Rena, seorang istri yang baik tapi dihianati oleh suaminya dengan seorang wanita yang selalu disebut sahabat. Rumah tangga mereka memanas kala Aldi kembali mendekati teman lamanya.
View More“Wulan, kangen kamu.” aku membeku kala mendengar suara dari dalam kamar mandi. Apakah Mas Aldi tengah menelpon seseorang? Ku dekatkan telinga di pintu berwarna putih itu, untuk memperjelas pendengaranku.
“Buka dong,” deg! Sedang apa mereka? Apa mereka tengah video call dan memperlihatkan sesuatu yang tidak seharusnya? Ya Tuhan!
Langkahku lemas, apakah perubahan mas Aldi enam bulanan ini ada sangkut pautnya dengan wanita bernama, Wulan?
Aku melangkah kembali ke meja makan, menunggu suamiku selesai dari aktifitasnya. Hatiku bergemuruh, mataku sudah memanas sedari tadi, tapi aku tidak boleh menumpahkan semua bulir embun yang mendesak keluar.
Tak berapa lama, Mas Aldi telah siap memakai jaz hitam dengan kemeja putih di dalamnya. Lalu duduk, menikmati sarapan yang enak untuknya dan terasa hambar di lidahku.
Ku pandang wajahnya, tidak ada raut bersalah sama sekali. Dia justru terlihat sangat bahagia pagi ini.
“Mas berangkat sekarang aja,” ucap Mas Aldi seraya berdiri.
“Ya, Mas.” aku menunduk, tak kuat menatapnya. Aku takut, jika aku menatapnya pertahanan airmataku akan tumpah.
Kakinya yang panjang, melangkah lebar menuju pintu berwarna putih lalu membukanya. Meninggalkan aku yang kini terduduk di lantai dingin. Kedua tangan kutangkupkan menutup wajah. Aku terisak, dengan dada yang sangat sesak. Mau jadi apa rumah tanggaku?
Setelah beberapa menit menumpahkan segala rasa sakit di hati, aku berdiri lalu membereskan piring kotor yang ada di meja makan. Aku bertekad kepada diriku sendiri, aku akan menjadi wanita yang kuat, hingga masanya nanti aku berpisah dengan mas Aldi.
Ya. Aku memang ingin berpisah. Aku merasa beruntung belum diberi seorang anak, jadi aku hanya memikirkan perasaanku saja untuk saat ini. Lagi pula, kalau aku sudah beranak 'pun, aku tetap tidak mau bertahan dengan lelaki tukang selingkuh.
Selingkuh itu penyakit, tidak ada obat yang benar-benar ampuh untuk itu.
Setelah semuanya beres, aku langsung mandi. Memilih baju, lalu duduk menghadap meja rias. Kupoleskan sedikit make up tipis, lalu melangkah menuju supermarket, milikku.
Ku kunci pintu rumah, gegas membuka mobil dan melajukannya. Baru saja setengah perjalanan, gawaiku berdering dengan gambar telpon yang meminta di angkat. Kupasang earphone lalu menggeser gambar berwarna hijau itu.
‘Ren, lu di mana?’ ucap Mita, sahabatku.
“Gue di jalan, nih. Kenapa, Mit,”
‘Jangan, lu kesini aja. Gue tunggu di Mall Laksana!’
Dih. Kenapa itu bocah? Tapi tak urung juga mobil kuputar balik menuju tempat yang disebut, Mita. Tak berapa lama, akhirnya aku sampai.
“Di mana lu, Mit?” ucapku saat telfon terhubung.
‘Masuk ke restoran kesukaan lu!’ aku mendengkus kala sambungan telfon kembali terputus sepihak.
Aku menghela nafas, nasib punya sahabat agak gesrek memang seperti itu. Kuayun langkah demi langkah, mencari tempat yang dimaksud sahabatku. Tapi saat aku menemukannya, aku tertegun.
Dibalik kaca bening yang di dalamnya penuh berbagai peralatan olahraga, aku dapat melihat Mas Aldi tengah memakaikan sepatu sneakers kepada wanita yang kini tengah duduk di hadapan suamiku itu dengan senyum yang terus mengembang di bibirnya.
Deg! Aku tahu wanita itu. Dia adalah teman lama suamiku. Teman yang selama tujuh tahun lalu selalu mengungkit kenangan mereka. Kenangan yang tidak seperti teman pada umumnya.
Dia sudah beranak dan suami, Mas. Apa tidak bisa melepaskannya dan kembali padaku merajut cinta yang murni, Mas? Aku berbalik, mataku memanas.
“Jangan nangis di sini,” ujar perempuan berrambut ikal.
“Mita!” pekikku, lalu memeluknya. Dia menuntunku menuju tempat karaoke yang ada di Mall itu.
Saat kami sudah masuk, sahabatku langsung mengambil remot besar yang berada di meja. Lalu mengetikkan lagu, Armada--Asal kau bahagia.
Kutumpahkan tangis hingga bahuku bergetar. Sakit, sakit sekali!
“Kenapa harus wanita itu, Aldiiii! Kenapa!” aku berteriak disela musik yang terus mengalun.
“Kurang apa aku, hah.” lalu kembali menangis dipelukan sahabatku. Aku merasa payah, bahkan sudah sering aku disakiti olehnya dan bertahan, kukira dia akan melihatku.
Aku kira, saat ijab qabul berlangsung, dia menepati janjinya untuk tidak kembali merajut kenangan mereka. Ternyata itu hanya kebohongan belaka, kebohongan tanpa ujungnya!
Ini salahku, kenapa aku tetap bertahan. Padahal aku sudah tahu, hatinya memang bukan untukku.
“Yang sabar, Ren. Gue dari dulu udah pernah bilang ke lu, jangan nikah sama dia. Laki-laki macem dia nggak akan berubah secepat itu.” ucap Mita menasehati, aku hanya mengangguk.
Beberapa menit aku mengasihani diri, aku memperbaiki dudukku, menghela nafas dan membuangnya. Pikiranku berseliweran dengan kata-kata indahnya saat dulu aku menemukan akun baru dengan nama belakang suamiku.
Kami bertengkar hebat, bahkan tanganku saja sampai memberi pelajaran di pipinya yang bersih. Saat itu, saat enam bulan sebelum pernikahan.
“Kalau emang kamu lebih milih dia, silahkan aja, Mas!” ucapku lantang saat berada di Taman Suropati, yang membuat pasang mata beberapa orang melihat kami.
“Aku janji, nggak bakal ngulangin semua itu. Lagi pula kami cuma teman, Ren,” jawab Mas Aldi dengan pandangan memelas.
“Apa aku kurang cukup, Mas?”
“Ren, sudah--”
“APA AKU KURANG CUKUP, MAS?!!” pekikku, yang sukses membuat beberapa orang berbisik-bisik.
‘lakinya yang kegatelan, cewek secakep itu disia-siain.’
‘Cewek secakep itu masih nggak bersyukur!’
Sedetik kemudian, lelaki itu berlutut di hadapan orang-orang yang tengah menggunjingnya. Diraihnya tanganku, menatap netraku dalam dengan pandangan bersalah. Aku mulai hanyut, dan perlahan iba kepadanya.
“Rena Theressia! Aku bersumpah, aku nggak akan nyakitin hati kamu lagi atau bermain perempuan dibelakangmu,”
Aku tetap menatapnya, mencari kebohongan di matanya. Tapi aku benci, aku melihat kesungguhan dikedua bola matanya.
“Will you marry me?” aku tersentak mendengar kata-katanya. Kata-kata yang aku nantikan selama tujuh tahun berpacaran dengannya. Kembali kutatap manik hitam itu, dan lagi-lagi yang kulihat adalah kesungguhan.
Aku tarik tanganku, lalu melangkah dari taman. Menghampiri mobil dan melajukannya, meninggalkan mas Aldi dengan motor sportnya.
Aku tak menyangka, tiga hari setelah aku memberi jawaban dan mengiyakan ajakannya. Beberapa bulan kemudian kami menikah. Sosial mediaku dibanjiri doa-doa seperti halnya pasangan baru menikah dari kerabat dan teman.
Tapi saat aku menscroll kebawah untuk melihat status lainnya, Wulan tengah mengupload foto dirinya memegang boneka panda dengan caption yang cukup membuat dadaku bergemuruh.
‘kehilangan sahabat yang mementingkan sebuah perasaan, biarkan saja. Dia hanya akan menjadi milikmu, tapi tidak menjadi temanmu.’ tulisnya, dengan beberapa emot tertawa berjejer.
Aku tidak membalasnya, karena pikirku. Selama mas Aldi sudah mengabaikannya, tidak perlu lagi aku khawatir.
“Ren,” aku tersentak dari lamunan indahku. Lalu menatap linglung Mita yang ada di sampingku.
“Lo jelek, mascara lo luntur. Ntar kalo ketemu lampir itu, lo malah jadi bahan tertawaan lagi. Gih, lo make up ulang.” titahnya.
“Eh, lo bilang apa tadi? Lampir?” tanyaku dengan dahi berkerut.
“Iya, si Wulan! Lampir dia tuh. Liat aja rambutnya, merah menyala!” ucapnya menggebu-gebu, aku hanya tertawa.
Kuhapus make upku, lalu memperbaikinya. Sekilas aku melirik jam di tangan, ternyata sudah dua jam aku di sini. Setelah make upku rapi, kami berdua pergi dari tempat karaoke setelah tadi selesai membayar tagihan.
Kami melangkah menuju restoran favoritku. Sebelum masuk, mataku kesana kemari, siapa tahu melihat mas Aldi dengan gundiknya.
Syukurlah tidak ada, aku ingin makan dengan tenang tanpa bayang-bayang mereka untuk saat ini.
Semalaman Rena tidak tidur, bahkan ia hanya duduk sambil menyender di pojok ranjangnya. Sementara, Katya berada dengan ibu kandung Rena karena memang sedari pemakaman kemarin, Rena hanya mengurung diri di kamar. Matanya memerah dan menimbulkan tanda hitam di bawahnya. Air matanya sudah kering, ia sudah tidak menangisi suaminya, akan tetapi ia masih belum bisa untuk mengikhlaskannya. Ikhlas? Satu kata dengan sejuta kesulitan.”Aku mau berlama-lama di sini sama Risjad, Kak.” Suara Rena serak, saat Adisana menyuruhnya pulang karena terlalu lama di pemakaman tadi siang.”Apa ada yang bisa kulakukan buat kamu, Yang, biar kamu tetep hidup?” racau Rena.Adisana mengusap wajahnya mendengar suara parau adiknya semakin membuatnya pilu. ”Dek, doakan Haris agar tenang di sana.”Rena mengerling tajam ke arah Adisana, ia tidak suka mendengar ucapan Adisana. ”Tenang? Aku yakin dia belum tenang kalau aku belum bertemu dengan pembunuhnya. Lagipula, apa motif Clara? Kenapa sasarannya ke aku dan Risjad
Rena segera berlari ke ruangan dokter Regant untuk memberitahukan suaminya menggerakkan tangan ke atas dan ke samping. Bahkan matanya berkedip seperti orang yang berusaha bangun dari tidur. Suara gumaman pun terdengar kembali.”Dok, suami saya! Suami saya menggerakkan tangannya, dia juga berkedip!” Rena terlalu antusias hingga tak memperdulikan jika dokter Regant tengah melakukan pertemuan dengan tamunya. Senyumnya memudar saat menyadari jika Rena tidak sopan, ia menunduk dan kembali membuka pintu.”Mari, Bu Rena, akan saya lihat keadaan Pak Haris,” katanya. Rena mengangguk canggung. ”Maaf, Dok.””Nggak pa-pa, ini ibu saya.”Mereka berdua jalan saling beriringan menuju ruang ICU. Dokter Regant juga meminta 2 susternya untuk ikut. Sesampainya di dalam, mata Rena membesar, tubuhnya mematung karena suaminya membuka mata. Tanpa dipinta, air mata bening mengalir di pipi Rena, ia begitu terharu.Dokter Regant memeriksa kondisi Haris dan tersenyum cerah ke arah Rena. ”Alhamdulillah, Bu, ko
”Maafin mbak, Shil. Mbak terlalu mengandalkan kamu dan Wulan, sedang mbak di rumah ongkang-ongkang kaki tanpa mikirin kalian berdua banting tulang buatku dan ibu. Karena aku yang nggak mau terbebani hutang yang ditinggalkan almarhum bapak, kamu dan Wulan jadi korban,” racau Fitria sambil memandangi peti mati di hadapannya.Sudah berapa bulir air mata yang keluar, Fitria tidak tahu, yang jelas kini ia tengah merunduk sambil memegangi kayu peti itu dengan bahu terguncang. Kehilangan 2 adiknya dalam waktu berdekatan sangat menyiksanya. Meski ia hidup, agaknya Fitria akan merasa bersalah sepanjang hidupnya.Kemeja hitam yang dipakainya sudah basah untuk mengelap air mata. Semalam ia menelfon Fais untuk memberitahukan kematian Shilla, Fitria meminta tolong untuk membantu pemakaman adiknya. Bahkan Fais sudah pulang lebih dulu karena sebelumnya mengadakan pengajian untuk Wulan.Pikirannya menerawang pada saat ia kembali dari kantor polisi dan mendengar cerita dari Rose, jika adiknya mengalam
POV AuthorDi Jakarta tengah gaduh, lebih tepatnya di kediaman Rose karena polisi yang sudah hampir 2 minggu mencari biang keladi dari semua rentetan kejadian akhirnya mengirimi surat agar Aldi ke kantor polisi karena tersangka sudah ditangkap meski yang satunya lagi masih dalam status buron.Keadaan Shilla seperti mayat hidup sekarang, bahkan hidupnya bergantung pada alat-alat yang menopang hidupnya. Fitria benar-benar terpukul saat 2 hari sebelum Haris mengalami kecelakaan, infus milik adiknya justru terisi cairan yang diduga racun. Tubuh Shilla langsung mengejang, bahkan dari mulutnya mengeluarkan busa hingga urat-urat di sekitar lehernya membiru.Mendengar pelakunya sudah ditangkap meski belum semua membuat Fitria mengepalkan tangannya. Ia bahkan berjanji pada adiknya akan menampar pelaku itu hingga membuat kelima jarinya membekas. Fitria mendekati Rose dan Aldi, menatap mereka dengan tatapan datar namun hatinya bergemuruh.”Ajak aku ke sana, Di. Aku mohon,” pintanya.Aldi menoleh
PoV RenaIni adalah kedua kalinya aku berada di rumah sakit. Satu kali saat melahirkan Katya, dan ini yang kedua kalinya karena mengalami kecelakaan. Aku sangat menyesal karena menyusul suamiku kemari dan menjadi penyebab dirinya seperti ini. Rasa rindu yang kukira akan menyelamatkanku dari rasa haus kasih sayang Risjad, kini justru menjadi boomerang untukku. Kini melihatnya hanya diam tanpa ada kosa kata pun yang keluar dari mulutnya membuatku semakin lemah. Hatiku sudah ditawan olehnya. Dia sudah mendapatkan seluruh hatiku yang sebelumnya sudah hampir mati rasa akibat dihianati oleh Aldi.Dia yang membuatku merasakan kembali bagaimana indahnya dicintai sebaik ini. Bahkan dia juga yang membuatku merasa menjadi wanita yang sangat diinginkan. Kuusap keningnya yang bersih tanpa cela, kucium kening itu lama. Seolah berada dalam sebuah film, aku berharap ini adalah mimpi.”Sus, nggak pa-pa tinggalin saya di sini.”Aku ingin berdua saja dengan suamiku, memeluknya meski selang infusku meng
”Halo, Di?”Adisana memang hendak menelfon Aldi untuk mengabarkan kondisi Katya. Meski adiknya berkata agar tidak perlu menghubungi Aldi karena pasti sibuk mengelola cafe barunya. (”Ya, Kak?”)Adisana menghirup napas dalam-dalam. ”Katya kecelakaan, dan sekarang ada di Surabaya. Lo nggak perlu dateng, karena pasti lo banyak pekerjaan. Gue cuma mau ngabarin aja, Di.”(”Di rumah sakit mana, Kak? Besok gue ke sana.”)Adisana yang tak ada pilihan lain pun mengatakan di mana rumah sakit Katya dirawat. Ia pun menceritakan bagaimana Katya sampai seperti sekarang.Di seberang, Aldi langsung terduduk lemas karena mendengar musibah yang menimpa mantan istri beserta anaknya.(”Sekarang kabar Haris gimana?”)Adisana menggeleng meski lawannya tak melihat. ”Dokter bilang, cuma mukjizat yang bisa sembuhin dia. Gue nggak bilang ke Rena, gue nggak mau adek gue stress. Dia lagi hamil.”Mendengar fakta itu, Aldi hanya diam dengan pikiran tak menentu.(”Pasti Rena sedih banget pas tau ini, Kak. Semoga Al
Bianglala yang dinaiki Rena berada di posisi tertinggi, dengan pengait yang hampir putus. Bahkan kurungan bianglala tak jauh darinya sudah jatuh hingga pengunjung pasar malam semakin histeris. Haris memeluk Katya dan istrinya yang panik, ditambah suara dalam telfon yang seakan menertawakan kepanikan mereka.”Ris ....” Rena benar-benar tak tahu untuk berbuat apa, sedangkan petugas yang menjalankan bianglala berusaha memperbaiki mesinnya. Perlahan tapi pasti, Rena merasa ia akan menjadi yang selanjutnya yang akan jatuh.Haris berusaha membuka pintu bianglala yang ia naiki, tapi nihil karena dalam keadaan panik membuat semuanya terlihat sulit. Rena, Katya dan Lira berpelukan bersama ...Hingga,Kreek!”Aaaaakkkk! Risjad!”Selama hidup, Rena merasa ini adalah bagian yang paling menyakitkan di hidupnya. Ia merasa dipermainkan oleh takdir. Kebahagiaan yang baru saja ia reguk seakan kembali direnggut.Pengunjung pasar malam dapat melihat bagaimana kurungan yang terdapat keluarga kecil Rena
Sudah seminggu ini Rena tidak ke mana-mana, bahkan untuk ke supermarket atau ke restoran. Rena merasa tidak memiliki semangat seperti biasa untuk mengganggu Rose, bahkan sekedar menanyakan kabar Shilla saja dia tidak menanyakannya. Bahkan saat Mita datang ke rumah dan mengajaknya hang out, Rena menolak ajakan Mita. Hidupnya terasa tidak bergairah setelah suaminya akan pergi 2 hari lagi ke Amerika. Bukan ia tidak ingin suaminya semakin sukses mendapat proyek besar, hanya saja ada perasaan lain yang ia pun tidak tahu.Ketika perasaan aneh itu muncul, Rena hanya akan menangis sambil menelfon suaminya dan merengek agar membatalkan kepergiannya ke Amerika. Bahkan meski Haris kehilangan proyek besar itu, Rena tidak perduli dibanding berjauhan selama itu.”Kamu tau kan aku nggak bisa LDR. Pikiran aku gampang banget parno. Kamu pulang aja, Ris ...,” rengeknya. ”Nggak bisa, Sayang. Gini deh, kamu kasih kepercayaan buat aku, dan bisa aku pastiin kalo nggak ada bule yang nempel nantinya di hat
”Clara dorong aku, Mbak. Dia juga ke sini kemarin siang saat Lira lagi di kantin. Dia ancam aku, dan nggak bolehin aku buat ngomong ini ke siapa pun. Clara ... Clara ....”Shilla terisak, tangannya menyentuh perut. Shilla benar-benar merasa kesakitan di sekitar perutnya saat terisak. Braak!Semua orang sontak melihat ke arah pintu. Mata Shilla, Rose dan Rena terbuka lebar. Sedangkan Fitria dan Lira tidak tahu siapa gadis yang tengah melangkah mendekati Shilla sambil membawa buah-buahan yang tersusun rapi.”Oh, lo udah cerita, Shil? Baguslah, jadi gue pun tau ternyata orang yang gue kira sahabat pun cepuin gue.” Clara memandang Rose.Fitria bagai baru tersadar jika gadis di hadapannya ini adalah gadis yang baru saja mereka bicarakan. Fitria berdiri sambil melangkah mendekati Clara, tak segan-segan ia bahkan mendaratkan cap lima jari di pipi mulus Clara.”Ja-lang! Harusnya lo yang gue gampar! Keluarga lo busuk semua!” maki Clara. Tangannya mendorong Fitria, namun Fitria kembali berdiri
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments