Demi menghidupi keluarganya, Kiara rela menyibukkan dirinya untuk bekerja. Usianya sudah hampir menginjak kepala 3. Namun dia sama sekali belum berkeinginan untuk menikah. Gunjingan dari orang-orang sekitar sudah sering dia dengarkan. Tapi tidak ada yang dia pedulikan. Hingga, dia terjebak pada suatu kejadian yang membuat banyak orang salah paham terhadap dia. "errghhh .... Aduuhh, Pakkk," erangku dengan mata sedikit terpejam. Himpitan di kakiku membuat luka yang menganga semakin sakit. Aku menggigit bibir bawahku, jemari di tanganku mencengkeram kursi. Jika bukan karena sedang berada di kantor, tentu saat ini aku pasti sedang menangis. 'brakkkk' Aku pintu ruangan tiba-tiba terbuka. "Apa-apaan ini? Apa yang sebenarnya sedang kalian lakukan di kantor saya, HAH?" Setelah pintu ruangan terbuka, Pak Hans, selaku pemilik perusahaan masuk dengan muka yang merah padam. Merasa berada pada situasi yang tidak aman, badanku mendadak terasa dingin dan juga sedikit begetar. Apalagi, saat ini posisi muka anaknya menempel tepat di tengah-tengah kedua pahaku, sedangkan telapak tangan kanannya tidak sengaja berada di atas bukit kembarku. "Ma-Maaf, Pak. Semua tidaklah seperti apa yang Bapak pikirkan," jelasku dengan suara agak gemetar. "Tidak seperti yang saya bayangkan? Setelah saya melihat dengan mata kepala saya sendiri kalau kalian melakukan tindakan asusila di kantor saya, kalian masih bisa membela diri dan berkata bahwa kalian tidak melakukan apapun? Ck, kalian pikir mata saya buta!" "Pak ... Tapi kami tidak melakukan apapun." "DIAM, JANGAN ADA YANG BICARA LAGI SELAIN SAYA! Dan kalian ..." Pak Hans menunjuk mukaku dan Pak Bima secara bergantian, "harus segera mempertanggungjawabkan apa yang sudah kalian lakukan di ruangan ini!" Kiara tidak pernah membayangkan memiliki suami seperti Bima. Selain dikenal sebagai orang yang memiliki peranggai dingin, Bima juga termasuk salah satu atasan yang galak dan juga tegas. Jadi tidak pernah sekalipun dia bercanda apalagi menggoda Kiara di lingkungan kerjanya. Akankah pernikahan penuh paksaan tersebut akan berakhir dengan bahagia? Ataukah justru membuat Bima dan Kiara saling menyakiti?
View More"errghhh .... Aduuhh, Pakkk," erangku dengan mata sedikit terpejam. Himpitan di kakiku membuat luka yang menganga itu semakin terasa sakit. Aku menggigit bibir bawahku dengan kencang, jemari di tanganku mencengkeram kursi. Jika bukan karena sedang berada di kantor, tentu saat ini aku pasti sedang menangis.
'brakkkk'
Aku menoleh pada pintu ruangan yang tiba-tiba terbuka. Satu, dua, tiga, empat, dan seketika banyak orang yang kini sudah ada di dalam ruang kerja Pak Bima, mereka merangsek masuk, menerobos pintu yang terbuat dari kaca tebal itu.
"Apa-apaan ini? Apa yang sebenarnya sedang kalian lakukan di kantor saya, HAH?" Setelah pintu ruangan terbuka, Pak Hans, selaku pemilik perusahaan masuk dengan muka yang merah padam. Merasa berada pada situasi yang tidak aman, badanku mendadak terasa dingin dan juga sedikit begetar. Aku menggigil bukan karena tidak enak badan. Tapi, karena tidak enak hati dengan sutuasi yang ada. Aku yakin, jika aku tidak segera menjelaskan, Pak Hans pasti akan salah paham. Apalagi, saat ini posisi muka anaknya menempel tepat di tengah-tengah kedua pahaku, sedangkan telapak tangan kanannya tidak sengaja berada di atas bukit kembarku.
Aku beringsut mundur, memundurkan kursiku beberapa langkah untuk menjauhi Pak Bima. Sehingga membuat tubuh jenjang yang menempel di tubuhku ini, jatuh terjembab di atas lantai.
Pak Bima berdiri kemudian membenarkan jasnya yang sedikit berantakan.
"Ma-Maaf, Pak. Semua tidaklah seperti apa yang Bapak pikirkan," jelasku dengan suara agak gemetar.
"Tidak seperti yang saya bayangkan? Setelah saya melihat dengan mata kepala saya sendiri kalau kalian melakukan tindakan asusila di kantor saya, kalian masih bisa membela diri dan berkata bahwa kalian tidak melakukan apapun? Ck, kalian pikir mata saya buta!" Melihat Pak Hans dengan rahang yang mengetat dan nada suara yang tinggi, sekujur badanku melemas karena takut.
"Pak ... Tapi kami tidak melakukan apapun." Aku masih berusaha untuk membela diri, sedangkan Pak Bima tampak tenang dengan tangan bersedekap.
"DIAM, JANGAN ADA YANG BICARA LAGI SELAIN SAYA! Dan kalian ..." Pak Hans menunjuk mukaku dan Pak Bima secara bergantian, "harus segera mempertanggungjawabkan apa yang sudah kalian lakukan di ruangan ini! Saya tidak suka ada orang yang melakukan tindakan asusila di kantor saya, siapapun itu! Termasuk jika itu adalah anak saya sendiri!"
"Ta-tapi kami tidak melakukan apa-apa, saya berani bersumpah, Pak." Aku panik sampai hampir menangis karena banyak orang yang melihatku dengan tatapan jijiknya.
"Sudah ketangkap basah masih berani mengelak!" bentaknya.
"Demi Tuhan, Pak. Ini semua tidak seperti yang Bapak Kira." Embun di mataku semakin terdesak oleh emosi dan rasa takut.
"Dasar wanita tidak tahu diri! Setelah kamu mengerang dengan mata yang tertutup, kamu masih berani untuk berbohong atas nama Tuhan? Cih! Pak Hans membuang muka dariku. Rahangnya masih tampak menengang dengan emosinya sedang berada dipuncaknya.
"Sudah, Ayah tidak perlu marah-marah seperti itu, buang-buang tenaga. Saya minta maaf untuk kesalahan yang sudah kami buat. Tenang saja, besok pagi pasti saya akan menikahinya." Dengan enteng Pak Bima mengucapkan kalimat itu, seolah mengiyakan apa yang dituduhkan oleh Ayahnya. Aku menghempaskan tubuhku di kursi, dengan mata yang kini sudah basah oleh embun yang deras menetes.
******
Napasku kian menderu. Aku berhenti sejenak untuk mengusap peluh yang sudah sedaritadi membanjiri dahi. Kutengok jam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku, pukul delapan pagi. Itu artinya, aku cuma punya waktu 15 menit untuk sampai di kantor. Dengan sisa napas patah-patah, aku kembali berlari, sekencang dan secepat yang aku bisa.
Pintu masuk kantor masih sekitar 10 meter, sedangkan waktu yang tersisa tinggal 5 menit saja. Kulepas pantofel coklat muda yang kukenakan, kemudian segera bergegas menuju kantor, meski tanpa alas kaki.
"Duh, gimana sih? Kalau jalan lihat-lihat, dong!" ucapku ngegas. Tanpa melihat siapa yang baru saja menabrakku, aku berlari menuju ke ujung lobi, tempat di mana para karyawan harus melakukan presensi setiap pagi.
"KIARA!" Suara tegas itu membuat langkahku terhenti. Aku menoleh ke arah suara dan ketika tau siapa yang memanggil, tubuhku membeku seketika. Kulirik jam yang ada di mesin presensi, duh satu menit lagi presensi ditutup.
Aku menganggukkan kepala sembari memamerkan rentetan gigi putihku kepada si empunya suara.
"Maaf pak, marahnya ditahan sebentar, ya. Baru nanggung." Aku menempelkan jempolku ke mesin presensi kemudian menggaruk-garuk kepalaku yang tidak terasa gatal.
Setelah selesai melakukan presensi aku membalikkan badanku lagi, "hehe gimana, Pak?" sahutku sambil nyengir.
"Benar-benar, ya. Segera pakai sepatu anda dan ikut saya ke ruang kerja milik saya!" titahnya adalah sebuah keharusan bagiku. Suaranya pelan, namun penuh dengan penekanan.
Aku menghela napas perlahan. Kemudian berjalan dengan langkah gontai menuju ruangan Pak Bima. Banyak karyawan yang menatap nanar ke arahku, sebab bagi kami, masuk ke ruang kerja Pak Bima sama halnya dengan menjebloskan diri ke ruang pesakitan.
Hmmm, kalau saja pagi ini motorku tidak rusak, pasti aku sudah sampai di kantor tiga puluh menit lebih awal dari pada saat ini. Kalau saja tadi aku tidak naik kereta, pasti tubuhku tidak harus berdesak-desakan untuk berebut tiket. Kalau saja jalan dari stasiun menuju kantor tidak macet, pasti aku tidak akan terlambat. Aku merutuki pagiku yang penuh dengan kesialan.
Aku mengetuk pintu dengan pelan.
"Masuk!" Suaranya berat, terdengar seperti orang yang sedang menahan amarah.
Dengan langkah ragu, dan penuh dengan ketakutan, aku masuk ke ruang kerja Pak Bima.
"Kiara, pakai sepatumu! Saya tidak pernah membiarkan seorangpun masuk ke ruangan saya tanpa sepatu!"
Tanpa diminta dua kali, aku langsung membalikkan badan kemudian keluar dari ruangan. Pintu berdebam karena aku terlalu tergesa ketika menutupnya.
"Kiara!" Pak Bima berteriak lagi. Aku langsung berlari menuju ke toilet lantai ini, aku harus cuci kaki terlebih dahulu sebelum memakai sepatu.
"Aduh." Untuk kedua kalinya, aku limbung karena ditabrak oleh orang.
Pyarrrr ...
Cangkir di atas nampan berjatuhan, kemudian teh beserta kopi yang ada di dalamnya tumpah ruah ke lantai.
"Ma-maaf, Pak. Saya terburu-buru. Di panggil Pak Bima ke ruangannya." Aku berusaha membantu OB yang pekerjaannya ku hambat akibat ketergesaanku.
"Sudah, neng, sudah, biar saya saja. Neng segera saja ke ruangan Pak Bima. Dari pada disembur." Dia terkekeh.
"Aduh." Kakiku terangkat sebelah, ternyata serpihan kaca yang berhambur di lantai menancap di sudut kaki. Darah segar mengucur dengan deras dari saja.
"Duh, Neng. Diobati dulu ini mah," ucap Pak OB khawatir.
"Sudah Pak gak usah. Keburu disembur sama Pak Bos."
Aku berlari ke toilet dengan kaki yang tergores serpihan cangkir. Dengan bibir cengar-cengir, aku membasuh lukaku di bawah air yang mengalir, ternyata perih.
Pak Bima adalah direktur utama PT Krakatau Jaya. Di usianya yang masih tergolong muda, dia mampu membawa perusahaan ini menjadi perusahaan nomor tiga se-Indonesia, dan menempati urutan ke delapan di Asia Tenggara. Perawakannya gagah, tinggi dan tentu saja ideal dengan berat badannya.
Bicara tentang Pak Bima, maka orang-orang tidak akan luput dengan kekaguman wajahnya. Hidungnya mancung. Dia memiliki manik mata berwarna abu-abu, hingga membuat pesona Pak Bima tidak bisa dielakkan begitu saja. Dari fisik itulah, banyak sekali wanita yang ingin bersanding dengannya. Namun, sepertinya sampai pada saat ini, tidak ada satupun wanita yang berhasil membuat hati Pak Bima terketuk.
Setelah kakiku agak mendingan, aku kembali ke ruangan Pak Bima. kuketuk pintu ruang Pak Bima dengan hati-hati. Rasa takut yang tadi sudah hampir pudar, kini muncul kembali.
