Home / Romansa / Bukan Sang Pewaris / 1. Bukan Sang Pewaris

Share

Bukan Sang Pewaris
Bukan Sang Pewaris
Author: Luisana Zaffya

1. Bukan Sang Pewaris

last update Last Updated: 2025-02-22 11:39:33

Jacob Thobias meletakkan berkas di tangannya ke meja dengan desah kepuasan, pandanganya terangkat menatap sang keponakan yang berdiri tegak di depan mejanya. "Seperti biasa, pekerjaanmu memuaskan, Leon."

Leon tak memberikan respon apa pun selain ekspresi datarnya. Kecuali tatapan mengejeknya pada sang sepupu yang berdiri di sampingnya dengan tatapan cemburu dan iri dengki untuknya.

Helaan napas diselimuti kekecewaan ketika tatapan Jacob berpindah kepada Bastian Thobias, putra sulung yang lebih mendahulukan emosi ketimbang otaknya. "Bisakah kau jelaskan bagaimana kecerobohan semacam ini terulang untuk kesekian kalinya, Bastian?"

Wajah Bastian memucat bercampur kedongkolan yang luar biasa terpendam di dadanya. "Bastian akan berusaha memperbaikinya, Pa. Maaf."

"Apakah kau pikir semua ini cukup untuk membayar kerugian yang diterima perusahaan?" Suara Jacob menguat dan tangannya menggebrak meja. Mengagetkan sang putra yang semakin pucat.

"Bastian berjanji tidak akan mengulangi kesalahan ini. Berikan Bastian kesempatan sekali lagi."

Sekali lagi Jacob menghela, mengurus hidungnya dengan jengah akan kalimat sang putra yang sama dan terus terulang. Kemudian melempar berkas milik Bastian hingga jatuh ke lantai. Tepat di depan kaki sang putra. "Keluar."

Bastian mengambil berkas di lantai dan berbalik keluar, sedangkan Leon mengangguk singkat untuk berpamit.

"Jangan kau pikir kemenangan sudah berada di pihakmu, Leon. Kau tak akan mendapatkan apapun dengan semya kerja kerasmu ini," desis Bastian yang menunggu  Leon di depan pintu ruangan sang papa.

Leon mendengus tipis. "Aku baru saja mendapatkan apapun yang tidak becus kau dapatkan."

Wajah Bastian semakin menggelap dengan kedua tangan mengepal di sisi tubuh.

Leon menurunkan tatapan mencemoohnya pada kepalan tersebut dan tertawa kecil. Yang membuat sang sepupu tak mampu menahan bendungan emosinya dan mengangkat salah satu kepalannya. Namun sebelum kepalan itu berhasil melayang ke wajah sang sepupu, suara dari arah samping memgalihkan keduanya.

"Hentikan, Bastian." Wanita paruh baya dengan rambut pendek sebahu melangkah mendekati keduanya.

"M-mama?" Bastian menurunkan kepalan tangannya. Menatap penuh tanya kepada sang mama yang malah melarangnya meninju musuh bebuyutan mereka.

Maria Thobias beralih menatap Leon. "Tante perlu bicara denganmu."

Leon tak langsung mengangguk, tetapi membiarkan sang tante mengikuti langkahnya menuju ruangannya yang ada di lorong paling ujung setelah memerintah sang putra menjaga sikap dan kembali ke ruangannya sendiri. Leon masih bisa merasakan kekesalan sang sepupu dari balik punggungnya dan tak peduli. Kecemburuan hanyalah milik pecundang.

"Apa sebenarnya yang kau rencanakan?" Pertanyaan dengan nada menuduh segera ditodongkan Maria begitu Leon duduk di kursinya.

"Kepanikan tidaklah baik, Tante," seringai Leon tersungging angkuh. Jemarinya bergerak memutar-mutar bolpoin dengan gerakan yang stabil. Mengusik ketenangan Nyonya Thobias.

"Maka buktikan kalau kau tidak akan merebut hak Bastian di masa mendatang."

