Selama lima hari ini Dea selalu bertanya-tanya dimana tunangannya berada, ketika dia bertanya semua orang pasti akan mengalihkan pembicaraan, atau pura-pura tidak dengar. Hal itu membuatnya semakin curiga.
Mobil sudah berhenti didepan rumahnya, ayah membantunya turun dari mobil. Semua keluarga sudah menyambutnya diteras rumah.
"Yeyy Kakak pulang," girang adik perempuannya yang langsung berlari memeluk erat tubuhnya. Disusul adik laki-lakinya.
"Udah-udah bantu Mama bawa tas sana," usir ayah pada kedua adiknya.
Kedua adiknya bergegas membantu mama membawa tas yang berisi barang-barang milik dea kedalam rumah.
“Makan dulu ya,” Ajak bude kepada mereka yang baru saja sampai rumah.
“Okey. Yuk Kak,” jawab ayah dengan bersemangat.
Ayah menuntun Dea perlahan, karena kakinya mengalami cedera ringan. Adeknya yang laki-laki sudah memposisikan kursi agar dia bisa duduk dengan nyaman, lalu duduk disamping Dea. Adeknya ini memang memiliki sifat yang bandel tetapi ketika bersama kakaknya sifat manjanya akan keluar, dan sangat perhatian meskipun mereka sering sekali bertengkar.
“Dek ambilin susu coklat di kulkas, kasihin ke Kakak,” perintah ayah kepada adik perempuannya, dia lekas mengambilkan susu kesukaan Dea.
Adiknya yang satu ini sangat cerewet, sulit sekali untuk disuruh ini itu, seperti layaknya adek dan kakak, Dea dan adeknya ini juga sering sekali bertengkar, padahal usianya terpaut sangat jauh tapi mereka bak Tom and Jarry kartun yang biasa tayng ditelevisi. Tumbenan hari ini dia mau disuruh.
Adik perempuannya menaruh satu kotak susu di samping piring. Bude dengan perhatian ekstra mengambil makanan untuk Dea, tentu saja sebelum menaruhnya dipiring bude memilah kira-kira mana yang bakal mudah dicerna Dea. Sepupu-sepupunya juga ikutan makan, meskipun jarang berkumpul dan berkomunikasi, tapi setiap ada acara kumpul sepupu-sepupunya akan ikut, walau hanya sekedar menyapa Dea sebentar.
Setelah selesai, Dea meminta ayahnya mengantarnya kekamar untuk istirahat. Ayah meninggalkan Dea sendirian didalam kamar, penampilang kamarnya sangat bersih. Padahal beberapa waktu lalu sebelum kecelakaan dia masih mengingat dengan jelas bahwa dikamar banyak sekali barang-barang yang berkaitan dengan pernikahannya. Buket, sepatu, seserahan, dan lainnya tertata rapi diatas meja riasnya. Dea memilih untuk tak menggubrisnya yang ada dipikirannya mungkin disimpa orangtuanya agar tidak rusak.
Dinakas meja samping tempat tidur dia menemukan handphone. Dia mengambilnya, tapi itu bukan handphone miliknya, ternyata handphone baru. Sepertinya handphone lamanya sudah rusak, ketika Dea membuka handphonenya semua data dihandphone lamanya terdapat dihandphone barunya. Dea membuka aplikasi w******p, banyak sekali chat dari teman dan orang yang dikenalnya. Deg!
Mata dea terbelalak ketika membaca satu persatu chat di w******pnya. Tangannya gemetar hebat, nafasnya tersenggal-senggal rasanya sangat sulit untuk bernafas. Dea membuka chat lainnya, dan semua nya tetap sama isinya.
Turut berbela sungkawa atas meninggalnya Airon tunangannya dan semoga Dea cepat sembuh.
“AAAaaaaaa!!!!!” teriak Dea, dengan memegang kedua kepalanya. Handphone yang ditangannya kini sudah terjatuh kelantai dan layarnya retak. Badannya lunglai berusaha keluar kamar, justru dia tersungkur diatas meja rias karena kakinya yang masih cedera, sehingga membuat make-upnya berhamburan kemana-mana.
Semua orang yang ada dimeja makan kaget mendengar teriakan dan terdengar juga barang pecah.
