pandangan pada para karyawan yang berdiri menyambutnya.“Setelah ini kalian semua bisa kembali bekerja. Terimakasih untuk sambutan kalian,” tutup Steve lalu ia melanjutkan langkahnya memasuki butik yang sangat ia rindukan.Setelahnya Steve masuk, semua karyawan wanita langsung menjerit tertahan dan mengepalkan tangan mereka dengan gemas. Menatap punggung lebar lelaki itu yang masuk ke dalam lift. Ruangan boss memang berada di lantai tujuh. Sementara butik ini memiliki tujuh lantai.“Tuan Steve semakin tampan!”“Style rambutnya berubah, tapi itu tidak mengurangi ketampanannya sedikitpun!”“Ya Tuhan! Terimakasih sudah menciptakan lelaki setampan Tuan Steve di dunia ini.”Hera meringis
Tiba di dalam toilet wanita, Hera segera memuntahkan cairan dari perutnya. Meskipun mulutnya sudah tidak memuntahkan apapun, anehnya ia tetap merasa mual.“Tuan Steve?” desah Hera lemas menatap pada kaca, dimana pantulan tubuh jangkung Steve ada di sana.“Apa kau masih ingin muntah?” tanya Steve. Rupanya tadi ia mengikuti Hera hingga ke toilet wanita.Tidak ada yang akan berani menegur Steve meski ia masuk ke toilet khusus wanita karena Steve adalah pemilik butik ini.Hera mengangguk lemah. Lalu kembali menunduk di atas wastafel. Sedangkan Steve membantu memijit tengkungnya.Sampai akhirnya rasa mual itu mereda, Hera membasuh mulutnya dan ia berbalik menatap Steve.“Hera, sebaiknya kuantar kau ke rumah sakit. Aku tahu keadaanmu sedang tidak sehat,” usul Steve. Ia menatap cemas pada Hera yang betul-betul mengkhawatirkan.Sebenarnya bukan hari ini saja Hera muntah-muntah
“Selamat pagi, Tuan Steve!” sapa Velia yang melihat Steve baru saja memasuki butik dan berjalan melewatinya.Hera yang sedang melayani pelanggan yang memesan rancangannya, melarikan bola matanya ke arah Steve yang ternyata juga sedang menatapnya dengan pandangan tak terbaca. Sampai membuat Hera merasa heran.‘Mengapa Tuan Steve menatapku seperti itu? Apa aku sudah melakukan salah padanya?’ gumam Hera bertanya-tanya.Sementara itu, pandangan Steve turun perlahan dan tertumbuk pada perut Hera yang masih datar.‘Hera sedang hamil. Kupikir dia masih gadis,’ desah Steve dalam hati.Steve menyimpulkan bahwa ia jatuh cinta pada wanita yang telah menikah dan akan memiliki anak. Ia memang tidak mengetahui jika sebenarnya Hera melarikan diri dari suaminya.Melihat Steve yang pergi begitu saja setelah menghentikan langkahnya sebentar di hadapan Velia dan Hera, membuat kedua wanita itu saling bersit
“Apa?! Jadi sebenarnya Hera tidak tinggal dengan suaminya di Singapura? Orang tua Hera sudah meninggal? Lalu, apa suaminya tahu kalau Hera hamil?” Steve melebarkan mata setelah mendengar ucapan Velia.Ya! Karena merasa penasaran, maka Steve mencari informasi tentang Hera pada Velia. Yang ia tahu, Velia lah yang paling dekat dengan Hera di sini.Velia menggeleng pelan. Ia duduk di depan Steve yang duduk di seberangnya. Steve sengaja mengajak Velia makan di restoran siang ini demi bertanya banyak hal mengenai Hera.“Hera sering bercerita padaku kalau ia kabur dari suaminya. Katanya, mereka sudah menikah selama satu tahun. Tapi pernikahan mereka tidak berjalan lancar seperti suami-istri kebanyakan. Hera menikah dengan lelaki yang masih mencintai mantan istrinya yang sudah meninggal. Dia bahkan disuruh tinggal di paviliun. Tidak satu atap dengan suaminya. Bayangkan, Tuan! Bagaimana perasaan Hera. Aku heran, ada suami sekejam itu di dunia ini,
Hera hanya mengangguk. Lalu membalasnya dengan senyum tipis. Sebelum ia kembali mengarahkan pandangan pada Mentari yang masih asyik dengan kedua bonekanya. Boneka pemberian dari Steve!“Mama!” rupanya bocah perempuan itu baru menyadari jika Hera berdiri tak jauh darinya, memerhatikannya.“Lihat kucing! Kelinci! Mamaku sudah datang. Mama baru saja membereskan bajuku ke dalam koper. Nanti aku akan ajak kalian naik pesawat terbang. Hore!” seru Mentari bertepuk riang.Hera dan Steve saling menoleh lalu tersenyum. Tak ingin terlalu lama membuat Mentari bermain sendirian, Hera pun menghampirinya dan duduk di depan Mentari.“Memangnya, kau mau mengajak mereka juga naik pesawat, sayang?” tanya Hera menatap wajah lucu Mentari.Bocah itu mengangguk semangat. Membuat kuncir rambutnya bergerak-gerak.“Iya, Ma. Si kucing dan kelinciku harus dibawa. Katanya mereka juga mau melihat pesawat seperti aku.
“Jangan lupa hubungi aku kalau sudah sampai di Indonesia,” pinta Steve pada Hera.Pagi ini, Hera dan Mentari akan melakukan perjalanan ke Indonesia. Mereka sudah berada di bandara Singapura diantar oleh Steve.Hera mengangguk. “Tentu saja. Aku pasti akan langsung menghubungimu begitu sampai di sana,” jawab Hera. Yang membuat hati Steve merasa sedikit lega.Steve lalu menurunkan pandangannya pada Mentari yang sejak tadi tak lepas memegang tangan kanan Hera. Bocah kecil itu berdiri di samping ibunya, dan memeluk si kucing dan si kelinci, boneka kesayangannya.“Hey, Nona manis! Kau juga harus berjanji untuk tidak melupakanku meskipun akan tinggal cukup lama di sana.” kali ini Steve meminta pada Mentari sembari tubuhnya membungkuk agar sejajar dengan bocah itu.Mentari mengangguk tersenyum sambil mengangkat tangan kanannya. “Aku janji Om Steve. Om Steve juga jangan menangis karena tidak diajak Mama
Sejak tadi Hera tidak melihat keberadaan sepupunya di rumah itu. Saat Hera menikah, Iren tidak bisa datang karena sedang kuliah di Jepang.Sementara Fatma dan Bimo mereka menyempatkan datang, hanya saja mereka tidak bertemu dengan Gama saat itu.Padahal sebenarnya ketika pernikahan, Gama memang lebih banyak meninggalkan Hera sendirian di atas pelaminan. Kalaupun berdiri di samping Hera, paling hanya sebentar saja untuk menghentikan omelan Darma dan Jessy.“Kuliahnya memang sudah lama selesai, Hera. Bahkan Iren sudah bekerja.” Fatma mengatakannya sambil tersenyum.“Benarkah?” Fatma mengangguk. “Iya. Sekarang anak itu sedang jalan bersama dengan pacarnya. Dan apa kau tahu, Hera? Pacar Iren itu adalah boss di kantor tempatnya bekerja! Kata Iren lelaki itu sangat baik dan tampan. Yah.. meskipun dia sama sekali belum pernah datang ke rumah ini ataupun bertemu dengan Bibi dan Paman
Steve menyentuh lengan Hera, mengusap punggungnya menenangkan.“Maaf. Aku tidak tahu kalau Mentari akan jadi murung dan tidak mau makan seperti ini karena bersikeras menunggu Gama.” anak itu memang tidak mau makan. Padahal Steve sudah menjelaskan padanya bahwa sebenarnya Gama tidak akan datang ke Singapore.Tetapi anak itu tetap bersikukuh menunggu Gama sambil menatap ke luar jendela yang terbuka, membiarkan angin menerpa kulit wajahnya yang putih, terkadang menggoyangkan rambutnya perlahan.Suara bell yang berbunyi membuyarkan lamunan mereka. Hera mengerjap, menoleh ke arah pintu.“Mungkin itu tukang laundry. Aku akan bukakan pintu dulu,” katanya yang dijawab anggukan oleh Steve.Kaki jenjang Hera berjalan menuju pintu, tangan itu menarik kenop dan membukanya.Selanjutnya mata Hera membeliak lebar. Mulutnya terbuka saking tidak percayanya dengan apa yang ia lihat saat ini.“Ga-Gama!” pe
“Ma? Kita akan kembali ke Singapore ya? Kita akan naik pesawat lagi seperti waktu itu?” berjalan di bandara, Mentari yang dituntun oleh Steve dan Hera di kedua sisi, kini mendongkakan kepala menatap Hera.Hera menunduk, lalu tersenyum mengangguk.“Benar, sayang. Kita akan kembali ke Singapore.”“Tapi kenapa kita harus kembali ke sana, Ma? Padahal aku sudah betah di rumah Kakek Bimo dan Nenek Fatma.” pertanyaan kedua kembali meluncur dari mulut mungilnya, mendesak Hera untuk segera memutar otak, mencari jawaban yang paling tepat.“Mama sangat merindukan Singapore. Dan kau pun merasakan hal yang sama, bukan?” Hera mencubit pelan hidung mungil Mentari. Di sampingnya, Steve mengulum senyum tipis.“Ma. Apa Papa tidak ikut dengan kita?”Hera tertegun menghentikan langkahnya. Nama lelaki yang tidak ingin ia dengar, kini justru keluar dari mulut anaknya sendiri.Hera dan Steve
Mobil Gama dan mobil Steve keluar beriringan melewati gerbang rumah Iren.Di balik kemudi, Gama memukul setir, sembari mengeletukan giginya saat matanya terus menatap tajam ke arah mobil Steve yang melaju di depan sana.“Aku penasaran. Apa benar dia sedekat itu dengan Hera?” gumamnya diliputi rasa cemburu.Mendadak Steve menghentikan mobilnya ketika tiba-tiba mobil Gama menghadang di depan sana. Sepertinya Gama sengaja menghalangi laju mobil Steve.Membuat Steve mengerutkan keningnya heran. “Apa yang dia lakukan? Apa maksudnya menghentikan mobil di depan mobilku?”Sedikit kesal Steve membuka seatbeltnya. Tangannya membuka pintu, kakinya turun menapaki aspal. Lantas dengan menyingsingkan lengan kemejanya, Steve berjalan menghampiri Gama yang kini sudah berdiri di depannya sambil berpangku tangan.“Ada masalah apa kau denganku, Brother? Apa kau tidak tahu bagaimana caranya menghentikan mobil di jalanan?” tan
“Kalian berbeda karena—““Iren!” Bimo yang datang langsung menegur Iren agar tidak melanjutkan ucapannya. Membuat Hera dan Gama yang sempat terkejut, kini bisa menarik napas lega.Bimo mendekat, menghampiri Mentari dan mengusap puncak kepala anak itu. “Tidak, sayang. Jangan pikirkan apa yang Tante Iren katakan. Kau kembali belajar ya.”“Iya, Kek.” Mentari mengangguk, kembali fokus menunduk pada buku tiga dimensi di pangkuannya, lalu mengenali setiap gambar yang ada di sana.Sedangkan Bimo melayangkan tatapan tajamnya pada Iren. Membuat Iren kebingungan. Karena ia merasa tak melakukan salah apapun.“Lain kali jaga bicaramu. Jangan sampai kau mengatakan sesuatu yang akan mengganggu pikiran dan perasaan Mentari!” bisik Bimo di telinga Iren.Setelahnya, Gama mengajak Mentari bermain di halaman belakang. Hera membantu Fatma menyiapkan makan siang di atas meja. Saat akan menga
Malam ini hujan deras mengguyur kota Jakarta. Langitnya hitam pekat, sepekat perasaan Gama saat ini.Mendesah pelan, Gama berdiri menyandarkan punggungnya pada tembok rumah sakit. Dengan ditemani Hera yang berdiri di sampingnya. Setelah Iren tak sadarkan diri, ia langsung dilarikan ke rumah sakit. Beruntung Iren tidak terlambat mendapatkan pertolongan medis. Mengingat ia bisa saja kehabisan darah.“Apa Mentari sudah tidur?” tanya Gama pada Hera, tetapi matanya tetap menatap nyalang ke depan.Hera melirik Gama sebentar, lalu mengangguk. “Ya. Bibi mengirimkan pesan, katanya dia sudah tidur setengah jam yang lalu,” jawab Hera.Gama mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. Gama memijit pangkal hidungnya, kepalanya terasa pening. Banyak sekali masalah yang memenuhi pikirannya. Dan sepertinya masalah yang terjadi saat ini adalah yang paling berat. Gama tidak tahu apa ia sanggup m
