Aku mengadakan rapat keluarga keesokan paginya, mewajibkan Mas Tyas untuk hadir, tentu saja. Tapi seperti biasa, dia mangkir. Tanpa alasan, dia pergi begitu saja dan hanya meninggalkan uang dua puluh ribu di atas kulkas. Uang jatah belanja untuk sehari. Benar-benar handal, profesional. Bukan caranya meninggalkan uang, maksudku. Bukan jumlah uangnya juga yang membuatku mengelus dada tapi kepergiannya yang tanpa pesan maupun kesan. Padahal, baru saja dia menyakiti hati Langit dengan mengingkari janjinya untuk membelikan laptop sejak setahun yang lalu. Tapi tetap saja tidak merasa bersalah. Tetap saja angkuh dan sombong. Ada ya, anak manusia minus perasaan seperti dia?
Hemmmhhh! Rasanya seperti membeli kucing dalam karung, sungguh. Oh, andai bisa memutar waktu kembali. Aku takkan sudi berkenalan dengan Mas Tyas walaupun dia bersimpuh di kakiku sekali pun. Walaupun dia memohon-mohon sampai menangis darah pun aku takkan peduli. "Ayah nggak pamit kan tadi, Mas Laut?" aku bertanya dengan menahan perasaan yang menggelegak di rongga dada, "Ada yang tahu, berangkat kerjanya jam berapa?" lagi, aku bertanya sambil menatap wajah mereka satu per satu. Ya, siapa tahu kan, mereka mendengar Mas Tyas berderap menuruni tangga atau menyalakan mesin sepeda motornya? Aku sibuk mengurusi Lova tadi, baru demam dia. Sejak semalam sih, sekitar jam sebelas. Mungkin kecapekan merangkak atau bermain bersama mas-masnya. "Aku denger Ayah nyalain mesin motor tapi pas aku turun, Ayah sudah nggak ada … Sudah berangkat. Terus aku lihat ada uang dua puluh ribu di atas kulkas. Mungkin untuk maem kita, Ma?" detail, Laut menjelaskan dan Bumi menimpali, "Aku cuma denger pas Ayah nutup pintu malahan terus aku tidur lagi!"Sama sepertiku, Langit menyimak sambil memandangi kedua adiknya itu bergantian. Bersyukur sekali rasanya karena wajahnya sudah tak sekeruh tadi malam, sudah lebih bening dan segar lah. Tak terlalu jelas lagi gurat-gurat kekecewaan atau pun kemarahan di sana. Bahkan, sesekali kulihat dia tersenyum saat Laut atau Bumi membuat candaan atau kelucuan. "Ya sudah … Berarti ini rapat antara Mama dengan kalian saja, ya?" kataku meminta persetujuan, "Gimana, soalnya ini penting banget. Menyangkut masa depan kita sekeluarga." Sebenarnya aku hanya ingin meminta persetujuan Mas Tyas dan anak-anak untuk membuka warung jajanan anak di rumah. Tapi karena di sini sudah banyak warung, aku mau membuat segmen dagangan yang berbeda. Es lilin, nugget pisang dan nugget sayuran. Lumayan kan, bisa untuk uang jajan anak-anak di sekolah. Apalagi kan, Langit juga sudah mulai banyak kebutuhan di pondoknya. Laut juga, persiapan kelulusan SD. Ya, pokoknya semakin banyak lah, kebutuhan mereka. Sepertinya tidak cukup hanya dengan mengandalkan hasil menjadi reseller. Iya, kan? Sekalian memanfaatkan garasi yang belum juga berfungsi karena mobil impian belum juga terbeli, sih. Paling-paling untuk tempat sepeda motor, itu pun masih sisa banyak. Lagi pula kalau memang warung kami sudah berjalan nanti, bisa diparkir di depan teras atau di depan garasi mepet ke pagar, kan? Take it easy sajalah, pokoknya. "Ya udah, Ma." kata Laut dan Bumi hampir bersamaan, sementara Langit bergumam, "Ya nggak apa-apa, Ma. Ngelibatin Ayah juga belum tentu dia mau. Dari pada rungsing mikirin Ayah, mendingan kita jalan saja berempat."Aduh, aku sampai deg-degan mendengar jawaban Langit. Rasanya begitu dalam, begitu besar. Sedih, lho. Karena kan, berarti kepercayaan Langit pada Mas Tyas sudah mulai memudar. Duh, ini masalah berat, bukan main-main. Bukankah seorang anak yang sudah berkurang rasa percayanya pada orangtua, akan mencari figur yang lain yang lebih bisa dipercaya menurutnya. Iya, kalau figur itu orang baik, kalau tidak? Wah, bahaya. Ini warning untukku dan Mas Tyas wajib tahu. "Memangnya ada apa sih, Ma?" Laut bertanya sambil mengernyitkan dahi, "Mama kenapa?" Aku tersenyum simpul, meminta mereka lebih mendekat padaku lagi. Bukan apa-apa. Ini rahasia keluarga yang tak perlu didengar oleh penyadap dalam bentuk apapun apalagu hacker. Eh! Entahlah, apa itu istilahnya? Orang yang suka mengintip ke dalam rumah karena rasa penasaran yang menggebu di dalam hati. Hehe. ***Langit mendekatiku dengan wajah lesu. Aku yang sedang berusaha menidurkan Lova langsung meletakkan jari telunjuk di depan bibir sebagai kode untuk memelankan suara. Langit mengangguk, duduk di kursi dengan sangat hati-hati, kelihatannya. "Ada apa, Mas Langit?" setengah berbisik tapi penuh perhatian aku bertanya, "Nanti ya, kalau Adek bobok, kita berangkat beli laptop? Adek biar dijaga Dek Laut sama Dek Bumi."Tak ada sepatah kata pun terlontar dari mulut Langit, jadi aku mencuil ujung dagunya penuh sayang, "Jadi kan Mas Langit, beli laptop?" Sejujur-jujurnya kukatakan, kalau sekalian beli laptop Langit, modal untuk membuka warung juga mepet. Kalaupun ada dana cadangan, ya tidak seberapa. Jangankan tiga kali lipat seperti teori bisnis, ada dana cadangan saja sudah sangat bersyukur. Tapi, yaaa, bagaimana lagi? Mas Tyas seperti itu, malah semakin kelam. Semakin egois dan kekanakan, yang jelas. Fine, dia mau menjaga dan merawat Ibu di rumahhya, silahkan tapi jangan lupakan kami. Itu saja. "Jadi, Ma." jawab Langit dengan mimik wajah serius, "Tapi biar Ayah saja yang beli. Kan, Ayah yang sudah janji sama aku, bukan Mama?" Jlep, plaaasss!Menyadari apa yang ada dalam benak Langit, aku nyaris menjerit histeris. Untung sadar kalau menggendong Lova yang sudah tertidur lelap dalam gendonganku. Wah, tidak apa-apa sih, kalau Langit mau menunggu Mas Tyas menepati janji. Itu artinya uang yang tadi kuanggarkan untuk membeli laptop bisa kugunakan untuk modal buka warung. Berikutnya, yang paling penting, Langit masih mempercayai Mas Tyas, kan? Eh! Itu tadi bukan kalimat patah hati, kan? Bukan patah hati dibalik kebahagiaan, kan? "Mas Langit nggak apa-apa nunggu Ayah bisa beli?" sedikit khawatir aku bertanya sambil menjajarinya duduk di kursi ruang tamu, "Jadi, nanti Mas Langit berangkat ke pondok, kan?" Diam. Langit tak memberikan jawaban meskipun hanya secuil kecil kata, membuatku semakin khawatir. Tapi karena ucapan seorang ibu sama dengan doa yang dipanjatkan, aku tak berani menanyakannya pada Langit. Cukup di dalam hati saja dan semoga semua itu berakhir di ruang kekhawatiran saja, tidak lebih. "Besok saja ya, Ma?" kata Langit pada akhirnya, memukul-mukul hatiku dengan sangat kerasnya, "Aku pingin ngomong sama Ayah dulu." Karena kekhawatiran semakin membesar di rongga dada aku mengatakan ini padanya, sambil memasang wajah serius, "Lah, ayahmu saja malah gitu, kok. Mbok udah to Mas Langit, balik ke pondok saja nanti sore ya, biar Mama yang nganterin. Mau bawa oleh-oleh apa, biar Mama beliin … Mau sangu makanan apa, kita belanja, yuk?" Nol besar! Bukannya menanggapi atau bagaimana, Langit malah berlari menaiki tangga, meninggalkanku dalam keadaan yang sangat semrawut. Khawatir, takut dan bingung campur aduk menjadi satu, sungguh. Ugh, ingin rasanya menyeret Mas Tyas pulang, biar dia tahu apa yang terjadi di rumah!Ada apa dangan Langit?Oh, pasti karena aku yang tak pandai membahagiakan hatinya. Tak pandai menjaga perasaan, mendidik dan membersamai selama ini. Iya, kan? Ah! Jangan-jangan karena aku dan Mas Tyas sering bertengkar? Oh, mungkin Langit bersedih hati dan merasa tertekan dengan semua itu? Tapi bagaimana lagi, Mas Tyas susah diajak bicara baik-baik. Itulah mengapa, kadang-kadang aku berteriak-teriak seperti di tengah hutan. Kalau tidak begitu, mana mau dia memasang telinga?"Ma, Ayah pulang! Sendiri dia, nggak sama Uti." bisik Bumi ditelinga kiriku dengan penuh semangat, "Adek ditaruk aja Ma, biar aku yang jaga. Kalau nggak, nanti Ayah pergi lagi. Kasihan Mas Langit. Masa, nggak balik-balik ke pondok?"Siiirrr dug, dug, duuuggg!Berarti benar apa yang kupikirkan tadi. Bumi yang baru sembilan tahun saja sudah terkena dampak dari keburukan sikap Mas Tyas, apalagi Langit? Wah, ini tidak bisa dibiarkan, mau tidak mau kami h
Rasanya benar-benar sesak ketika tahu Mas Tyas habis-habisan memarahi Laut hanya gara-gara mengajukan protes atas tamparannya padaku. Halooo, di mana letak kesalahannya? Dia sudah besar, sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak. Sudah bisa merasakan, mana yang lembut dan mana yang kasar. Aku yakin, Laut juga sudah membedakan, siapa yang benar dan siapa yang salah. Seharusnya Mas Tyas tidak semarah itu bukan, walaupun mungkin tersinggung setengah mati, misalnya. Bisa kan, mengingatkan dengan cara yang baik?"Mas, sudah, Mas!" kataku sambil menarik tangan Laut supaya menjauh dari Mas Tyas, "Malu sama tetangga, Mas!" kataku lagi, berusaha untuk menyetel suara agar tak terdengar membahana ke seluruh penjuru kampung. Sadar, kalau ini kampung padat penduduk. Jangankan bertengkar, buang angin saja tetangga bisa dengar."Didik anakmu, ngelawan aja kerjanya ama orangtua!" cakap Mas Tyas Kasar, "Masih ingusan aja udah berani ngelawan
Empat puluh juta, bayangkanlah!Tak habis pikir, untuk apa coba uang sebanyak itu? Empat tahun yang lalu, bukannya dia baru setahun di rumah setelah magang di Jepang selama tiga tahun? Uang hasil magangnya saja masih utuh tersimpan di bank. Katanya dua ratus lima puluh juta dan sengaja tidak diambil karena sudah dijadikan dana khusus untuk membangun rumah. Aku saja sampai tak berani meminta, sungguh. Jangankan meminta, untuk sekadar menanyakan saja pun tak punya nyali.Apalagi Ibu sudah memberikan warning, "Uang Tyas yang dari Jepang jangan dipakai. Mau untuk bangun rumah. Itu, tanah belakang rumah sudah dibayar Tyas, mau untuk bangun kolam ikan. Mau buat pembibitan lele dia, Yung. Delapan puluh lima juta, jatuhnya. Ibu yang nawar langsung ke yang punya."Aku yang baru selesai menidurkan Bumi, sempat oleng juga waktu itu. Tidak menyangka sama sekali kalau Mas Tyas dan Ibu bergerak di belakang layar. Artinya tidak melibatkanku sama sekali sebagaimana
Pro: Mas TyasMas Tyas, ini aku Ratna.Kamu kok ngilang gitu aja to, Mas?Aku kan kangen, Masa kamu nggak tahu?Jangan gitu Mas sama aku!Inget, uang tujuh puluh lima juta itu nggak sedikit lho!Nanti kalau aku minta balik gimana?Kamu kan udah nggak punya usaha lagi sekarang?Kerja juga cuma ngojek!Udah lah Mas, nggak usah sok idealis segala macem!Balik sini sama aku. Nanti kubantu. Nggak kuhitung hutang, asal kamu mau jalan sama aku.Ini nomer hp ku: 082 … 890Kutunggu di istana cinta kita!(Ratna)Sungguh, rasanya dadaku seperti kejatuhan bom. Jadi, selama ini Mas Tyas selingkuh? Ratna … Ratna siapa, ya? Seingatku selama ini Mas Tyas tidak punya teman yang bernama Ratna. Iya, kan? Aku juga tidak punya. Siapa dia? Kok, sepertinya mereka sudah lama berhubungan. Sudah terlalu dalam. Bayangkan, Ratna sampai memberikan uang tujuh puluh lima juta pada Mas Tyas!Tapi kalau dari kat
Tak acuh, tak merasa bersalah.Dalam keadaan seperti itulah Mas Tyas pulang keesokan harinya. Itu pun setelah Bumi menelepon, merengek-rengek menagih lem tembak yang sudah dijanjikannya sejak dua minggu yang lalu. Bukan berarti aku tidak punya uang kalau pun harus membeli lem tembak, tak semahal harga laptop, bukan? Tapi itu kan tugas Mas Tyas, dia yang menyanggupi. Lagi pula, kenapa setiap dia mengingkari janji, aku yang harus menggantikannya? Halooo, aku bukan ban serep!Tapi, sekali lagi kukatakan, tapi aku berusaha untuk tetap bersikap baik padanya. Karena banyak hal yang harus kami bicarakan, tentu saja. Aku tak mau dia langsung pergi lagi begitu saja karena belum-belum sudah emosional. Ini bukan masalah internal lagi tapi sudah masalah eksternal, bukan? Buktinya, sudah banyak orang luar yang mencarinya ke rumah. Iya, kan? Walaupun benar-benar tidak menyangka tapi itulah kenyataan yang ada. Tak mungkin menghindar, bukan?"Semalem nggak pul
Mulut perempuan. Entah mengapa kata-kata itu mengiang-ngiang di telingaku yang menghangat, nyaris panas. Berani-beraninya Mas Tyas men-judge seluruh wanita yang menghuni planet bumi seperti itu? Apa dia lupa, bukan hanya aku yang berjenis kelamin perempuan? Lagi pula berapa perempuan sih, yang dia miliki dalam hidup ini, sampai-sampai bisa menciptakan label seburuk itu? Mulut perempuan. Selain aku, siapa lagi sih, memangnya?Apa iya, karakter berbicaraku sama dengan Ibu? Tidak mungkin kan, karena kami pribadi yang berbeda? Kami juga tak ada hubungan darah. Kami bisa menjadi keluarga karena aku menikah dengan Mas Tyas. Iya, kan? Jelas, aku bukan Ibu yang kalau bicara ketus, sembarangan dan angkuh! Masa sih, dia tak bisa membedakannya? Ugh, Mas Tyas! Jadi, dia maunya aku bersikap seperti apa dengan semua tingkah laku jahatnya itu? Bermanis-manis, begitu? Cuih, sorry!"Ya, Jeng?" aku mengangkat telepon Ajeng dengan perasaan yang belum bisa dikatakan rapi
Taxi sudah berjalan, melaju dengan kecepatan sedang di Jalan Tentara Palagan menuju Pringgokusuman. Laut yang duduk di depan, terlihat menikmati perjalanan. Melihat ke segala arah, menikmati pemandangan di luar sana, mungkin. Bumi yang tubuhnya sensitif dengan aroma bahan bakar dan parfum mobil, terlihat gelisah di sampingku. Sejak masih bayi dulu, Bumi memang seperti itu. Setiap diajak bepergian dengan mobil atau bus pasti mabuk. Kalau tidak muntah-muntah ya lemas dan berkeringat dingin. Nah, sore ini sepertinya tidak terlalu berat tapi aku tetap berusaha untuk membantunya. Memberikan permen mint, mengajaknya mengobrol ke sana ke mari tentang hobinya, crafting.Aku tahu, perkara mabuk ini bukan hanya karena faktor fisik tapi juga psikis. Sebenarnya---menurut pendapat Sari---setiap anak mabuk, butuh pengalihan perhatian atau konsentrasi. Jadi, mengobrolkan hobi atau hal-hal yang menyenangkan lainnya, akan membuat perhatiannya teralih dengan sukses. Oleh karenanya,
"Bu, sebenarnya Ayung ada perlu sama Ibu." ungkapku tersendat-sendat karena mati-matian berusaha untuk menghentikan tangisan, "Mas Tyas Bu … Dia punya banyak masalah, Bu."Ibu menepuk-nepuk pundakku penuh sayang, "Lha, masalah apa, Yung? Kalian kenapa … Tyas kenapa?"Lova merangkak dan duduk di pangkuanku tapi Laut segera menggendongnya, mengajak bermain. Demi memanfaatkan waktu dan kesempatan, aku mengambil surat perjanjian hutang Mas Tyas dan surat dari Ratna. Mengangsurkannya pada Ibu dengan air mata yang kian tak terbendung lagi. Rasa sakit di hati ini kian bertambah-tambah, tak terhingga. Sampai hati Mas Tyas melakukan itu padaku. Jahat."Apa ini, Yung?""Itu, Bu … Ternyata Mas Tyas punya banyak hutang, Bu."Sebenarnya hubungan aku dan Ibu baik-baik saja, cukup dekat menurutku. Tapi karena karakternya yang ketus dan kadang-kadang dingin, aku yang menjaga jarak dengan penuh kesadaran. Artinya, tidak jauh tap
"Pakai nama Mama saja, Ma?" Langit mengusulkan setelah Laut dan Bumi sibuk mencari nama untuk usaha tanaman hias yang akan kami rintis. "Payung Teduh Flowers. Cantik kan, Mama?" Sejenak, Laut dan Bumi saling memandang lalu tos dengan penuh semangat perjuangan. "Setuju berat, Mas Langit. Cantik banget namanya, Payung Teduh Flowers!" Laut memandangku dengan senyum tipis tetapi manis yang khas. Tak mau kalah, Bumi juga mengapresiasi nama yang diusulkan Langit tadi. "Cantik dan viral pasti. Karena kan unik banget namanya."Payung Teduh Flowers. Payung Teduh Flowers. Payung Teduh Flowers. Memang cantik, ya? Unik. Semoga juga bisa menjadi magnet berkahnya rezeki. "Oke, Mama juga setuju." lembut tapi tegas aku memungkas acara diskusi kami. "Kalau gitu, Mas Langit sama Mas Laut harus segera cetak banner, ya? Nanti kita buat dulu konsepnya. Mas Bumi bantu Mama memilih bunga apa saja yang akan menjadi icon PTF. Nah, habis itu kita cari grosir tanaman hias. Harus banyak survei nih Le, seka
Tiga hari berlalu sejak family time yang so sweet, aku sakit. Demam, batuk, pilek parah sampai tidak bisa bangun dari tempat tidur. Kata Dokter, aku terlalu lelah dan letih. Butuh beberapa hari untuk istirahat total. Dokter sempat menawarkan rawat inap di rumah sakit tetapi aku menolak, tentu saja. Bukankah istirahat di rumah jauh lebih menyenangkan? Ya, begitulah dan akhirnya Anak-anaklah yang dengan kompaknya merawat. Lova terlihat senang hati setiap mengambilkan minum atau menemani minum obat. Langit dan Laut, mendapat tugas membersihkan rumah plus mencuci pakaian. Sedangkan Bumi, mencuci piring dan menyiram tanaman setiap pagi, sebelum berangkat ke sekolah. Siapa yang memasak?Koki di rumah makan, hehehehe. Sorry, just kidding! Sebagai koordinator rumah tangga sementara, Langit memutuskan untuk membeli lauk dan sayur saja selama aku sakit. Kalau memasak sendiri, menurutnya terlalu ribet. Untuk nasi, dia yang memasak. Maka, nikmat dari Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"G
Aku berusaha mengikuti arahan Bu Bidan tetapi belum berhasil. Sabar, Bapak terus menyemangati dan mendoakan keselamatan kami."Nah, ayo ngeden lagi Mbak, ini kepalanya sudah kelihatan. Yuk, ngeden yang kuat. Terus, terus…!"Aku tidak terlalu ingat, bagaimana akhirnya. Hanya ketika kepala Laut sudah keluar, aku menjerit memanggil Mas Tyas. Mengejan lagi, mengikuti daya kontraksi lalu lahirlah dia, Laut Surgawi. Tidak dapat mendengar lagi kah hati Mas Tyas? Hanya Allah Yang Tahu."Sop iga, bakso rusuk, pecel lele, ikan bakar … Kita mau makan apa, Ma?" Hampir saja aku menyerempet sepeda motor karena terkejut demi mendengar pertanyaan Laut. Wah, semua ini gara-gara Mas Tyas yang tak berperasaan, jahat! "Kalian, mau makan apa?" lega tetapi sedikit geragapan aku membalikkan pertanyaan. "Mama ngikut saja, Le. Eh, tapi kayaknya enak ya, kalau makan sop iga? Sudah lama juga kan, Mama nggak masak …?"Laut mengiyakan lalu memberi tahu kalau rumah makan sop iga sapinya tinggal satu setengah kil
"Yuk, turun, anak-anak!" kataku sambil menepikan mobil di perempatan jalan kecil menuju makam Bapak. "Kita parkir di sini saja ya, takutnya Mama nggak bisa atret nanti?"Tanpa berkata-kata, anak-anak mengikuti ajakanku. Langit yang duduk si sebelahku, segera turun sambil menggendong Lova. "Bunganya sudah aku bawa turun, Ma!" lapor Bumi setengah berteriak. "Eh, Mas Laut, tolong bawa air mineralnya!'Kudengar, dengan penuh semangat Laut menyahut, "Siap, Bos!"Entah bagaimana, aku tertawa lirih. Menertawai diri sendiri, Mungkin? Why? Karena belum sempat membahagiakan Bapak semasa hidup. Bahkan, ketika Bapak meninggal dunia pun aku masih dalam keadaan susah. Bukan susah secara ekonomi, tetapi kritisnya hubungan dengan Mas Tyas. Kami sudah benar-benar tenggang, waktu itu, sudah pisah ranjang. Seperti itulah, keadaannya sampai-sampai Mamak dan Limas menghakimi. Bapak terkena serangan jantung karena stressed memikirkan aku. Padahal aku sama sekali tidak memberi tahu Bapak perihal rumah tan
Apakah ini yang disebut dengan penghalang kebahagiaan? Aku tidak tahu! Setelah menyadari apa yang telah terjadi, aku memilih untuk menyebutnya dengan challenge. Tantangan kemanusiaan. Bagaimana tidak? Kami sudah sampai di samping pintu mobil ketika tiba-tiba air ketuban Ajeng pecah. Byok …! Seperti itulah bunyinya, menciptakan panik. Anehnya, aku hanya bisa tertegun hingga beberapa detik lamanya saat cairan seperti putih telur itu membasahi punggung kaki Ajeng."Yung, aku nggak tahan lagi, Yung!" rintih Ajeng sambil merapatkan rahang. "Bayinya sudah mau lahir, Yung!""Ha, apa?" reflek, aku merespon dan tidak menyesal sedikit pun walau mungkin terkesan bodoh. "Jangan bercanda deh Jeng, sudah mau lahir gimana?"Terengah-engah, Ajeng berusaha memberikan penjelasan. "Serius, Yung. Hah, hah, haaahhh …!" Ajeng mencengkeram pintu mobil, mendobrak kesadaranku."Oke, oke!" kataku berusaha meredam panik. "Oke, tahan sebentar. Tahan sebentar ya, Jeng?" Gemetar, aku merogoh ke dalam saku gami
Sebenarnya apa salahku? Pada Mamak, Bapak dan Limas, maksudku sehingga mereka begitu membenciku. Karena menikah darurat dengan Mas Tyas? Karena gagal menjadi Sarjana? Karena akhirnya berpisah dengan Mas Tyas yang berarti kegagalan paling besar bagi mereka? Seharusnya mereka tahu tanpa disalahkan, dibenci dan dihakimi pun aku sudah remuk bubuk. Lumat oleh penyesalan dan perasaan bersalah yang begitu besar, tak tergambarkan. Jelas mereka tidak melihat itu, kan? Jelas, jelas! "Kalau aku jadi kamu ya Mbak, sesakit apa pun nggak akan pernah pisah. Ya ampun, itu kan nyakitin banget buat anak-anak, Mbak. Kasihan juga kan, status mereka jadi anak-anak broken home? Lagian, kenapa dulu kalian pacaran sampai ngawur gitu, coba? Sudah buat malu orangtua eh ujung-ujungnya pisah! Heran deh Mbak, sama kamu!" itu yang dikatakan Limas melalui saluran telepon yang super buruk saat tahu aku sudah berpisah dengan Mas Tyas. Seakan-akan dia yang bertanggung jawab atas hidupku selama ini saja! "Ya,
"Waduh, waduh yang punya rumah baru sampai cuek bebek sama keluarganya!" seloroh Mamak sambil mengulurkan tangan, menyalamiku. "Tapi kayaknya kami nggak bisa nginep, Yung. Adikmu lagi sibuk banget, banyak kerjaan. Besok malah Mamak nggak ada yang nganterin pulang."Aku merasa, otakku sudah berhenti berputar saat ini, sehingga hanya bisa diam tercenung. Oh, pasti aku terlihat sangat bodoh, sekarang. Bodoh dan lemah, tak punya harga diri. "Lah, kan, Mama bisa nganterin Mbah Mamak pulang?" pertanyaan sekaligus pernyataan Laut memulihkan separuh kekuatanku yang tadi hilang entah ke mana. Separuh lagi, berasal dari Bumi, Langit dan Lova yang tiba-tiba mengerubungi kami. Senyum tulus, sorot mata teduh mereka menyemai rasa tenteram dalam hati. "Sekalian jalan-jalan. Iya kan, Mama?"Reflek, aku mengangguk. Menyuguhkan senyum tulus. Biarlah Mamak atau siapa pun bersikap semau mereka tetapi aku tak boleh goyah. Maksudku, meskipun harus mengorbankan diri sendiri, jangan sampai balas menyakiti.
Mas Tyas juga datang? Wah, ini baru bencana! Sejujur-jujurnya kukatakan, tak ingin ada dia malam ini dan selanjutnya. Jangan ada Mas Tyas lagi, karena dia hanyalah selembar masa lalu. Masa lalu yang sangat menyakitkan! "Iya, Mas Bumi?"Bumi mengangguk. "Iya, Mama. Kayaknya, kalau aku nggak salah lihat, Ayah bawa buket bunga mawar putih, Ma." Ha, apa? Ck, Mas Tyas pasti sudah terjangkit skizofrenia. Tak bisa lagi membedakan antara khayalan dan kenyataan. Jelas-jelas kami sudah bukan siapa-siapa lagi, kan? "Mama mau temui Ayah?" pertanyaan polos sekaligus tulus dari Bumi mendobrak kesadaranku. "Mau apa nggak, Ma?"Terlambat. Semuanya sudah terlambat. Aku tak sempat lagi menghindar karena Mas Tyas sudah masuk ke ruang keluarga ini, bersama Ibu. Itu terlalu lancang bagiku tetapi sayang, tak bisa berbuat apa-apa lagi. Hanya bisa berdiri hampa."Selamat ya, Yung?" suara Mas Tyas terdengar gemetar. Entah karena efek dingin dari air conditioner atau karena efek lain salam dirinya. "Maaf,
"Ibu …!"Walau sudah berpisah dengan Mas Tyas, aku tak pernah berubah. Sama seperti dulu waktu masih menjadi anak menantu, menyambut dengan sopan lalu bersalaman. Tidak hanya mengecup punggung tangan, aku juga mencium kedua pipinya. "Alhamdulillah, Ayunng senang Ibu bisa datang." ungkapku jujur dan apa adanya ketika Ibu merengkuh tubuh ini ke dalam pelukannya. "Ibu sehat kan, Bu?""Sehat Yung, Alhamdulillah." lembut, Ibu melepaskanku dari pelukannya. "Ibu juga senang bisa datang ke sini. Selamat ya Yung, sudah punya rumah baru? Ibu doakan semoga diberkahi Allah semuanya.""Aamiin. Makasih banyak, Bu." Ibu menyimpulkan senyum tulus. Mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu yang sejak sore tadi sudah berubah menjadi taman bunga. Hehe. Anak-anak yang memilih tema dekornya. Beberapa ikat balon warni menghiasi sudut-sudut ruangan. Ada juga yang tergantung di langit-langit berplafon putih melati. Konsepnya memang sederhana tetapi terlihat manis dan hangat. Indah."Sama-sama, Ayung."