Leon mengangkat salah satu alisnya, mengamati ekspresi Maria Thobias dalam-dalam dan bertanya, "Dengan?"

"Jauhi  Anna dan …" Maria diam sejenak. Maju satu langkah dan membungkukkan punggungnya ketika melanjutkan kalimatnya dengan suara yang lebih lirih dan tegas. "Nikahi Jelita."

Kedua alis Leon terangkat, menikahi Jelita Ege? Gadis lumpuh, anak tiri dari adik bungsu mamanya. Ya, mamanya, Yoanna Ezardy adalah anak kedua dengan sang kakak Maria Thobias dan sang adik Monica Ege. Sepupu yang sama sekali tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan Thobias Group. Bahkan satu-satunya anggota keluarga yang dianggap layaknya angin lalu. Dan semakin disempurnakan dengan gadis itu yang duduk di kursi roda.

Tentu saja Leon bisa menebak apa yang direncanakan oleh Maria Thobias demi mencegahnya menginginkan kursi kekuasaan di Thob Group. Menikahi Jelita Ege adalah satu-satunya hal paling sia-sia jika dia ingin merebut hak Bastian, bahkan bisa dibilang sebuah beban. Setidaknya itu yang terlihat. Dengan masih penuh ketenangan dan jawaban yang ringan, Leon mengangguk singkat, "Baiklah."

Maria terkejut akan jawaban sang keponakan yang kilat. Kelicikan melintasi kedua mata wanita itu. "Tante akan bicara dengan Monica dan mengurus pernikahan kalian secepatnya."

"Terima kasih untuk kebaikannya, Tante Maria." Seulas senyum tipis menggaris di ujung bibirnya.

Maria tak mengatakan apa pun dan berbalik pergi. Meninggalkan Leon yang mendesah rendah dan bersandar di punggung kursi. "Jelita Ege? Tidak buruk."

"Atau mungkin akan menjadi pilihan sempurna." Seringai tersungging di ujung bibirnya.

*** 

Leon melirik ponselnya yang bergetar dan menampilkan nama Anna Thobias di layarnya. Tangannya bergerak membalik ponsel tersebut dan menyingkirkannya, melanjutkan menutup berkas di depannya dan melanjutkan dengan berkas selanjutnya.

Konsentrasinya sepenuhnya terfokus pada laporan proyek yang janggal ketika kerutan di keningnya dijeda oleh suara ketukan pelan. Satu gumaman dan pintu terbuka.

"Tuan, makan malam."

"Letakkan di sana," perintah Leon sambil mendesah pelan. Menatap tumpukan berkas yang maish menggunung di hadapannya. Ia bangkit berdiri dan berjalan ke set sofa, mengamati sang sekretaris yang membungkuk di hadapannya dengan merendahkan dadanya.

Seringai tersamar menatap belahan dada yang terlalu rendah tepat di hadapannya. Ketika sang sekretaris mengangkat wajah dengan satu jilatan di bibir. "Apa Anda membutuhkan sesuatu yang lain, Tuan?"

Leon menggeleng singkat dan satu gerakan tangannya mengusir sang sekretaris. Ia tak butuh pengalih perhatian lainnya. Sekarang bukan saatnya bersenang-senang meski ia membutuhkan seorang wanita yang tak sekedar memuaskan hasratnya.

Sekretaris itu menegakkan punggungnya dengan gurat kecewa di permukaan wajahnya. "Mama Anda menghubungi. Mengatakan Anda tidak mengangkat panggilannya."

Leon mengangkat cangkir kopi yang masih mengepulkan asap. "Katakan aku tidak akan pulang ke rumah."

Sekretaris itu mengangguk, mengamati sang tuan yang menyesap kopi hitam tanpa melirik kepadanya lalu berbalik pergi dengan setumpuk kekecewaan.

Leon tak membuang waktunya bahkan hanya untuk menikmati pemandangan di balik dinding kacanya. Kembali menenggelamkan diri dalam tumpukan berkas di mejanya. Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan jam 11 malam dan memutuskan untuk mengakhiri pekerjaannya.

Elias menunggunya di depan teras gedung dengan mobil yang sudag dibuka untuknya. Duduk di jok belakang sambil menyalakan ponselnya. 12 panggilan Anna Thobias dan 5 panggilan dari Yoanna Ezardy. Juga satu pesan dari sang mama.

'Pulang ke rumah. Mama butuh bicara, secepatnya.'

Leon tak membalas pesan tersebut tetapi berencana makan pagi di rumahnya. Mengembalikan ponselnya ke balik saku jasnya dan bersandar di punggung jok. Kedua tangan bersilang dan memejamkan mata. Membiarkan ketenangan menemani perjalanannya.

Hanya butuh lima belas menit perjalanan menuju gedung apartemennya. Ia naik lift dengan mulus, sampai di lantai 19 dengan cepat. Tetapi ketenangannya kembali terusik dengan keberadaan sang sepupu yang menyambutnya.

"Apa benar yang dikatakan mama?" Anna Thobias mencecarnya begitu ia muncul dari dalam lift dan menghampirinya. "Apa kau akan menikahi si cacat?"

Leon hanya mengedikkan bahunya singkat. Tanpa mengurangi kecepatannya menuju pintu unitnya dan membiarkan Anna menyusul masuk.

Anna mengejar langkah Leon dan mengalungkan kedua lengannya di tangan pria itu dengan agresif. Leon menarik lengannya dan membuka pintu kamarnya. Anna mengekor dengan keras kepala.

Leon berdiri di samping tempat tidur. Melepaskan jam tangan dan mengurai dasinya ketika bertanya dengan sikap datarnya. "Ada hal lain yang ingin kau katakan lagi?"

"Aku tak ingin kau memilihnya."

Leon mengangkat salah satu alisnya saat dengusan lolos dari bibirnya. "Mama dan kakakmu tak akan menyukai itu."

"Kalau begitu gunakan aku." Anna membuka kancing pakaiannya dan membiarkan kain itu jatuh di lantai. "Hamili aku dan gunakan anak kita untuk menjadi pewaris Thob Group. Aku tahu papa tidak akan menolaknya."

Tatapan Leon mencermati keseksian tubuh Anna dari atas sampai ke bawah dengan seksama. Tubuh yang sangat indah, batinya. "Bastian tidak akan menyukai ide itu."

Anna menyeringai. "Aku tahu."

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
ann’sbooks
Makasih Kak Lui sudah update cerita baru
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Bukan Sang Pewaris   2. Calon Tunangan

    Suara denting bel yang ditekan terus menerus memaksa Leon membuka kedua matanya. Dengan penuh keengganan, pria itu melangkah turun dari ranjangnya yang hangat. Yoanna Ezardy, anak kedua dari tiga bersaudara sekaligus mama kandungnya berdiri di depan pintu apartemen. Memasang wajah kesal ketika menerobos masuk ke dalam apartemennya.“Mama tidak akan merestui pernikahanmu dengan anak cacat itu.”“Kenapa? Dia keponakan mama.”“Anak tiri,” koreksi Yoanna. Menahan kesal di kedua ujung bibir.“Anak tiri tante Monica, adik mama.”“Dia sama sekali tak memiliki hubungan darah dengan keluarga kita, Leon.” Suara Yoanna mulai diselimuti kefrustrasian akan permainan kata sang putri. “Tak ada keuntungan apa pun yang akan kau dapatkan dengan menikahinya.”“Mama lebih suka aku menikah dengan Anna?”Sejenak wajah Yoanna terdiam, tetapi kemudian menggeleng. “Berlian Mamora.”“Calon tunangan Bastian?”Yoanna mengangguk. “Mama sudah bicara dengan kedua orang tuanya. Kau hanya butuh mendekati Berlian. Bas

    Last Updated : 2025-02-22
  • Bukan Sang Pewaris   3. Pertunangan Tak Terduga

    “Apa kami tak salah dengar?” Anna, satu-satunya orang yang berani menunjukkan keterkejutannya dengan kabar bahagia yang disampaikan sang mama di tengah acara makan malam tersebut. Wanita berambut pendek itu tampak menunjukkan ketidak setujuannya. Satu-satunya orang yang menentang perjodohan sialan itu. Dan bagaimana mungkin langkah sang mama secepat ini? Baru tadi malam ia mengetahui tentang rencana tersebut.“Ya, pertunangan Leon dan Aleta,” angguk Maida. Meyakinkan sang putri bahwa acara makan malam ini sekaligus untuk merayakan pertunangan keponakannya tersebut. Tatapannya lurus pada sang putri, ematikan harapan yang ada di kedua mata Anna yang tidak pada tempatnya. Kedua ibu dan anak tersebut saling pandang, menciptakan ketegangan yang tak kasat mata di tengah meja panjang yang dipenuhi seluruh anggota keluarga. Tak hanya kedua wanita tersebut, Aleta yang duduk di meja paling ujung pun tak kalah terkejutnya. Gadis itu menatap ke arah Leon yang duduk di seberang meja. Posisi yang

    Last Updated : 2025-02-22
  • Bukan Sang Pewaris   4. Gadis Cacat

    "Apakah tidak ada cara untuk menghentikan perjodohan ini?" Aleta memberanikan diri mengemukakan pendapatnya. Untuk pertama kali akan keputusan yang ditentukan sang papa pada hidupnya.Pernikahan bukanlah keputusan yang bisa diterima semudah pilihan baju yang ditentukan sang papa dan mama tiri untuk ia kenakan malam ini. Tapi pernikahan jelas akan berlaku sekali untuk seumur hidup, dan itu bukan waktu yang sebentar untuk menghabiskan seumur hidup bersama seseorang yang nyaris sama sekali tak ia kenal."Kau bisa menentangnya, Nirel. Bagaimana mungkin kau akan mengorbankan putrimu untuk menjadi pereda perselisihan keluarga, yang bahkan tak ada hubungannya denganmu.""Mereka kedua kakakmu, Monica." Suara Nirel lembut, meski begitu berhasil membuat dang istri merapatkan rahang. Membuang wajah ke samping dan tak bicara lagi. Pun dengan kekesalan dan ketidak setujuan yang begitu jelas di raut cantiknya.Perselisihan kedua kakaknya sudah menjadi rahasia umum bagi keluarga besar mereka. Maida

    Last Updated : 2025-02-22
  • Bukan Sang Pewaris   5. Cinta Yang Tersembunyi

    Acara yang diadakan Maida Thobias tak pernah tak berhasil. Pernikahan Leon dan Aleta mendapatkan sambutan yang meriah dari para tamu undangan. Tak hanya ucapan selamat membanjiri keluarga tersebut, decak kagum akan kemewahan pernikahan serta acara resepsi sepanjang hari terus berdendang di telinga Maida, Yoanna, dan Monica. Tentu paling lebar tentu saja hanya ada di wajah Maida. Di balik senyum yang melengkung di wajah Yoanna, ada kekecewaan yang masih melekat di kedua mata wanita itu setiap kali menatap ke arah pelaminan, terutama pada Aleta.Pujian akan kebesaran hati Leon yang mempersunting gadis cacat itu sama sekali tak menghiburnya. Malah menumpukkan rasa malu yang semakin menggunung di dalam dadanya.Seorang Leon Ezardy, seorang pria cerdas dengan karir yang sempurna. Lengkap dengan penampilan sang putra yang begitu tampan dan gagah. Sekarang harus disandingkan dengan gadis cacat, yang tak memberikan apa pun selain mencoreng nama baik keluarga mereka.“Kau menatapnya seolah dia

    Last Updated : 2025-02-22
  • Bukan Sang Pewaris   6. Malam Pertama

    "Minum?" Leon mengangkat gelas berisi cairan merah gelap ke arah Aleta yang duduk di sampingnya. Kursi roda gadis itu yang terlipat sengaja ia letakkan jauh dari jangkauan mereka.Aleta menggeleng. Meski sepanjang acara pernikahan dan resepsi ia hanya duduk, tetap saja tubuhnya terasa pegal karena sama sekali tidak berbaring. Dan kursi rodanya ada di seberang ruangan.Ketika keduanya meninggalkan gedung tempat resepsi, Leon memang sengaja menggendongnya. Demi menyempurnakan peran pria itu sebagai suami yang sempurna di hadapan banyak mata. Dan ia pikir pria itu akan membiarkannya menggunakan kursi rodanya sendiri ketika sampai di gedung hotel tempat keduanya akan bermalam. Tetapi pria itu tetap menggendongnya hingga masuk ke suite hotel. Yang disediakan khusus oleh Maida Thobias untuk menghabiskan malam pertama. Yang tak akan pernah mereka lakukan. Sekarang keduanya sedang duduk di sofa santai, dengan kedua kaki yang berselonjor. Ada meja kecil, dengan camilan dan botol anggur yang s

    Last Updated : 2025-02-22
  • Bukan Sang Pewaris   7. Senjata Baru

    Part 7 Senjata BaruCahaya hangat matahari yang menerpa wajah Aleta, perlahan membangunkan gadis itu dengan cara yang lembut. Kelopak matanya bergerak pelan, tangannya terangkat menghalangi cahaya menyilaukan yang mulai terasa menusuk matanya. Erangan pelan lolos dari celah bibirnya ketika kepalanya menoleh ke samping dan membentur dada telanjang yang ada di sampingnya.Kesiap kaget nyaris lolos dari celah bibirnya sebelum telapak tangannya membekap mulut. Matanya melotot terkejut ketika kepalanya bergerak terangkat dan menemukan wajah Leon yang masih terlelap berbaring di sampingnya. Aleta seketika menelaah ingatannya. Dan semakin mengingat, wajahnya semakin memanas. Terutama ketika wajahnya terangkat, menyadari tubuhnya yang masih telanjang di balik selimut. Tak hanya itu, lengan pria itu juga masih melingkari perutnya, menghalangi gerakannya untuk bergerak turun dari sofa santai.“Kau sudah bangun?” Suara serak Leon mengejutkan Aleta yang hendak menyingkap selimut. Pegangan lengan

    Last Updated : 2025-02-24
  • Bukan Sang Pewaris   8. Cinta Anna

    Hanya sesaat bibir Leon dan Anna saling bersentuhan ketika pria itu melepaskan kedua lengan sang sepupu dari lehernya. Membuat wanita itu mencebik tak suka akan penolakan Leon. "Kenapa? Kau tak butuh hiburan untuk malam pengantin barumu yang menyedihkan?" Telapak tangan Anna menyentuh dada telanjang Leon. Tetapi lagi-lagi mendapatkan penolakan sebelum bergerak mengelus untuk menggoda pria itu. Pun begitu tak mencegah tatapan takjubnya akan keseksian tubuh Leon yang setengah telanjang. "Tidak butuh?" "Apa yang kau lakukan di sini, Anna?" Anna tak tertarik menjawab pertanyaan Leon. Wajah wanita itu berputar dan pandangannya terhenti pada pakaian yang berserakan di sekitar sofa. "Jadi siapa yang menghangatkanmu tadi malam?" "Pertanyaan apa itu, Anna. Dengan siapa lagi aku harus menghabiskan malam pengantin baru jika bukan dengan istriku?" Ekspresi di wajah Anna seketika membeku. Menatap keseriusan di raut Leon dengan penuh ketidak percayaan. "Tak mungkin dengan si cacat itu, kan?"

    Last Updated : 2025-02-25
  • Bukan Sang Pewaris   9. Menguatkan Hati

    Aleta tak menemukan keberadaan sang mama ketika baru saja keluar dari ruang terapi. Kepalanya berputar, mencari ke lorong di sekitar. Tak biasanya mamanya meninggalkannya saat terapinya selesai. “Sudah selesai?” Suara bass itu tiba-tiba terdengar dari samping Aleta. Gadis itu menoleh dan terkejut menemukan Bastian yang baru saja keluar dari ruang dokter di samping ruang terapi. Mendekati ke arah Aleta, yang langsung mendorong kursi roda menjauh dari pria itu. “Mamamu sedang pergi ke toilet di lantai tiga. Toilet di lantai ini sedang dalam perbaikan.” ‘Dan sungguh di saat yang tepat,’ batin Aleta. “Dan mamamu menitipkanmu padaku.” Bastian menahan pegangan kursi roda. Menghentikan Aleta yang berusaha menghindar. “Lepaskan, Bastian,” desis Aleta tajam. Berusaha menggerakkan kursi rodanya agar terlepas dari pegangan Bastian. Bastian membungkuk, menekan kunci roda dan memutar Aleta. Kemudian berjongkok di hadapan gadis itu. “Dokter mengatakan perkembangan otot kakimu cukup bagus. Ja

    Last Updated : 2025-02-26

Latest chapter

  • Bukan Sang Pewaris   44. Baby Lucien

    Leon menatap wajah Aleta yang dibasahi oleh peluh. Rintihan, erangan, jeritan serta ringisan di wajah Aleta membuatnya seluruh tubuhnya membeku. Membuatnya merasa begitu tak berdaya melihat rasa sakit yang tengah dialami oleh sang istri. Tangannya diremas oleh Aleta, hingga buku-buku jari gadis itu memutih. Akan tetapi, ia sama sekali tak merasakan apa pun meski kuku panjang Aleta menusuk dan meninggalkan bekas yang dalam di sana. Rasa sakit yang ia dapatkan dari cengkeraman Aleta jelas tak bisa dibandingkan dengan rasa sakit yang mendera perut sang istri. Yang tengah berjuang melahirkan buah hati mereka berdua. Dokter dan perawat tak berhenti mengarahkan Aleta untuk mengatur napas. Kapan saatnya untuk menahan dan mengembuskannya. Dan kapan saatnya untuk mengejan. Fokus Leon hanya pada wajah Aleta yang memucat dan basah oleh keringat. Salah satu telapak tangannya yang bergetar mengusap kening Aleta.

  • Bukan Sang Pewaris   43. Pernikahan Bastian

    Suara denting lift yang kembali terdengar dari arah belakang Bastian segera membekukan keduanya. Aleta sedikit mencondongkan tubuhnya, mengintip Leonlah yang melangkah keluar dari dalam lift. Kesiap pelan dari celah bibir Aleta pun membuat Bastian menyadari siapa yang datang. Pria itu melengkungkan senyum tipis untuk Aleta dan berjalan menuju pintu keluar rumah sakit. Leon tentu saja menyadari siapa yang baru saja bicara dengan sang istri. Pandangan pria itu tak lepas dari punggung Bastian yang melewati pintu putar sepanjang langkahnya menghampiri Aleta. “Hanya sesaat aku melepaskan pandangan darimu, dan inilah yang kalian lakukan?” dengus Leon ketika berhenti tepat di depan Aleta. Wajah gadis itu tidak pucat, tapi tak mengatakan apa pun untuk menyangkal apalagi mengiyakan. “Aku ingin pulang.” Suara Aleta datar dan dingin. Berusaha bangun dari duduknya. Ujung bibir Leon menipis tajam, melihat Aleta yang sed

  • Bukan Sang Pewaris   42. Menunggu Sedikit Lebih Lama

    Berbanding terbalik dengan wajah Aleta yang seketika memucat. Kepalanya bergerak naik, menatap mobil yang berhenti tepat di depan mereka. Ya, itu mobil Bastian. “Tetap di tempatmu,” ucap Leon sebelum melompat turun dan mengunci pintu mobil. Aleta berusaha membuka pintu mobil dengan sia melihat Bastian yang juga turun dari mobil. Pandangan Bastian sejenak menatap ke tempatnya sebelum kembali pada Leon dengan penuh amarah. Keduanya pria itu saling berhadap-hadapan. Bastian yang penuh ketegangan, berbanding terbalik dengan Leon yang bersikap sangat tenang. Satu-satunya yang Aleta cemaskan hanyalah satu, Leon akan mengatakan tentang hubungan kedua pria itu pada Bastian. *** “Ck, lagi-lagi kau merusak kesenanganku, Bastian,” gerutu Leon dengan nada kesal yang dibuat-buat. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku. “Lepaskan Aleta, Leon. Kau sudah mendapatkan semu

  • Bukan Sang Pewaris   41. Menghapus Kenangan Masa Lalu

    Alih-alih membawanya ke restoran mewah atau di restoran hotel bintang lima seperti yang sebelumnya Leon lakukan, malam itu Leon membawanya ke sebuah café sederhana yang ada di kawasan pinggir kota. Aleta sudah merasa ada yang janggal dengan keinginan Leon yang tiba-tiba tersebut. Terutama dengan pria itu yang memastikannya mengenakan pakaian yang membuatnya nyaman. Saat mobil mulai menjauh dari kawasan gedung apartemen, mobil semakin menjauh dari pusat kota. Dan semakin Aleta menyadari, keduanya menuju area yang begitu familiar di ingatannya. Café El, saksi bisu cintanya dan Bastian. Juga tempatnya mengalami kecelakaan yang membuat kakinya lumpuh karena menyelamatkan pria itu. Kepucatan di wajah Aleta menarik seringai Leon semakin tinggi. “Kenapa? Kau tak merindukan tempat ini?” Aleta bergeming, menatap café yang tampak sunyi. Tak ada satu pun pelanggan seperti setiap kali ia dan Bastian berkunjung. Me

  • Bukan Sang Pewaris   40. Perubahan Leon

    “Mengancam?” Aleta kembali dikejutkan dengan informasi tersebut. Monica mengangguk. “Dia benar-benar sudah berubah, Aleta. Sejak kau pergi, papamu jadi lebih murung dan sering mengurung diri di ruang kerjanya. Entah memikirkanmu atau Leon, sepertinya lebih banyak karena pekerjaan. Papamu hanya cemas jika Leon melakukan sesuatu padamu, jadi dia hanya mengatakan pada mama untuk menuruti semua yang diinginkan Leon dari kami.” Aleta menjilat bibirnya yang kering. Mencerna penjelasan sang mama yang masih tak bisa dirabanya dengan baik. “Sebenarnya ada masalah apa dengan Leon dan mamanya?” Bibir Monica sudah membentuk celah, tetapi hanya helaan panjang yang keluar dari sana. Kepala wanita itu kemudian menggeleng. “Sebaiknya kau tak perlu tahu. Di antara mereka, entah siapa yang harus dibenarkan.” Kerutan di antara kedua alis Aleta semakin menukik tajam. Kebungkaman mamanya membuatnya menahan rasa penasaran yang m

  • Bukan Sang Pewaris   39. Amarah Leon

    Yoanna tak berhenti meremas kedua tangannya dengan gugup di depan pintu putih. Berjalan mondar-mandir dengan kecemasan yang memucatkan wajah cantiknya. Suara sepatu hak tinggi yang beradu dengan lantai bergema di lorong yang sunyi tersebut. Telapak tangannya mulai basah oleh keringat, setiap detik terasa seperti mencengkeram dadanya dengan lebih keras. Sesekali tangannya merogok sapu tangan di dalam tas untuk menyeka pelipisnya yang berkeringat. Cemas akan apa yang terjadi dengan sang menantu. Pintu yang terbuka segera membekukan langkahnya, kedua kakinya gegas menghampiri wanita yang mengenakan jas putih yang baru saja keluar tersebut. “Apa yang terjadi dengan menantu saya, Dok?” cecarnya pada sang dokter. Kedua tangannya memegang lengan dokter Tyas, nyaris mencengkeram dengan napas yang setengah tersengal. Dokter Tyas mengambil kedua tangan Yoanna, menggenggam dengan lembut demi menenangkan kecema

  • Bukan Sang Pewaris   38. Berlian Mamora

    Aleta hanya berbaring di ranjang sejak Leon pergi tiga jam yang lalu. Sama sekali tak berminat melakukan apa pun, terutama dengan Leon yang tak akan mengganggunya hingga besok siang. Betapa ia berharap perjalanan bisnis Leon lebih lama lagi dan ia bisa memiliki lebih banyak waktu untuk tenggelam dalam patah hatinya. Sejak tadi pagi, pikirannya tak berhenti dipenuhi tentang keadaan Bastian. Bayangan kesedihan di wajah pria itu tak pernah lenyap dari benaknya. Masih terasa nyata di ingatannya. Mengiris hatinya hingga tak ada lagi yang bisa dihancurkan. Suara bel apartemen membangunkan Aleta yang baru saja tertidur. Kepalanya terasa pusing. Terlalu banyak berbaring dan belum menyuapkan apa pun ke dalam mulut selain segelas susu ibu hamilnya. Setelah duduk sejenak untuk meredakan rasa pusing di kepala, ia lekas keluar dari kamar dan membuka pintu. "Aleta?" Yoanna tersenyum lebar dan lang

  • Bukan Sang Pewaris   37 Merelakan

    Tangan Aleta sudah terjulur, hendak meraih pakaian apa pun untuk menutupi ketelanjangannya ketika pintu dibanting dari luar, terjemblak sepenuhnya dan Bastian berdiri di ambang pintu. Pandangan keduanya bertemu, tubuh Bastian membeku menatap wajah sepucat mayat Aleta. Duduk di ranjang dengan salah satu tangan berada di dada. Menahan selimut demi menutupi ketelanjangan gadis itu. Kepalanya menggeleng pilu, menyaksikan pemandangan yang selalu berhasil memporak-porandakan perasaannya. Wajah Aleta tertunduk dalam, tak tahan dengan tatapan penuh luka yang terpampang di wajah pucat Bastian. Bahkan pria itu masih mengenakan pakaian rumag sakit dan seharusnya masih berada dalam pengawasan intens dokter setelah operasi besar. Entah bagaimana pria itu bisa sampai di tempat ini dan melihatnya dalam keadaan memalukan seperti ini. “Sepertinya kalian butuh bicara,” sela Leon. Membelah keheningan menyesakkan antara Aleta dan Bastian. Berdiri bersandar pada pinggiran pintu dengan kedua tangan me

  • Bukan Sang Pewaris   36. Surat Kesepakatan Perceraian

    Aleta menelan ludahnya. Keheningan di antara mereka terasa sangat menyesakkan dengan ancaman Leon yang terasa menggantung di atas kepalanya. Wajahnya pucat pasi, berbanding terbalik dengan senyum yang melengkung lebar di bibir Leon. “Habiskan makananmu, setelah ini kita berlanjut, membicarakan tentang masa depan pernikahan kita. Juga … anak dalam kandunganmu.” Mata Aleta mengerjap terkejut. Wajahnya yang sudah sepucat mayat tak bisa lebih pucat lagi. “A-anak? Apa maksudmu, Leon?” Suara Aleta seperti tercekik. Ia memahami keadaan pernikahan mereka yang sangat jauh dari kata baik-baik saja. Dan mungkin memang perlu dibicarakan tentang kesepakatan-kesepakatan yang akan menguntungkan Leon lebih banyak lagi. Namun, anak? Apa yang perlu mereka bicarakan? Apakah … apakah Leon akan menceraikannya? “Tidak. Aku tak akan menceraikanmu.” Leon seolah menangkap apa yang tengah muncul di benak Aleta. “L-lalu kenapa kita ha

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status