" Dea!” Pekik ayah dimeja makan ketika menyadari suara teriakan putrinya itu. Dia buru-buru berlari kekamar Dea. Diikuti semua orang yang berada diruang makan. ketika membuka pintu kamar, Ayah mendapati Dea yang sudah tersungkur dan mengobrak-abrik meja rias.
“Aaaaa!!!!aaa!!!!” teriak Dea berkali-kali. Tanpa sadar Dea mongobrak abrik semua barang yang ada dikamarnya. Berjalan kesana-kemari, rasa sakit dikakinya sudah tak terasa ketimbang rasa sakit membaca chat dari orang-orang. Emosinya membuncah dengan hebat dalam dirinya, merasa bodoh dalam waktu yang tidak singkat.
“Astaghfirullah!!” teriak ayah ketika melihat dea yang mengobrak-abrik barang dimeja riasnya. Mama dan bude yang kelihatan kaget melihat Dea yang tidak terkontrol emosinya. buru-buru ayahnya menghentika amukan Dea.
“Sadar nak,” ucap ayah. Dengan memegang kedua lengan Dea, menggoyang-goyangkan tubuhnya agar Dea tersadar.
“Dimana tunanganku? Apa benar dia sudah mati? Hah?” tanya Dea dengan emosi, kedua bola matanya yang merah, air matanya yang bercucuran. Ekspresi kesetanan yang ditunjukkannya membuat semua orang takut dan khawatir.
"Ayah dimana kak Airon," ucapnya dengan dada yang naik turun. Ayah tak kunjung menjawab pertanyaan Dea. Hal itu membuat Dea semakin emosi.
Dea berteriak, “dimana kak airon !!!!” dia kehabisan kesabaran karena selama lima hari ini semua orang enggan menjawab ketika dia bertanya dimana tunangannya itu.
Ayah Dea menghela nafas untuk menenangkan hatinya. Dengan sedih ayahnya menjawab,“sudah tidak ada.”
Deg!!! kedua bola mata Dea melotot ketika mendengar jawaban ayah, dunia disekelilingnya seakan berhenti berputar.
Ayahnya langsung memeluk badan Dea. Mama dan bude yang tidak bisa menahan tangis. Kedua adiknya kelihatan ketakutan melihat situasi dikamar Dea, mereka menagis dibelekang mama dan bude. Semua mata sepupunya berkaca-kaca. Ini yang ditakutkan semua orang ketika Dea mengetahui kenyataan yang menyakitkan untuknya.
Dengan kencang Dea berteriak, “Bohong !! Ayah bohong kan!”
“Tidak Nak, Ayah tidak bohong,” jawab ayahnya yang tetap memeluk Dea.
“AArrghhhhh..!!!” teriak Dea kesetanan. "AAaaa!!!!"
Dea berusaha melepas pelukan Ayahnya, memukul dada ayahnya. siapa yang sanggup mendengar orang yang dicintainya telah tiada, bahkan Dea sudah memikirkan setelah dia sembuh mereka akan melanjutkan pernikahannya. Tapi kenyataan tak sesuai dengan ekspetasinya.
Ayah memeluk tubuhnya semakin erat, agar Dea tidak lepas kendali saat emosi seperti ini. Beberapa kali berteriak, mama dan budenya berusaha menenangkan Dea tetapi tidak bisa.
"Istighfar Nak. Ayo istighfar Sayang," ucap bude.
"Kak.. istighfar dulu," ujar mama yang menangis dari tadi.
"Ayo minum air dulu Nak," ucap bude dengan membawa gelas air.
Pyarr..!! Dea
"Astaghfirullah!" teriak mama.
"Dea!" bentak ayah tanpa sadar kepada Dea. Dea katakutan mendapat bentakan dari ayahnya. "Maafin Ayah," sesal Ayah kepada Dea. Dea mundur perlahan, sakit hatinya bertambah ketika ayah membentaknya.
Tiba-tiba dadanya terasa nyeri dengan hebat. Rasanya dia tidak bisa bernafas.
"Aa!" tangannya memegang dadanya yang terasa nyeri.
“Hahh.. hah.. hahh….” Dea berusaha mengambil nafas.
“Yah! Dea Yah!” teriak mama yang melihat Dea kesusahan mengambil nafas. Ayah dengan cekatan mebaringkan Dea kelantai. Bude melepas pengait bra agar Dea leluasa bernafas.
“Cepet ambil obat ma! Bukan obat tapi oksigen!!” teriak ayah kepada mama. Mereka sudah menyiapkan obat dan oksigen ketika hal seperti ini terjadi, dengan buru-buru mama mengobrak-abrik tas.
“Siapkan mobil mas!” teriak ayah kepada sepupu laki-laki Dea yang sedari tadi berada didaun pintu kamar Dea.
Dengan buru-buru mama dan bude mengobrak-abrik tas yang dibawa dari rumah sakit. Ketika sudah menemukan tabung oksigen mama langsung memberikannya pada ayah.
Ayah mulai menyemprotkan oksigen kemulut dan hidung Dea.
“Ayo dibawa kerumah sakit aja,” ucap paman Dea, yang baru saja masuk kekamar.
“Iya,” jawab ayah. Ayah dan pamannya langsung membopong Dea menuju kedalam mobil. Mobil pun melaju dengan cepat menuju rumah sakit.
Disana dokter melakukan pemeriksaan pada Dea, dan setelah berbincang-bincang kedua orang tuanya. Dokter menyarankan untuk melakukan perawatan psikis ke psikiater, karena sepertinya psikis Dea sedang tidak baik-baik saja. Orangtua Dea pun menyetujui saran dari dokter, dan Dea pun menjalani perawatan psikisnya.
Selama dua tahun ini Dea menjalani perawatan psikis, harus teratur mengunjungi psikiaternya. Beberapa kali Dea mencoba bunuh diri karena tidak bisa mengontrol emosinya, sering sekali tidak sadarkan diri, sering berhalusinasi sedang bersama dengan Airon, berteriak-teriak memanggil Airon dan ketika dia marah dadanya akan sesak beresiko mengalami serangan jantung. Tapi itu terjadi ketika dia melakukan terapi pada tahun pertama, orang tua dan mertuanya secara bergantian menemani Dea konsultasi ke psikiater, memberi semangat untuk sembuh. Seiring berjalannya waktu keadaannya kian membaik, semakin hari Dea sadar bahwa semua orang sedang mengkhawatirkannya. Tahun kedua Dea masih berkonsultasi dengan psikiaternya, tetapi sekarang dia sudah tidak mengonsumsi banyak obat-obatan seperti tahun pertama. Kondisi psikisnya kian stabil, tetapi berakibat perubahan sifatnya yang semakin jadi pendiam, itu lebih baik ketimbang dia mangamuk tanpa sebab dengan berteriak-teriak memanggil Airon.
Aiden melihat Dea yang membawa dua botol susu dan bungkus snack, dan tiga kucing yang mengikutinya dari belakang. "Susu?" batin Aiden, "trus ngapain kucing-kucing itu ikutan." Dea menaruh salah satu botol susu di depan Aiden, lalu menaruh satu botol susu disampingnya. Dea membuka bungkusan snack, ternyata itu snack untuk kucingnya, Aiden mengira untuk mereka berdua. Dea membagi rata snack menjadi tiga bagian, kucingnya mulai memakan snack pemberian Dea. Dea mencuci tangannya diwashtafel samping gazebo. lalu kembali duduk disamping Aiden, dia mencari sandaran untuk punggungnya sembari membuka sedotan dan memasukkan kebotol susu lalu dia mulai meminum susunya. Tiba-tiba Dea melirik Aiden, dan memberi isyarat pada Aiden untuk segera meminum susunya. Aiden pun buru-buru meminum susunya. Keheningan pun menyelimuti mereka berdua. "Yaelah dah gede masih minum susu aja," batin Aiden. Sudah lama Aiden tidak meminum susu apalagi rasa coklat. Tiba-tiba D
Gazebo tengah taman, tiga kucing yang menatap mereka berdua secara bergantian, kolam ikan didepan gazebo, langit hitam yang ditaburi bintang, menjadi saksi bisu keawarkadan Dea dan Aiden. Salah satu kucing menghampiri Dea, Dea mangangkat kedua alisnya karena tiba-tiba sikucing duduk dipangkuannya. Dengkuran lembut dari si kucing membuat Dea gemas, itu signal kucingnya merasa nyaman berada dipangkuannya. “Suka kucing De?” tanya Aiden yang ikutan gemas melihat kucing, tanpa sadar Aiden menggigit bibir bagian dalam karena saking gemasnya. “Suka, tapi aku lebih suka Kamu,” goda Dea dengan sudut bibir yang terangkat. “Jangan bercanda De,” ucap Aiden yang mulai kesal karena dari tadi mendapat candaan yang tidak ada habisnya dari Dea. “Santai aja kali,” jawab Dea. “Dah santai loh,” ketus Aiden. Tanpa sadar dia sendiri yang tidak bisa santai. “lahh.. kok sewot,” ujar Dea. “Siapa yang sewot?” tanya Aiden. “Kamu,” jawab
