Leon tak perlu mengerahkan kekuatannya untuk menarik tubuh Aleta ke pangkuannya. Selain karena tubuh gadis itu begitu mungil dan ringan, kedua kaki yang lumpuh itu tak bisa diandalkan untuk memberontak. "Kau bilang tak akan tertarik dengan gadis cacat sepertiku." Aleta menahan kedua tangannya di depan dada Leon. Mencegah wajah pria itu semakin dekat. Bahkan dengan jarak hanya beberapa senti saja, napas berat pria itu terasa begitu jelas menerpa wajahnya. Ujung bibir Leon membentuk seringai tajam. Satu tangan di punggung Aleta bergerak menurunkan resleting baji gadis itu. "Tapi aku belum pernah menyicipi gadiz cacat."
더 보기Berbanding terbalik dengan wajah Aleta yang seketika memucat. Kepalanya bergerak naik, menatap mobil yang berhenti tepat di depan mereka. Ya, itu mobil Bastian. “Tetap di tempatmu,” ucap Leon sebelum melompat turun dan mengunci pintu mobil. Aleta berusaha membuka pintu mobil dengan sia melihat Bastian yang juga turun dari mobil. Pandangan Bastian sejenak menatap ke tempatnya sebelum kembali pada Leon dengan penuh amarah. Keduanya pria itu saling berhadap-hadapan. Bastian yang penuh ketegangan, berbanding terbalik dengan Leon yang bersikap sangat tenang. Satu-satunya yang Aleta cemaskan hanyalah satu, Leon akan mengatakan tentang hubungan kedua pria itu pada Bastian. *** “Ck, lagi-lagi kau merusak kesenanganku, Bastian,” gerutu Leon dengan nada kesal yang dibuat-buat. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku. “Lepaskan Aleta, Leon. Kau sudah mendapatkan semu
Alih-alih membawanya ke restoran mewah atau di restoran hotel bintang lima seperti yang sebelumnya Leon lakukan, malam itu Leon membawanya ke sebuah café sederhana yang ada di kawasan pinggir kota. Aleta sudah merasa ada yang janggal dengan keinginan Leon yang tiba-tiba tersebut. Terutama dengan pria itu yang memastikannya mengenakan pakaian yang membuatnya nyaman. Saat mobil mulai menjauh dari kawasan gedung apartemen, mobil semakin menjauh dari pusat kota. Dan semakin Aleta menyadari, keduanya menuju area yang begitu familiar di ingatannya. Café El, saksi bisu cintanya dan Bastian. Juga tempatnya mengalami kecelakaan yang membuat kakinya lumpuh karena menyelamatkan pria itu. Kepucatan di wajah Aleta menarik seringai Leon semakin tinggi. “Kenapa? Kau tak merindukan tempat ini?” Aleta bergeming, menatap café yang tampak sunyi. Tak ada satu pun pelanggan seperti setiap kali ia dan Bastian berkunjung. Me
“Mengancam?” Aleta kembali dikejutkan dengan informasi tersebut. Monica mengangguk. “Dia benar-benar sudah berubah, Aleta. Sejak kau pergi, papamu jadi lebih murung dan sering mengurung diri di ruang kerjanya. Entah memikirkanmu atau Leon, sepertinya lebih banyak karena pekerjaan. Papamu hanya cemas jika Leon melakukan sesuatu padamu, jadi dia hanya mengatakan pada mama untuk menuruti semua yang diinginkan Leon dari kami.” Aleta menjilat bibirnya yang kering. Mencerna penjelasan sang mama yang masih tak bisa dirabanya dengan baik. “Sebenarnya ada masalah apa dengan Leon dan mamanya?” Bibir Monica sudah membentuk celah, tetapi hanya helaan panjang yang keluar dari sana. Kepala wanita itu kemudian menggeleng. “Sebaiknya kau tak perlu tahu. Di antara mereka, entah siapa yang harus dibenarkan.” Kerutan di antara kedua alis Aleta semakin menukik tajam. Kebungkaman mamanya membuatnya menahan rasa penasaran yang m
Yoanna tak berhenti meremas kedua tangannya dengan gugup di depan pintu putih. Berjalan mondar-mandir dengan kecemasan yang memucatkan wajah cantiknya. Suara sepatu hak tinggi yang beradu dengan lantai bergema di lorong yang sunyi tersebut. Telapak tangannya mulai basah oleh keringat, setiap detik terasa seperti mencengkeram dadanya dengan lebih keras. Sesekali tangannya merogok sapu tangan di dalam tas untuk menyeka pelipisnya yang berkeringat. Cemas akan apa yang terjadi dengan sang menantu. Pintu yang terbuka segera membekukan langkahnya, kedua kakinya gegas menghampiri wanita yang mengenakan jas putih yang baru saja keluar tersebut. “Apa yang terjadi dengan menantu saya, Dok?” cecarnya pada sang dokter. Kedua tangannya memegang lengan dokter Tyas, nyaris mencengkeram dengan napas yang setengah tersengal. Dokter Tyas mengambil kedua tangan Yoanna, menggenggam dengan lembut demi menenangkan kecema
Aleta hanya berbaring di ranjang sejak Leon pergi tiga jam yang lalu. Sama sekali tak berminat melakukan apa pun, terutama dengan Leon yang tak akan mengganggunya hingga besok siang. Betapa ia berharap perjalanan bisnis Leon lebih lama lagi dan ia bisa memiliki lebih banyak waktu untuk tenggelam dalam patah hatinya. Sejak tadi pagi, pikirannya tak berhenti dipenuhi tentang keadaan Bastian. Bayangan kesedihan di wajah pria itu tak pernah lenyap dari benaknya. Masih terasa nyata di ingatannya. Mengiris hatinya hingga tak ada lagi yang bisa dihancurkan. Suara bel apartemen membangunkan Aleta yang baru saja tertidur. Kepalanya terasa pusing. Terlalu banyak berbaring dan belum menyuapkan apa pun ke dalam mulut selain segelas susu ibu hamilnya. Setelah duduk sejenak untuk meredakan rasa pusing di kepala, ia lekas keluar dari kamar dan membuka pintu. "Aleta?" Yoanna tersenyum lebar dan lang
Tangan Aleta sudah terjulur, hendak meraih pakaian apa pun untuk menutupi ketelanjangannya ketika pintu dibanting dari luar, terjemblak sepenuhnya dan Bastian berdiri di ambang pintu. Pandangan keduanya bertemu, tubuh Bastian membeku menatap wajah sepucat mayat Aleta. Duduk di ranjang dengan salah satu tangan berada di dada. Menahan selimut demi menutupi ketelanjangan gadis itu. Kepalanya menggeleng pilu, menyaksikan pemandangan yang selalu berhasil memporak-porandakan perasaannya. Wajah Aleta tertunduk dalam, tak tahan dengan tatapan penuh luka yang terpampang di wajah pucat Bastian. Bahkan pria itu masih mengenakan pakaian rumag sakit dan seharusnya masih berada dalam pengawasan intens dokter setelah operasi besar. Entah bagaimana pria itu bisa sampai di tempat ini dan melihatnya dalam keadaan memalukan seperti ini. “Sepertinya kalian butuh bicara,” sela Leon. Membelah keheningan menyesakkan antara Aleta dan Bastian. Berdiri bersandar pada pinggiran pintu dengan kedua tangan me
Aleta menelan ludahnya. Keheningan di antara mereka terasa sangat menyesakkan dengan ancaman Leon yang terasa menggantung di atas kepalanya. Wajahnya pucat pasi, berbanding terbalik dengan senyum yang melengkung lebar di bibir Leon. “Habiskan makananmu, setelah ini kita berlanjut, membicarakan tentang masa depan pernikahan kita. Juga … anak dalam kandunganmu.” Mata Aleta mengerjap terkejut. Wajahnya yang sudah sepucat mayat tak bisa lebih pucat lagi. “A-anak? Apa maksudmu, Leon?” Suara Aleta seperti tercekik. Ia memahami keadaan pernikahan mereka yang sangat jauh dari kata baik-baik saja. Dan mungkin memang perlu dibicarakan tentang kesepakatan-kesepakatan yang akan menguntungkan Leon lebih banyak lagi. Namun, anak? Apa yang perlu mereka bicarakan? Apakah … apakah Leon akan menceraikannya? “Tidak. Aku tak akan menceraikanmu.” Leon seolah menangkap apa yang tengah muncul di benak Aleta. “L-lalu kenapa kita ha
Sejak hari itu, Aleta tak lagi datang ke rumah sakit. Lewat sang mamalah ia mengetahui perkembangan Bastian. Yang benar-benar membuatnya lega karena perkembangan Bastian semakin membaik meski hampir satu minggu masih belum bangun. Di hari ketujuh, Aleta masih menyiapkan makan malam ketika ponselnya berdering. Panggilan dari Monica. Yang memberitahunya bahwa Bastian sudah bangun. Aleta membekap mulut, meredam pekik kelegaan yang memenuhi dada. Air mata keharuan meleleh di pipinya, yang kemudian ia hapus dengan punggung tangan. “Terima kasih, Ma. Aleta sangat lega mendengar Bastian sudah …” Aleta belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika tersentak karena ponsel yang menempel di telinganya tiba-tiba ditarik dari belakang. Kontan tubuhnya berputar dan hanya menelan ludah melihat ponsel tersebut berpindah di telinga Leon. "Ya, Ma. Ini Leon." "Ehm, Leon?" Suara Monica seakan tertelan begitu saja.
Setelah Leon berangkat ke kantor, Aleta lekas menyusul keluar dari apartemen. Menunggu sang mama menjemputnya di lobi gedung dan mereka akan bersama-sama ke rumah sakit. Namun, saat mobil sang mama muncul. Bukan hanya Monica yang melangkah turun, tetapi juga sang mertua. Yang langsung menghambur ke pelukannya. “Kau hamil,” isak Yoanna tak percaya. Mata wanita itu yang digenangi air mata bergerak naik turun ke wajah dan perut Aleta. “Monica mengatakan aku akan segera menjadi seorang nenek.” Aleta melirik sang mama, yang hanya memberinya satu anggukan. “Dan sebaiknya kau memperlakukan putriku dengan lebih baik, Yoanna,” tambah Monica, meski suaranya terdengar dingin dan datar, tetap tak menutupi ketulusan yang terselip. “Dan aku melakukannya bukan untukmu. Aku hanya tak ingin hubungan cucuku dan neneknya memburuk seperti hubunganmu dan Leon,” tambahnya lagi. “Terima kasih, Monica.” Yoanna mengusap wa
Jacob Thobias meletakkan berkas di tangannya ke meja dengan desah kepuasan, pandanganya terangkat menatap sang keponakan yang berdiri tegak di depan mejanya. "Seperti biasa, pekerjaanmu memuaskan, Leon."Leon tak memberikan respon apa pun selain ekspresi datarnya. Kecuali tatapan mengejeknya pada sang sepupu yang berdiri di sampingnya dengan tatapan cemburu dan iri dengki untuknya.Helaan napas diselimuti kekecewaan ketika tatapan Jacob berpindah kepada Bastian Thobias, putra sulung yang lebih mendahulukan emosi ketimbang otaknya. "Bisakah kau jelaskan bagaimana kecerobohan semacam ini terulang untuk kesekian kalinya, Bastian?"Wajah Bastian memucat bercampur kedongkolan yang luar biasa terpendam di dadanya. "Bastian akan berusaha memperbaikinya, Pa. Maaf.""Apakah kau pikir semua ini cukup untuk membayar kerugian yang diterima perusahaan?" Suara Jacob menguat dan tangannya menggebrak meja. Mengagetkan sang putra yang semakin pucat."Bastian berjanji tidak akan mengulangi kesalahan in...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
댓글