Ada apa dangan Langit?
Oh, pasti karena aku yang tak pandai membahagiakan hatinya. Tak pandai menjaga perasaan, mendidik dan membersamai selama ini. Iya, kan? Ah! Jangan-jangan karena aku dan Mas Tyas sering bertengkar? Oh, mungkin Langit bersedih hati dan merasa tertekan dengan semua itu? Tapi bagaimana lagi, Mas Tyas susah diajak bicara baik-baik. Itulah mengapa, kadang-kadang aku berteriak-teriak seperti di tengah hutan. Kalau tidak begitu, mana mau dia memasang telinga? "Ma, Ayah pulang! Sendiri dia, nggak sama Uti." bisik Bumi ditelinga kiriku dengan penuh semangat, "Adek ditaruk aja Ma, biar aku yang jaga. Kalau nggak, nanti Ayah pergi lagi. Kasihan Mas Langit. Masa, nggak balik-balik ke pondok?"Siiirrr dug, dug, duuuggg!Berarti benar apa yang kupikirkan tadi. Bumi yang baru sembilan tahun saja sudah terkena dampak dari keburukan sikap Mas Tyas, apalagi Langit? Wah, ini tidak bisa dibiarkan, mau tidak mau kami harua bicara empat mata secara dewasa sebagai orangtua. Titik. "Mas Bumi jaga Adek, ya?" kataku sambil menepuk-nepuk lembut pantat Lova, "Mama nemuin Ayah dulu. Oke?" Kulihat Bumi mengangguk sambil tersenyum, "Mama jangan nangis tapi, Ma. Nanti Ayah malah tambah nakal!"Dug!Sungguh, aku merasa detak jantungku berhenti berdetak saat mendengarkan kata-kata Bumi. Ini namanya gawat kuadrat. Apa Mas tyas tidak menyadari itu? Anak-anak sudah ill feel dengannya. Paranoid. Masa dia tidak tahu atau malah sengaja? Maksudku, bersikap seolah-olah benar dan melakukan yang seharusnya. Ckckckck, ini namanya pelanggaran hukum pernikahan. Aku juga, sih. Ya Allah, berarti anak-anak sering melihat aku menangis? Eh! Kok, aku tidak tahu?"Ya, Mas Bumi sayang." sahutku singkat setelah berhasil menidurkan Lova dengan tenang, "Mama ke depan dulu, ya?" Lagi, bumi mengangguk. Mengacungkan jempolnya dengan mantap, membuat semangatku terpompa maksimal. Pokoknya, pagi ini juga aku harus bicara dengan Mas Tyas. Bicara tentang banyak hal, terutama tentang anak-anak. Kalau dia tidak mau, aku akan paksa. Ini bukan lagi tentang hubungan asmara semata-mata tapi kehidupan berumah tangga. Sampai kapan kami begini? Mas Tyas tak bisa melepaskan diri dari Ibu dan aku hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Oh, ooohhh, menyakitkan!"Mas, gimana keadaan Ibu, Mas?" sebisa mungkin aku mengawali pembicaraan dengan baik, "Sudah enakan lambungnya?" Mas Tyas tersenyum tipis, "Ya, Alhamdulillah. Sehat, sudah enak tidurnya. Nggak mual-mual lagi … Napasnya juga sudah nggak sesak lagi!" Di sini, di seberang meja makan, aku ikut tersenyum, "Alhamdulillah kalau gitu, Mas. Jadi, nanti malam kamu sudah bisa tidur di rumah kan, Mas?" Mas Tyas terdiam. Matanya berkilat-kilat menatapku tapi aku tak peduli. Dulu, sebelum ada Lova, aku sudah menawarkan diri untuk merawat Ibu. Tapi Mas Tyas menolak dengan alasan kasihan anak-anak, tidak ada yang menjaga di rumah. Nanti malah kurang perhatian, mereka. Padahal aku sudah memberikan gambaran paruh waktu. Pagi, setelah anak-anak berangkat ke sekolah, aku berangkat ke rumah Ibu. Sore, sebelum anak-anak pulang sekolah, aku sudah di rumah lagi. Nah, malam harinya baru menyelesaikan pekerjaan rumah. Lagipula anak-anak kan, full day school semua. Biar semua enak lah, maksudku. Tapi ya itu, dia tidak setuju. Sekarang, giliran sudah ada Lova, dia super sibuk dan sensitid gara-gara Ibu tidak ada yang merawat. Halooo, di mana letak kesalahanku sebagai anak menantu? Tidak ada, kan? Karena bahkan, beberapa waktu yang lalu aku juga sudah mengusulkan dua jalan. Pertama, Ibu dirawat di sini. Ke dua, kami yang merawat Ibu di sana. Ya, aku tidak mungkin menjalankan gambaran paruh waktu yang dulu lagi sekarang. Kasihan Lova kalau diajak wira-wiri setiap hari. Iya, kan? "Anak-anak kangen banget tuh sama kamu!" kataku menggeser tema, "Mereka kan juga butuh perhatian kamu, Mas. Bukan hanya nasi bungkus."Sumpah, rasanya sesak dan sakit setiap melihat Mas Tyas pulang dengan menenteng kantong plastik hitam yang berisi nasi bungkus dari rumah Ibu. Kenapa harus dibungkus, sih? Kenapa harus dari rumah Ibu? Apa Mas Tyas memasak di sana? Tidak mungkin, kan? Kemungkinan yang paling mungkin adalah Ibu memasak untuk kami dan dengan alasan kepraktisan, mereka membuat konsep nasi bungkus. Duh, Ya Allah … Apa kami hanya boleh makan satu kali saja dalam dua puluh empat jam? Uang dua puluh ribu---jatah harian pun---harus cukup untuk sehari. Dengan tiga orang anak, lho. Malah, Ibu pernah menyindirku seperti ini dulu, "Nyelengi lah, dua ribu … Seribu juga kalau satu ember penuh kan, jadinya banyak?" Maksudnya?Dua puluh ribu dikurangi dua ribu untuk celengan, tinggal sisa delapan belas ribu, dong?
"Nyinyir!" sergah Mas Tyas sambil menaikkan retsleting jaketnya, "Makanya males aku di rumah!""Nyinyir, Mas?" dengan perasaan meradang aku bertanya, "Kapan aku nyinyir sama kamu Mas?""Halah, cerewet!" Mas Tyas berdiri, memakai helm dan berjalan ke garasi. Mungkin sudah mau berangkat lagi. "Ya, kalau Mas baik, tanggung jawab … Aku nggak akan banyak ngomong, Mas. Kenapa sih Mas, selalu aku yang salah di mata kamu?" dengan segenap perasaan terluka yang selama ini kupendam, aku menarik punggung jaketnya, "Enak ya Mas kamu, bisa bersembunyi ke sana ke mari … Lari dari semua masalah. Kamu boleh saja dari semua orang yang kamu ada masalah sama mereka tapi jelas aku nggak akan pernah membiarkan kamu lari dari anak-anak. Ya Allah, Mas … Mereka itu tanggung jawab Mas!" Mas Tyas melepaskan jaket dan berjalan cepat ke luar rumah, aku mengikutinya. Mungkin dia pikir, aku akan tetap tinggal di dalam rumah karena takut Lova rewel? Jadi, dia langsung naik ke atas sepeda motor bututnya, menyalakan mesin. Mungkin dia mau nekat berangkat bekerja tanpa jaket? Ah, jelas dia lupa, jaket kan atribut kerjanya! Mana bisa bekerja tanpa mengenakan jaket? Ugh! Boleh tidak sih, memaki suami? Rasanya kok, geregetan sekali ya, melihat sikapnya yang seperti ini. Dasar, egois! "Mau ke mana, Mas?""Kerja, lah!"
"Kerja apa main game di rumah Ibu, Mas? Jangan kamu pikir aku nggak tahu ya, Mas?"
"Kenapa sih Yung, kau cerewet banget? Pusing aku!"
"Oh, kamu bisa pusing juga, Mas? Kupikir cuma aku saja yang pusing mikirin sekolah anak-anak, kebutuhan sehari-hari … Kalau nggak mau aku begini, tanggung jawab lah, Mas! Tuh, Langit masih patah hati gara-gara kamu. Sudah seminggu lho, nggak sekolah. Masa kamu mau diam saja, Mas?"
Plaaakkk!Lagi-lagi, tamparan super duper keras itu melayang di pipiku sampai sudut bibirku berdarah. Pedih, langsung bengkak rasanya. Tak berselang lama, Laut berderap menuruni tangga dan langsung emosional begitu menyadari apa yang telah diperbuat oleh ayahnya. Sementara aku, hanya bisa menahan sakit dan berjalan gontai ke dapur. Harus segera mencuci wajah, jangan sampai Langit dan Bumi melihat ini. Cukup Laut saja, walaupun itu juga menyedihkan. 'Maafkan Mama, Nak!'Rasanya benar-benar sesak ketika tahu Mas Tyas habis-habisan memarahi Laut hanya gara-gara mengajukan protes atas tamparannya padaku. Halooo, di mana letak kesalahannya? Dia sudah besar, sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak. Sudah bisa merasakan, mana yang lembut dan mana yang kasar. Aku yakin, Laut juga sudah membedakan, siapa yang benar dan siapa yang salah. Seharusnya Mas Tyas tidak semarah itu bukan, walaupun mungkin tersinggung setengah mati, misalnya. Bisa kan, mengingatkan dengan cara yang baik?"Mas, sudah, Mas!" kataku sambil menarik tangan Laut supaya menjauh dari Mas Tyas, "Malu sama tetangga, Mas!" kataku lagi, berusaha untuk menyetel suara agar tak terdengar membahana ke seluruh penjuru kampung. Sadar, kalau ini kampung padat penduduk. Jangankan bertengkar, buang angin saja tetangga bisa dengar."Didik anakmu, ngelawan aja kerjanya ama orangtua!" cakap Mas Tyas Kasar, "Masih ingusan aja udah berani ngelawan
Empat puluh juta, bayangkanlah!Tak habis pikir, untuk apa coba uang sebanyak itu? Empat tahun yang lalu, bukannya dia baru setahun di rumah setelah magang di Jepang selama tiga tahun? Uang hasil magangnya saja masih utuh tersimpan di bank. Katanya dua ratus lima puluh juta dan sengaja tidak diambil karena sudah dijadikan dana khusus untuk membangun rumah. Aku saja sampai tak berani meminta, sungguh. Jangankan meminta, untuk sekadar menanyakan saja pun tak punya nyali.Apalagi Ibu sudah memberikan warning, "Uang Tyas yang dari Jepang jangan dipakai. Mau untuk bangun rumah. Itu, tanah belakang rumah sudah dibayar Tyas, mau untuk bangun kolam ikan. Mau buat pembibitan lele dia, Yung. Delapan puluh lima juta, jatuhnya. Ibu yang nawar langsung ke yang punya."Aku yang baru selesai menidurkan Bumi, sempat oleng juga waktu itu. Tidak menyangka sama sekali kalau Mas Tyas dan Ibu bergerak di belakang layar. Artinya tidak melibatkanku sama sekali sebagaimana
Pro: Mas TyasMas Tyas, ini aku Ratna.Kamu kok ngilang gitu aja to, Mas?Aku kan kangen, Masa kamu nggak tahu?Jangan gitu Mas sama aku!Inget, uang tujuh puluh lima juta itu nggak sedikit lho!Nanti kalau aku minta balik gimana?Kamu kan udah nggak punya usaha lagi sekarang?Kerja juga cuma ngojek!Udah lah Mas, nggak usah sok idealis segala macem!Balik sini sama aku. Nanti kubantu. Nggak kuhitung hutang, asal kamu mau jalan sama aku.Ini nomer hp ku: 082 … 890Kutunggu di istana cinta kita!(Ratna)Sungguh, rasanya dadaku seperti kejatuhan bom. Jadi, selama ini Mas Tyas selingkuh? Ratna … Ratna siapa, ya? Seingatku selama ini Mas Tyas tidak punya teman yang bernama Ratna. Iya, kan? Aku juga tidak punya. Siapa dia? Kok, sepertinya mereka sudah lama berhubungan. Sudah terlalu dalam. Bayangkan, Ratna sampai memberikan uang tujuh puluh lima juta pada Mas Tyas!Tapi kalau dari kat
Tak acuh, tak merasa bersalah.Dalam keadaan seperti itulah Mas Tyas pulang keesokan harinya. Itu pun setelah Bumi menelepon, merengek-rengek menagih lem tembak yang sudah dijanjikannya sejak dua minggu yang lalu. Bukan berarti aku tidak punya uang kalau pun harus membeli lem tembak, tak semahal harga laptop, bukan? Tapi itu kan tugas Mas Tyas, dia yang menyanggupi. Lagi pula, kenapa setiap dia mengingkari janji, aku yang harus menggantikannya? Halooo, aku bukan ban serep!Tapi, sekali lagi kukatakan, tapi aku berusaha untuk tetap bersikap baik padanya. Karena banyak hal yang harus kami bicarakan, tentu saja. Aku tak mau dia langsung pergi lagi begitu saja karena belum-belum sudah emosional. Ini bukan masalah internal lagi tapi sudah masalah eksternal, bukan? Buktinya, sudah banyak orang luar yang mencarinya ke rumah. Iya, kan? Walaupun benar-benar tidak menyangka tapi itulah kenyataan yang ada. Tak mungkin menghindar, bukan?"Semalem nggak pul
Mulut perempuan. Entah mengapa kata-kata itu mengiang-ngiang di telingaku yang menghangat, nyaris panas. Berani-beraninya Mas Tyas men-judge seluruh wanita yang menghuni planet bumi seperti itu? Apa dia lupa, bukan hanya aku yang berjenis kelamin perempuan? Lagi pula berapa perempuan sih, yang dia miliki dalam hidup ini, sampai-sampai bisa menciptakan label seburuk itu? Mulut perempuan. Selain aku, siapa lagi sih, memangnya?Apa iya, karakter berbicaraku sama dengan Ibu? Tidak mungkin kan, karena kami pribadi yang berbeda? Kami juga tak ada hubungan darah. Kami bisa menjadi keluarga karena aku menikah dengan Mas Tyas. Iya, kan? Jelas, aku bukan Ibu yang kalau bicara ketus, sembarangan dan angkuh! Masa sih, dia tak bisa membedakannya? Ugh, Mas Tyas! Jadi, dia maunya aku bersikap seperti apa dengan semua tingkah laku jahatnya itu? Bermanis-manis, begitu? Cuih, sorry!"Ya, Jeng?" aku mengangkat telepon Ajeng dengan perasaan yang belum bisa dikatakan rapi
Taxi sudah berjalan, melaju dengan kecepatan sedang di Jalan Tentara Palagan menuju Pringgokusuman. Laut yang duduk di depan, terlihat menikmati perjalanan. Melihat ke segala arah, menikmati pemandangan di luar sana, mungkin. Bumi yang tubuhnya sensitif dengan aroma bahan bakar dan parfum mobil, terlihat gelisah di sampingku. Sejak masih bayi dulu, Bumi memang seperti itu. Setiap diajak bepergian dengan mobil atau bus pasti mabuk. Kalau tidak muntah-muntah ya lemas dan berkeringat dingin. Nah, sore ini sepertinya tidak terlalu berat tapi aku tetap berusaha untuk membantunya. Memberikan permen mint, mengajaknya mengobrol ke sana ke mari tentang hobinya, crafting.Aku tahu, perkara mabuk ini bukan hanya karena faktor fisik tapi juga psikis. Sebenarnya---menurut pendapat Sari---setiap anak mabuk, butuh pengalihan perhatian atau konsentrasi. Jadi, mengobrolkan hobi atau hal-hal yang menyenangkan lainnya, akan membuat perhatiannya teralih dengan sukses. Oleh karenanya,
"Bu, sebenarnya Ayung ada perlu sama Ibu." ungkapku tersendat-sendat karena mati-matian berusaha untuk menghentikan tangisan, "Mas Tyas Bu … Dia punya banyak masalah, Bu."Ibu menepuk-nepuk pundakku penuh sayang, "Lha, masalah apa, Yung? Kalian kenapa … Tyas kenapa?"Lova merangkak dan duduk di pangkuanku tapi Laut segera menggendongnya, mengajak bermain. Demi memanfaatkan waktu dan kesempatan, aku mengambil surat perjanjian hutang Mas Tyas dan surat dari Ratna. Mengangsurkannya pada Ibu dengan air mata yang kian tak terbendung lagi. Rasa sakit di hati ini kian bertambah-tambah, tak terhingga. Sampai hati Mas Tyas melakukan itu padaku. Jahat."Apa ini, Yung?""Itu, Bu … Ternyata Mas Tyas punya banyak hutang, Bu."Sebenarnya hubungan aku dan Ibu baik-baik saja, cukup dekat menurutku. Tapi karena karakternya yang ketus dan kadang-kadang dingin, aku yang menjaga jarak dengan penuh kesadaran. Artinya, tidak jauh tap
Sudah sepi, anak-anak sudah tidur semua termasuk Lova yang biasanya kalau tidur siangnya lebih dari cukup, mulai tidur setelah larut malam. Entah bagaimana, tiba-tiba bayang-bayang Ratna melintasi benak yang penuh sesak oleh Mas Tyas. Kata-kata dalam suratnya kemarin, maksudku. Terlihat nyata di pelupuk mata, seolah-olah dia yang berbicara langsung, menggema di telinga. Oh, semua ini kesalahan Mas Tyas. Sampai hati sekali dia, melakukan semua ini padaku. Berbohong, berkhianat. Untuk apa? Untuk tetap terlihat powerfull di mataku? Ckckckck, lebih mengherankan sekaligus memprihatinkan lagi, dia juga tega berbohong pada Ibu.Apa, Ibu salah apa?Memang benar, kadang-kadang Ibu terlihat dingin dan sinis tapi itu kan, karena kesalahan kami juga? Kesalahannya, sebenarnya. Kenapa nekat ikut aku pulang dulu? Kalau tidak, tak mungkin kami menikah dalam waktu yang secepat itu. Dinikahkan secara paksa, untuk lebih tepatnya. Tak mungkin putus kuliah. Ya, wala
"Pakai nama Mama saja, Ma?" Langit mengusulkan setelah Laut dan Bumi sibuk mencari nama untuk usaha tanaman hias yang akan kami rintis. "Payung Teduh Flowers. Cantik kan, Mama?" Sejenak, Laut dan Bumi saling memandang lalu tos dengan penuh semangat perjuangan. "Setuju berat, Mas Langit. Cantik banget namanya, Payung Teduh Flowers!" Laut memandangku dengan senyum tipis tetapi manis yang khas. Tak mau kalah, Bumi juga mengapresiasi nama yang diusulkan Langit tadi. "Cantik dan viral pasti. Karena kan unik banget namanya."Payung Teduh Flowers. Payung Teduh Flowers. Payung Teduh Flowers. Memang cantik, ya? Unik. Semoga juga bisa menjadi magnet berkahnya rezeki. "Oke, Mama juga setuju." lembut tapi tegas aku memungkas acara diskusi kami. "Kalau gitu, Mas Langit sama Mas Laut harus segera cetak banner, ya? Nanti kita buat dulu konsepnya. Mas Bumi bantu Mama memilih bunga apa saja yang akan menjadi icon PTF. Nah, habis itu kita cari grosir tanaman hias. Harus banyak survei nih Le, seka
Tiga hari berlalu sejak family time yang so sweet, aku sakit. Demam, batuk, pilek parah sampai tidak bisa bangun dari tempat tidur. Kata Dokter, aku terlalu lelah dan letih. Butuh beberapa hari untuk istirahat total. Dokter sempat menawarkan rawat inap di rumah sakit tetapi aku menolak, tentu saja. Bukankah istirahat di rumah jauh lebih menyenangkan? Ya, begitulah dan akhirnya Anak-anaklah yang dengan kompaknya merawat. Lova terlihat senang hati setiap mengambilkan minum atau menemani minum obat. Langit dan Laut, mendapat tugas membersihkan rumah plus mencuci pakaian. Sedangkan Bumi, mencuci piring dan menyiram tanaman setiap pagi, sebelum berangkat ke sekolah. Siapa yang memasak?Koki di rumah makan, hehehehe. Sorry, just kidding! Sebagai koordinator rumah tangga sementara, Langit memutuskan untuk membeli lauk dan sayur saja selama aku sakit. Kalau memasak sendiri, menurutnya terlalu ribet. Untuk nasi, dia yang memasak. Maka, nikmat dari Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"G
Aku berusaha mengikuti arahan Bu Bidan tetapi belum berhasil. Sabar, Bapak terus menyemangati dan mendoakan keselamatan kami."Nah, ayo ngeden lagi Mbak, ini kepalanya sudah kelihatan. Yuk, ngeden yang kuat. Terus, terus…!"Aku tidak terlalu ingat, bagaimana akhirnya. Hanya ketika kepala Laut sudah keluar, aku menjerit memanggil Mas Tyas. Mengejan lagi, mengikuti daya kontraksi lalu lahirlah dia, Laut Surgawi. Tidak dapat mendengar lagi kah hati Mas Tyas? Hanya Allah Yang Tahu."Sop iga, bakso rusuk, pecel lele, ikan bakar … Kita mau makan apa, Ma?" Hampir saja aku menyerempet sepeda motor karena terkejut demi mendengar pertanyaan Laut. Wah, semua ini gara-gara Mas Tyas yang tak berperasaan, jahat! "Kalian, mau makan apa?" lega tetapi sedikit geragapan aku membalikkan pertanyaan. "Mama ngikut saja, Le. Eh, tapi kayaknya enak ya, kalau makan sop iga? Sudah lama juga kan, Mama nggak masak …?"Laut mengiyakan lalu memberi tahu kalau rumah makan sop iga sapinya tinggal satu setengah kil
"Yuk, turun, anak-anak!" kataku sambil menepikan mobil di perempatan jalan kecil menuju makam Bapak. "Kita parkir di sini saja ya, takutnya Mama nggak bisa atret nanti?"Tanpa berkata-kata, anak-anak mengikuti ajakanku. Langit yang duduk si sebelahku, segera turun sambil menggendong Lova. "Bunganya sudah aku bawa turun, Ma!" lapor Bumi setengah berteriak. "Eh, Mas Laut, tolong bawa air mineralnya!'Kudengar, dengan penuh semangat Laut menyahut, "Siap, Bos!"Entah bagaimana, aku tertawa lirih. Menertawai diri sendiri, Mungkin? Why? Karena belum sempat membahagiakan Bapak semasa hidup. Bahkan, ketika Bapak meninggal dunia pun aku masih dalam keadaan susah. Bukan susah secara ekonomi, tetapi kritisnya hubungan dengan Mas Tyas. Kami sudah benar-benar tenggang, waktu itu, sudah pisah ranjang. Seperti itulah, keadaannya sampai-sampai Mamak dan Limas menghakimi. Bapak terkena serangan jantung karena stressed memikirkan aku. Padahal aku sama sekali tidak memberi tahu Bapak perihal rumah tan
Apakah ini yang disebut dengan penghalang kebahagiaan? Aku tidak tahu! Setelah menyadari apa yang telah terjadi, aku memilih untuk menyebutnya dengan challenge. Tantangan kemanusiaan. Bagaimana tidak? Kami sudah sampai di samping pintu mobil ketika tiba-tiba air ketuban Ajeng pecah. Byok …! Seperti itulah bunyinya, menciptakan panik. Anehnya, aku hanya bisa tertegun hingga beberapa detik lamanya saat cairan seperti putih telur itu membasahi punggung kaki Ajeng."Yung, aku nggak tahan lagi, Yung!" rintih Ajeng sambil merapatkan rahang. "Bayinya sudah mau lahir, Yung!""Ha, apa?" reflek, aku merespon dan tidak menyesal sedikit pun walau mungkin terkesan bodoh. "Jangan bercanda deh Jeng, sudah mau lahir gimana?"Terengah-engah, Ajeng berusaha memberikan penjelasan. "Serius, Yung. Hah, hah, haaahhh …!" Ajeng mencengkeram pintu mobil, mendobrak kesadaranku."Oke, oke!" kataku berusaha meredam panik. "Oke, tahan sebentar. Tahan sebentar ya, Jeng?" Gemetar, aku merogoh ke dalam saku gami
Sebenarnya apa salahku? Pada Mamak, Bapak dan Limas, maksudku sehingga mereka begitu membenciku. Karena menikah darurat dengan Mas Tyas? Karena gagal menjadi Sarjana? Karena akhirnya berpisah dengan Mas Tyas yang berarti kegagalan paling besar bagi mereka? Seharusnya mereka tahu tanpa disalahkan, dibenci dan dihakimi pun aku sudah remuk bubuk. Lumat oleh penyesalan dan perasaan bersalah yang begitu besar, tak tergambarkan. Jelas mereka tidak melihat itu, kan? Jelas, jelas! "Kalau aku jadi kamu ya Mbak, sesakit apa pun nggak akan pernah pisah. Ya ampun, itu kan nyakitin banget buat anak-anak, Mbak. Kasihan juga kan, status mereka jadi anak-anak broken home? Lagian, kenapa dulu kalian pacaran sampai ngawur gitu, coba? Sudah buat malu orangtua eh ujung-ujungnya pisah! Heran deh Mbak, sama kamu!" itu yang dikatakan Limas melalui saluran telepon yang super buruk saat tahu aku sudah berpisah dengan Mas Tyas. Seakan-akan dia yang bertanggung jawab atas hidupku selama ini saja! "Ya,
"Waduh, waduh yang punya rumah baru sampai cuek bebek sama keluarganya!" seloroh Mamak sambil mengulurkan tangan, menyalamiku. "Tapi kayaknya kami nggak bisa nginep, Yung. Adikmu lagi sibuk banget, banyak kerjaan. Besok malah Mamak nggak ada yang nganterin pulang."Aku merasa, otakku sudah berhenti berputar saat ini, sehingga hanya bisa diam tercenung. Oh, pasti aku terlihat sangat bodoh, sekarang. Bodoh dan lemah, tak punya harga diri. "Lah, kan, Mama bisa nganterin Mbah Mamak pulang?" pertanyaan sekaligus pernyataan Laut memulihkan separuh kekuatanku yang tadi hilang entah ke mana. Separuh lagi, berasal dari Bumi, Langit dan Lova yang tiba-tiba mengerubungi kami. Senyum tulus, sorot mata teduh mereka menyemai rasa tenteram dalam hati. "Sekalian jalan-jalan. Iya kan, Mama?"Reflek, aku mengangguk. Menyuguhkan senyum tulus. Biarlah Mamak atau siapa pun bersikap semau mereka tetapi aku tak boleh goyah. Maksudku, meskipun harus mengorbankan diri sendiri, jangan sampai balas menyakiti.
Mas Tyas juga datang? Wah, ini baru bencana! Sejujur-jujurnya kukatakan, tak ingin ada dia malam ini dan selanjutnya. Jangan ada Mas Tyas lagi, karena dia hanyalah selembar masa lalu. Masa lalu yang sangat menyakitkan! "Iya, Mas Bumi?"Bumi mengangguk. "Iya, Mama. Kayaknya, kalau aku nggak salah lihat, Ayah bawa buket bunga mawar putih, Ma." Ha, apa? Ck, Mas Tyas pasti sudah terjangkit skizofrenia. Tak bisa lagi membedakan antara khayalan dan kenyataan. Jelas-jelas kami sudah bukan siapa-siapa lagi, kan? "Mama mau temui Ayah?" pertanyaan polos sekaligus tulus dari Bumi mendobrak kesadaranku. "Mau apa nggak, Ma?"Terlambat. Semuanya sudah terlambat. Aku tak sempat lagi menghindar karena Mas Tyas sudah masuk ke ruang keluarga ini, bersama Ibu. Itu terlalu lancang bagiku tetapi sayang, tak bisa berbuat apa-apa lagi. Hanya bisa berdiri hampa."Selamat ya, Yung?" suara Mas Tyas terdengar gemetar. Entah karena efek dingin dari air conditioner atau karena efek lain salam dirinya. "Maaf,
"Ibu …!"Walau sudah berpisah dengan Mas Tyas, aku tak pernah berubah. Sama seperti dulu waktu masih menjadi anak menantu, menyambut dengan sopan lalu bersalaman. Tidak hanya mengecup punggung tangan, aku juga mencium kedua pipinya. "Alhamdulillah, Ayunng senang Ibu bisa datang." ungkapku jujur dan apa adanya ketika Ibu merengkuh tubuh ini ke dalam pelukannya. "Ibu sehat kan, Bu?""Sehat Yung, Alhamdulillah." lembut, Ibu melepaskanku dari pelukannya. "Ibu juga senang bisa datang ke sini. Selamat ya Yung, sudah punya rumah baru? Ibu doakan semoga diberkahi Allah semuanya.""Aamiin. Makasih banyak, Bu." Ibu menyimpulkan senyum tulus. Mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu yang sejak sore tadi sudah berubah menjadi taman bunga. Hehe. Anak-anak yang memilih tema dekornya. Beberapa ikat balon warni menghiasi sudut-sudut ruangan. Ada juga yang tergantung di langit-langit berplafon putih melati. Konsepnya memang sederhana tetapi terlihat manis dan hangat. Indah."Sama-sama, Ayung."