Baru saja pantatnya menyentuh kursi kemudi, matanya kembali melirik ke arah papper bag itu yang sekarang sudah bergabung dengan bunga yang Gama beli. Itu juga khusus untuk Hera.“Semoga dia akan menyukainya. Ah, aku sangat tidak sabar. Ingin segera menikahimu dan memulai semuanya dari awal lagi. Kali ini tidak boleh ada penderitaan, rasa terpaksa, atau saling menyakiti. Pernikahan kita harus berdasar cinta dan kasih sayang. Karena hanya cinta yang akan menjadi pondasi terbaik dalam pernikahan. Meskipun aku belum pernah mendengar kata cinta dari mulut Hera, tetapi cukup melalui tatapannya saja, aku sudah tahu kalau Hera pun mencintaiku.”Setelah mengucapkan itu, senyumnya kembali melebar. Hatinya melambung tinggi, rasanya Gama ingin segera bertemu Hera, melihat wajah cantiknya, mendekapnya seerat yang ia bisa.Untuk bisa mewujudkan keinginannya itu, maka Gama segera melajukan mobilnya menuju ke rumah Bimo dan Fatma. Dimana dua wanita yang sangat
Hera tersenyum. Menggeser pandangannya hingga tertuju pada Mentari. Lalu ditariknya tangan Gama untuk mendekati kursi roda Mentari.Gama tidak tahu apa yang akan Hera lakukan. Tetapi ia tetap mengikuti wanita itu.“Mama! Om Gama!” mata bulat Mentari berbinar senang begitu Gama dan Hera tiba di hadapannya.Gama tersenyum pedih. Mendengar mulut Mentari masih menyebutnya om, membuat hati Gama meringis.Hera berjongkok, meraih tangan Mentari lalu menatap matanya lamat. Fatma dan Bimo hanya memerhatikan dari samping kiri dan kanan bocah mungil itu.“Mentari. Mama ingin mengatakan sesuatu padamu. Jadi dengarkan Mama baik-baik. Oke?”“Iya, Ma.” kepala mungilnya mengangguk.Hera menarik napas sebentar, melirik sesaat ke arah Gama yang berdiri gelisah, kemudian matanya kembali menatap Mentari yang memasang wajah penasaran di depannya.“Apa kau ingat, dulu kau sering bertanya tentang siapa nama P
Gama hanya menatap Iren dengan lurus. Meski hatinya juga tak tega melihat Iren menangis di depannya.“Ayahmu bukannya tidak menyayangimu. Tetapi dia tahu kau tidak akan bahagia jika menikah denganku,” ucap Gama meralat perkataan Iren.Tetapi Iren menggeleng, tetap dengan anggapannya.“Tapi hatiku sangat yakin kalau aku akan bahagia dengan pernikahan kita. Aku yakin itu!”Kali ini Gama yang menggelengkan kepalanya, melepaskan genggaman tangan Iren hingga membuat raut wajahnya semakin merengut kecewa.“Ini pasti sangat berat buatmu. Tapi aku lebih setuju dengan Ayahmu. Jadi maaf, aku tetap pada pendirianku. Rencana pernikahan kita tidak akan bisa dilanjutkan.”Gama kemudian membalikan badan, mengalihkan pandangan dari Iren, enggan terus melihat tangis wanita itu yang membuatnya semakin merasa tak tega.Iren membuka mulutnya terperangah. Matanya menatap Gama dengan wajah sedih. Hatiny
Dengan tangan yang gemetar, Darma mengusap air di sudut matanya. Perlahan kakinya melangkah mendekati sofa dimana Mentari duduk.“G… H… I… J…”“Mentari!” panggilnya pelan.Mentari mendongkak menatap Darma, alisnya bertaut bingung, matanya mengerjap bertanya-tanya, siapa kiranya lelaki tua yang saat ini menatapnya berkaca-kaca ini? Mengapa dia mengetahui namanya?“Kakek siapa?” tanyanya penasaran.Di belakang sana, Hera tersenyum melihat Darma yang ikut duduk di samping Mentari. Menyentuh kedua tangan mungilnya, mengecupinya berkali-kali.“Kakek jangan menciumku! Kata Mama aku tidak boleh dicum sembarangan oleh orang asing!” dengan cepat Mentari mengusap kedua pipinya yang baru saja diciumi oleh Darma, Darma terkekeh melihat itu.Hera meringis, ia memang pernah memberitahu Mentari untuk tidak sembarangan menerima ciuman orang karena takut dengan kas