Karena hanya seorang tukang antar paket yang miskin, caci maki sudah sering Adimas dapatkan. Bahkan, kekasihnya sendiri mengkhianatinya dan bermain di belakang Adimas. Hingga Adimas menerima tawaran pekerjaan gaji fantastis. Dia dijebak dan harus menikahi seorang gadis pengidap gangguan jiwa dari keluarga Covey. Tidak hanya itu, Adimas juga diperlakukan seperti menantu sampah. Mereka tidak tahu, Adimas rupanya anak konglomerat paling kaya seantero negeri! Dengan kekuatan dan pengaruhnya, dia mulai membalaskan perbuatan orang-orang kepada dia dan istrinya dan membuat semua orang tercengang! Tidak sedetik pun anggota keluarga Covey tenang, diteror pembalasan selanjutnya yang akan diberikan Adimas Nathaniel Nelson.
View More“Paketnya tidak bisa dibuka jika belum dibayar, Bu,” ujar Adimas kepada seorang wanita paruh baya yang tiba-tiba merebut paket dari tangannya.
“Ini kan paket saya, terserah saya dong! Saya tidak akan bayar jika paketnya tidak lengkap!” sergah wanita itu dengan kasar. Wajah Adimas tampak putus asa saat melihat wanita itu mulai membuka bungkusan paket tersebut. “Peraturannya tidak boleh dibuka sebelum dibayar, Bu!” Adimas kembali mengingatkan. Ia akan terkena masalah jika hal seperti ini terjadi. “Hah, ya sudah! Ambil tuh!” Wanita paruh baya itu melemparkan dua lembar uang dua puluh ke tanah. “Dasar tukang paket bodoh! Hanya bermodal motor butut saja banyak ngatur!” ejeknya sembari berjalan masuk ke dalam. Adimas memungut uang tersebut dan mengembuskan napas panjang. Ia tidak percaya jika dirinya harus dimaki-maki untuk mendapatkan uang yang sedikit. Namun, pada situasinya sekarang, uang nominal itu bisa menjadi amat berharga. Akhirnya, Adimas mulai berjalan menuju motornya yang memang terlihat butut dan tidak bagus. Beberapa penutup motornya telah lepas, memperlihatkan mesin-mesin yang berdebu. Dengan sabar, pria itu meraih paket lain yang harus diantar. Alisnya mengernyit saat membaca penerima paket berikutnya. Marissa Kamala. Ini milik kekasih dan calon tunangannya. Dengan wajah berseri, Adimas mulai melajukan motor bututnya di bawah terik matahari. “Permisi, paket!” sahut Adimas di depan rumah calon tunangannya. Wanita itu keluar dan senyum Adimas langsung mengembang melihat senyumnya. “Adimas? Kamu yang mengantarnya? tanya Kamala dengan terkejut. Wajahnya langsung mengernyit melihat motor butut yang terparkir di rumahnya. “Ya, kamu memesan apa?” “Kebetulan sekali. Sini!” tutur Kamala seraya mengambil paketnya dan membukanya saat itu juga. “Aku memesan kartu undangan. Mumpung kita bertemu, aku langsung saja memberikannya padamu, ya!” “Undangan?” Alis Adimas kembali mengernyit. Ia melihat undangan dan terkejut mendapati nama Kamala dengan David. “Pernikahan kamu sama si David? Apa-apaan ini, Kamala?” tanya Adimas dengan tidak mengerti. Kamala hanya tersenyum sinis dan melipat kedua tangannya di depan dada. “Aku akan menikah dengan David minggu besok. Pastikan kamu datang, Adimas,” tuturnya tanpa merasa bersalah. “Tapi, bagaimana dengan hubungan kita, Mala?” tanya Adimas dengan raut wajah tidak percaya.Tin tinTerdengar suara klakson mobil. Di depan rumah Kamala, sudah terparkir sebuah mobil merah, tepat di sisi motor butut Adimas dan David berjalan keluar dari sana. “Aku melihat motor butut yang tidak asing, rupanya benar milikmu. Sepertinya, itu adalah motor paling butut di negeri ini sampai mudah dikenali.” David berkomentar dengan nada meremehkan. Ia menghampiri Kamala dan Kamala dengan manja menyambutnya dengan pelukan. Adimas tidak percaya. Kamala bahkan tidak pernah melakukan hal itu kepada dirinya. “Jadi, kalian benar-benar melakukan ini di belakangku? Inikah cara untuk membalas ketulusanku, Mala?” sergah Adimas. Tangannya meremat undangan itu hingga koyak. “Hah, ketulusanmu? Ketulusanmu dalam hal apa? Mengantar paket-paket jelek itu? Kau bahkan tidak pernah mengabulkan permintaanku!” protes Kamala dengan nada meremehkan. Adimas terkejut. Selama ini, Kamala tidak pernah merendahkan pekerjaannya. Apakah ini sosok Kamala yang asli?“Permintaanmu yang mana yang tidak aku kabulkan, Mala? Aku berusaha keras mengabulkannya meski harus mengantar paket sampai pagi! Bahkan sekarang aku sedang mengumpulkan uang untuk pernikahan kita!” ujar Adimas. “Pernikahan kita?” Kamala bertanya, kemudian terkekeh geli. “Apakah kau mampu menggelar pernikahan di gedung atau hotel bintang 5? Tidak, kan?Aku ingin meminta lebih banyak, tapi kau tidak mampu. Karena itu, aku memilih berpacaran dengan David.” Gadis itu mengakui. “Berpacaran? Rupanya kamu….” “Jangan menyalahkan Kamala.” David membuka suara dan memandang ke arah Adimas dengan sorot meremehkan. “Dia tidak cocok dengan pria miskin sepertimu, kau tahu. Lebih baik kau cari gadis lain yang ingin menerima seorang pengantar paket miskin sepertimu!” ejeknya sembari merangkul bahu Kamala. Adimas hanya terdiam. Tangannya mengepal erat dan rahangnya mengeras karena menahan emosi. “Tatapan yang mengerikan,” komentar David. “Apa? Kenapa? Kau ingin memukulku? Ayo pukul!” David memajukan wajahnya ke arah Adimas. Ekspresinya terlihat seakan menantang Adimas untuk melakukannya, tetapi pria itu masih diam menahan kesabaran. Belum, belum saatnya untuk melampiaskan seluruh emosinya. “Dia pasti sangat marah, padahal dia sudah menjadi permainanku sejak lama, tapi dia sama sekali tidak menyadari. Pasti karena dia sudah cinta mati kepadaku!” ledek Kamala. Sorot matanya terlihat merendahkan. “Apa gunanya cinta mati dari seorang pengusaha bankrut yang menjadi pengantar paket miskin?” David menambahkan. “Apakah kamu sudah membayar paket ini, Sayang?” Kamala menggelengkan kepala. Saat itu, David mengeluarkan dua lembar uang seratus dan melemparkannya ke dada bidang Adimas. “Ini uangnya! Ambillah! Ambil saja kembaliannya sebagai uang makan siangmu!” ledek David. Kamala memandang sinis ke arah Adimas dan semakin merangkul David dengan manja. “Ayo, Sayang. Jangan memedulikan dia. Lebih baik kita menyebar undangan ini sekarang juga,” ujarnya. David tersenyum dan membelai pipi Kamala dengan lembut. “Kau benar, Sayang,” katanya. Keduanya mulai berjalan pergi menuju mobil David, meninggalkan Adimas yang masih mematung di tempatnya. Darahnya sudah mendidih, tetapi ia tidak dapat melawan. Tidak sekarang. Hingga pria itu membiarkan keduanya pergi. Tepat setelah mobil David beranjak, Adimas berlutut dan memungut dua lembar uang yang dengan hina dilemparkan ke arahnya. Dia memandangi uang itu. “Kau telah menghinaku dengan uang ini, David, dan dengan uang yang sama juga aku akan mempermalukanmu. Lihat saja,” gumam Adimas dengan penuh kekesalan. Ia mengantongi uang tersebut dan kembali berjalan menuju motornya. Hatinya merasa sakit membayangkan Kamala akan menikah dengan pria lain, tetapi sikapnya juga membuat Adimas terkejut. Apakah Kamala semudah itu ditaklukan dengan uang? pikirnya. Tiba-tiba ada seorang wanita berjalan menghampirinya. “Apakah Anda adalah pacar dari gadis itu?” Wanita itu bertanya. Dari pakaian dan tas kecil di tangannya, dia terlihat cukup berada. “Dahulu, sekarang tidak!” tegas Adimas. “Maksudku, dahulu aku cinta mati padanya, sekarang cintaku sudah mati untuknya!"“Jadi, Anda adalah seseorang yang sudah membelikan semua barang mewah untuk mantan kekasih Anda itu?” Wanita itu kembali bertanya, membuat Adimas mengernyitkan alis dengan heran. Dia mengangguk. “Ya, tapi mengapa kamu menanyakan itu semua? Siapa kamu sebenarnya?” tanyanya dengan nada menginterogasi. “Pria tadi adalah mantan pacar kakak saya. Sekarang, Kakak saya terganggu mentalnya dan saya ingin kamu mengurusnya. Saya akan menyanggupi berapa pun bayarannya!”Empat bulan kemudian …. “Kamu yakin bisa pergi, Ayana?” Mark bertanya dengan cemas. Ia menatap pada istrinya yang duduk di depan meja rias. Ayana menjawab dengan anggukan. “Ini adalah wisuda kita, mana mungkin aku tidak datang?” tanya Ayana, kemudian lanjut merias dirinya. Mark menghela napas panjang dan berjalan mendekati sang istri. Dia menaruh tangannya di atas bahu Ayana. “Tapi, kandungan kamu sudah besar. Dokter bilang perkiraan lahirnya sebentar lagi, bukan?” tanya Mark, tidak dapat menyembunyikan kecemasannya. Mendengar itu, Ayana beranjak bangkit dari kursinya dan terlihat jelas perutnya yang sudah membungkit sempurna. Tampak siap untuk melahirkan. “Masih ada sisa waktu empat hari sampai hari perkiraan lahir,” ucap gadis itu, “Aku sudah menunggu-nunggu untuk wisuda ini. Biarkan aku ikut, ya? Ya?” tanyanya. Seharusnya mustahil bagi perempuan dewasa yang sudah hamil untuk terlihat seperti anak kucing, tetapi Ayana benar-benar menatap Mark dengan penuh harap hingga p
Andreas tidak mengizinkan Cakra pergi bersama Mark dan Ayana. Pria itu menuntut penjelasan dari Cakra yang tidak pernah menceritakan apa pun kepadanya. Sebagai trio, Andreas selalu merasa dirinya terbelakang. Bahkan saat Mark mengakui Ayana sebagai istrinya, Cakra telah mencurigai hal itu terlebih dahulu. Akhirnya, hanya ada Ayana dan Mark di dalam mobil pria itu. Selama perjalanan pulang, Ayana tidak berhenti tersenyum. “Apa yang lucu?” Mark bertanya, tidak tahan melihat istrinya yang sejak tadi senyam-senyum seorang diri. Ayana menggeleng, tetapi senyumnya bertambah lebar. “Tidak apa-apa, hanya saja kisah mereka membuatku terharu,” ucap gadis itu, “Aku tidak menyangka Cakra bisa mengucapkan kata-kata romantis seperti itu.” Ayana memuji, kemudian tersenyum lebih lebar. Selama ini, Ayana mengenal Cakra sebagai satu-satunya pria yang normal di antara tiga sahabat itu. Andreas terkenal sering memainkan perasaan wanita, sementara Mark lebih banyak diam. Ditambah, fakta bahwa koneks
“... apa?” Cakra bertanya. Pria itu berkedip satu kali dan menatap tak percaya ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum saat pandangannya jatuh ke bawah, terlihat malu sekaligus pahit. “Aku sudah memikirkannya. Aku benar-benar akan melanjutkan kuliah di luar negeri,” ucap Chika, “Aku tahu ini mungkin tidak penting untukmu, tapi aku merasa harus memberitahunya.” Setelah beberapa kali meminta, ayahnya akhirnya mengizinkan Chika untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Ia dan Cakra tidak pernah dekat sebelumnya. Mereka hanya sering bicara saat Chika mulai mencari Sandi. Namun, entah mengapa, saat pertama Chika mendapat izin, satu-satunya yang terlintas dalam benak perempuan itu adalah memberitahu Cakra. Kini, ia merasa malu sekaligus menyesal. Chika tahu ia pasti terlihat aneh, tahu-tahu memberi kabar seperti itu seolah dirinya penting. Di luar dugaan, wajah Cakra terlihat tawar dan sedikit kecewa. “Mengapa? Bukankah Ayana sudah memaafkanmu berkat Sandi kemarin?” tanya pria itu.
“Bapak lihat Mark?” Ayana bertanya kepada satpam yang berjaga di kediaman mereka. Sesuai kesepakatan, pagi itu mereka akan pergi ke pemakaman ayah Ayana. Namun, saat Ayana bangun pagi ini, ia justru tidak dapat menemukan suaminya itu di mana pun. “Tuan Mark pergi dengan mobilnya pagi-pagi sekali, Nyonya,” jawab satpam itu. Alis Ayana mengernyit dalam. Tak biasanya Mark pergi tanpa meninggalkan kabar apa pun. Gadis itu kembali berjalan ke dalam rumah sembari mengecek ponselnya, tetapi tidak ada pesan apa pun dari Mark. Ke mana perginya pria itu? “Ada apa, Kak?” Suara Sandi terdengar. Pria itu baru saja turun dari lantai dua. Tadi malam, Ayana memaksa Sandi untuk menginap sesuai rencana mereka. Kini, justru Mark yang tidak tahu keberadaannya. Ayana menggelengkan kepala. “Bukan apa-apa,” jawabnya, “Kita harus sarapan sebelum pergi,” ajak gadis itu. Keduanya berjalan menuju dapur dan Sandi kembali menyadari keanehan saat mereka hanya menyantap sarapan berdua. “Di mana kakak ipa
Wajah Ayana menjadi kecut. Dengan gugup, Ayana melirik ke arah Mark, kemudian mengangguk membenarkan pertanyaan Sandi. Pemuda itu tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia memandang Ayana dan suaminya bergantian, masih tidak menyangka jika kakak perempuannya itu benar-benar sudah bersuami. “Ayana banyak bercerita tentangmu,” ucap Mark, menunjukkan senyum ramah, “Bagaimana kalau kita berbincang di rumah?” Sebelum pergi, Ayana kembali menghampiri Chika dan Cakra yang menghampiri mereka. Ia tersenyum ke arah perempuan itu. “Terima kasih,” ucapnya, “Aku bisa bertemu kembali dengan Adikku berkat bantuanmu,” lanjut Ayana. Chika sedikit tertegun. Ia tak menyangka jika Ayana akan berterima kasih secara langsung. Ia sendiri selalu merasa gengsi untuk mengatakannya. Akhirnya, Chika mengangguk. “Kuharap itu balasan yang sepadan untuk kesalahanku,” ucapnya. Mark mengajak Chika dan Cakra untuk turut bersama mereka ke kediamannya, tetapi keduanya menolak. Hingga Sandi menemukan keaneh
Sejak insiden itu, hubungan Chika dan Ayana menjadi kian renggang. Keduanya masih duduk bersisian, tetapi amat jarang bertukar sapa. Kini, tepat setelah mata kuliah selesai, tiba-tiba wanita itu menghampiri Ayana yang tengah bersama Mark. Melihat kedatangan Chika sukses membuat Mark menjadi waspada. Pria itu dengan sigap pasang badan di hadapan Ayana. “Apa yang ingin kau lakukan?” Mark bertanya, menatap lurus ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum getir, sadar jika ia benar-benar telah bersikap buruk hingga dicap sebagai orang yang mampu membahayakan Ayana. Bahkan setelah lewat beberapa hari, kewaspadaan Mark terhadap dirinya sama sekali tidak berkurang. Chika menggelengkan kepala. “Aku ingin bicara dengan Ayana,” ucapnya, terdengar segan. Mark dan Ayana seketika bertukar tatapan dengan heran. Pria itu terlihat enggan untuk mengizinkan, tetapi Ayana memberi isyarat hingga akhirnya Mark sedikit menyingkir, membiarkan Ayana berhadapan langsung dengan wanita berambut pendek itu.
Tak jauh dari pusat kota, terlihat sebuah proyek yang tengah dibangun. Para pria yang mengenakan rompi keselamatan kerja berlalu-lalang, terus tekun bekerja di bawah terik matahari. Pasir, debu, dan semen beterbangan di udara, tetapi semua orang seakan terbiasa dengan itu. “Sandi! Bawakan lima sak semen ke sini!” titah seorang pria paruh baya yang menjadi mandor di proyek tersebut. Sandi, yang semula tampak sibuk menata besi-besi itu lantas berdiri tegak.“Baik, Pak!” jawabnya.Dia pekerja paling muda di sana. Kulit pemuda itu kecokelatan karena terus terpapar sinar matahari. Keringat yang mengalir di pelipisnya tampak kotor oleh pasir dan debu, tetapi ia tidak menghiraukannya. Sandi menyusun lima sak semen dan mengangkat semuanya langsung di punggung, kemudian berjalan menuju tempat yang diminta. Ia hampir sampai saat tanpa sengaja kakinya menginjak batu. Batu itu tergulir dan membuat Sandi kehilangan keseimbangan hingga jatuh bersama lima sak semen di punggungnya. BUK Suara it
“Sepertinya dia kecewa kepada Ibu dan memutuskan untuk pergi. Sejak itu, Ibu tidak pernah berhasil menemukan Sandi,” tutur Wati, mengakhiri ceritanya. Air mata sudah mengering di pipinya, tetapi matanya masih memerah bekas menangis dan napasnya sesenggukan. Beberapa saat lalu, Ayana berhasil mendesak Wati untuk menceritakan awal mula hilangnya Sandi. Meski terasa berat, Wati berhasil menceritakannya dan kini ketiganya membungkam. “Ini foto terakhir yang Ibu ambil sewaktu dia kelulusan,” tutur Wati, menyerahkan sebuah foto ke arah Ayana. Gadis itu menerimanya dan napasnya tercekat melihat Sandi. Saat mereka berpisah dahulu, adiknya itu masih kecil, bahkan jauh lebih pendek daripada Ayana. Namun, sosok Sandi di foto itu telah bertumbuh pesat. Kini dia tinggi, terlihat tampan dan sangat mirip dengan ayahnya. Wajah Ayana diliputi kecemasan membayangkan adiknya mengadu nasib di dunia luar. Seorang diri. “Bagaimana dengan informasi yang diberikan Chika? Apakah dia berbohong?” Mark be
Chika menyeret langkahnya keluar kelas. Pada akhirnya, ia berhasil bertahan selama kelas hari itu. Bahkan, Ayana duduk tepat di sisinya. Gadis itu tidak menunjukkan aura permusuhan, tetapi juga tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sekarang, air mata Chika sudah sepenuhnya mengering, tetapi ingatan itu masih membekas dalam ingatannya. Sepanjang berjalan, pandangan Chika terus tertuju ke arah bawah. Ia berusaha mengabaikan komentar dan pembicaraan yang terang-terangan membahas dirinya.Hingga langkah perempuan itu berhenti saat melihat sepasang sepatu yang berdiri tepat di hadapannya. Perlahan, Chika mendongak. Ia sudah cemas akan menerima bullyan lagi, tetapi alisnya mengernyit saat ia justru menemukan wajah Cakra. Pria itu menatap lurus ke arahnya. Dia membuka bibirnya dan siap untuk mengatakan sesuatu, tetapi Chika lebih dahulu menyela. “Aku tahu,” ucapnya, “Aku tahu apa yang akan kamu ucapkan. Kamu akan memberiku peringatan akan pembalasan Mark dan memintaku untuk tidak menyaki
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments