Hanya sesaat bibir Leon dan Anna saling bersentuhan ketika pria itu melepaskan kedua lengan sang sepupu dari lehernya. Membuat wanita itu mencebik tak suka akan penolakan Leon. "Kenapa? Kau tak butuh hiburan untuk malam pengantin barumu yang menyedihkan?" Telapak tangan Anna menyentuh dada telanjang Leon. Tetapi lagi-lagi mendapatkan penolakan sebelum bergerak mengelus untuk menggoda pria itu. Pun begitu tak mencegah tatapan takjubnya akan keseksian tubuh Leon yang setengah telanjang. "Tidak butuh?" "Apa yang kau lakukan di sini, Anna?" Anna tak tertarik menjawab pertanyaan Leon. Wajah wanita itu berputar dan pandangannya terhenti pada pakaian yang berserakan di sekitar sofa. "Jadi siapa yang menghangatkanmu tadi malam?" "Pertanyaan apa itu, Anna. Dengan siapa lagi aku harus menghabiskan malam pengantin baru jika bukan dengan istriku?" Ekspresi di wajah Anna seketika membeku. Menatap keseriusan di raut Leon dengan penuh ketidak percayaan. "Tak mungkin dengan si cacat itu, kan?"
Aleta tak menemukan keberadaan sang mama ketika baru saja keluar dari ruang terapi. Kepalanya berputar, mencari ke lorong di sekitar. Tak biasanya mamanya meninggalkannya saat terapinya selesai. “Sudah selesai?” Suara bass itu tiba-tiba terdengar dari samping Aleta. Gadis itu menoleh dan terkejut menemukan Bastian yang baru saja keluar dari ruang dokter di samping ruang terapi. Mendekati ke arah Aleta, yang langsung mendorong kursi roda menjauh dari pria itu. “Mamamu sedang pergi ke toilet di lantai tiga. Toilet di lantai ini sedang dalam perbaikan.” ‘Dan sungguh di saat yang tepat,’ batin Aleta. “Dan mamamu menitipkanmu padaku.” Bastian menahan pegangan kursi roda. Menghentikan Aleta yang berusaha menghindar. “Lepaskan, Bastian,” desis Aleta tajam. Berusaha menggerakkan kursi rodanya agar terlepas dari pegangan Bastian. Bastian membungkuk, menekan kunci roda dan memutar Aleta. Kemudian berjongkok di hadapan gadis itu. “Dokter mengatakan perkembangan otot kakimu cukup bagus. Ja
“Aku melihat mobilnya. Kupikir aku salah lihat, tapi mengingat kau juga ada di dalam rumah sakit, sepertinya perkiraanku tidak salah.” Leon tak pernah tertarik dengan urusan Bastian. Ketegangan keduanya lebih pada urusan pekerjaan. Tetapi … sejak ia mengetahui hubungan Aleta dan Bastian, tentu saja semua hal tentang pria itu akan menarik perhatiannya. Terutama jika berhubungan dengan Aleta. “Apakah dia masih bertanggung jawab dan memastikan perkembangan kakimu? Bastian yang kukenal bukan orang yang bertanggung jawab.” Aleta mencoba membaca niat Leon dengan kata-kata tersebut. Sekedar mengejek hubungan mereka berdua atau pria itu sedang mencoba menimbang kadar perasaan yang masih tersisa di antara keduanya. Yang akan digunakan untuk kelicikan Leon mengalahkan Bastian. “Rupanya kau memang masih begitu special di hatinya, ya?” dengus Leon mengejek. “Dan sejujurnya, aku tak pernah merasa sepuas ini. Kau tahu, saat apa yang kita miliki ternyata menjadi hal yang begitu special di hati
Leon sudah mengemas semua barang-barangnya dan Aleta ke dalam koper mereka di atas tempat tidur. Menunggu petugas hotel yang akan segera datang untuk membantu mereka. Dan baru saja Leon meraih ponselnya di meja, juga tas Aleta. Bel kamar berdenting, pria itu lekas membukakan pintu. Tapi bukan orang hotel yang berdiri di depan pintu kamar mereka. Melainkan sang mama, yang meski wajahnya tampak begitu tenang, tak berhasil menutupi kecemasan yang tersirat di kedua mata wanita paruh baya tersebut.Kedua alis Leon menyatu, terheran dengan keberadaan sang mama.“M-mama … ada yang harus mama bicarakan dengan kau. Maksud mama kalian berdua.”“Kita bisa membicarakannya saat aku ke rumah, Ma. Elias sudah menunggu di bawah.”“Itu yang sedang ingin mama bicarakan.” Yoanna melangkah masuk, menyelipkan tubuhnya yang mungil di samping tubuh tinggi dan besar sang putra, yang memang menurun dari Jacob Thobias. Tak hanya itu, manik mata dan bentuk wajah yang dimiliki Leon memang menurun dari pria itu.
Dengan bantuan beberapa pelayan keluarga Leon, semua barang-barang Aleta sudah dirapikan ke dalam lemari besar. Begitu pun dengan barang-barang Leon yang ada di kamar pria itu, yang tak lebih banyak dari semua barangnya. Ia sempat mendengar mama mertuanya untuk memindahkan barang-barang pria itu yang ada di apartemen, tetapi segera mendapatkan reaksi yang tak menyenangkan sehingga Yoanna menawarkan akan membeli barang-barang yang baru untuk menambahkan. Yang tak dijawab apa pun oleh Leon dan menjadi lampu hijau bagi wanita paruh tersebut. Setelah makan malam di rumah utama, Aleta kembali ke paviliun. Sempat mengobrol sejenak dengan Lena, adik perempuan Leon yang kebetulan seumuran dengannya. Menawarkan diri jika Aleta butuh bantuan. Meski hubungan mereka tak cukup dekat, sikap Lena lebih ramah dan lembut kepadanya. Begitu pun dengan sang papa mertua. Lionel Ezardy. Sementara Leon, pria itu naik ke lantai dua dan kembali ketika menjelang jam sepuluh. Tepat ketika Aleta siap berbarin
"Pokoknya tidak. Kau tidak boleh mendekati Leon." "Kenapa?" "K-karena …" Yoanna kesulitan mendapatkan alasan. Tetapi kemudian pandangannya menangkap keberadaan Aleta yang masih tertunduk di depan Leon. Bersikap menjadi makhluk tak kasat mata seperti biasa. "Karena dia sudah menikah." "Menikahi gadis cacat tidak terhitung pernikahan, tante." Jawaban Anna sangat ringan. Melirik sekilas ke arah Aleta dengan ekspresi mencemooh. "Pokoknya … kau tidak boleh dekat-dekat dengan Leon. Dan jangan ganggu hubungan mereka. Mereka sudah menikah. Sekarang kau pulang ke rumahmu." Yoanna mendorong sang keponakan menjauh. "Tante …" rengek Anna. "Tante mengusirku?" "Ya. Pulang sana. Dan jangan pernah ke rumah tante lagi selama Leon dan Aleta menikah." Wajah Anna berubah semringah. "Jadi kalau mereke bercerai …" "Tidak. Pokoknya selama kau memandang Leon dengan bunga-bunga semacam itu di matamu. Kau tak boleh dekat-dekat di sekitar rumah tante." Anna mendengus sebal. "Berarti di kantor boleh,"
Leon pikir akan bisa mengabaikan tanda tanyanya tentang sikap sang mama pada Anna pagi tadi, tetapi rupanya apa yang ia dapatkan di kantor semakin memperkerut firasatnya. “Entah dari mana mamamu mendapatkan informasi semacam itu, Leon.” Jawaban Jacob pun terasa aneh. Mamanya jelas mengatakan bahwa Jacob sudah mempersiapkan posisi tersebut, dan ia juga sudah mengonfirmasinya lewat salah satu informannya di Singapore. Yang bahkan sudah ditandatangani oleh pria itu sendiri. “Jadi tidak?” Leon tak melepaskan pandangannya dari kedua mata biru Jacob Thobias yang tampak lebih terang dibandingkan miliknya. Jacob terkekeh. “Tentu saja tidak. Keberadaanmu di kantor pusat sangat dibutuhkan. Meski jika kau memenangkannya, itu akan menambah bebanmu. Kau tak masalah?” Leon menggeleng singkat. Untuk sesaat keduanya saling pandang, Leon memutus kontak mata tersebut lebih dulu sebelum kemudian mendekatkan berkas yang ada di depannya. “Ini berkas yang paman butuhkan.” Jacob membuka berkas terse
"Dia benar-benar menidurimu?" Bastian kembali memecah keheningan di antara mereka. Aleta seolah sengaja merapatkan mulut, tak ingin memberikan jawaban. Yang ia tahu akan membuatnya hancur. Bastian mendongakkan wajah Aleta, yang langsung gadis itu tepis. "Tak ada yang salah dengan itu, Bastian. Kami sudah menikah." "Dia bukan orang yang akan tertarik dengan …" "Gadis cacat sepertiku?" Bastian berkedip. Suaranya berubah lembut, tanpa tekanan seperti sebelumnya. "Aku tak bermaksud mengatakan seperti itu, Aleta." Aleta tetap menampilkan raut dinginnya meski sorot Bastian mengatakan yang sejujurnya. Bastian mengangguk. Meredam kecemburuan yang semakin sulit dikendalikan ketika bayangan liar itu muncul di benaknya. Tentang bagaimana Leon meniduri gadisnya. Matanya sempat menyipit, ketika sekilas menangkap kissmark yang tak berhasil disembunyikan di antara helaian rambut Aleta yang diurai. Suara langkah yang semakin mendekat menyela di antara pandangan keduanya yang masih saling ter
Leon menatap wajah Aleta yang dibasahi oleh peluh. Rintihan, erangan, jeritan serta ringisan di wajah Aleta membuatnya seluruh tubuhnya membeku. Membuatnya merasa begitu tak berdaya melihat rasa sakit yang tengah dialami oleh sang istri. Tangannya diremas oleh Aleta, hingga buku-buku jari gadis itu memutih. Akan tetapi, ia sama sekali tak merasakan apa pun meski kuku panjang Aleta menusuk dan meninggalkan bekas yang dalam di sana. Rasa sakit yang ia dapatkan dari cengkeraman Aleta jelas tak bisa dibandingkan dengan rasa sakit yang mendera perut sang istri. Yang tengah berjuang melahirkan buah hati mereka berdua. Dokter dan perawat tak berhenti mengarahkan Aleta untuk mengatur napas. Kapan saatnya untuk menahan dan mengembuskannya. Dan kapan saatnya untuk mengejan. Fokus Leon hanya pada wajah Aleta yang memucat dan basah oleh keringat. Salah satu telapak tangannya yang bergetar mengusap kening Aleta.
Suara denting lift yang kembali terdengar dari arah belakang Bastian segera membekukan keduanya. Aleta sedikit mencondongkan tubuhnya, mengintip Leonlah yang melangkah keluar dari dalam lift. Kesiap pelan dari celah bibir Aleta pun membuat Bastian menyadari siapa yang datang. Pria itu melengkungkan senyum tipis untuk Aleta dan berjalan menuju pintu keluar rumah sakit. Leon tentu saja menyadari siapa yang baru saja bicara dengan sang istri. Pandangan pria itu tak lepas dari punggung Bastian yang melewati pintu putar sepanjang langkahnya menghampiri Aleta. “Hanya sesaat aku melepaskan pandangan darimu, dan inilah yang kalian lakukan?” dengus Leon ketika berhenti tepat di depan Aleta. Wajah gadis itu tidak pucat, tapi tak mengatakan apa pun untuk menyangkal apalagi mengiyakan. “Aku ingin pulang.” Suara Aleta datar dan dingin. Berusaha bangun dari duduknya. Ujung bibir Leon menipis tajam, melihat Aleta yang sed
Berbanding terbalik dengan wajah Aleta yang seketika memucat. Kepalanya bergerak naik, menatap mobil yang berhenti tepat di depan mereka. Ya, itu mobil Bastian. “Tetap di tempatmu,” ucap Leon sebelum melompat turun dan mengunci pintu mobil. Aleta berusaha membuka pintu mobil dengan sia melihat Bastian yang juga turun dari mobil. Pandangan Bastian sejenak menatap ke tempatnya sebelum kembali pada Leon dengan penuh amarah. Keduanya pria itu saling berhadap-hadapan. Bastian yang penuh ketegangan, berbanding terbalik dengan Leon yang bersikap sangat tenang. Satu-satunya yang Aleta cemaskan hanyalah satu, Leon akan mengatakan tentang hubungan kedua pria itu pada Bastian. *** “Ck, lagi-lagi kau merusak kesenanganku, Bastian,” gerutu Leon dengan nada kesal yang dibuat-buat. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku. “Lepaskan Aleta, Leon. Kau sudah mendapatkan semu
Alih-alih membawanya ke restoran mewah atau di restoran hotel bintang lima seperti yang sebelumnya Leon lakukan, malam itu Leon membawanya ke sebuah café sederhana yang ada di kawasan pinggir kota. Aleta sudah merasa ada yang janggal dengan keinginan Leon yang tiba-tiba tersebut. Terutama dengan pria itu yang memastikannya mengenakan pakaian yang membuatnya nyaman. Saat mobil mulai menjauh dari kawasan gedung apartemen, mobil semakin menjauh dari pusat kota. Dan semakin Aleta menyadari, keduanya menuju area yang begitu familiar di ingatannya. Café El, saksi bisu cintanya dan Bastian. Juga tempatnya mengalami kecelakaan yang membuat kakinya lumpuh karena menyelamatkan pria itu. Kepucatan di wajah Aleta menarik seringai Leon semakin tinggi. “Kenapa? Kau tak merindukan tempat ini?” Aleta bergeming, menatap café yang tampak sunyi. Tak ada satu pun pelanggan seperti setiap kali ia dan Bastian berkunjung. Me
“Mengancam?” Aleta kembali dikejutkan dengan informasi tersebut. Monica mengangguk. “Dia benar-benar sudah berubah, Aleta. Sejak kau pergi, papamu jadi lebih murung dan sering mengurung diri di ruang kerjanya. Entah memikirkanmu atau Leon, sepertinya lebih banyak karena pekerjaan. Papamu hanya cemas jika Leon melakukan sesuatu padamu, jadi dia hanya mengatakan pada mama untuk menuruti semua yang diinginkan Leon dari kami.” Aleta menjilat bibirnya yang kering. Mencerna penjelasan sang mama yang masih tak bisa dirabanya dengan baik. “Sebenarnya ada masalah apa dengan Leon dan mamanya?” Bibir Monica sudah membentuk celah, tetapi hanya helaan panjang yang keluar dari sana. Kepala wanita itu kemudian menggeleng. “Sebaiknya kau tak perlu tahu. Di antara mereka, entah siapa yang harus dibenarkan.” Kerutan di antara kedua alis Aleta semakin menukik tajam. Kebungkaman mamanya membuatnya menahan rasa penasaran yang m
Yoanna tak berhenti meremas kedua tangannya dengan gugup di depan pintu putih. Berjalan mondar-mandir dengan kecemasan yang memucatkan wajah cantiknya. Suara sepatu hak tinggi yang beradu dengan lantai bergema di lorong yang sunyi tersebut. Telapak tangannya mulai basah oleh keringat, setiap detik terasa seperti mencengkeram dadanya dengan lebih keras. Sesekali tangannya merogok sapu tangan di dalam tas untuk menyeka pelipisnya yang berkeringat. Cemas akan apa yang terjadi dengan sang menantu. Pintu yang terbuka segera membekukan langkahnya, kedua kakinya gegas menghampiri wanita yang mengenakan jas putih yang baru saja keluar tersebut. “Apa yang terjadi dengan menantu saya, Dok?” cecarnya pada sang dokter. Kedua tangannya memegang lengan dokter Tyas, nyaris mencengkeram dengan napas yang setengah tersengal. Dokter Tyas mengambil kedua tangan Yoanna, menggenggam dengan lembut demi menenangkan kecema
Aleta hanya berbaring di ranjang sejak Leon pergi tiga jam yang lalu. Sama sekali tak berminat melakukan apa pun, terutama dengan Leon yang tak akan mengganggunya hingga besok siang. Betapa ia berharap perjalanan bisnis Leon lebih lama lagi dan ia bisa memiliki lebih banyak waktu untuk tenggelam dalam patah hatinya. Sejak tadi pagi, pikirannya tak berhenti dipenuhi tentang keadaan Bastian. Bayangan kesedihan di wajah pria itu tak pernah lenyap dari benaknya. Masih terasa nyata di ingatannya. Mengiris hatinya hingga tak ada lagi yang bisa dihancurkan. Suara bel apartemen membangunkan Aleta yang baru saja tertidur. Kepalanya terasa pusing. Terlalu banyak berbaring dan belum menyuapkan apa pun ke dalam mulut selain segelas susu ibu hamilnya. Setelah duduk sejenak untuk meredakan rasa pusing di kepala, ia lekas keluar dari kamar dan membuka pintu. "Aleta?" Yoanna tersenyum lebar dan lang
Tangan Aleta sudah terjulur, hendak meraih pakaian apa pun untuk menutupi ketelanjangannya ketika pintu dibanting dari luar, terjemblak sepenuhnya dan Bastian berdiri di ambang pintu. Pandangan keduanya bertemu, tubuh Bastian membeku menatap wajah sepucat mayat Aleta. Duduk di ranjang dengan salah satu tangan berada di dada. Menahan selimut demi menutupi ketelanjangan gadis itu. Kepalanya menggeleng pilu, menyaksikan pemandangan yang selalu berhasil memporak-porandakan perasaannya. Wajah Aleta tertunduk dalam, tak tahan dengan tatapan penuh luka yang terpampang di wajah pucat Bastian. Bahkan pria itu masih mengenakan pakaian rumag sakit dan seharusnya masih berada dalam pengawasan intens dokter setelah operasi besar. Entah bagaimana pria itu bisa sampai di tempat ini dan melihatnya dalam keadaan memalukan seperti ini. “Sepertinya kalian butuh bicara,” sela Leon. Membelah keheningan menyesakkan antara Aleta dan Bastian. Berdiri bersandar pada pinggiran pintu dengan kedua tangan me
Aleta menelan ludahnya. Keheningan di antara mereka terasa sangat menyesakkan dengan ancaman Leon yang terasa menggantung di atas kepalanya. Wajahnya pucat pasi, berbanding terbalik dengan senyum yang melengkung lebar di bibir Leon. “Habiskan makananmu, setelah ini kita berlanjut, membicarakan tentang masa depan pernikahan kita. Juga … anak dalam kandunganmu.” Mata Aleta mengerjap terkejut. Wajahnya yang sudah sepucat mayat tak bisa lebih pucat lagi. “A-anak? Apa maksudmu, Leon?” Suara Aleta seperti tercekik. Ia memahami keadaan pernikahan mereka yang sangat jauh dari kata baik-baik saja. Dan mungkin memang perlu dibicarakan tentang kesepakatan-kesepakatan yang akan menguntungkan Leon lebih banyak lagi. Namun, anak? Apa yang perlu mereka bicarakan? Apakah … apakah Leon akan menceraikannya? “Tidak. Aku tak akan menceraikanmu.” Leon seolah menangkap apa yang tengah muncul di benak Aleta. “L-lalu kenapa kita ha