Setelah beberapa jam berlalu akhirnya mobilnya sudah terparkir didepan rumahnya. Pak Gino selaku satpam, pak Lastro sebagai supir, bik Asih yang mengurus rumah atau lebih tepatnya kepala pelayan dirumahnya dan beberapa pelayan dibelakang mereka sudah menyambut Aiden dan Dea dengan senyuman. Aiden melepaskan sabuk pengamannya. Dilihat Dea masih tidur dengan pulas. “De, bangun De. Udah nyampek nih,” ujar aiden dengan menepuk-nepuk pipi Dea. Tidak ada respon dari Dea, bahkan dia tidak bergeming sedikitpun dari posisinya. Aiden memutuskan untuk menggendongnya, dia keluar dari pintu kemudi dan membuka pintu samping Dea, lalu melepas sabuk pengaman Dea dan mengeluarkannya dari mobil. “Bik tolong ambil semua barang-barang yang dimobilku ya, semuanya. Pak Lastro tolong cuci mobil saya ya,” ucap Aiden lalu masuk kedalam rumah. “Tidur?” tanya oma dengan kedua alis yang terngkat tinggi didahinya. Orangtua Aiden hari ini akan menginap dirumah Aiden, karena ingin menghabi
Dea berbincang-bincang dengan oma dan mertuanya hingga malam hari, canda dan tawa memenuhi setiap sudut rumah pada malam hari, dan sekarang waktunya tidur. Mama, papa, dan oma memasuki kamarnya masing-masing. Tinggal Aiden dan Dea diruang tengah, "Balik kekamar yuk," ajak Aiden beranjak dari sofa. Dea mengangguk dan mengikuti Aiden kembali kekamar. Ketika mereka berada didalam kamar, Dea masuk kekamar mandi mencuci mukanya. Aiden tidak langsung tidur. Dia mengecek pekerjaannya lewat laptop miliknya. Ketika Dea kembali kekamar dia memanggil Aiden. "Emm.. Aiden," panggil Dea tiba-tiba. "Hm," saut Aiden yang masih sibuk dengan laptopnya. "Kita tidur bareng?" tanya Dea. "Iya, kenapa?" tanya Aiden kali ini menoleh kearah Dea dengan mengangkat kedua alisnya. "Emm.. gapapa si. Bukannya lebih baik pisah aja ya," ucap Dea hati-hati. "Mau tidur pisah?" tanya Aiden. "Kalau gak keberatan si," jawab Dea. "Hmm
Pagi hari Dea sarapan bersama Aiden. Meraka memakan makanannya dalam diam, karena Aiden sibuk membalas chat dihandphone miliknya, sedangkan Dea sibuk mengunyah makanannya. Aiden buru-buru menyelesaikan sarapannya. "De aku berangkat ya, kalau ada apa-apa hubungi aku, atau suruh aja Bik Asih. Berangkat ya Bik, bye De," pamit Aiden dan berlalu pergi. "Iya Tuan," jawab bik Asih. Dea hanya diam. Bik Asih nampak khawatir melihat Dea yang semakin murung, padahal Dea tidak terjadi apa-apa dengan Dea. Bik Asih terlalu mengkhawatirkan Dea. Bik Asih mengkode anak buahnya untuk mengambilkan vitamin dan beberapa kue. Dea masih sibuk dengan makanannya, salah satu pelayan mendorong troli berisi banyak macam kue. Bik Asih menghidangkan semua kue itu didepan Dea. "Ngapain Bik?" tanya Dea. "Semua kue ini untuk Non, biar moodnya membaik," ujar bik Asih. "Ya ampun Bik, aku gasuka yang manis-manis," ujar Dea. "Non mau snack?"
Devano kembali dengan pakaian yang diberi oleh Dea. "Dev, gua mau ngomong," ujar Aiden. "Yaudah ngomong aja," ucap Devano. "Gua sama Dea cuma nikah kontrak, jadi aku minta tolong Kamu jaga rahasia ini. Termasuk status pernikahanku sama Dea," jelas Aiden. Devano bengong mendengar ucapan Aiden. "Jadi aku harus sembunyiin kalau kamu udah punya istri?" tanya Devano. "Ya, kesemua orang," jawab Aiden. "Ogah! gila ya !," tolak Devano "Please Dev. Aku gak mau kalau Wendy sampai tau," ujar Aiden. "Gila, trus ngapain nikah sama Dea?" tanya Aiden. "Biar gua bisa nikah sama Wendy, aku gak dapat restu orang tua buat nikah sama Wendy," jawab Aiden. "Bener-bener gak waras otakmu Den, gak habis pikir aku sama Kamu. Trus kamu gimana De? kok mau sama Aiden," tanya Devano. "Sama-sama ambil keuntungan si," ujar Dea. "Wahh gila-gila," ucap Devano. "Gua minta tolong sama kamu ya Dev,"
Selama diperjalanan Dea dan Aiden diam. Ketika mobil terparkir didepan rumah, Dea langsung turun dari mobil dan masuk kekamarnya, bik Asih nampak bingung ketika melihat Dea dengan raut muka yang kesal. "Bik siapin makan malam ya," ucap Aiden pada bik Asih. "Iya Tuan," jawab bik Asih. Aiden pun menuju kamarnya, sekilas dia melihat pintu kamar Dea dan berniat untuk mengetok pintu itu, tapi diurungkan niatnya karena mengingat perkataan ayah Dea. "Kalau Dea lagi kesal, marah, atau sedih. Tolong kamu kasih waktu dulu ya, turutin apa yang dia mau, biarkan dia meluapkan emosinya. Maafin ayah kalau putri ayah akan merepotkan kamu, tolong juga kontrol obat-obatan yang dia minum, ayah tau terkadang Dea masih meminum obat-obatan dari psikiater meskipun sudah dikurangin dosisnya, tapi Dea terkadang over ketika meminumnya," ucap ayah Dea sehari sebelum akad nikahnya dimulai. Aiden menghela nafas dan langsung menuju kamarnya. Aiden mengganti bajunya, da
"Tentu," Dea menjawab, menatapnya dengan sorot ingin tahu. Devano menghela napas sebelum melanjutkan, suaranya sedikit lebih serius dibanding sebelumnya. "Kamu benar-benar tidak ingin kembali pada Aiden?" Langkah Dea kembali terhenti sejenak. Ada keheningan di antara mereka, hanya terdengar langkah-langkah para pengawal yang berjaga di sekitar. Mata Dea menatap Devano lurus, ekspresinya tenang, tetapi ada sesuatu dalam tatapannya yang sulit diterjemahkan."Aiden benar-benar hancur, Dea," lanjut Devano, suaranya lebih pelan kali ini. "Dia mencarimu ke mana-mana. Dia bahkan tidak lagi peduli pada pekerjaannya. Kau mungkin berpikir dia akan baik-baik saja tanpamu, tapi kenyataannya tidak begitu. Dia benar-benar hancur."Dea mengepalkan tangannya tanpa sadar. Dia tahu bahwa meninggalkan Aiden bukanlah hal mudah bagi keduanya, tapi mendengar kondisi Aiden dari mulut Devano tetap saja menimbulkan sesuatu yang menghimpit dadanya. "Aku pergi bukan karena aku ingin, Dev," kata Dea akhirnya,
Sekian bulan berlalu, namun keberadaan Dea masih menjadi misteri yang tak kunjung terpecahkan. Aiden sudah mengerahkan segala cara memanfaatkan koneksinya, menyewa detektif terbaik, bahkan mencoba melacak sendiri pergerakan orang-orang Wijaya, tetapi hasilnya nihil. Seolah-olah Dea benar-benar menghilang dari dunia ini.Pikiran Aiden dipenuhi oleh kegelisahan. Rasa frustrasi terus menghantui setiap langkahnya, membuatnya semakin tenggelam dalam keputusasaan. Ia bahkan melupakan tugas-tugasnya sebagai pemimpin perusahaan, membiarkan semuanya terbengkalai.Di rumah, Rita dan Kusuma hanya bisa memandang putra mereka dengan rasa bersalah yang semakin menumpuk. Mereka tahu bahwa ini semua adalah akibat dari keputusan yang mereka paksa Aiden untuk melepaskan kasus Andre dan menutup mata atas segala kerugian yang ditimbulkan kakaknya demi menjaga nama baik keluarga."Dia tidak bisa terus seperti ini, Pa," Rita berkata pelan saat melihat Aiden yang hanya duduk diam di ruang kerjanya, tatapann
"Ini di mana, Yah?" tanya Dea selepas ia sadarkan diri. Orang pertama yang ia lihat adalah Wijaya, kemudian Lusi. Keduanya hanya diam saat ia bertanya. Wanita itu pun dibuat kebingungan dengan situasi saat ini. Ketika keduanya memilih keluar, berganti Bad masuk dengan raut wajah yang sulit dijelaskan. "Kita berada di markas baru, Madam," ucap pria itu penuh hormat.Dea mengerutkan kening, matanya menyapu ruangan asing yang kini menjadi tempatnya terbaring. Aroma antiseptik masih tercium, tapi ini bukan rumah sakit. Ruangan ini lebih luas, tenang, dan tidak ada perawat yang berlalu-lalang. "Markas baru?" ulangnya dengan suara serak, mencoba mencerna kata-kata Bad. Pria itu mengangguk pelan. Sorot matanya penuh kehati-hatian, seolah sedang mengamati reaksi Dea. "Ya, Madam. Ketua membawa Anda ke sini untuk keselamatan Anda." Keselamatan? Dari apa? Dea mencoba duduk, tapi tubuhnya masih terasa lemah. Kepalanya berdenyut ringan, membuatnya memejamkan mata sejenak. Ia mengingat se
Hakim menghela napas berat sebelum menatap Sony dengan penuh ketegasan. "Setelah mempertimbangkan seluruh bukti dan kesaksian yang telah diberikan dalam persidangan, pengadilan menjatuhkan vonis kepada terdakwa Sony dengan hukuman 20 tahun penjara tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat, serta denda sebesar 5 miliar rupiah."Suasana ruang sidang kembali gemuruh. Hukuman yang lebih berat dari Wendy menunjukkan betapa serius kejahatan yang telah dilakukan Sony.Sony hanya mendengus kecil, tidak menunjukkan penyesalan sedikit pun. Dia menatap ke arah Aiden dan menyeringai. "Kau mungkin menang kali ini, Aiden. Tapi dunia ini tidak akan membiarkanmu hidup tenang."Aiden tidak menanggapi. Ia hanya menatap Sony dalam-dalam, menyadari bahwa musuhnya tidak akan pernah benar-benar berubah.Setelah keputusan hakim, petugas segera memborgol Sony dan membawanya keluar dari ruang sidang. Aiden menarik napas panjang, merasa lega meskipun sebagian dari dirinya masih dihantui oleh luka yang ditinggalka
Ruang sidang dipenuhi dengan suara bisik-bisik dan tatapan tajam yang tertuju pada satu sosok di tengah ruangan, Wendy. Wanita itu duduk di kursi terdakwa dengan tangan yang terborgol, tetapi ekspresinya tetap penuh keangkuhan.Hakim mengetukkan palunya, menandakan persidangan dimulai."Saudari Wendy, Anda didakwa atas berbagai tuduhan, termasuk percobaan pembunuhan terhadap Nyonya Dea, persekongkolan untuk menghancurkan perusahaan Tuan Aiden, serta keterlibatan dalam berbagai tindakan ilegal lainnya. Apakah Anda mengakui dakwaan ini?" tanya Hakim dengan suara tegas.Wendy tersenyum miring. "Saya mengakui semuanya," jawabnya santai, membuat riuh kecil di dalam ruang sidang.Aiden, yang duduk di kursi saksi bersama pengacaranya, menatap Wendy dengan rahang mengatup rapat. Dea, yang masih dalam pemulihan, hadir dalam persidangan dengan wajah pucat tetapi sorot mata tajam.Jaksa kemudian berdiri dan mulai berbicara. "Bisa Anda jelaskan motif Anda melakukan semua ini? Apa alasan Anda ingi
Insiden penyekapan berjalan dengan cepat hingga semua pelaku dikumpulkan dalam persidangan Sayangnya ada satu orang yang disinyalir menreh luka mendalam untuk keluarga Aiden, yakni Andre. Pria itu mendapat panggilan dari pihak kepolisian, tetapi dia sudah terbang ke luar negeri.Rita dan Kusuma tidak bisa menghubungi anak sulung mereka. Wajah keduanya tampak pias ketika melihat Aiden. "Sampai sekarang Mama dan Papa tidak bisa menghubungi Andre," ujar Rita pada putranya. "Tidak bisakah kamu melepaskan, Andre? Bagaimanapun dia adalah Kakakmu." Wanita itu tampak tak berdaya merasakan dilema di dalam hatinya. Pada akhirnya, Kusuma yang sedari tadi membisu mulai angkat bicara. "Biar Papa yang menghukum Kakakmu, Nak. Sebagai gantinya, sebagian warisan yang akan kami turunkan pada Andre kini kualihkan ke kamu, Aiden." Aiden hanya diam mendengarkan ucapan orangtuanya. Tak berselang lama, ia memilih pergi tanpa memberikan jawaban. Helaan napas terdengar dari mulutnya. Entah bagaimana, ia me
Sesampainya di rumah sakit, Wijaya dengan panik membawa Dea yang tak sadarkan diri ke ruang gawat darurat. Para dokter dan perawat dengan sigap membawa Dea ke dalam, meninggalkan Wijaya yang berdiri di luar ruang tindakan dengan wajah tegang.“Pak Wijaya, kami akan melakukan yang terbaik. Mohon tenang,” kata salah satu dokter sebelum pintu ruang tindakan tertutup rapat.Wijaya hanya bisa menatap pintu itu dengan perasaan campur aduk. Tangan kirinya mengepal, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Namun, rasa khawatir terus menghantui pikirannya. Dea adalah harapan besar baginya dan melihatnya terluka parah seperti ini menghancurkan hatinya.Tak lama, Kusuma dan Rita tiba di rumah sakit setelah dihubungi oleh asistennya. Wajah keduanya menunjukkan kepanikan yang sama. Kusuma segera menghampiri Wijaya, menggenggam lengannya dengan kuat. “Apa yang terjadi? Bagaimana keadaan Dea?” tanyanya dengan suara bergetar.Wijaya menghela napas panjang, mencoba menenangkan sahabat sekaligus besannya
Tiba-tiba, suara dentuman keras mengguncang udara. Mobil yang mereka tumpangi berguncang hebat sebelum terlempar ke sisi jalan. Dea berteriak kaget, tubuhnya menghantam kursi depan sementara kaca mobil pecah berkeping-keping.Di depan mereka, sebuah truk tronton besar terlihat menghantam bagian depan mobil, membuatnya terguling hingga akhirnya berhenti di bahu jalan. Asap mengepul dari kap mesin, dan suara klakson tronton terdengar terus-menerus, seolah pengemudinya sengaja menekan klakson sebagai bentuk peringatan."Lars! Toni!" Dea memanggil dengan panik, tubuhnya terasa berat karena sabuk pengaman yang menahan pergerakannya. Rasa sakit di lengannya semakin terasa, ditambah serpihan kaca menusuk beberapa area wajahnya, tetapi itu bukan prioritasnya sekarang. "Apa kalian baik-baik saja?"Lars yang berada di kursi pengemudi tampak memegangi kepala, darah mengalir di dahinya. " Saya tidak apa-apa, Nyonya," jawabnya dengan suara parau, meskipun jelas ia sedang menahan rasa sakit.Toni,
Sony menggeram marah, matanya menyipit penuh kecurigaan. "Apa yang sedang terjadi di luar?!" Ia melirik anak buahnya yang kembali berlari ke dalam dengan wajah panik."Bos! Ada serangan! Mereka bersenjata lengkap dan bergerak cepat. Kami kewalahan!" teriak salah satu anak buahnya. Semua mafia yang langsung berubah mode serius.Dea tak ingin menyia-nyiakan waktu. Wendy tampak panik apalagi saat Dea berusaha kabur. "Dia kabur, Pa!" kejar Wendy. Ia bahkan mengeluarkan pisau tangan dan berusaha menusuk Dea. Sayangnya ujung pisau tersebut hanya merobek lengan targetnya. "Akh!" ringin Dea tetapi kakinya tetap berlari ke luar, tempat ledakan itu berasal. "Toni!" teriak Dea. Namun, matanya terbelalak karena sosok yang dipanggil tidak ada justru yang dia temukan adalah Devano."Cepat keluar, Dea!" sambut Devano dengan senyum merekah. Kemudian di sampingnya ada Pak Hando sosok yang selama ini selalu ia kunjungi. "Syukurlah aku menemukanmu, Nak. Ayahmu pasti senang."Sayangnya di belakang, te