Tidak, itu tidak mungkin terjadi!
Bagaimana bisa, Mas Tyas lebih memilih tinggal serumah dengan Ibu padahal ada kami, isteri dan anak-anaknya? Lalu, untuk apa dia membangun rumah yang sebesar ini dulu, jika pada akhirnya hanya menjadi tempat untuk transit? Pulang sebentar mengantarkan jatah makan atau kebutuhan kami yang lainnya lalu pergi lagi. Tanpa mau berbicara barang sepatah kata pun denganku. Membisu, membeku. "Ibu sudah tua, Yung!" Mas Tyas mengulangi kata-katanya tadi, "Siapa lagi yang akan merawat Ibu kalau bukan aku? Aku yang paling dekat. Kamu tahu kan, adik-adikku semua tinggal di luar Jawa? Kebangetan, kalau kamu tetep nggak bisa nerima aku tinggal di rumah Ibu. Nggak punya perasaan!" Ya, aku tahu, Ibu sudah tua dan mulai sering sakit-sakitan. Aku juga tahu kalau Dik Sri tinggal di Palembang dan Dik Bekti tinggal di Bali tapi kami? Bagaimana dengan kami? Kalau memang Mas Tyas tidak egois, bisa kan dia mengajak Ibu untuk tinggal bersama di sini? Atau sebaliknya, mengajak aku dan anak-anak pindah ke rumah Ibu. Kalau begitu kan, kami jadi bisa menjaga dan merawat Ibu bersama-sama. Toh, sekolah anak-anak juga tidak terlalu jauh dari Malioboro. Walaupun akan menjadi dua kali lipat jaraknya jika dibandingkan dari Jalan Palagan."Lho, kok jadi aku yang kebangetan dan nggak punya perasaan, Mas?""Lah itu, kamu nggak bisa terima aku jagain Ibu, ngerawatin …?"
"Bukan gitu lho Mas, maksudku. Aku kan nggak pernah nggak setuju apalagi sampai melarang kamu menjaga atau merawat Ibu, Mas. Aku hanya nggak bisa nerima cara kamu yang sama sekali nggak konfirmasi ke aku. Tahu-tahu berangkat ngojek, tahu-tahu nggak pulang. Pulang sebentar tengah malam, terus balik lagi ke rumah Ibu, tidur di sana. Padahal kan, kamu bisa tidur di rumah kan, Mas? Itu maksudnya apa ya, Mas? Bisa tolong jelaskan?"
Mas Tyas diam. Tidak memandangku tapi juga tidak membuang muka. Tatapannya lurus ke depan, ke arah tangga ke lantai dua. Entah, apa yang ada dalam benaknya. Sampai aku menggendong Lova ke kamar, dia masih menatap ke arah tangga. Menyebalkan, cukup mengundang kemarahan. "Sampai kapan kita begini, Mas?" pelan-pelan aku bertanya, setelah menidurkan Lova di tempat tidur, kasihan juga dia kalau terus kupangku dalam situasi yang memanas antara aku dan Mas Tyas, "Kenapa kamu tega sama kami, Mas? Sama anak-anak terutama. Ingat Mas, mereka masih membutuhkan kasih sayang kamu! Mereka nggak hanya butuh makan tapi juga perhatian kita, Mas. Terutama Langit, sebentar lagi dia naik ke kelas sembilan. Butuh banyak perhatian dan kasih sayang untuk menyiapkan mentalnya mengikuti ujian akhir." Gusar, Mas Tyas meraih jaketnya yang tadi diletakkan begitu saja di meja ruang tamu, "Udah, nggak usah dibahas sekarang. Aku mau berangkat. Nanti nggak dapet duit, ngamuk lagi?"Ngamuk?Aku, ngamuk gara-gara Mas Tyas nggak dapat uang? Sejak kapan aku bisa mengamuk?