"Masuk!" ucapnya.
Kakiku sedikit gemetar. Perut entah kenapa rasanya dingin sekali. Aku memberanikan diri untuk masuk.
"Duduk!" Pintanya tanpa basa-basi terlebih dahulu. Jalanku tertatih, kakiku masih terasa sangat perih.
"Ba-baik, Pak." Aku menjawab sedikit terbata.
Ini bukan pertama kalinya aku diminta oleh Pak Bima ke ruangannya. Sudah kesekian kalinya aku masuk ke ruangan Pak Bima karena kesalahan yang aku lakukan. Entah itu kesalahan berskala kecil atau besar, yang jelas selalu ada makian dan juga tugas berat yang menyertai ketika keluar dari ruangan ini.
Aku duduk dengan kepala sedikit menunduk. Jemariku saling bertautan.
"Tegakkan kepalamu, Kiara!" Suara beratnya mulai menembus gendang telingaku. Aku masih menunduk, takut menatap manik matanya ketika dia sedang marah.
"Kiara, saya bilang tegakkan kepalamu!" pintanya dengan tegas.
Dengan hati-hati aku mulai menegakkan kepala, meski aku tidak berani menatap wajah atau bahkan mata milik Pak Bima.
"Kamu, kenapa tadi berlarian di lobby seperti itu?" tanyanya.
"Anu Pak ... Saya ..." Entah kenapa kalimat yang tadi sudah kususun, hilang begitu saja. Pak Bima memang begitu, selalu ahli membuat lawan bicaranya mati kutu. Ucapannya yang penuh penekanan, dan tatapan mata elangnya terkesan mengintimidasi orang lain.
"Anu anu ... Anu kamu kenapa, Kiara?"
Aku terkekeh mendengar ucapannya, lucu. Baru kali ini Pak Bima melucu di depanku.
"Kiara, siapa yang meminta kamu untuk tertawa?" Nada bicaranya mulai tidak santai lagi.
'cih, galaknya minta ampun. Pantes aja jodohnya jauh'
"Tidak ada, Pak." Aku menunduk lagi.
"Kenapa tadi kamu berlarian sepanjang lobby? Kamu kira kantor ini arena bermain?"
"Maaf, Pak." Cuma itu yang bisa aku katakan. Badanku panas dingin rasanya, takut disepak dari perusahaan ini mengingat sudah begitu banyak kesalahan yang aku lakukan.
"Bukan waktunya untuk minta maaf! Sekarang jawab pertanyaan saya!"
"Saya tadi hampir terlambat, Pak ... Makanya tadi saya berlari untuk memangkas waktu."
"Kamu tahu, bahwa apa yang kamu lakukan itu berbahaya?" tanyanya lagi.
"Saya tahu, Pak."
"Kalau tahu, kenapa kamu lakukan?"
'Ahelah, Pak, Pak, tadi kan sudah dijelaskan kalau hampir terlambat. Jangan-jangan ini orang budek lagi' batinku. Aku mendengus kesal, mendapatkan pertanyaan yang hampir sama.
"Saya tadi hampir terlambat, Bapak. Makanya saya lari." Aku menjelaskan dengan pelan-pelan, berharap Pak Bima paham dengan penjelasanku.
"Kenapa?"
"Saya terlambat, Bapak. Makanya saya berlari." Ini untuk ketiga kalinya, aku menjawab pertanyaan dari Pak Bima.
"Saya tau kamu terlambat, apa alasan kamu terlambat? Kamu tau kan, saya paling tidak suka dengan orang yang tidak disiplin!" ujarnya penuh penekanan pada kata tidak suka dan tidak disiplin.
Aku menggigit bibirku. "Jawab!" bentaknya.
"Motor saya rusak, Pak."
"Itu bukan alasan yang tepat. Kamu bisa naik ojek online!"
"Tadi saya sudah coba pesan, tapi pesanan saya selalu dicancel." jelasku.
"Rumahmu dekat dengan stasiun, kamu bisa naik kereta menuju ke kantor."
"Iya, Pak. Saya tadi juga naik kereta."
"Lalu kenapa bisa terlambat?"
"Pak motor saya rusak, lalu orderan ojol saya selalu dicancel, saya sudah naik kereta, dan jalan dari stasiun menuju kantor macet makanya saya lari-lari, Pak." Aku terdiam sebentar. "Bagian mana lagi yang sekiranya masih bisa disanggah, Bapak?"
Dia menatapku tajam. "Naik keretanya kurang pagi? Asal Bapak tau, saya habis subuh sudah siap naik kereta, sayangnya saya harus berdesak-desakan untuk berebut tiket disana. Apesnya lagi, saya selalu tidak kebagian tiket." Suaraku bergetar karena meredam emosi.
"Kaki kamu kenapa? Kenapa tadi kamu berjalan dengan pincang ketika masuk ke ruangan saya?"
"Terkena pecahan cangkir, Pak. Saya tadi menabrak Pak Bejo yang sedang membawa nampan penuh cangkir. Cangkirnya jatuh berantakan, lalu serpihannya mengenai kaki saya." jelasku.
"Itulah Kiara, kenapa saya selalu meminta semua karyawan memakai sepatu. Selain agar rapi, ya biar aman ... Sudah diobati?"
Aku menggeleng. "Saya terburu-buru, Pak. Takut Bapak lebih marah kalau saya kelamaan."
Kali ini Pak Bima terkekeh. "Baru kali ini, saya ketemu sama orang sekonyol kamu, Kiara." Dia masih terkekeh, "ya sudah, saya bantu obati."
Pak Bima mengambil beberapa obat di kotak P3K yang terletak di almari belakang kursinya. Ketika dia mendekat ke arahku, kakinya tersandung sepatu yang ku letakkan di samping meja.
Dan kemudian tragedi tidak menyenangkan itu terjadi.
"Baik,Ki. Aku akan pergi dari sini."Aku membenamkan kepala ke dalam dekapan Pak Bima. Rasa muak yang sudah kutahan beberapa waktu terakhir ini, akhirnya tumpah setelah melihat batang hidung milik Putri. Aku tidak menyangka bahwa dia memiliki nyali yang besar untk datang ke rumah ini."Duduk dulu, ya. Kamu butuh minum untuk meredakan emosimu."Jika biasanya aku selalu membantah perkataan Pak Bima, kali ini aku turuti semua saran darinya. Hal ini aku lakukan bukan karena aku ingin membuat Putri cemburu, tapi lebih kepada rasa lelah yang mengungkung hati dan juga pikiranku. Jujur, aku sudah capek dengan segalanya. Jika Pak Bima ingin menuntaskan semuanya saat ini juga, maka aku sudah menyiapkan hatiku."Minum dulu, Ki." Dia menyodorkan segelas air bening kepadaku. "Tarik napas dalam-dalam, kemudian keluarkan pelan-pelan."Pak Bima berjalan memutariku, kemudian memposisikan diri tepat di samp
Aku menangis setelah berada di dalam kamar. Setiap kali membahas tentang Putri, rasa sakit akibat cemburu ini tidak bisa dikendalikan. Aku selalu terbayang bagaimana dulu Pak Suami menjamah tubuh Putri dan kini aku pun pernah melakukannya bersama dengan Pak Bima. Rasa-rasanya aku seperti sedang berbagi raga dengan sahabat baikku sendiri dan saat ingatan itu muncul, dadaku terasa begitu sesak."Ki, Kiara, jangan marah. Kita bicarakan baik-baik masalah ini, Ki." Pak Bima mengetuk pintu kamar dengan keras.Aku menutup kedua telingaku menggunakan telapak tangan. Suara dari Pak Bima mengetuk hati. Membuat rasa sakit yang bersemayam di dalam sana, menjalar dengan cepat ke seluruh tubuhku."Kiara, saya minta maaf jika saya selalu mengecewakanku. Saya salah, tapi untuk kali ini biarkan saya menjelaskan semuanya kepadamu." Dia menaikkan ritme ketukan pada pintu kamar ini."Kiara." Dia memanggil namaku dengan suara
Sudah tiga hari ini aku berdiam diri kamar. Rasa sakit dan kecewa akibat kebohongan Pak Bima, masih terpahat rapi di sudut hatiku. Aku sudah berkali-kali menafikkan semua pikiran negatif tentang dia dan juga Putri. Namun, semakin kutolak, pikiran jelek tersebut semakin terpatri di dalam pikiranku.Aku beranjak dari kasur menuju meja rias. Setelah beberapa kali mengamati, ternyata wajahku lebih cocok dikatakan mirip Alien dari pada seorang wanita yang sedang patah hati. Mukaku terlihat sangat kuyu dengan tatapan mata sendu dan manik yang berkantung karena kurang tidur.Aku tidak tahu bagaimana keadaan Pak Bima setelah dia terjatuh dari tangga 3 hari yang lalu. Setelah aku masuk ke dalam kamar, aku tidak lagi mendengar panggilan darinya. Bisa jadi saat ini dia sedang meringis kesakitan, atau justru sedang tertawa karena dirawat oleh Putri. Ah, sial! Pikiranku selalu saja lari ke sana. Sadar atau tidak, ada rasa iri dan kesal ketika teringat akan sosok Putri. Kepolosan ya
Bima PoV'BRAK'Aku mengusap dadaku perlahan, gebrakan pintu di balik sana membuat jantungku melompat dari tempatnya."Telan semua alasan dan juga rahasiamu! Saya tidak butuh dan bahkan tidak peduli dengan segala hal yang berkaitan dengan kehidupanmu!" Kiara kembali berteriak dari dalam kamar tidur. Suara melengkingnya membuat hatiku hancur. Aku tidak menyangka bahwa kesalahpahaman ini ternyata membuat dia semarah ini kepadaku.Dengan dada yang masih berdegub kencang, aku mulai beringsut mundur. Rasanya percuma aku berdiri terpaku di depan kamar seperti ini, sebab sekeras apapun aku berusaha untuk meyakinkan, Kiara tetap tidak akan mempercayaiku.Aku duduk termenung dengan kedua tangan menyangga kepala. Rasa sakit yang tadi bersemayam di dalam hati, kiri merembet naik ke kepalaku. Denyutan demi denyutan menjalar dari pelipis naik ke ubun-ubun. Jika seluruh bagian yang ada di kepalaku ini bisa berteriak, pasti ruangan ini sudah gaduh den
Sejujurnya aku masih tidak menyangka, bahwa ternyata dua orang yang paling aku percaya tega membiarkanku larut dalam ketidaktahuan. Aku kecewa dan tentunya marah kepada mereka. Dulu ketika Putri datang ke rumah dalam keadaan hamil dan meminta perlindungan, aku beserta dengan orang rumah membuka lebar pintu rumah kami, sebagai tempatnya untuk bersandar dan berpulang. Aku tidak tahu siapa orang yang tega memperlakukan Putri dengan cara yang tidak baik, merenggut kesuciannya, lalu meninggalkannya begitu saja tanpa sebuah kejelasan. Putri pun selalu bungkam ketika kami menanyakan siapa orang brengsek yang berani menghamilinya dan tidak mau bertanggung jawab, atas bayi yang ada di dalam kandungannya. Tiga tahun sudah dia memendam semuanya sendirian, dan hari ini semuanya terbongkar. Aku akhirnya tahu bahwa si bejat tidak bertanggung jawab itu adalah Pak Bima, suamiku sendiri. Dengan hati yang sudah terkoyak dan jantung yang detakannya patah-patah, aku mencoba
Aku mengumpulkan seluruh tenagaku yang masih tersisa kemudian mendorong kuat-kuat tubuhnya yang masih mendekapku. Sebelum rasa nyaman menguasaiku, sebelum hatiku mulai melemah lagi, aku harus bisa menjauhkan diriku darinya."SAYA MAU PULANG!" Aku kembali membentaknya."Iya, Ki, iya. Kita pulang sekarang." Pak Bima menjawab bentakanku dengan begitu sabar. Suaranya lembut, seperti seorang Ayah yang sedang menghadapi anaknya yang sedang tantrum.Aku berjalan beberapa langkah di depan Pak Bima. Ku percepat langkahku agar dia tidak bisa menyejajarkan posisi kami. Pak Bima berulang kali menggaungkan namaku di koridor hotel, tapi tidak satupun panggilan darinya yang aku respon. Hatiku sudah terlalu sakit dan juga kecewa, tubuhku juga kembali menggigil. Hal ini bukan karena hawa dingin yang mulai menyusup kulit, tapi lebih kepada amarah yang sudah terlalu susah untuk dikendalikan.Pandangan mataku mengarah lurus ke depan tapi tatapan mataku kosong. Jaket yang tad
Tanganku gemetar tatkala memutar handle pintu kamar. Aku benar-benar tidak menyangka bahwa Pak Bima dan Putri bisa setega ini kepadaku. Kemarin aku sudah bertanya baik-baik perihal hubungan mereka. Namun, mereka sama-sama mengatakan bahwa sebelumnya tidak saling mengenal. Aku mencoba untuk berlari, menjauh sebisaku dari kamar hotel yang saat ini sedang aku tempati. Kejadian ini mengingatkanku pada keputusan yang dibuat oleh Ervan beberapa tahun yang lalu, sama-sama menyakitkan dan sama-sama mengandung sebuah kebohongan. Ah... Tapi setelah dipikir ulang, aku rasa kebenaran ini berkali-kali lebih menyakitkan dari pada apa yang pernah Ervan lakukan terhadapku. Aku bukanlah orang yang mudah menjatuhkan hati kepada orang lain, begitu pula terhadap Pak Bima. Namun, setelah aku mempercayainya dan menyerahkan seluruhnya kepada Pak Bima, dia tega berbohong bahkan menyembunyikan sesuatu yang sangat penting dariku, dari istrinya sendiri.Benarkah mereka pernah berhubungan? Jika iya, apa
"Ki, jangan lupa bawa jaket yang tebal, kalau perlu yang banyak deh." Pak Bima melirikku sekilas, kemudian fokus kepada benda kotak yang ada di dalam genggamannya. "Lebay amat! Emang kita mau liburan ke kutub?" Aku menjulurkan lidahku. "Dih, dikasih tau malah ngledek! Besok kalau sampai di sana kamu menggigil kedinginan, saya ceburin ke empang sekalian!" Pak Bima menatapku sengit. "Yakin nih mau nglempar saya ke empang?" Aku beranjak dari posisiku, kemudian berjalan mendekat ke arahnya. "Ya iya lah. Biar tau rasa kamu!" Dia melengos, bibirnya mengerucut ke depan. "Ahh ... Yakin?" Aku naik ke atas kasur, kemudian merangkak mendekatinya. Kebetulan siang ini aku sedang memakai kemeja tanpa motif dengan ukuran oversize, sehingga membuat Pak Bima bisa dengan mudahnya melihat isi kaosku. "Masa sih Bapak tega lemparin saya ke empang?" Dengan posisi seperti orang merangkak,
"Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bihi, wallahu waliyu taufiq." Suara lantang milik Pak Bima menggema dengan mantap di langit-langit gedung ini. Aku tersenyum simpul ketika melihat raut wajah leganya setelah mengucapkan kalimat sakral itu. Meskipun ini bukan kali pertamanya dia menerima Ijab dari Ayah, tetapi rasa tegang itu tetap saja melekat padanya, ketika dia melafalkan kalimat kabul."Saahhh?" tanya Pak Penghulu"Saahhhhhh." Riuh sahutan dari saksi dan tepuk tangan mereka membuat debaran yang ada di dalam hati kami mereda.Aku mencium tangannya dengan perasaan bahagia, sedangkan dia mengecup keningku dengan perasaan suka cita. Kali ini kami benar-benar menjadi suami istri yang sah, baik sah secara agama ataupun negara.Setelah proses ijab kabul selesai, aku dan Pak Bima duduk di depan para tamu. Sebenarnya tidak ada acara yang 'wah' untuk pernikahan kami, hanya saja Ayah memintaku untuk mengadakan peng
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments