"Lama sekali, padahal hanya membeli sebotol anggur!" Fero mengomel saat Adimas datang dan memberikan pesanannya. Kini, pria itu tengah bersantai di tepi kolam renang dengan mantel mandinya. Adimas ingin sekali membalas perkataannya itu dengan menceburkannya ke kolam renang, tetapi pria itu hanya terdiam dan berjalan pergi tanpa mengatakan apa-apa. Dalam perjalanan, tanpa sengaja pria tampan berambut hitam itu berpapasan dengan Bella yang terlihat baru saja mandi. Gadis itu hanya mengenakan mantel mandi yang sedikit terbuka. Bella amat yakin Adimas akan terpesona dengan penampilannya. Namun, pria itu hanya terus melewatinya tanpa menoleh sedikit pun. Hingga perhatian Bella tertuju pada sebuah bingkisan yang dibawa Adimas. "Kulihat kau baru saja pergi keluar." Bella mulai bersuara untuk basa-basi. "Apa yang kau beli?" tanyanya. Ia berusaha melihat ke dalam bingkisan dan menemukan sebuah kain di dalamnya. Adimas berhenti berjalan dan menoleh ke arah gadis itu. Raut wajahnya tidak
“Apa yang kau lakukan?” Suara Markus terdengar dari belakang punggung Adimas. Pemuda itu tengah berdiri di dapur dengan sebuah piring di tangannya, siap untuk mengambil sarapan untuk Karina dan dirinya. “Aku akan mengambil sarapan untuk Karina,” jawab Adimas. “Kalian mengambil sarapan sebelum kami? Dasar menantu yang lancang!” sergah Markus. “Pelayan!” Seorang pelayan wanita datang menghampiri mereka dalam waktu singkat. “Ya, Tuan. Apa yang bisa saya bantu?” “Siapkan sarapan untuk kami! Bawa semua makanan yang sudah disiapkan!” titah Markus tanpa memedulikan Adimas yang berdiri di sana. “Kalau begitu, aku akan mengajak Karina kemari,” ujar Adimas. Pria itu meletakkan kembali piring di tangannya dan berniat pergi saat tahu-tahu Siska menghalanginya. “Tidak! Kau mau dia makan bersama kami? Bagaimana jika dia makan dengan berantakan? Itu akan mengganggu selera makan kami! Tidak, Karina tidak diizinkan makan di meja makan bersama yang lain,” tutur Siska dengan tegas. Raut wajahny
Adimas tahu ia akan segera kembali terjebak dalam masalah. Tubuh Adimas dan Bella seakan mematung begitu melihat keberadaan Markus di sana dan menatap nyalang ke arah mereka. Adimas bisa melihat Bella yang menjadi panik dan gusar seketika. Posisi dan jarak di antara keduanya tidak diragukan lagi akan menimbulkan fitnah, terlebih dengan Bella yang busananya setengah terbuka. Markus langsung mengambil langkah maju dengan tegas. "Jelaskan padaku, apa yang terjadi di sini!" damprat pria itu. Dia memandang ke arah Adimas dan Bella bergantian. Menuntut penjelasan atas tindakan mereka. "Anda sudah salah paham--" "Diam!" Markus menyentak Adimas dengan suara bernada tinggi. Dia memandang ke arah Bella yang masih berdiri diam. "Mengapa kau tidak mengatakan apa-apa, Bella? Apa yang terjadi di sini? Mengapa busanamu seperti itu?" Markus menyerang anak gadisnya dengan pertanyaan bertubi-tubi. Bella menatap ke arah Adimas, kemudian mulai terisak. "Aku tidak tahu, Ayah. Aku hanya datang
Pagi-pagi, Adimas sudah mengerjakan banyak pekerjaan rumah. Membersihkan rumah, mengepel, dan mencuci baju. Ia harus menyelesaikan semua itu sebelum siang. "Biar saya yang melakukannya, Tuan," ujar Bibi Heni kepada Adimas. Ia tidak tega melihat menantu di keluarga ini justru harus mengerjakan pekerjaan semacam ini. "Tidak perlu, Bi," jawab Adimas seraya menggeleng, "Jika ketahuan membantu, Markus akan semakin marah dan Karina mungkin menjadi sasarannya," tutur pria itu. Sorot Bibi Heni seketika melembut. Hatinya menghangat mendengar jawaban itu. "Saya tidak menyangka jika Nona Karina akan mendapatkan pria seperti Tuan. Jika orang lain yang merawatnya, keadaan pasti akan sangat berbeda," ujar Bibi Heni dengan tulus. Adimas ikut tersenyum mendengarnya, meski dalam hati ia juga merasa miris. Ia tidak tahu mengapa dirinya, yang notabene seorang pewaris konglomerat, justru menjadi pembantu di rumah mertuanya. Adimas selalu menunggu waktu yang tepat untuk pergi. Jika ia membawa Karin
Hampir genap satu bulan semenjak Adimas tinggal di kediaman Covey. Sampai sekarang, Adimas telah menghafalkan ritme aktivitas di rumah itu dan mengetahui bahwa semua orang pergi tidur pada pukul sebelas. Tidak hanya ritme tidur, ritme keamanan di rumah itu pun sudah Adimas hafal. Malam ini, Adimas memutuskan untuk pergi diam-diam menyelinap keluar rumah itu. Ia sengaja mengadakan pertemuan dadakan di Hotel Karisma. Ia berhasil keluar tanpa mendapati kesulitan. Selang beberapa meter, sudah ada sebuah mobil yang menunggunya dan berjalan dalam kesunyian malam. Tanpa menunggu lama, Adimas sudah muncul di hotel tersebut. Penampilannya sangat kontras. Jika biasanya ia hanya mengenakan kaus dan celana jins lusuh. Kali ini, tubuh atletis pria itu dibalut kemeja rapi dan jas yang kaku. Celananya pun tampak mengepas di kakinya, ditambah sepatu pantofel yang mengkilap. Adimas langsung memasuki lift. Tidak menyadari keberadaan Fero tepat di dalam lift di depannya. Ia langsung menuju lantai 56
Adimas baru tiba di rumah setelah mendampingi Siska pada menjelang sore hari. Ia baru turun dari mobilnya, belum sempat menyapa atau menghampiri Karina, saat tahu-tahu Markus berjalan ke arahnya dengan langkah tergesa. "Aku harus pergi ke suatu tempat. Segera antar aku!" perintahnya, kemudian langsung menaiki mobil tanpa mengatakan apa-apa lagi. Adimas tidak tahu apa masalah yang kembali menimpa pria itu, tetapi dia mengalah dan segera kembali ke kursi pengemudi. "Ke Hotel Karisma." Markus menyebutkan. Adimas yang semula hendak memutar kunci dan menyalakan mesin, seketika terhenti. Mengapa Markus menyebutkan nama hotel itu? "Apa yang kau lakukan? Cepat jalan!!!" Seruan Markus seketika menyentak Adimas dan pria itu kembali lanjut menyalakan mesin mobil. Tanpa menunggu lama, mobil itu meluncur mulus keluar dari kediaman Covey. Tak selang satu jam, keduanya telah tiba di hotel mewah tersebut. Tidak seperti sebelumnya, kali ini Adimas ikut turun dari mobil dan mengikuti Markus. Te
"Dasar gadis gila!! Kau harus membayar kesalahanmu!!" Fero membentak sementara tangannya menjambak rambut Karina. Gadis itu gemetar ketakutan. Matanya sudah memerah karena hampir menangis. Melihatnya, Adimas langsung mengambil langkah seribu. "Lepaskan Karina!" sergahnya, "Apa yang terjadi di sini?" Fero mengempaskan Karina ke lantai dan menyeringai tipis. "Lihat, suaminya sudah datang," ujarnya, "Rawat baik-baik istrimu yang gila ini!" Adimas langsung berlutut dan membantu Karina berdiri. Tubuh gadis itu masih gemetar karena ketakutan. Markus juga melihatnya, tetapi pria itu tidak berbuat apa pun. "Sebenarnya, apa yang terjadi di sini?" tanya Adimas seraya menatap ke arah Fero dengan kesal. "Gadis gila ini tiba-tiba masuk ke kamarku dan menghancurkan salah satu benda berharga milikku!" sergahnya seraya menunjukkan sebuah action figure yang telah terpecah-pecah. "Dasar gadis gila! Apakah kau tahu berapa harganya?! Dia harus menerima hukumannya!" sentak Fero kepada Karina. Gad
Fero benar-benar melakukan permainan itu. Bahkan, dia mengundang teman-temannya untuk turut serta. Kini, Adimas duduk di antara mereka dan memandang benci kepada Fero dan dua temannya. Bagaimana bisa mereka melakukan permainan ini, menukar Karina dengan beberapa jumlah uang?Keluarga Markus benar-benar gila. Benny juga masih berada di sana dan menyaksikan sendiri bagaimana lingkungan keluarga Covey. Pria itu langsung mengerti alasan Adimas bersikeras membela Karina. "Tuan Muda yakin akan melakukan ini?" Benny berbisik kepada Adimas. "Tuan Besar pasti akan sangat murka jika tahu Anda mempertaruhkan diri Anda sendiri." Adimas fokus memandang ke depan dan menggangguk. "Aku tahu, tapi aku harus melakukannya," tutur pria itu, "Dan, jangan memanggilku Tuan. Identitasku akan terbongkar," jawabnya sambil berbisik. "Baik, Tuan--maksudku, Adimas," jawab Benny sambil berbisik. Tenggorokannya seketika terasa aneh saat memanggil pria itu hanya dengan namanya. Itu adalah tindakan paling lancan
Empat bulan kemudian …. “Kamu yakin bisa pergi, Ayana?” Mark bertanya dengan cemas. Ia menatap pada istrinya yang duduk di depan meja rias. Ayana menjawab dengan anggukan. “Ini adalah wisuda kita, mana mungkin aku tidak datang?” tanya Ayana, kemudian lanjut merias dirinya. Mark menghela napas panjang dan berjalan mendekati sang istri. Dia menaruh tangannya di atas bahu Ayana. “Tapi, kandungan kamu sudah besar. Dokter bilang perkiraan lahirnya sebentar lagi, bukan?” tanya Mark, tidak dapat menyembunyikan kecemasannya. Mendengar itu, Ayana beranjak bangkit dari kursinya dan terlihat jelas perutnya yang sudah membungkit sempurna. Tampak siap untuk melahirkan. “Masih ada sisa waktu empat hari sampai hari perkiraan lahir,” ucap gadis itu, “Aku sudah menunggu-nunggu untuk wisuda ini. Biarkan aku ikut, ya? Ya?” tanyanya. Seharusnya mustahil bagi perempuan dewasa yang sudah hamil untuk terlihat seperti anak kucing, tetapi Ayana benar-benar menatap Mark dengan penuh harap hingga p
Andreas tidak mengizinkan Cakra pergi bersama Mark dan Ayana. Pria itu menuntut penjelasan dari Cakra yang tidak pernah menceritakan apa pun kepadanya. Sebagai trio, Andreas selalu merasa dirinya terbelakang. Bahkan saat Mark mengakui Ayana sebagai istrinya, Cakra telah mencurigai hal itu terlebih dahulu. Akhirnya, hanya ada Ayana dan Mark di dalam mobil pria itu. Selama perjalanan pulang, Ayana tidak berhenti tersenyum. “Apa yang lucu?” Mark bertanya, tidak tahan melihat istrinya yang sejak tadi senyam-senyum seorang diri. Ayana menggeleng, tetapi senyumnya bertambah lebar. “Tidak apa-apa, hanya saja kisah mereka membuatku terharu,” ucap gadis itu, “Aku tidak menyangka Cakra bisa mengucapkan kata-kata romantis seperti itu.” Ayana memuji, kemudian tersenyum lebih lebar. Selama ini, Ayana mengenal Cakra sebagai satu-satunya pria yang normal di antara tiga sahabat itu. Andreas terkenal sering memainkan perasaan wanita, sementara Mark lebih banyak diam. Ditambah, fakta bahwa koneks
“... apa?” Cakra bertanya. Pria itu berkedip satu kali dan menatap tak percaya ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum saat pandangannya jatuh ke bawah, terlihat malu sekaligus pahit. “Aku sudah memikirkannya. Aku benar-benar akan melanjutkan kuliah di luar negeri,” ucap Chika, “Aku tahu ini mungkin tidak penting untukmu, tapi aku merasa harus memberitahunya.” Setelah beberapa kali meminta, ayahnya akhirnya mengizinkan Chika untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Ia dan Cakra tidak pernah dekat sebelumnya. Mereka hanya sering bicara saat Chika mulai mencari Sandi. Namun, entah mengapa, saat pertama Chika mendapat izin, satu-satunya yang terlintas dalam benak perempuan itu adalah memberitahu Cakra. Kini, ia merasa malu sekaligus menyesal. Chika tahu ia pasti terlihat aneh, tahu-tahu memberi kabar seperti itu seolah dirinya penting. Di luar dugaan, wajah Cakra terlihat tawar dan sedikit kecewa. “Mengapa? Bukankah Ayana sudah memaafkanmu berkat Sandi kemarin?” tanya pria itu.
“Bapak lihat Mark?” Ayana bertanya kepada satpam yang berjaga di kediaman mereka. Sesuai kesepakatan, pagi itu mereka akan pergi ke pemakaman ayah Ayana. Namun, saat Ayana bangun pagi ini, ia justru tidak dapat menemukan suaminya itu di mana pun. “Tuan Mark pergi dengan mobilnya pagi-pagi sekali, Nyonya,” jawab satpam itu. Alis Ayana mengernyit dalam. Tak biasanya Mark pergi tanpa meninggalkan kabar apa pun. Gadis itu kembali berjalan ke dalam rumah sembari mengecek ponselnya, tetapi tidak ada pesan apa pun dari Mark. Ke mana perginya pria itu? “Ada apa, Kak?” Suara Sandi terdengar. Pria itu baru saja turun dari lantai dua. Tadi malam, Ayana memaksa Sandi untuk menginap sesuai rencana mereka. Kini, justru Mark yang tidak tahu keberadaannya. Ayana menggelengkan kepala. “Bukan apa-apa,” jawabnya, “Kita harus sarapan sebelum pergi,” ajak gadis itu. Keduanya berjalan menuju dapur dan Sandi kembali menyadari keanehan saat mereka hanya menyantap sarapan berdua. “Di mana kakak ipa
Wajah Ayana menjadi kecut. Dengan gugup, Ayana melirik ke arah Mark, kemudian mengangguk membenarkan pertanyaan Sandi. Pemuda itu tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia memandang Ayana dan suaminya bergantian, masih tidak menyangka jika kakak perempuannya itu benar-benar sudah bersuami. “Ayana banyak bercerita tentangmu,” ucap Mark, menunjukkan senyum ramah, “Bagaimana kalau kita berbincang di rumah?” Sebelum pergi, Ayana kembali menghampiri Chika dan Cakra yang menghampiri mereka. Ia tersenyum ke arah perempuan itu. “Terima kasih,” ucapnya, “Aku bisa bertemu kembali dengan Adikku berkat bantuanmu,” lanjut Ayana. Chika sedikit tertegun. Ia tak menyangka jika Ayana akan berterima kasih secara langsung. Ia sendiri selalu merasa gengsi untuk mengatakannya. Akhirnya, Chika mengangguk. “Kuharap itu balasan yang sepadan untuk kesalahanku,” ucapnya. Mark mengajak Chika dan Cakra untuk turut bersama mereka ke kediamannya, tetapi keduanya menolak. Hingga Sandi menemukan keaneh
Sejak insiden itu, hubungan Chika dan Ayana menjadi kian renggang. Keduanya masih duduk bersisian, tetapi amat jarang bertukar sapa. Kini, tepat setelah mata kuliah selesai, tiba-tiba wanita itu menghampiri Ayana yang tengah bersama Mark. Melihat kedatangan Chika sukses membuat Mark menjadi waspada. Pria itu dengan sigap pasang badan di hadapan Ayana. “Apa yang ingin kau lakukan?” Mark bertanya, menatap lurus ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum getir, sadar jika ia benar-benar telah bersikap buruk hingga dicap sebagai orang yang mampu membahayakan Ayana. Bahkan setelah lewat beberapa hari, kewaspadaan Mark terhadap dirinya sama sekali tidak berkurang. Chika menggelengkan kepala. “Aku ingin bicara dengan Ayana,” ucapnya, terdengar segan. Mark dan Ayana seketika bertukar tatapan dengan heran. Pria itu terlihat enggan untuk mengizinkan, tetapi Ayana memberi isyarat hingga akhirnya Mark sedikit menyingkir, membiarkan Ayana berhadapan langsung dengan wanita berambut pendek itu.
Tak jauh dari pusat kota, terlihat sebuah proyek yang tengah dibangun. Para pria yang mengenakan rompi keselamatan kerja berlalu-lalang, terus tekun bekerja di bawah terik matahari. Pasir, debu, dan semen beterbangan di udara, tetapi semua orang seakan terbiasa dengan itu. “Sandi! Bawakan lima sak semen ke sini!” titah seorang pria paruh baya yang menjadi mandor di proyek tersebut. Sandi, yang semula tampak sibuk menata besi-besi itu lantas berdiri tegak.“Baik, Pak!” jawabnya.Dia pekerja paling muda di sana. Kulit pemuda itu kecokelatan karena terus terpapar sinar matahari. Keringat yang mengalir di pelipisnya tampak kotor oleh pasir dan debu, tetapi ia tidak menghiraukannya. Sandi menyusun lima sak semen dan mengangkat semuanya langsung di punggung, kemudian berjalan menuju tempat yang diminta. Ia hampir sampai saat tanpa sengaja kakinya menginjak batu. Batu itu tergulir dan membuat Sandi kehilangan keseimbangan hingga jatuh bersama lima sak semen di punggungnya. BUK Suara it
“Sepertinya dia kecewa kepada Ibu dan memutuskan untuk pergi. Sejak itu, Ibu tidak pernah berhasil menemukan Sandi,” tutur Wati, mengakhiri ceritanya. Air mata sudah mengering di pipinya, tetapi matanya masih memerah bekas menangis dan napasnya sesenggukan. Beberapa saat lalu, Ayana berhasil mendesak Wati untuk menceritakan awal mula hilangnya Sandi. Meski terasa berat, Wati berhasil menceritakannya dan kini ketiganya membungkam. “Ini foto terakhir yang Ibu ambil sewaktu dia kelulusan,” tutur Wati, menyerahkan sebuah foto ke arah Ayana. Gadis itu menerimanya dan napasnya tercekat melihat Sandi. Saat mereka berpisah dahulu, adiknya itu masih kecil, bahkan jauh lebih pendek daripada Ayana. Namun, sosok Sandi di foto itu telah bertumbuh pesat. Kini dia tinggi, terlihat tampan dan sangat mirip dengan ayahnya. Wajah Ayana diliputi kecemasan membayangkan adiknya mengadu nasib di dunia luar. Seorang diri. “Bagaimana dengan informasi yang diberikan Chika? Apakah dia berbohong?” Mark be
Chika menyeret langkahnya keluar kelas. Pada akhirnya, ia berhasil bertahan selama kelas hari itu. Bahkan, Ayana duduk tepat di sisinya. Gadis itu tidak menunjukkan aura permusuhan, tetapi juga tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sekarang, air mata Chika sudah sepenuhnya mengering, tetapi ingatan itu masih membekas dalam ingatannya. Sepanjang berjalan, pandangan Chika terus tertuju ke arah bawah. Ia berusaha mengabaikan komentar dan pembicaraan yang terang-terangan membahas dirinya.Hingga langkah perempuan itu berhenti saat melihat sepasang sepatu yang berdiri tepat di hadapannya. Perlahan, Chika mendongak. Ia sudah cemas akan menerima bullyan lagi, tetapi alisnya mengernyit saat ia justru menemukan wajah Cakra. Pria itu menatap lurus ke arahnya. Dia membuka bibirnya dan siap untuk mengatakan sesuatu, tetapi Chika lebih dahulu menyela. “Aku tahu,” ucapnya, “Aku tahu apa yang akan kamu ucapkan. Kamu akan memberiku peringatan akan pembalasan Mark dan memintaku untuk tidak menyaki