"Lho, kamu kok, ngomongnya gitu sih Mas?" sergahku sambil menghentikan langkahnya yang terlihat gontai, "Sejak kapan coba, aku marah sama kamu gara-gara duit, ha?""Cerewet … Bikin nggak betah di rumah!" umpat Mas Tyas sambil terus berjalan menuju pintu, "Asal ngomong aja, kayak orang gila!" Dug! Seketika detak jantungku terasa berhenti, mendengar kata-kata umpatan Mas Tyas. Tapi meskipun begitu, dengan cepat tanganku menarik lengan kanannya yang sudah hampir menyentuh gagang pintu. Sekuat mungkin aku menariknya ke belakang. Untung tidak terjatuh dan masih bisa melanjutkan pembicaraan ini. Benar-benar moment langka. Jarang sekali berbicara berdua, sekalinya bicara malah langsung baku hantam. Mantap! "Kamu yang gila, Mas!" umpatku setengah menjerit, "Gila kamu, menelantarkan anak istrimu sendiri hanya demi menuruti ego!" lanjutku masih sambil memegangi lengan kanannya yang bergeming, "Aku minta kamu pikirkan dengan lebih baik lagi, Mas. Jangan sampai menyesal di belakang. Aku nggak apa-apa kalau kamu mau pulang ke rumah Ibu tapi tolong pikirkan anak-anak. Mereka juga butuh kasih sayang kamu, Mas!"Plaaakkk …! Itulah jawaban yang kudapatkan dari Mas Tyas. Sebuah tamparan yang sangat keras di pipi kiriku. Apa salahku? Salahkah, jika seorang ibu membela hak anak-anaknya?***Dulu, Mas Tyas orang yang sangat baik. Lembut dan penyabar. Tidak banyak bicara tapi penuh perhatian. Pokoknya tidak pernah berbicara kasar apalagi sampai ringan tangan. Ngemong lah, bukan malah memain-mainkan perasaan seperti yang terjadi belakangan ini. Ambil contoh, aku mau menjenguk Bapak di Wonosari, ya dia langsung mengusahakan. Bagaimana caranya supaya kami bisa ke sana, meskipun harus bersabar menunggu, berhari-hari atau berminggu-minggu. "Sabar ya Yung, aku cari sangu dulu kalau kamu kangen pingin jenguk Bapak?""Iya, Mas. Aku juga ngerti, kok. Kamu kan, harus nabung dulu, Mas?"
"Iya, Yung. Makasih ya, udah mau ngertiin aku?"
Ya, tentu saja aku maklum, mencari uang juga bukan perkara yang enteng. Tak seenteng mengangkat kantong plastik kosong. Jadi, pasti bersabar menunggu sampai Mas Tyas bisa mengantarkan kami ke Wonosari. Terpenting, Bapak bahagia karena anak perempuannya ini bisa sering-sering menjenguknya. Lagi pula, orangtua juga tinggal Bapak satu-satunya. Kapan lagi kan, bisa membuatnya tersenyum gembira? Contoh lain, aku ingin mengajak anak-anak jalan-jalan di pantai waktu weekend. Mas Tyas tidak marah atau keberatan, sama sekali. Justeru, bekerja lebih keras lagi, supaya keinginanku terpenuhi. Memperbanyak dagangan dan lebih awal berangkat jualan tempura dan kawan-kawannya di Alun-alun Kidul.Tapi sekarang?Jangankan memperjuangkan keinginanku yang notabene family time, diajak berbicara pun sudah tak bisa menanggapi dengan baik. Adanya hanya satu hal saja, tidak setuju dan akhirnya marah tidak jelas. Kalau tidak, dia akan segera tancap gas ke rumah Ibu. Tak peduli susahnya kami di rumah, tetap saja begitu. Kami kelaparan, kekurangan, ada yang sakit … Tidak memperhatikan sama sekali. Tak jarang, malah memarahi kami. Menyalahkan aku. Seolah-olah semua keadaan dan kesulitan itu terjadi semata-mata karena kesalahanku. Apa, suami seperti apa itu namanya? "Harusnya kamu diskusi dulu sama aku Yung, sebelum kamu bawa Lova ke sini!" Selalu itu yang diucapkan Mas Tyas setiap kali marah, frustrasi atau sejenisnya dengan keadaan hidup kami yang sedang terpuruk, "Sekarang, begini kan, jadinya? Dua juta cuma untuk Lova saja, Yung. Itu saja kadang-kadang kurang. Makanya, susunya jangan boros-boros!" Padahal, kalau dirunut ulang aku sudah konfirmasi lho, waktu keluarga Lova datang ke rumah untuk menawarkannya siapa tahu kami mau mengadopsi. Kasihan, ibunya hamil di luar nikah tapi tak ada yang mau bertanggung jawab. Ya, terus terang aku langsung jingkrak-jingkrak. Toh, setiap anak terlahir dalam keadaan suci, kan? Mas Tyas juga sih sebenarnya, sungguh. Sampai kiamat pun aku tidak akan lupa, bagaimana raut wajah plus gesture Mas Tyas waktu tahu kalau akhirnya akan ada bayi perempuan di rumah. "Gimana, Mas?""Ya udah … Kita ambil aja, Yung. Kapan lagi, mumpung perempuan, kan?"
"Yes! Iya, Mas. Makasih banyak ya, Mas?"
"Iya, sama-sama, Yung. Akhirnya, setelah sembilan tahun … Kok bisa pas gini ya Yung, aku juga tadi pagi kepikiran sama janjiku yang dulu, sebelum kamu melahirkan Laut."
Masa Mas Tyas lupa, sih? Lova kan, baru berumur enam bulan? Itu pun masih kurang satu minggu lagi. Hemmmhhh! Eh, apa Mas Tyas juga lupa ya, kalau kami sempat berpelukan setelah sepakat untuk mengadopsi Lova? Di depan semua keluarganya, malah. Bukannya permisi ke belakang dulu atau bagaimana. Bukankah itu menandakan kalau dia juga bahagia dengan kehadiran Lova? Tapi ya begitu, setiap ada masalah sedikit saja, dia pasti marah-marah. Pasti mengungkit bagaimana aku langsung jatuh cinta pada pandangan pertama begitu melihat wajah cantik Lova. Bukan hanya cantik tapi lembut, imut-imut, wangi, kulitnya seputih susu … Siapa yang tidak jatuh hati kalau seperti itu? Kalau aku sih, sama sekali tidak menampik. Aku yakin, Mas Tyas juga. Buktinya, dari sejak kami sampai di klinik bersalin untuk menjemput Lova, dia terlihat lengket, tuh? Tidak sedikit pun menjauh dari box bayi, terus menerus memandang ke arah Lova. Tok, tok, tok! "Assalamu'alaikum Yung, Payung?" suara Ajeng membuatku terkesiap, "Dek, Dek Lova. Ini, Mbak Cindy mau main!" Klik, klik … Kriiit! "W*'alaikumussalam … Ehhh, Mbak Cindy. Masuk dulu, Mbak. Itu Dek Lova masih bobok.""Sehat, Yung?"
"Alhamdulillah. Kalian, Jeng?"
"Sehat juga, cuma mumet mikirin bapak Cindy!"
Kami sama-sama tertawa kecil lalu sama-sama masuk ke ruang tamu, "Baru saja aku mbatin kamu, Jeng. Kok lama nggak main? Eh, malah dateng. Seneng banget lah, aku!" "Sorry Yung, aku ribet banget ngurusin bapak Cindy." sahutnya dengan mimik wajah menderita, "Ih, cerewetnya itu lho Yung, yang buat aku mumet! Kok, kayak perempuan gitu lho, mulutnya. Ngomel saja, kayak nggak ada habisnya. Pusing, aku tinggal saja, main ke sini!" Mendengar curahan hati Ajeng, aku hanya nyengir kuda poni lalu tertawa kecil, mengikutinya. Ajeng memang hebat, kesabarannya seolah tak berbatas. Walaupun kalau mencurahkan segala sisi hatinya selalu penuh dengan emosi tapi tetap sabar menerima dan mendampingi suaminya. Padahal, kalau dipikir-pikir, masalahnya justeru jauh lebih besar dari pada masalahku, lho. Sungguh. Tidak diberi nafkah lahir batin, tidak diajak bicara selayaknya suami isteri. Serba salah dan masih banyak lagi masalah yang lain. Intinya, tersakiti lah, setiap harinya. Kalau aku jadi Ajeng, entah sanggup atau tidak.Manja, Cindy duduk di pangkuanku. Kami memang dekat, seperti anak dan mama. Sebenarnya, dulu sebelum ada Lova, aku pernah berpikiran untuk mengadopsi Cindy. Bukan karena ego, obsesi atau sejenisnya tapi karena tidak tega melihat Cindy yang tak diakui oleh bapaknya. Sudah tidak diakui yang berarti tidak diterima, eh, malah ditelantarkan juga. Ya, kalau ibunya saja tidak diberikan nafkah lahir batin, bagaimana lagi dengan anaknya? Bahkan, ibaratnya memberikan jatah lima atau sepuluh ribu setiap hari pun keberatan. Bukan karena tak mampu tapi karena kecewa Cindy terlahir sebagai anak perempuan. Bapak Cindy maunya punya anak laki-laki.Bapak Cindy pekebun salak di daerahnya sana. Kebunnya juga tidak bisa dikatakan kecil, dua atau tiga hektar lah luasnya. Kata Ajeng sih, begitu. Selain berkebun salak, dia juga bekerja di rental sound system, di daerahnya juga. Lumayan lah, gajinya. Apalagi kalau musim pengantin atau hajatan lainnya, waaah, panen uang. Tapi, yaaa, begit
Baru saja mengagumi, eh, sudah kecewa. Tak ada angin tak ada hujan, aku juga tidak membahas apa pun tentang rumah tanggaku tiba-tiba Ajeng berucap seperti itu. Bayangkanlah! Untung aku tipikal orang yang bisa dengan cepat mengendalikan diri. Kalau tidak? Mungkin dia sudah kutampar dengan sekeras-kerasnya supaya sadar, insyaf kembali. Kami boleh saja bersahabat dekat tapi jangan sampai masuk ke dalam urusan rumah tangga masing-masing. Ibarat tamu, ya sudah, duduk saja di ruang tamu. Tak perlu masuk ke sana-sana, kecuali kamar mandi. Itu pun kalau memang perlu ke kamar mandi.Lagi pula, walaupun dia bertanya sampai berbusa-busa tentang Mas Tyas pun takkan pernah kuberi tahu. Untuk apa? Seperti apa pun Mas Tyas, dia kan, suamiku? Masa kuumbar aibnya? Eh, aib Mas Tyas sudah menjadi aibku sendiri, bukan? Ya, masa aku harus mempermalukan diri sendiri? Mustahil seratus persen!"Mas Tyas baik kok, Jeng!" kataku sambil menyembunyikan perasaan kecewa di r
Pusing, rungsing!Kenapa Mas Tyas selalu begitu? Lebuh mengutamakan Ibu di atas segala-galanya. Eh! Bukan berarti aku menginginkan Mas Tyas menjadi anak yang durhaka atau semacamnya, lho. Kalau itu sih, amit-amit. Maksudku, kenapa dia masih saja bersikap tak peduli terhadap kami, isteri dan anak-anaknya. Mau sampai kapan coba, dia begini? Langit saja sudah tiga belas tahun, sudah Kelas VIII yang berarti sudah hampir empat belas tahun kami membina rumah tangga. Masa, dia malah semakin kekanakan dan tergantung pada Ibu?Jadi, bagini ceritanya. Langit mogok sekolah, tidak mau kembali ke pondok pesantren gara-gara Mas Tyas ingkar janji. Menurut Langit, ayahnya itu mau membelikan laptop bulan ini karena sudah mulai bergabung di kegiatan ekstra kurikuler jurnalistik. Lagi pula, sejak Kelas VII kemarin dia juga sudah aktif di Mujahid Muda, majalah di pondok pesantrennya. Nah, mau tidak mau, siap tak siap Mas Tyas harus menepati janjin
Tanpa kusadari, Langit turun dari taxi dan berlari masuk ke dalam rumah melalui pintu garasi yang tak pernah kami kunci. Langkah kakinya terdengar berlari menaiki tangga. Sekian detik setelahnya terdengar suara pintu terbanting dengan sangat keras dan menimbulkan suara gaduh.Braaakkk …!Tanpa ampun, aku mendelik tajam menatap Mas Tyas. Semua ini gara-gara dia yang sering ingkar janji. Langit yang anak baik, penurut, pendiam dan cerdas pun jadi emosional dan kasar begini. Sudah begitu, bisa-bisa dia justeru menyalahkan Langit. Men-judge dengan kata manja, cengeng dan mudah patah hati. Apa tidak sadar, kalau kata-katanya yang tadi itu bisa menambah luka di hati Langit?Ckckckck, kupikir, setelah belasan tahun jatuh bangun dalam perjuangan hidup Mas Tyas akan menjadi pribadi yang dewasa. Kegagalan demi kegagalan, seharusnya bisa menjadi pelajaran berharga, kan? Bukannya malah mengikatnya dalam sifat kekanakan dan egois se
Aku mengadakan rapat keluarga keesokan paginya, mewajibkan Mas Tyas untuk hadir, tentu saja. Tapi seperti biasa, dia mangkir. Tanpa alasan, dia pergi begitu saja dan hanya meninggalkan uang dua puluh ribu di atas kulkas. Uang jatah belanja untuk sehari. Benar-benar handal, profesional. Bukan caranya meninggalkan uang, maksudku. Bukan jumlah uangnya juga yang membuatku mengelus dada tapi kepergiannya yang tanpa pesan maupun kesan. Padahal, baru saja dia menyakiti hati Langit dengan mengingkari janjinya untuk membelikan laptop sejak setahun yang lalu. Tapi tetap saja tidak merasa bersalah. Tetap saja angkuh dan sombong. Ada ya, anak manusia minus perasaan seperti dia?Hemmmhhh!Rasanya seperti membeli kucing dalam karung, sungguh. Oh, andai bisa memutar waktu kembali. Aku takkan sudi berkenalan dengan Mas Tyas walaupun dia bersimpuh di kakiku sekali pun. Walaupun dia memohon-mohon sampai menangis darah pun aku takkan peduli."Ay
Ada apa dangan Langit?Oh, pasti karena aku yang tak pandai membahagiakan hatinya. Tak pandai menjaga perasaan, mendidik dan membersamai selama ini. Iya, kan? Ah! Jangan-jangan karena aku dan Mas Tyas sering bertengkar? Oh, mungkin Langit bersedih hati dan merasa tertekan dengan semua itu? Tapi bagaimana lagi, Mas Tyas susah diajak bicara baik-baik. Itulah mengapa, kadang-kadang aku berteriak-teriak seperti di tengah hutan. Kalau tidak begitu, mana mau dia memasang telinga?"Ma, Ayah pulang! Sendiri dia, nggak sama Uti." bisik Bumi ditelinga kiriku dengan penuh semangat, "Adek ditaruk aja Ma, biar aku yang jaga. Kalau nggak, nanti Ayah pergi lagi. Kasihan Mas Langit. Masa, nggak balik-balik ke pondok?"Siiirrr dug, dug, duuuggg!Berarti benar apa yang kupikirkan tadi. Bumi yang baru sembilan tahun saja sudah terkena dampak dari keburukan sikap Mas Tyas, apalagi Langit? Wah, ini tidak bisa dibiarkan, mau tidak mau kami h
Rasanya benar-benar sesak ketika tahu Mas Tyas habis-habisan memarahi Laut hanya gara-gara mengajukan protes atas tamparannya padaku. Halooo, di mana letak kesalahannya? Dia sudah besar, sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak. Sudah bisa merasakan, mana yang lembut dan mana yang kasar. Aku yakin, Laut juga sudah membedakan, siapa yang benar dan siapa yang salah. Seharusnya Mas Tyas tidak semarah itu bukan, walaupun mungkin tersinggung setengah mati, misalnya. Bisa kan, mengingatkan dengan cara yang baik?"Mas, sudah, Mas!" kataku sambil menarik tangan Laut supaya menjauh dari Mas Tyas, "Malu sama tetangga, Mas!" kataku lagi, berusaha untuk menyetel suara agar tak terdengar membahana ke seluruh penjuru kampung. Sadar, kalau ini kampung padat penduduk. Jangankan bertengkar, buang angin saja tetangga bisa dengar."Didik anakmu, ngelawan aja kerjanya ama orangtua!" cakap Mas Tyas Kasar, "Masih ingusan aja udah berani ngelawan
Empat puluh juta, bayangkanlah!Tak habis pikir, untuk apa coba uang sebanyak itu? Empat tahun yang lalu, bukannya dia baru setahun di rumah setelah magang di Jepang selama tiga tahun? Uang hasil magangnya saja masih utuh tersimpan di bank. Katanya dua ratus lima puluh juta dan sengaja tidak diambil karena sudah dijadikan dana khusus untuk membangun rumah. Aku saja sampai tak berani meminta, sungguh. Jangankan meminta, untuk sekadar menanyakan saja pun tak punya nyali.Apalagi Ibu sudah memberikan warning, "Uang Tyas yang dari Jepang jangan dipakai. Mau untuk bangun rumah. Itu, tanah belakang rumah sudah dibayar Tyas, mau untuk bangun kolam ikan. Mau buat pembibitan lele dia, Yung. Delapan puluh lima juta, jatuhnya. Ibu yang nawar langsung ke yang punya."Aku yang baru selesai menidurkan Bumi, sempat oleng juga waktu itu. Tidak menyangka sama sekali kalau Mas Tyas dan Ibu bergerak di belakang layar. Artinya tidak melibatkanku sama sekali sebagaimana
"Pakai nama Mama saja, Ma?" Langit mengusulkan setelah Laut dan Bumi sibuk mencari nama untuk usaha tanaman hias yang akan kami rintis. "Payung Teduh Flowers. Cantik kan, Mama?" Sejenak, Laut dan Bumi saling memandang lalu tos dengan penuh semangat perjuangan. "Setuju berat, Mas Langit. Cantik banget namanya, Payung Teduh Flowers!" Laut memandangku dengan senyum tipis tetapi manis yang khas. Tak mau kalah, Bumi juga mengapresiasi nama yang diusulkan Langit tadi. "Cantik dan viral pasti. Karena kan unik banget namanya."Payung Teduh Flowers. Payung Teduh Flowers. Payung Teduh Flowers. Memang cantik, ya? Unik. Semoga juga bisa menjadi magnet berkahnya rezeki. "Oke, Mama juga setuju." lembut tapi tegas aku memungkas acara diskusi kami. "Kalau gitu, Mas Langit sama Mas Laut harus segera cetak banner, ya? Nanti kita buat dulu konsepnya. Mas Bumi bantu Mama memilih bunga apa saja yang akan menjadi icon PTF. Nah, habis itu kita cari grosir tanaman hias. Harus banyak survei nih Le, seka
Tiga hari berlalu sejak family time yang so sweet, aku sakit. Demam, batuk, pilek parah sampai tidak bisa bangun dari tempat tidur. Kata Dokter, aku terlalu lelah dan letih. Butuh beberapa hari untuk istirahat total. Dokter sempat menawarkan rawat inap di rumah sakit tetapi aku menolak, tentu saja. Bukankah istirahat di rumah jauh lebih menyenangkan? Ya, begitulah dan akhirnya Anak-anaklah yang dengan kompaknya merawat. Lova terlihat senang hati setiap mengambilkan minum atau menemani minum obat. Langit dan Laut, mendapat tugas membersihkan rumah plus mencuci pakaian. Sedangkan Bumi, mencuci piring dan menyiram tanaman setiap pagi, sebelum berangkat ke sekolah. Siapa yang memasak?Koki di rumah makan, hehehehe. Sorry, just kidding! Sebagai koordinator rumah tangga sementara, Langit memutuskan untuk membeli lauk dan sayur saja selama aku sakit. Kalau memasak sendiri, menurutnya terlalu ribet. Untuk nasi, dia yang memasak. Maka, nikmat dari Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"G
Aku berusaha mengikuti arahan Bu Bidan tetapi belum berhasil. Sabar, Bapak terus menyemangati dan mendoakan keselamatan kami."Nah, ayo ngeden lagi Mbak, ini kepalanya sudah kelihatan. Yuk, ngeden yang kuat. Terus, terus…!"Aku tidak terlalu ingat, bagaimana akhirnya. Hanya ketika kepala Laut sudah keluar, aku menjerit memanggil Mas Tyas. Mengejan lagi, mengikuti daya kontraksi lalu lahirlah dia, Laut Surgawi. Tidak dapat mendengar lagi kah hati Mas Tyas? Hanya Allah Yang Tahu."Sop iga, bakso rusuk, pecel lele, ikan bakar … Kita mau makan apa, Ma?" Hampir saja aku menyerempet sepeda motor karena terkejut demi mendengar pertanyaan Laut. Wah, semua ini gara-gara Mas Tyas yang tak berperasaan, jahat! "Kalian, mau makan apa?" lega tetapi sedikit geragapan aku membalikkan pertanyaan. "Mama ngikut saja, Le. Eh, tapi kayaknya enak ya, kalau makan sop iga? Sudah lama juga kan, Mama nggak masak …?"Laut mengiyakan lalu memberi tahu kalau rumah makan sop iga sapinya tinggal satu setengah kil
"Yuk, turun, anak-anak!" kataku sambil menepikan mobil di perempatan jalan kecil menuju makam Bapak. "Kita parkir di sini saja ya, takutnya Mama nggak bisa atret nanti?"Tanpa berkata-kata, anak-anak mengikuti ajakanku. Langit yang duduk si sebelahku, segera turun sambil menggendong Lova. "Bunganya sudah aku bawa turun, Ma!" lapor Bumi setengah berteriak. "Eh, Mas Laut, tolong bawa air mineralnya!'Kudengar, dengan penuh semangat Laut menyahut, "Siap, Bos!"Entah bagaimana, aku tertawa lirih. Menertawai diri sendiri, Mungkin? Why? Karena belum sempat membahagiakan Bapak semasa hidup. Bahkan, ketika Bapak meninggal dunia pun aku masih dalam keadaan susah. Bukan susah secara ekonomi, tetapi kritisnya hubungan dengan Mas Tyas. Kami sudah benar-benar tenggang, waktu itu, sudah pisah ranjang. Seperti itulah, keadaannya sampai-sampai Mamak dan Limas menghakimi. Bapak terkena serangan jantung karena stressed memikirkan aku. Padahal aku sama sekali tidak memberi tahu Bapak perihal rumah tan
Apakah ini yang disebut dengan penghalang kebahagiaan? Aku tidak tahu! Setelah menyadari apa yang telah terjadi, aku memilih untuk menyebutnya dengan challenge. Tantangan kemanusiaan. Bagaimana tidak? Kami sudah sampai di samping pintu mobil ketika tiba-tiba air ketuban Ajeng pecah. Byok …! Seperti itulah bunyinya, menciptakan panik. Anehnya, aku hanya bisa tertegun hingga beberapa detik lamanya saat cairan seperti putih telur itu membasahi punggung kaki Ajeng."Yung, aku nggak tahan lagi, Yung!" rintih Ajeng sambil merapatkan rahang. "Bayinya sudah mau lahir, Yung!""Ha, apa?" reflek, aku merespon dan tidak menyesal sedikit pun walau mungkin terkesan bodoh. "Jangan bercanda deh Jeng, sudah mau lahir gimana?"Terengah-engah, Ajeng berusaha memberikan penjelasan. "Serius, Yung. Hah, hah, haaahhh …!" Ajeng mencengkeram pintu mobil, mendobrak kesadaranku."Oke, oke!" kataku berusaha meredam panik. "Oke, tahan sebentar. Tahan sebentar ya, Jeng?" Gemetar, aku merogoh ke dalam saku gami
Sebenarnya apa salahku? Pada Mamak, Bapak dan Limas, maksudku sehingga mereka begitu membenciku. Karena menikah darurat dengan Mas Tyas? Karena gagal menjadi Sarjana? Karena akhirnya berpisah dengan Mas Tyas yang berarti kegagalan paling besar bagi mereka? Seharusnya mereka tahu tanpa disalahkan, dibenci dan dihakimi pun aku sudah remuk bubuk. Lumat oleh penyesalan dan perasaan bersalah yang begitu besar, tak tergambarkan. Jelas mereka tidak melihat itu, kan? Jelas, jelas! "Kalau aku jadi kamu ya Mbak, sesakit apa pun nggak akan pernah pisah. Ya ampun, itu kan nyakitin banget buat anak-anak, Mbak. Kasihan juga kan, status mereka jadi anak-anak broken home? Lagian, kenapa dulu kalian pacaran sampai ngawur gitu, coba? Sudah buat malu orangtua eh ujung-ujungnya pisah! Heran deh Mbak, sama kamu!" itu yang dikatakan Limas melalui saluran telepon yang super buruk saat tahu aku sudah berpisah dengan Mas Tyas. Seakan-akan dia yang bertanggung jawab atas hidupku selama ini saja! "Ya,
"Waduh, waduh yang punya rumah baru sampai cuek bebek sama keluarganya!" seloroh Mamak sambil mengulurkan tangan, menyalamiku. "Tapi kayaknya kami nggak bisa nginep, Yung. Adikmu lagi sibuk banget, banyak kerjaan. Besok malah Mamak nggak ada yang nganterin pulang."Aku merasa, otakku sudah berhenti berputar saat ini, sehingga hanya bisa diam tercenung. Oh, pasti aku terlihat sangat bodoh, sekarang. Bodoh dan lemah, tak punya harga diri. "Lah, kan, Mama bisa nganterin Mbah Mamak pulang?" pertanyaan sekaligus pernyataan Laut memulihkan separuh kekuatanku yang tadi hilang entah ke mana. Separuh lagi, berasal dari Bumi, Langit dan Lova yang tiba-tiba mengerubungi kami. Senyum tulus, sorot mata teduh mereka menyemai rasa tenteram dalam hati. "Sekalian jalan-jalan. Iya kan, Mama?"Reflek, aku mengangguk. Menyuguhkan senyum tulus. Biarlah Mamak atau siapa pun bersikap semau mereka tetapi aku tak boleh goyah. Maksudku, meskipun harus mengorbankan diri sendiri, jangan sampai balas menyakiti.
Mas Tyas juga datang? Wah, ini baru bencana! Sejujur-jujurnya kukatakan, tak ingin ada dia malam ini dan selanjutnya. Jangan ada Mas Tyas lagi, karena dia hanyalah selembar masa lalu. Masa lalu yang sangat menyakitkan! "Iya, Mas Bumi?"Bumi mengangguk. "Iya, Mama. Kayaknya, kalau aku nggak salah lihat, Ayah bawa buket bunga mawar putih, Ma." Ha, apa? Ck, Mas Tyas pasti sudah terjangkit skizofrenia. Tak bisa lagi membedakan antara khayalan dan kenyataan. Jelas-jelas kami sudah bukan siapa-siapa lagi, kan? "Mama mau temui Ayah?" pertanyaan polos sekaligus tulus dari Bumi mendobrak kesadaranku. "Mau apa nggak, Ma?"Terlambat. Semuanya sudah terlambat. Aku tak sempat lagi menghindar karena Mas Tyas sudah masuk ke ruang keluarga ini, bersama Ibu. Itu terlalu lancang bagiku tetapi sayang, tak bisa berbuat apa-apa lagi. Hanya bisa berdiri hampa."Selamat ya, Yung?" suara Mas Tyas terdengar gemetar. Entah karena efek dingin dari air conditioner atau karena efek lain salam dirinya. "Maaf,
"Ibu …!"Walau sudah berpisah dengan Mas Tyas, aku tak pernah berubah. Sama seperti dulu waktu masih menjadi anak menantu, menyambut dengan sopan lalu bersalaman. Tidak hanya mengecup punggung tangan, aku juga mencium kedua pipinya. "Alhamdulillah, Ayunng senang Ibu bisa datang." ungkapku jujur dan apa adanya ketika Ibu merengkuh tubuh ini ke dalam pelukannya. "Ibu sehat kan, Bu?""Sehat Yung, Alhamdulillah." lembut, Ibu melepaskanku dari pelukannya. "Ibu juga senang bisa datang ke sini. Selamat ya Yung, sudah punya rumah baru? Ibu doakan semoga diberkahi Allah semuanya.""Aamiin. Makasih banyak, Bu." Ibu menyimpulkan senyum tulus. Mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu yang sejak sore tadi sudah berubah menjadi taman bunga. Hehe. Anak-anak yang memilih tema dekornya. Beberapa ikat balon warni menghiasi sudut-sudut ruangan. Ada juga yang tergantung di langit-langit berplafon putih melati. Konsepnya memang sederhana tetapi terlihat manis dan hangat. Indah."Sama-sama, Ayung."