Bagaimana tidak. Seperti kejatuhan durian, tiba-tiba seorang gadis menghampirinya dan memintanya untuk menjadi seorang pengasuh.
“Ya, semacam itu,” jawab wanita bernama Bella itu, “Tentu saja, kami akan memberikan bayaran yang pantas! Sepuluh, lima belas, bahkan tiga puluh juta pun kami sanggup membayarmu!” ujarnya dengan yakin. Adimas sedikit terkejut. Jumlah itu jauh lebih besar daripada gajinya mengantar paket-paket itu. Namun, Adimas bukanlah orang yang mudah dibohongi. Ia tidak bisa memercayainya semudah itu. “Tapi, mengapa kamu tiba-tiba menawarkan pekerjaan ini kepada saya? Bukankah ada banyak pengasuh yang jauh lebih berpengalaman?” tanya Adimas dengan sedikit curiga. Wanita cantik itu memandang ke arahnya dengan serius. “Memang banyak, tetapi kalian memiliki nasib yang sama. Kalian sama-sama dirugikan oleh pernikahan keduanya. Itu akan membuatmu lebih mengerti dirinya daripada pengasuh lain.” Dia menjelaskan. Alasan itu cukup masuk akal, pikir Adimas. Pada akhirnya, dia menganggukkan kepala satu kali. “Baik, saya terima tawaran kamu,” jawabnya dengan yakin. Wajah Bella langsung berubah menjadi cerah. “Kalau begitu, mohon ikut saya!” ujarnya. Gadis itu meminta Adimas untuk masuk ke dalam mobil miliknya. Rupanya, gadis itu sudah mengintai Adimas dan menyaksikan peristiwa tadi. Kini, pria itu dibawa ke sebuah pemukiman orang elit kelas atas. Adimas melihat ke kanan dan kiri dan tidak ada perubahan pada raut wajahnya. Dia terlihat sangat tenang, seperti orang kaya saja, pikir Bella di kursi kemudi. Umumnya, orang-orang akan takjub melihat rumah-rumah mewah dan halaman-halaman indah yang terpampang. Namun, Adimas tetap tenang seakan tidak kagum. Tak lama, mereka berhenti di sebuah rumah besar bergaya minimalis yang memiliki halaman luas. “Ayo masuk!” ajak Bella. Raut wajah Adimas masih tetap tenang. Dia tidak merasa rendah meski memasuki rumah sebesar ini. Padahal, dirinya hanya seorang kurir. “Pah, Bella sudah menemukan pria yang cocok!” Gadis itu berujar seraya menghampiri seorang pria yang tengah duduk di sebuah sofa. Pria itu menatap ke arah datangnya Adimas. Dia adalah pria paruh baya berwajah sangar. Dia memandang ke arah Adimas dengan ragu. “Dia?” tanyanya. Adimas tahu. Saat ini ia hanya mengenakan jaket kulit dan celana jins lusuh. Sama sekali tidak menonjolkan maskulinitasnya. Pria itu tidak akan memercayainya begitu saja. Namun, Bella mengangguk yakin. “Benar, Pah.” Pria itu mulai berdiri dan menatap lurus ke arah Adimas. “Jadi, kamu yang akan menikahi anak saya Karina?” tanyanya, langsung to the point. Alis Adimas menukik tajam dan memandang ke arah Bella dengan bingung. “Apa? Menikahinya?” tanya Adimas dengan heran. Itu bukan apa yang ditawarkan Bella sebelumnya. “Tentu saja! Kamu akan mengurus segala keperluan, bahkan tidur dengannya. Bagaimana mungkin saya akan percaya jika tidak menikahinya?” Pria bernama Markus itu tampak bersikeras terhadap aturannya. “Wanita ini bilang saya hanya perlu mengasuhnya,” protes Adimas seraya memandang ke arah Bella seakan meminta penjelasan. Bella balas memandangnya dengan sorot penuh permohonan. “Jangan khawatir, kami akan memberikan bayaran yang lebih besar! Lima puluh juta dalam satu bulan pun akan kami bayar. Yang terpenting putri kami baik-baik saja,” pintanya dengan raut wajah putus asa. “Kami mohon, Nak. Kondisinya sangat mengenaskan. Saya yakin hanya kamu yang bisa menolongnya.” Markus menambahkan dengan tatapan penuh harap. Adimas semakin bingung. Ia tidak ingin terjerumus pada hal ini, tetapi tanpa sadar ia justru terjebak semakin dalam hingga harus menikahi seseorang. “Jika kamu berhasil membuatnya sembuh, kalian bisa bercerai. Dan kami akan memberikan pesangon yang besar. Mobil, rumah, emas atau apa pun yang kamu minta,” ujar Markus. Tak hanya melalui kata-katanya, pria paruh baya itu juga berulang kali menundukkan kepalanya seakan memohon kepada Adimas, membuat Adimas menjadi segan. “Hanya Anda yang bisa kami harapkan.” Bella menambahkan seraya menundukkan kepala. Keduanya menunduk ke arah Adimas dengan penuh harap. Membuat Adimas berpikir Karina pastilah anak kesayangan keluarga ini hingga ayah dan adiknya sampai rela mengorbankan harga dirinya untuk memohon kepadanya seperti ini. Kini, hati nurani Adimas pun ikut tergerak melihatnya. Pria itu menatap keduanya dengan iba sebelum akhirnya mengangguk. “Baiklah, saya akan menerimanya, tapi dengan satu syarat.” Dia mengumumkan. Markus dan Bella sontak mengangkat wajah mereka. Terlihat bahagia dengan keputusan itu, tetapi juga cemas. Seakan khawatir Adimas akan meminta macam-macam. “Katakan. Kami akan memenuhinya. Apa pun yang kau minta, kami akan mengabulkannya. Harta, jabatan, apa pun,” ujar Markus tanpa ragu. Ia yakin itu adalah apa yang diinginkan oleh pria sederhana seperti Adimas. Namun, Adimas justru menggelengkan kepala. Ia tidak ingin salah satu benda yang disebutkan Markus. Matanya menatap ke arah Markus dengan yakin saat ia menjawab, “Saya ingin bertemu dengan putri kalian,” tutur Adimas. Hening. Sesaat, baik Bella maupun Markus terlihat ragu. Markus akan langsung memberikan uang tunai jika itu yang diminta Adimas. Namun, permintaannya di luar sangkaannya dan membuat Markus ragu. Pasalnya, jika Adimas melihat kondisi Karina, sudah pasti pria itu akan langsung menolaknya. “Mengapa? Tidak bisa?” Adimas bertanya lagi. Salah satu alisnya terangkat naik dengan penasaran. “Bisa!” Markus menjawab cepat, “Tapi, seperti yang kami bilang, dia mengidap gangguan jiwa. Sikapnya mungkin akan sedikit tidak terkendali,” ujarnya, memperingatkan. Markus amat khawatir Adimas akan membatalkan kesepakatan mereka setelah melihat Karina. “Tidak masalah! Saya hanya ingin melihatnya!” ujar Adimas, tampak yakin. Pada akhirnya, Adimas mulai dibimbing memasuki rumah itu lebih dalam. Ia dibawa kepada sebuah kamar yang letaknya di lantai bawah. Dari luar, kamar itu tampak normal. Namun, jantung Adimas nyaris berhenti saat Markus membuka pintunya. Kamar itu benar-benar berantakan. Seakan baru saja terjadi perkelahian di sana. Sementara itu, ia melihat seorang wanita dalam balutan gaun sederhana berwarna putih. Rambut gadis itu tampak berantakan dan ia menatap sendu keluar jendela, sama sekali tidak memedulikan tiga orang yang mengamati dari ambang pintu. Adimas bisa langsung melihat gangguan pada kejiwaannya. “Anda yakin akan memberikan apa pun yang saya minta?” Adimas bertanya lagi. Kali ini, nadanya terdengar lebih serius. “Ya! Katakan saja. Kami akan mewujudkannya jika kami sanggup!” jawab Markus dengan yakin. Sangat sulit untuk mencari pengasuh Karina. Jauh lebih sulit daripada mencari pengasuh anak-anak. Ia tidak ingin kehilangan seseorang seperti Adimas. “Baiklah, saya akan menikahi putri Anda!” *** Adimas kembali diantar ke rumah Kamala. Gadis itu masih belum kembali dan masih ada motor milik pria itu di sana. “Ayahku akan mengurus pernikahan kalian secepatnya. Tunggu saja kabar dariku,” ujar Bella dari dalam mobil. Adimas mengangguk, kemudian berjalan pergi menuju motornya. Ia sudah siap untuk menyalakan mesin kendaraan tersebut saat tiba-tiba ponselnya berdering. Ada pesan masuk dari nomor tidak dikenal. “Hukumanmu telah berakhir. Kau bisa pulang ke rumah.” Adimas menyeringai tidak percaya membaca pesan itu. Ia mengabaikannya dan kembali memasukkan ponselnya ke kantong celana, bersikap seolah pesan itu tidak pernah ada. Hingga begitu ia keluar dari kediaman Kamala, tiba-tiba seorang pria menahannya. “Mengapa Anda mengabaikannya, Tuan Muda?” Adimas seketika mengerem motornya. Raut wajahnya tampak terkejut melihat pria yang sekarang berdiri di hadapannya. “Kau mengagetkanku!” sergah Adimas kepada Benny yang tidak lain adalah asisten sang ayah. Benny telah bekerja bertahun-tahun pada sang ayah hingga Adimas sudah menganggapnya seperti paman sendiri. “Hukuman Anda telah berakhir. Tuan besar dan Nyonya besar ingin Anda kembali ke rumah.” Dia menyampaikan seraya memberikan gestur pada mobil hitam mewah yang sudah menunggu mereka. Kedua orang tua Adimas mengutusnya langsung untuk menjemput putra tunggal dari keluarga konglomerat Nelson itu. “Sayang sekali, aku tidak ingin kembali ke sana sekarang,” jawab Adimas acuh tak acuh. Hampir setengah tahun lalu, sang Ayah menghukum Adimas dan mengusirnya dari rumah. Ia tidak diberikan uang sepeser pun, hanya sebuah motor usang yang sering mogok. Karena itu, satu-satunya hal yang bisa Adimas coba adalah menjadi seorang kurir. Ia yang dulu disanjung-sanjung dan dihormati kini hanya mendapat hinaan dan caci maki. Adimas bahkan kehilangan calon tunangannya. Ia telah kehilangan segalanya. Kembali ke rumah itu pun tidak akan berarti. “Anda yakin? Perusahaan Anda sudah menunggu untuk Anda kelola. Dan perbuatan David dan Kamala saat merendahkan Anda juga membuat saya geram,” ujar Benny. Nada suaranya masih stabil dan tenang, tetapi Adimas tahu bahwa pria itu serius dan bisa mengirim banyak orang untuk membalaskan dendamnya.Kening Adimas mengernyit seketika. “Tunggu–bagaimana kau mengetahuinya? Apakah kau memata-mataiku selama ini?” tanya Adimas dengan sorot memicing curiga. Benny tampak tidak terpengaruh dengan serangan pertanyaan tersebut. Raut wajahnya masih tenang dan stabil. “Itu karena kami semua khawatir, Tuan Muda. Tuan terbiasa dilayani dan tiba-tiba harus melakukan semuanya sendiri. Kami khawatir hal yang buruk terjadi,” jawabnya. Adimas mendengkus. Tidak menyangka jika dirinya akan diperlakukan seperti anak kecil. “Jadi, kalian tidak memercayaiku?” tanya pria itu. Sejak kecil, Adimas memang sudah memiliki banyak pelayan yang siap memenuhi kebutuhannya. Namun, bukan berarti ia tidak bisa hidup seorang diri dan Adimas merasa diremehkan dengan perlakuan itu. Akan tetapi, Benny mengabaikan komentarnya. “David hanyalah anak seorang pengusaha yang baru sukses dalam bisnisnya. Itu tidak sebanding dengan Anda. Jika Anda mau, Anda bisa menghancurkan dan mengakuisisi perusahaannya dalam sekejap,” tutur Benny. Ia sudah seperti paman Adimas. Jika seseorang berani merendahkan Adimas, maka Benny berani maju untuk membalaskan dendam. Sayangnya, Adimas menggelengkan kepala. Jelas menolak ide itu. “Untuk apa aku melakukannya? Membuat Kamala kembali padaku? Aku tidak menginginkan dia lagi. Cintaku sudah mati,” jawab Adimas dengan suara dingin. Mengingat Kamala pun tidak lagi membuatnya berbunga-bunga. Hanya ada rasa sakit dan kecewa. “Jadi, Anda benar-benar tidak ingin kembali, Tuan? Nyonya besar sudah mengkhawatirkan Anda.” Benny menambahkan. Adimas tersenyum kecil. Ia benar-benar merasa diperlakukan seperti anak kecil yang tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak ada satu pun laki-laki yang ingin diperlakukan demikian. “Katakan padanya aku hanya akan kembali saat aku menginginkannya. Dan jika kau terus membuntutiku, aku benar-benar tidak akan pernah kembali ke rumah itu!” jawab Adimas dengan tegas. Setelah mengatakannya, pria itu berniat mengakhiri pembicaraan dan berjalan pergi, tetapi Benny kembali menahannya. “Baiklah, Tuan, tapi setidaknya terimalah ini.” Benny merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah kartu ATM berwarna hitam dan kunci mobil. Itu adalah kartu ATM tanpa batas yang hanya bisa dimiliki oleh orang-orang eksklusif di negara ini, dan Adimas sudah memilikinya sejak ia lulus SMA. “Itu adalah kartu Anda yang sempat ditahan. Mobil Anda ada di tempat perawatan seperti biasa. Bisa diambil kapan pun Anda membutuhkannya,” ujar Benny. Ia biasa melihat Adimas mengendarai mobil sport miliknya dengan gagah. Melihatnya hanya membawa motor usang ke mana-mana membuat Benny tidak tega. Meski demikian, Adimas tidak langsung mengambilnya. “Aku akan menerimanya, tapi bukan berarti aku akan menggunakannya! Aku hanya menerimanya untuk membuatmu berhenti,” jawab Adimas sambil menerima kedua barang berharga tersebut, kemudian memasukkannya ke dalam saku jaket. Ia bertekad tidak akan menggunakan mobil ataupun kartu tanpa batas itu. “Tidak masalah, Tuan Muda,” jawab Benny, “Kalau begitu, saya akan segera pergi. Ada banyak urusan yang harus saya selesaikan.” Benny mengangguk memberi hormat, kemudian melangkah pergi. “Tunggu–” ucap Adimas. Seperti robot, pria itu langsung berhenti dan membalikkan tubuh ke arah tuan mudanya. Adimas tampak berpikir sejenak. Menimbang-nimbang perkataannya selanjutnya, kemudian menggeleng. “Tidak jadi, lupakan saja,” katanya. Pada awalnya, Adimas berniat memberitahu Benny tentang pernikahan dan pekerjaan barunya. Namun, hal itu justru akan membuat keluarganya menjadi lebih khawatir. Ia ingin menyelesaikan hal ini dengan cara laki-laki sejati. Adimas kembali menyalakan mesin motornya. Akan tetapi, belum sempat ia bergerak maju, ponselnya kembali berdering. Ada sebuah pesan dari nomor tidak dikenal. “Ayah sudah selesai mempersiapkan semuanya. Kau bisa menikah dengan kakakku lusa.” Adimas mengerjap tidak percaya. Ia tidak menyangka akan secepat ini.Hari pernikahan datang lebih cepat daripada yang Adimas duga. Hingga dalam waktu dua hari, ia sudah berada di sebuah aula dan mengenakan jas resmi. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, pernikahan itu diadakan secara tertutup, hanya dihadiri oleh keluarga dekat dan seorang penghulu. Penampilan Karina tidak jauh lebih baik. Rambutnya masih berantakan. Wajahnya terlihat kusam dan dia mengenakan gaun putih sederhana. Adimas kira, pernikahan ini tidak akan berjalan mulus. Namun, rupanya Karina bisa duduk diam di sisinya tanpa berkata-kata. Tentu rasanya sangat aneh menikah dengan orang yang tidak dikenal. Karena itu, sementara penghulu bersiap-siap, Adimas mencoba menyapa. “Hai, Karina,” tuturnya sambil tersenyum manis. Ia mengulurkan tangan ke arah gadis itu. “Kau bisa memanggilku Adimas.” Karina tidak langsung bereaksi, tetapi ia menoleh, tanda bahwa ia bisa mendengar Adimas. Alih-alih menjabat tangan pria itu, Karina justru menamparnya. PLAKKK Adimas dan semua orang
Sesuai kesepakatan, Adimas dan Karina akan tetap tinggal bersama Markus dan istrinya di rumah keluarganya. Alasannya adalah agar mereka bisa memantau langsung perkembangan Adimas. Kini, pertanyaan dan peringatan dari David masih mengiang-ngiang di kepala Adimas. Hingga ketika keduanya tiba di rumah, Karina langsung pergi ke kamar untuk beristirahat, sementara Adimas masih merenungi pertanyaan yang sama. "Ada apa, Adimas?" Siska, ibu Karina, tiba-tiba datang dan menghampiri Adimas yang menunjukkan wajah serius. Wanita itu juga berada di tempat pernikahan mereka dan sudah mengganti busananya dengan pakaian yang lebih santai. Adimas belum terlalu mengetahui seluk-beluk keluarga ini, tetapi sejauh ini, Siska menunjukkan sikap yang baik. Adimas menggelengkan kepala. “Tidak, aku hanya tiba-tiba penasaran. Bagaimana awal mula Karina bisa menjadi seperti ini?” tanya pria itu. Sejak awal, Markus dan Bella hanya terus meyakinkannya bahwa Karina menjadi seperti ini karena David. Namun, apa
"Ayo, Karina. Kamu harus mandi agar David mau menemuimu," bujuk Adimas dengan suara lembut. Tubuh keduanya basah akibat terguyur hujan dan Adimas berusaha memutar otak untuk membuat Karina mau untuk mandi. Dia hanya menyebutkan nama David sebagai percobaan. Tidak disangka, Karina langsung menoleh ke arahnya dengan tertarik. "David?" tanyanya dengan suara lirih. Adimas tersenyum dan mengangguk. "Ya. David hanya ingin menemuimu jika kau sudah bersih dan wangi," jawabnya. Ia merasa bersalah karena harus membohongi Karina seperti anak kecil, tetapi mungkin hanya itu satu-satunya cara untuk menjangkau Karina yang tidak ingin mendengarkannya. Dan, benar saja. Karina langsung mengangguk patuh seperti kucing kecil dan mulai berjalan ke arah kamar mandi. Bahkan, tanpa perlu Adimas suruh. Pria itu memandangnya dengan tidak percaya. Untuk saat ini, Karina hanya mendengarkan David. Gadis itu mungkin bahkan tidak pernah menghiraukannya. Adimas menyusul Karina mendekati kamar mandi dan sedi
Adimas tengah menunggu Karina yang ditangani dokter saat melihat Markus berjalan masuk dengan langkah tegas. "Karina--" Buukkk Markus langsung meninju wajah Adimas tanpa ragu. Wajahnya tampak memerah kesal. "Berani-beraninya kau membawa Karina ke tempat ini!" sergah pria paruh baya itu. Adimas tidak menjawab. Para pasien lain di sekitar mereka seketika terdiam mengamati pertengkaran di antara keduanya. "Di mana Karina?!" bentak pria itu seraya memandang sekeliling. Memperhatikan beberapa tempat tidur yang tertutupi tirai. Tanpa menunggu jawaban Adimas, Markus menghampiri salah satu tirai dan menyibakkannya. Terlihat seorang dokter yang tengah memasang infus untuk gadis itu. Tanpa ragu, Markus meraih tangan Karina yang tampak lemah dan menariknya. "Ayo, kita harus segera pergi dari sini!" ajaknya dengan kasar. Semua orang terkejut dengan tindakan Markus dan Adimas cepat-cepat menghentikkannya. "Karina harus segera mendapat penanganan!" tegas Adimas melawan Markus. Raut wajah
Adimas tidak pernah menjadi seperti ini sebelumnya. Ini kali pertama pria itu terjaga semalaman untuk menjaga seseorang dan memang Adimas tidak pernah tenang. Setiap beberapa jam, pria itu terbangun dan mengecek suhu tubuh Karina, Mengganti kompres gadis itu. Dan selalu siap siaga tiap kali Karina terbangun. Bahkan, kali ini, saat Adimas terbangun di sisi Karina, pria itu mendapati Karina telah membuka mata dan menatap ke arahnya. "Kau sudah bangun," sapa Adimas, sedikit terkejut karena Karina memandangnya dengan serius. Khawatir pipinya akan menjadi sasaran sepagi ini. "Kau... bukan David," tutur gadis itu, terdengar serak dan lemah. Adimas berkedip dua kali dengan heran dan memandang lurus ke arah Karina. Mengapa tiba-tiba gadis itu menanyakannya? Apakah selama ini Karina menganggapnya sebagai David. Jika demikian, bisa-bisa gadis itu tidak akan menuruti Adimas lagi. Namun, Adimas mengambil risiko itu dan mengangguk. "Benar, aku bukan David," jawabnya dengan tegas. Di luar
Siska tidak berkutik di tempatnya. Iris hitamnya membesar melihat video yang terputar dan dia mematung. Hingga sedetik kemudian, Siska merebut ponsel itu dengan kasar dari Adimas. "Siapa bilang kau bisa menyentuh barang dengan sembarangan?!" omelnya dengan nada tinggi. Terdapat kegugupan dalam nada suaranya, seakan ia baru saja tertangkap basah melakukan hal yang salah. Adimas mengabaikan amarah itu dan terus mengejar. "Bagaimana bisa ada video itu? Apa yang dilakukan Karina?" tanyanya. Ia tidak dapat membendung rasa penasarannya lagi. Bagaimana mungkin, Karina bisa berada di klub malam dan dikelilingi pria seperti itu? "Kau membuka ponsel orang lain. Benar-benar pria lancang!" tuduh Siska dengan geram. Raut wajahnya kini terlihat marah dan berusaha melawan Adimas. Sementara itu, Adimas masih terlihat tenang, tetapi rahangnya mengeras dan membuat pria itu terlihat lebih tegas. "Jika kulihat, latar belakang ponsel itu adalah foto Karina. Berarti, itu milik Karina, bukan? Aku ber
Adimas tidak tahu kapan hukumannya akan berakhir. Pagi itu, Adimas baru saja selesai menikmati sarapan bersama Karina dan tengah mencuci semua piring kotor saat tiba-tiba Markus berjalan ke ruang tengah dengan tergesa. Tak lama, Bella dan Siska ikut berkumpul di sana. "Ada apa, Yah? Mengapa tiba-tiba Ayah memanggil kami?" tanya Bella. Raut wajah gadis itu kelihatan sembab dan sebal karena sang ayah mengganggu waktu tidurnya.Begitu pula Siska yang tampak sedikit kesal karena rutinitas perawatannya harus terhenti. Markus mengabaikan hal itu dan mengumumkan. "Ayah baru mendapat kabar dari Fero dan katanya dia akan kembali hari ini," ujarnya. Semua orang seketika terkesiap mendengarnya. Adimas tidak tahu siapa pria itu, tetapi dia jelas cukup berpengaruh hingga membuat semua orang terkejut. "Kakak akan kembali hari ini?" tanya Bella. Kedua matanya terbelalak tidak percaya. "Apakah dia sudah menyelesaikan studinya?!" Sang ibu ikut bertanya. "Jika dia kembali, tentu saja itu berarti
"Apakah kau benar-benar akan menjalani hidup malang seperti ini?" Pria itu kembali bertanya untuk kedua kalinya. Adimas menelan saliva dengan terkejut. "A--ayah...." Adimas menoleh ke arah Benny dan seakan menuntut sebuah penjelasan dari pria itu. Namun, belum sempat Benny membuka suara, ayahnya sudah bersuara lagi. "Ayah sudah mendengar semuanya dari Benny. Apakah kau benar-benar akan menjalani hidup malang seperti ini? Kau bisa saja menyebut bahwa kau adalah anakku dan keluarga itu pasti akan memperlakukanmu dengan baik," ujar Dirga, salah satu orang paling sukses di keluarga Nelson. Nama Dirgantara Nelson telah terkenal di seluruh negeri. Pria itu adalah pria paling sukses di negaranya. Meski demikian, nama Adimas tidak lantas turut menjadi tenar. Adimas sengaja tidak pernah membawa nama sang ayah ke mana pun ia pergi. Begitu pula saat di keluarga Covey. Sekali ia membongkar identitasnya di depan keluarga itu, pastilah Markus dan Siska akan memanfaatkan nama keluarganya yang b
Empat bulan kemudian …. “Kamu yakin bisa pergi, Ayana?” Mark bertanya dengan cemas. Ia menatap pada istrinya yang duduk di depan meja rias. Ayana menjawab dengan anggukan. “Ini adalah wisuda kita, mana mungkin aku tidak datang?” tanya Ayana, kemudian lanjut merias dirinya. Mark menghela napas panjang dan berjalan mendekati sang istri. Dia menaruh tangannya di atas bahu Ayana. “Tapi, kandungan kamu sudah besar. Dokter bilang perkiraan lahirnya sebentar lagi, bukan?” tanya Mark, tidak dapat menyembunyikan kecemasannya. Mendengar itu, Ayana beranjak bangkit dari kursinya dan terlihat jelas perutnya yang sudah membungkit sempurna. Tampak siap untuk melahirkan. “Masih ada sisa waktu empat hari sampai hari perkiraan lahir,” ucap gadis itu, “Aku sudah menunggu-nunggu untuk wisuda ini. Biarkan aku ikut, ya? Ya?” tanyanya. Seharusnya mustahil bagi perempuan dewasa yang sudah hamil untuk terlihat seperti anak kucing, tetapi Ayana benar-benar menatap Mark dengan penuh harap hingga p
Andreas tidak mengizinkan Cakra pergi bersama Mark dan Ayana. Pria itu menuntut penjelasan dari Cakra yang tidak pernah menceritakan apa pun kepadanya. Sebagai trio, Andreas selalu merasa dirinya terbelakang. Bahkan saat Mark mengakui Ayana sebagai istrinya, Cakra telah mencurigai hal itu terlebih dahulu. Akhirnya, hanya ada Ayana dan Mark di dalam mobil pria itu. Selama perjalanan pulang, Ayana tidak berhenti tersenyum. “Apa yang lucu?” Mark bertanya, tidak tahan melihat istrinya yang sejak tadi senyam-senyum seorang diri. Ayana menggeleng, tetapi senyumnya bertambah lebar. “Tidak apa-apa, hanya saja kisah mereka membuatku terharu,” ucap gadis itu, “Aku tidak menyangka Cakra bisa mengucapkan kata-kata romantis seperti itu.” Ayana memuji, kemudian tersenyum lebih lebar. Selama ini, Ayana mengenal Cakra sebagai satu-satunya pria yang normal di antara tiga sahabat itu. Andreas terkenal sering memainkan perasaan wanita, sementara Mark lebih banyak diam. Ditambah, fakta bahwa koneks
“... apa?” Cakra bertanya. Pria itu berkedip satu kali dan menatap tak percaya ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum saat pandangannya jatuh ke bawah, terlihat malu sekaligus pahit. “Aku sudah memikirkannya. Aku benar-benar akan melanjutkan kuliah di luar negeri,” ucap Chika, “Aku tahu ini mungkin tidak penting untukmu, tapi aku merasa harus memberitahunya.” Setelah beberapa kali meminta, ayahnya akhirnya mengizinkan Chika untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Ia dan Cakra tidak pernah dekat sebelumnya. Mereka hanya sering bicara saat Chika mulai mencari Sandi. Namun, entah mengapa, saat pertama Chika mendapat izin, satu-satunya yang terlintas dalam benak perempuan itu adalah memberitahu Cakra. Kini, ia merasa malu sekaligus menyesal. Chika tahu ia pasti terlihat aneh, tahu-tahu memberi kabar seperti itu seolah dirinya penting. Di luar dugaan, wajah Cakra terlihat tawar dan sedikit kecewa. “Mengapa? Bukankah Ayana sudah memaafkanmu berkat Sandi kemarin?” tanya pria itu.
“Bapak lihat Mark?” Ayana bertanya kepada satpam yang berjaga di kediaman mereka. Sesuai kesepakatan, pagi itu mereka akan pergi ke pemakaman ayah Ayana. Namun, saat Ayana bangun pagi ini, ia justru tidak dapat menemukan suaminya itu di mana pun. “Tuan Mark pergi dengan mobilnya pagi-pagi sekali, Nyonya,” jawab satpam itu. Alis Ayana mengernyit dalam. Tak biasanya Mark pergi tanpa meninggalkan kabar apa pun. Gadis itu kembali berjalan ke dalam rumah sembari mengecek ponselnya, tetapi tidak ada pesan apa pun dari Mark. Ke mana perginya pria itu? “Ada apa, Kak?” Suara Sandi terdengar. Pria itu baru saja turun dari lantai dua. Tadi malam, Ayana memaksa Sandi untuk menginap sesuai rencana mereka. Kini, justru Mark yang tidak tahu keberadaannya. Ayana menggelengkan kepala. “Bukan apa-apa,” jawabnya, “Kita harus sarapan sebelum pergi,” ajak gadis itu. Keduanya berjalan menuju dapur dan Sandi kembali menyadari keanehan saat mereka hanya menyantap sarapan berdua. “Di mana kakak ipa
Wajah Ayana menjadi kecut. Dengan gugup, Ayana melirik ke arah Mark, kemudian mengangguk membenarkan pertanyaan Sandi. Pemuda itu tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia memandang Ayana dan suaminya bergantian, masih tidak menyangka jika kakak perempuannya itu benar-benar sudah bersuami. “Ayana banyak bercerita tentangmu,” ucap Mark, menunjukkan senyum ramah, “Bagaimana kalau kita berbincang di rumah?” Sebelum pergi, Ayana kembali menghampiri Chika dan Cakra yang menghampiri mereka. Ia tersenyum ke arah perempuan itu. “Terima kasih,” ucapnya, “Aku bisa bertemu kembali dengan Adikku berkat bantuanmu,” lanjut Ayana. Chika sedikit tertegun. Ia tak menyangka jika Ayana akan berterima kasih secara langsung. Ia sendiri selalu merasa gengsi untuk mengatakannya. Akhirnya, Chika mengangguk. “Kuharap itu balasan yang sepadan untuk kesalahanku,” ucapnya. Mark mengajak Chika dan Cakra untuk turut bersama mereka ke kediamannya, tetapi keduanya menolak. Hingga Sandi menemukan keaneh
Sejak insiden itu, hubungan Chika dan Ayana menjadi kian renggang. Keduanya masih duduk bersisian, tetapi amat jarang bertukar sapa. Kini, tepat setelah mata kuliah selesai, tiba-tiba wanita itu menghampiri Ayana yang tengah bersama Mark. Melihat kedatangan Chika sukses membuat Mark menjadi waspada. Pria itu dengan sigap pasang badan di hadapan Ayana. “Apa yang ingin kau lakukan?” Mark bertanya, menatap lurus ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum getir, sadar jika ia benar-benar telah bersikap buruk hingga dicap sebagai orang yang mampu membahayakan Ayana. Bahkan setelah lewat beberapa hari, kewaspadaan Mark terhadap dirinya sama sekali tidak berkurang. Chika menggelengkan kepala. “Aku ingin bicara dengan Ayana,” ucapnya, terdengar segan. Mark dan Ayana seketika bertukar tatapan dengan heran. Pria itu terlihat enggan untuk mengizinkan, tetapi Ayana memberi isyarat hingga akhirnya Mark sedikit menyingkir, membiarkan Ayana berhadapan langsung dengan wanita berambut pendek itu.
Tak jauh dari pusat kota, terlihat sebuah proyek yang tengah dibangun. Para pria yang mengenakan rompi keselamatan kerja berlalu-lalang, terus tekun bekerja di bawah terik matahari. Pasir, debu, dan semen beterbangan di udara, tetapi semua orang seakan terbiasa dengan itu. “Sandi! Bawakan lima sak semen ke sini!” titah seorang pria paruh baya yang menjadi mandor di proyek tersebut. Sandi, yang semula tampak sibuk menata besi-besi itu lantas berdiri tegak.“Baik, Pak!” jawabnya.Dia pekerja paling muda di sana. Kulit pemuda itu kecokelatan karena terus terpapar sinar matahari. Keringat yang mengalir di pelipisnya tampak kotor oleh pasir dan debu, tetapi ia tidak menghiraukannya. Sandi menyusun lima sak semen dan mengangkat semuanya langsung di punggung, kemudian berjalan menuju tempat yang diminta. Ia hampir sampai saat tanpa sengaja kakinya menginjak batu. Batu itu tergulir dan membuat Sandi kehilangan keseimbangan hingga jatuh bersama lima sak semen di punggungnya. BUK Suara it
“Sepertinya dia kecewa kepada Ibu dan memutuskan untuk pergi. Sejak itu, Ibu tidak pernah berhasil menemukan Sandi,” tutur Wati, mengakhiri ceritanya. Air mata sudah mengering di pipinya, tetapi matanya masih memerah bekas menangis dan napasnya sesenggukan. Beberapa saat lalu, Ayana berhasil mendesak Wati untuk menceritakan awal mula hilangnya Sandi. Meski terasa berat, Wati berhasil menceritakannya dan kini ketiganya membungkam. “Ini foto terakhir yang Ibu ambil sewaktu dia kelulusan,” tutur Wati, menyerahkan sebuah foto ke arah Ayana. Gadis itu menerimanya dan napasnya tercekat melihat Sandi. Saat mereka berpisah dahulu, adiknya itu masih kecil, bahkan jauh lebih pendek daripada Ayana. Namun, sosok Sandi di foto itu telah bertumbuh pesat. Kini dia tinggi, terlihat tampan dan sangat mirip dengan ayahnya. Wajah Ayana diliputi kecemasan membayangkan adiknya mengadu nasib di dunia luar. Seorang diri. “Bagaimana dengan informasi yang diberikan Chika? Apakah dia berbohong?” Mark be
Chika menyeret langkahnya keluar kelas. Pada akhirnya, ia berhasil bertahan selama kelas hari itu. Bahkan, Ayana duduk tepat di sisinya. Gadis itu tidak menunjukkan aura permusuhan, tetapi juga tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sekarang, air mata Chika sudah sepenuhnya mengering, tetapi ingatan itu masih membekas dalam ingatannya. Sepanjang berjalan, pandangan Chika terus tertuju ke arah bawah. Ia berusaha mengabaikan komentar dan pembicaraan yang terang-terangan membahas dirinya.Hingga langkah perempuan itu berhenti saat melihat sepasang sepatu yang berdiri tepat di hadapannya. Perlahan, Chika mendongak. Ia sudah cemas akan menerima bullyan lagi, tetapi alisnya mengernyit saat ia justru menemukan wajah Cakra. Pria itu menatap lurus ke arahnya. Dia membuka bibirnya dan siap untuk mengatakan sesuatu, tetapi Chika lebih dahulu menyela. “Aku tahu,” ucapnya, “Aku tahu apa yang akan kamu ucapkan. Kamu akan memberiku peringatan akan pembalasan Mark dan memintaku untuk tidak menyaki