Namun langkahnya belum sampai melewati pintu, Hera kembali bersuara.
"Jangan terlalu percaya diri, Gama. Jika bukan karena kau suamiku, aku tidak akan mau bersusah payah memasak untuk lelaki yang tak tahu berterimakasih sepertimu. Aku melakukannya bukan demi dirimu, tapi demi kedua orang tuaku yang selalu berpesan agar aku melayani suamiku dengan baik. Tapi sayangnya mereka tidak tahu jika lelaki yang kunikahi adalah manusia yang tak berperasaan!" teriak Hera menatap punggung Gama yang tegap dan lebar.
Gama berbalik menatap Hera dengan alis yang terangkat.
"Terserah. Kalau begitu lakukan saja apa yang kau mau. Dan aku tidak akan peduli!" balas Gama melayangkan tatapannya yang menusuk ke arah Hera, sebelum ia melengos pergi dan tubuhnya menghilang di balik pintu itu.
Hera mematung. Lalu ia menjatuhkan dirinya di kursi yang tadi ia duduki. Hatinya mencelos mendengar ucapan Gama. Hera tersenyum miris menertawakan kebodohannya sendiri.
Hera memegangi dadanya, ia mendongkak dengan mata yang mengembun.
"Apa aku harus menggugatmu, Tuhan. Karena telah menciptakan rasa cinta yang salah. Bagaimana bisa aku mencintai lelaki sekejam Gama?" desah Hera pelan.
***
Sementara itu, Gama melangkah tegas menuju mobilnya yang sudah siap di pelataran rumah. Ia mendudukan dirinya di balik kemudi.
Mobil itu melesat membelah jalanan kota yang pagi ini cukup ramai. Gama meremas setir hingga buku jemarinya memutih. Gama benci saat perasaan ini kembali muncul di dalam hatinya.
Perasaan aneh yang selalu menyergapnya setiap kali ia melihat Hera.
"Sial! Untuk apa aku mengingat wanita itu? Aku harus melenyapkannya dari pikiranku! Seharusnya yang aku ingat hanya Karin!" geram Gama.
Beberapa bulan ke belakang, Gama memang selalu merasa ada sesuatu yang aneh dengan dirinya. Ketika Hera ada di sekitarnya, Gama selalu tak bisa menahan matanya untuk tidak menatap wanita itu.
Jika Gama sedang menyendiri, yang ia ingat justru Hera. Bahkan Gama sendiri lupa, entah sejak kapan nama Karin mulai lenyap perlahan dari dalam hatinya.
Gama benci dengan dirinya yang seperti ini. Bukankah Gama pernah berjanji akan mencintai Karin sampai mati?
"Selamat datang, Tuan Gama! Anda mau pesan apa?" ketika memasuki sebuah café mewah berkelas, Gama langsung disambut ramah oleh pelayan café itu.
Memiliki karir yang cemerlang dan bisnis yang menjamur ke berbagai negara, tentu saja membuat nama seorang Gama Dirgantara sangat dikenal.
"Berikan aku teh dan sandwich!" pinta Gama dengan suaranya yang khas sembari menarik kursi dan mendudukan dirinya di sana.
"Baik, Tuan Gama. Mohon ditunggu sepuluh menit!" ucap pelayan café itu sebelum berbalik meninggalkan Gama sendirian di mejanya.
Pagi ini Gama memang belum sempat sarapan. Jadi sebelum ke kantornya, Gama mendatangi sebuah café untuk mengisi perutnya. Sebenarnya Gama terbayang dengan enaknya masakan yang Hera buat.
Ia sendiri merasa terkejut jika ternyata Hera sangat pandai memasak.
'Bagaimana bisa aku tidak mengetahuinya kalau selama ini dialah yang selalu memasak dan menyiapkan makanan untukku. Bukan para pelayan yang sudah kutugaskan di bagian dapur,' batin Gama.
Gama terus berkutat dengan pikirannya sampai ia tak sadar jika pelayan yang tadi kini sudah kembali menghampirinya dengan membawa sebuah nampan.
"Selamat menikmati, Tuan Gama!"
Gama hanya menjawab dengan anggukan kepalanya. Ia menikmati sarapannya dengan tidak bernapsu.Gama akui jika makanan buatan Hera adalah yang terbaik dari semua makanan yang pernah masuk ke dalam mulutnya.
Tetapi kemudian Gama teringat lagi dengan Karin dan ia segera mengenyahkan tentang Hera dari pikirannya.
Sampai suara dua orang lelaki yang sedang berbincang di meja yang tak jauh darinya, terdengar ke telinga Gama. Membuat Gama menghentikan gerakan mengunyahnya saat mendengar nama Karin Ardelia yang disebut-sebut.
"Maksudmu.. Karin Ardelia model terkenal yang sudah meninggal lima tahun yang lalu itu? Jadi dia pernah menjadi selingkuhanmu juga?"
"Aku yang pernah menjadi selingkuhannya. Nama suaminya Gama Dirgantara. Setiap kali Gama pergi ke kantor, aku dan Karin selalu menghabiskan waktu bersama. Apa kau tahu? Ada satu hal yang paling kurindukan dari Karin. Yaitu goyangannya yang membuatku merasa ketagihan. Hanya saja.. sayang sekali dia sudah tidak ada. Padahal aku sangat merindukannya."
Tangan kanan Gama yang memegangi gelasnya sudah mengeras. Giginya mengeletuk seiring dengan amarahnya yang memuncak.
Rasanya Gama ingin sekali melempar gelas di tangannya ke kepala lelaki itu yang kini sedang tertawa-tawa bersama dengan temannya. Tetapi Gama menahannya. Ia adalah seorang pebisnis ternama. Gama tidak mau mengotori tangannya dengan membuat pemberitaan tentang dirinya yang melakukan kekerasan pada lelaki pengecut itu.
***
"Bas! Kau yakin tidak akan langsung pulang ke rumah?"
"Aku yakin. Kau pulanglah lebih dulu. Ada seorang wanita yang sedang menungguku," jawab lelaki itu yang tadi menyebut dirinya sebagai mantan selingkuhan Karin.
Ia dan temannya melangkah keluar dari café.
"Ah, pasti wanita baru lagi," kata temannya sambil memutar bola mata. Lelaki itu tertawa dan meninju pelan lengan temannya.
"Tebakanmu tepat sekali. Kau memang sangat mengerti diriku."
Setelah berpamitan, lelaki yang bernama Bastian itu memasuki mobilnya yang terparkir di pelataran café. Namun baru saja Bastian menghempaskan dirinya di balik kemudi, tiba-tiba seorang lelaki masuk dan menodong Bastian dengan sebuah pistol.
"Hey! Ada apa ini?!" teriak Bastian panik.
"Jangan banyak bertanya! Jalankan saja mobilnya ke arah yang kutunjukkan jika kau ingin selamat," suruh lelaki yang mengenakan topeng itu pada Bastian.
"B-baik." dengan ketakutan setengah mati melihat pelatuk pistol yang terus mengarah ke kepalanya, Bastian segera melajukan mobilnya dan menjalankannya mengikuti arahan dari si lelaki bertopeng itu.
Sampai akhirnya mereka tiba di sebuah gedung kosong yang terbengkalai. Bastian ditarik memasuki gedung itu dan ia didudukan di sebuah kursi kayu lalu kedua tangannya diikat ke belakang oleh si lelaki bertopeng.
"Kenapa kau mengikat tanganku?! Hah? Lepaskan aku! Atau aku akan berteriak!" panik Bastian mencoba memberontak agar ikatan di tangannya terlepas.
"Silakan saja berteriak! Tidak akan ada satuorang pun yang akan mendengarnya." bukan si lelaki bertopeng itu yang bersuara. Melainkan Gama.
Bastian menoleh dan ia terkejut setengah mati saat melihat tubuh tegap Gama melangkah lebar ke arahnya. Seketika rasa takut menyergap perasaan Bastian. Melihat tatapan amarah yang terpancar dari kedua bola mata Gama. Bastian meneguk ludahnya kasar.
"Gama Dirgantara!" bisik Bastian dengan suara yang bergetar saat langkah Gama terhenti di depannya.
"Baguslah kau sudah tahu nama lengkapku. Itu artinya kau juga pasti tahu seberapa berpengaruhnya diriku untuk menghancurkan karirmu!" desis Gama mengarahkan telunjuknya pada wajah Bastian. Membuat Bastian gelagapan dan menggeleng cepat.
Dari raut wajahnya, tampak Bastian sangat ketakutan.
"Jangan! Jangan! Aku mohon jangan ganggu karirku. Pekerjaanku hanya sebagai model saja. Jika aku sampai diblacklist dari semua agency model, darimana aku mencari uang?" mohon Bastian. Yang kemudian dibalas oleh Gama dengan dengkusan masam seraya mengedikkan bahunya tak peduli."Itu bukan urusanku!" tegas Gama melayangkan tatapannya yang setajam elang. Tatapannya itu mampu menembus hingga ke jantung Bastian. Membuat tubuh lelaki itu membeku di tempat duduknya.Bastian tidak menyangka jika si lelaki bertopeng tadi adalah orang suruhan Gama. Bisa jadi dia salah satu dari sekian banyak bodyguard yang Gama miliki. Dan sialnya, Bastian seperti mati kutu. Ia tidak berdaya di hadapan Gama yang tentu saja memiliki kekuasaan dibanding dirinya."Kau telah salah memilih musuh. Seharusnya sebelum bertindak, kau harus mencari tahu dulu tentang siapa musuhmu sebenarnya," geram Gama sambil menarik rahang Bastian hingga mendongkak menatapnya."A-apa maksudmu?" Basti
"Diar. Apa Gama belum pulang?"Diar sedikit terkejut mendengar pertanyaan Hera. Namun senyum kecil tertahan di bibir pelayan itu. Rupanya, Gama lah yang sedang Hera pikirkan.Ini memang sudah pukul dua belas malam. Seharusnya di jam seperti ini, semua orang di paviliun sudah tidur. Tapi Hera malah menyibukan diri memikirkan suaminya.Diar menggeleng pelan. "Belum, Nyonya Hera. Tuan Gama belum pulang." jawaban itu membuat Hera mendesah kecewa.Diar tersenyum lagi saat melihat raut khawatir tampak di wajah Hera. Gurat kecemasan itulah yang membuat Hera sulit untuk tidur.'Di mana Gama? Ini sudah mau tengah malam tapi dia belum pulang juga. Bahkan sekarang hujan deras. Sial! Kenapa aku jadi mencemaskannya seperti ini.' Hera mengutuk dirinya sendiri dalam hati.Jika mengingat sikap Gama yang tidak ada manis-manisnya, seharusnya Hera tak perlu mengacuhkan lelaki itu meskipun ia diterkam serigala, atau ditelan ikan paus sek
Kini langkah Gama sudah memasuki ke dalam paviliun. Paviliun itu tampak sepi. Karena semua orang yang tinggal di dalamnya sudah tertidur di kamar mereka masing-masing.Tujuan Gama adalah kamar Hera. Entah iblis darimana yang menuntunnya untuk pergi ke kamar wanita itu. Tapi Hera adalah istrinya.KLEK!Tangan Gama membuka pintu kamar Hera secara perlahan. Dilihatnya wanita itu sedang terlelap di atas ranjang. Dengan selimut tebal yang menutupi hingga ke pinggangnya.Dalam cahaya remang lampu tidur, Hera tampak begitu cantik. Rambut indahnya terurai menutupi bantal. Dan Gama melangkah makin dekat, berdiri di samping ranjang sembari matanya menatap Hera dengan pandangan berkabut penuh gairah."Hhhhh.." Gama mendesah.'Mengapa dia terlihat begitu cantik, terlebih saat sedang tidur dengan tenang seperti ini?' batin Gama.Setahun menjadi suami Hera, baru kali ini Gama melihat istrinya itu tertidur pulas di depannya. Gama t
Kemudian Hera turun dari ranjang dengan menahan sakit di kewanitaannya. Hera membawa serta selimut tebal yang kini membalut tubuhnya itu ke dalam kamar mandi. Karena pakaian tidurnya sudah tak terselamatkan. Hanya sisa robekan kainnya yang berserakan di lantai.Ingin menghilangkan rasa sentuhan tangan Gama dalam tubuhnya, Hera segera menyalakan shower, membuat airnya yang deras jatuh membasahi rambut dan seluruh tubuhnya."Iblis! Tidak memiliki hati! Tidak berperasaan! Kau sangat kejam, Gama. Aku tahu kalau aku adalah istrimu. Dan sudah kewajibanku memberikan nafkah batin untukmu. Tapi bukan seperti ini caranya. Kau malah membuat terhina. Malam ini kau memperlakukanku seperti pelacur. Aku membencimu. Sangat membencimu."Hera tak henti-hentinya merutuki apa yang telah Gama lakukan padanya. Sembari ia menggosok-gosok tangan dan tubuhnya dengan kasar. Berharap aroma parfum lelaki itu tidak tercium lagi di tubuhnya.Setengah jam berlalu, Her
“Apa kau bilang? Hera pergi?! Pergi bagaimana maksudnya?”Sore ini, kedua orang tua Gama datang bermaksud ingin bertemu dengan anak dan menantu mereka. Namun saat tiba di sana, mereka tidak menemukan Hera.Biasanya saat Darma dan Jessy berkunjung, Gama selalu menyuruh Hera berpura-pura jika pernikahan mereka baik-baik saja. Kedua orang tua Gama bahkan tak pernah tahu sebelumnya jika Hera selalu tinggal di paviliun. Yang mereka tahu, Hera tinggal satu atap dengan Gama. Sebagaimana suami-istri kebanyakan.Dan ketika Darma dan Jessi menanyakan dimana Hera berada pada Gama, dengan hembusan napas lelah Gama menjawab kalau Hera pergi dari rumah.“Gama! Kenapa diam saja? Papa sedang bertanya padamu. Apa yang terjadi pada Hera?! Mengapa dia sampai pergi dari rumah? Ke mana dia?” dengan kesabaran yang mulai habis, Darma meninggikan suaranya. Mendesak Gama yang sedang berdiri di hadapannya itu untuk bicara.Jessy juga mena
Riak wajah Darma yang tadi merah padam karena kemarahannya pada Gama, kini rona itu sudah menghilang. Darma hanya menatap putranya dengan raut lelah. Sementara tangannya kembali menepuk pundak Gama, bedanya kali ini mereka sudah berdiri saling berhadapan.“Cari Hera sampai ketemu. Kau harus menemukannya. Bagaimanapun dia istrimu. Meskipun sebenarnya Papa sangat kecewa padamu, Gama. Tapi semuanya sudah terjadi. Mungkin ini salah Papa karena sudah memaksamu menikah dengan Hera padahal kau tidak mencintainya. Jika nanti Hera ketemu, Papa pasrah kalaupun nantinya kalian akan memilih berpisah. Mungkin pernikahan kalian memang tidak bisa dipertahankan meski sebenarnya Papa sangat menyayangi Hera dan merasa tidak enak dengan ayahnya yang sudah tiada.”Darma berusaha berpikir bijak. Ia tidak lagi berapi-api memarahi ataupun menampar Gama. Darma pikir sedikit banyak ia juga berperan dalam hal ini.Karena Darma lah yang sudah memaksa Gama untuk menikahi Hera.
Steve tersenyum.“Kalau begitu, aku ucapkan selamat bergabung dengan Butik Anderson. Semoga kau bisa bekerja dengan baik,” ucap Steve sebelum akhirnya ia memalingkan wajahnya dan mengedarkan pandangan pada para karyawan yang berdiri menyambutnya.“Setelah ini kalian semua bisa kembali bekerja. Terimakasih untuk sambutan kalian,” tutup Steve lalu ia melanjutkan langkahnya memasuki butik yang sangat ia rindukan.Setelahnya Steve masuk, semua karyawan wanita langsung menjerit tertahan dan mengepalkan tangan mereka dengan gemas. Menatap punggung lebar lelaki itu yang masuk ke dalam lift. Ruangan boss memang berada di lantai tujuh. Sementara butik ini memiliki tujuh lantai.“Tuan Steve semakin tampan!”“Style rambutnya berubah, tapi itu tidak mengurangi ketampanannya sedikitpun!”“Ya Tuhan! Terimakasih sudah menciptakan lelaki setampan Tuan Steve di dunia ini.”Hera meringis
Tiba di dalam toilet wanita, Hera segera memuntahkan cairan dari perutnya. Meskipun mulutnya sudah tidak memuntahkan apapun, anehnya ia tetap merasa mual.“Tuan Steve?” desah Hera lemas menatap pada kaca, dimana pantulan tubuh jangkung Steve ada di sana.“Apa kau masih ingin muntah?” tanya Steve. Rupanya tadi ia mengikuti Hera hingga ke toilet wanita.Tidak ada yang akan berani menegur Steve meski ia masuk ke toilet khusus wanita karena Steve adalah pemilik butik ini.Hera mengangguk lemah. Lalu kembali menunduk di atas wastafel. Sedangkan Steve membantu memijit tengkungnya.Sampai akhirnya rasa mual itu mereda, Hera membasuh mulutnya dan ia berbalik menatap Steve.“Hera, sebaiknya kuantar kau ke rumah sakit. Aku tahu keadaanmu sedang tidak sehat,” usul Steve. Ia menatap cemas pada Hera yang betul-betul mengkhawatirkan.Sebenarnya bukan hari ini saja Hera muntah-muntah
Steve menyentuh lengan Hera, mengusap punggungnya menenangkan.“Maaf. Aku tidak tahu kalau Mentari akan jadi murung dan tidak mau makan seperti ini karena bersikeras menunggu Gama.” anak itu memang tidak mau makan. Padahal Steve sudah menjelaskan padanya bahwa sebenarnya Gama tidak akan datang ke Singapore.Tetapi anak itu tetap bersikukuh menunggu Gama sambil menatap ke luar jendela yang terbuka, membiarkan angin menerpa kulit wajahnya yang putih, terkadang menggoyangkan rambutnya perlahan.Suara bell yang berbunyi membuyarkan lamunan mereka. Hera mengerjap, menoleh ke arah pintu.“Mungkin itu tukang laundry. Aku akan bukakan pintu dulu,” katanya yang dijawab anggukan oleh Steve.Kaki jenjang Hera berjalan menuju pintu, tangan itu menarik kenop dan membukanya.Selanjutnya mata Hera membeliak lebar. Mulutnya terbuka saking tidak percayanya dengan apa yang ia lihat saat ini.“Ga-Gama!” pe
“Ma? Kita akan kembali ke Singapore ya? Kita akan naik pesawat lagi seperti waktu itu?” berjalan di bandara, Mentari yang dituntun oleh Steve dan Hera di kedua sisi, kini mendongkakan kepala menatap Hera.Hera menunduk, lalu tersenyum mengangguk.“Benar, sayang. Kita akan kembali ke Singapore.”“Tapi kenapa kita harus kembali ke sana, Ma? Padahal aku sudah betah di rumah Kakek Bimo dan Nenek Fatma.” pertanyaan kedua kembali meluncur dari mulut mungilnya, mendesak Hera untuk segera memutar otak, mencari jawaban yang paling tepat.“Mama sangat merindukan Singapore. Dan kau pun merasakan hal yang sama, bukan?” Hera mencubit pelan hidung mungil Mentari. Di sampingnya, Steve mengulum senyum tipis.“Ma. Apa Papa tidak ikut dengan kita?”Hera tertegun menghentikan langkahnya. Nama lelaki yang tidak ingin ia dengar, kini justru keluar dari mulut anaknya sendiri.Hera dan Steve
Mobil Gama dan mobil Steve keluar beriringan melewati gerbang rumah Iren.Di balik kemudi, Gama memukul setir, sembari mengeletukan giginya saat matanya terus menatap tajam ke arah mobil Steve yang melaju di depan sana.“Aku penasaran. Apa benar dia sedekat itu dengan Hera?” gumamnya diliputi rasa cemburu.Mendadak Steve menghentikan mobilnya ketika tiba-tiba mobil Gama menghadang di depan sana. Sepertinya Gama sengaja menghalangi laju mobil Steve.Membuat Steve mengerutkan keningnya heran. “Apa yang dia lakukan? Apa maksudnya menghentikan mobil di depan mobilku?”Sedikit kesal Steve membuka seatbeltnya. Tangannya membuka pintu, kakinya turun menapaki aspal. Lantas dengan menyingsingkan lengan kemejanya, Steve berjalan menghampiri Gama yang kini sudah berdiri di depannya sambil berpangku tangan.“Ada masalah apa kau denganku, Brother? Apa kau tidak tahu bagaimana caranya menghentikan mobil di jalanan?” tan
“Kalian berbeda karena—““Iren!” Bimo yang datang langsung menegur Iren agar tidak melanjutkan ucapannya. Membuat Hera dan Gama yang sempat terkejut, kini bisa menarik napas lega.Bimo mendekat, menghampiri Mentari dan mengusap puncak kepala anak itu. “Tidak, sayang. Jangan pikirkan apa yang Tante Iren katakan. Kau kembali belajar ya.”“Iya, Kek.” Mentari mengangguk, kembali fokus menunduk pada buku tiga dimensi di pangkuannya, lalu mengenali setiap gambar yang ada di sana.Sedangkan Bimo melayangkan tatapan tajamnya pada Iren. Membuat Iren kebingungan. Karena ia merasa tak melakukan salah apapun.“Lain kali jaga bicaramu. Jangan sampai kau mengatakan sesuatu yang akan mengganggu pikiran dan perasaan Mentari!” bisik Bimo di telinga Iren.Setelahnya, Gama mengajak Mentari bermain di halaman belakang. Hera membantu Fatma menyiapkan makan siang di atas meja. Saat akan menga
Malam ini hujan deras mengguyur kota Jakarta. Langitnya hitam pekat, sepekat perasaan Gama saat ini.Mendesah pelan, Gama berdiri menyandarkan punggungnya pada tembok rumah sakit. Dengan ditemani Hera yang berdiri di sampingnya. Setelah Iren tak sadarkan diri, ia langsung dilarikan ke rumah sakit. Beruntung Iren tidak terlambat mendapatkan pertolongan medis. Mengingat ia bisa saja kehabisan darah.“Apa Mentari sudah tidur?” tanya Gama pada Hera, tetapi matanya tetap menatap nyalang ke depan.Hera melirik Gama sebentar, lalu mengangguk. “Ya. Bibi mengirimkan pesan, katanya dia sudah tidur setengah jam yang lalu,” jawab Hera.Gama mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. Gama memijit pangkal hidungnya, kepalanya terasa pening. Banyak sekali masalah yang memenuhi pikirannya. Dan sepertinya masalah yang terjadi saat ini adalah yang paling berat. Gama tidak tahu apa ia sanggup m
Baru saja pantatnya menyentuh kursi kemudi, matanya kembali melirik ke arah papper bag itu yang sekarang sudah bergabung dengan bunga yang Gama beli. Itu juga khusus untuk Hera.“Semoga dia akan menyukainya. Ah, aku sangat tidak sabar. Ingin segera menikahimu dan memulai semuanya dari awal lagi. Kali ini tidak boleh ada penderitaan, rasa terpaksa, atau saling menyakiti. Pernikahan kita harus berdasar cinta dan kasih sayang. Karena hanya cinta yang akan menjadi pondasi terbaik dalam pernikahan. Meskipun aku belum pernah mendengar kata cinta dari mulut Hera, tetapi cukup melalui tatapannya saja, aku sudah tahu kalau Hera pun mencintaiku.”Setelah mengucapkan itu, senyumnya kembali melebar. Hatinya melambung tinggi, rasanya Gama ingin segera bertemu Hera, melihat wajah cantiknya, mendekapnya seerat yang ia bisa.Untuk bisa mewujudkan keinginannya itu, maka Gama segera melajukan mobilnya menuju ke rumah Bimo dan Fatma. Dimana dua wanita yang sangat
Hera tersenyum. Menggeser pandangannya hingga tertuju pada Mentari. Lalu ditariknya tangan Gama untuk mendekati kursi roda Mentari.Gama tidak tahu apa yang akan Hera lakukan. Tetapi ia tetap mengikuti wanita itu.“Mama! Om Gama!” mata bulat Mentari berbinar senang begitu Gama dan Hera tiba di hadapannya.Gama tersenyum pedih. Mendengar mulut Mentari masih menyebutnya om, membuat hati Gama meringis.Hera berjongkok, meraih tangan Mentari lalu menatap matanya lamat. Fatma dan Bimo hanya memerhatikan dari samping kiri dan kanan bocah mungil itu.“Mentari. Mama ingin mengatakan sesuatu padamu. Jadi dengarkan Mama baik-baik. Oke?”“Iya, Ma.” kepala mungilnya mengangguk.Hera menarik napas sebentar, melirik sesaat ke arah Gama yang berdiri gelisah, kemudian matanya kembali menatap Mentari yang memasang wajah penasaran di depannya.“Apa kau ingat, dulu kau sering bertanya tentang siapa nama P
Gama hanya menatap Iren dengan lurus. Meski hatinya juga tak tega melihat Iren menangis di depannya.“Ayahmu bukannya tidak menyayangimu. Tetapi dia tahu kau tidak akan bahagia jika menikah denganku,” ucap Gama meralat perkataan Iren.Tetapi Iren menggeleng, tetap dengan anggapannya.“Tapi hatiku sangat yakin kalau aku akan bahagia dengan pernikahan kita. Aku yakin itu!”Kali ini Gama yang menggelengkan kepalanya, melepaskan genggaman tangan Iren hingga membuat raut wajahnya semakin merengut kecewa.“Ini pasti sangat berat buatmu. Tapi aku lebih setuju dengan Ayahmu. Jadi maaf, aku tetap pada pendirianku. Rencana pernikahan kita tidak akan bisa dilanjutkan.”Gama kemudian membalikan badan, mengalihkan pandangan dari Iren, enggan terus melihat tangis wanita itu yang membuatnya semakin merasa tak tega.Iren membuka mulutnya terperangah. Matanya menatap Gama dengan wajah sedih. Hatiny
Dengan tangan yang gemetar, Darma mengusap air di sudut matanya. Perlahan kakinya melangkah mendekati sofa dimana Mentari duduk.“G… H… I… J…”“Mentari!” panggilnya pelan.Mentari mendongkak menatap Darma, alisnya bertaut bingung, matanya mengerjap bertanya-tanya, siapa kiranya lelaki tua yang saat ini menatapnya berkaca-kaca ini? Mengapa dia mengetahui namanya?“Kakek siapa?” tanyanya penasaran.Di belakang sana, Hera tersenyum melihat Darma yang ikut duduk di samping Mentari. Menyentuh kedua tangan mungilnya, mengecupinya berkali-kali.“Kakek jangan menciumku! Kata Mama aku tidak boleh dicum sembarangan oleh orang asing!” dengan cepat Mentari mengusap kedua pipinya yang baru saja diciumi oleh Darma, Darma terkekeh melihat itu.Hera meringis, ia memang pernah memberitahu Mentari untuk tidak sembarangan menerima ciuman orang karena takut dengan kas