Huwaaaaa udah ending ajaaa kisah merekaaaa >< Aku ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya buat pembaca setia Mark dan Ayana <3 Nantikan terus karyaku berikutnya dan semoga karya-karyaku selanjutnya bisa memanjakan kalian, ngga kalah sama cerita ini, ya! Hmmm, kira-kira enaknya kasih extra chapter ngga, yaa? Buat yang mau silakan komen dan jangan lupa tinggalkan gift-nya~! Aku bakal up extra chapter kalau peminat dan gift-nya banyak. Terima kasih banyak! Love you all!
“Paketnya tidak bisa dibuka jika belum dibayar, Bu,” ujar Adimas kepada seorang wanita paruh baya yang tiba-tiba merebut paket dari tangannya. “Ini kan paket saya, terserah saya dong! Saya tidak akan bayar jika paketnya tidak lengkap!” sergah wanita itu dengan kasar. Wajah Adimas tampak putus asa saat melihat wanita itu mulai membuka bungkusan paket tersebut. “Peraturannya tidak boleh dibuka sebelum dibayar, Bu!” Adimas kembali mengingatkan. Ia akan terkena masalah jika hal seperti ini terjadi. “Hah, ya sudah! Ambil tuh!” Wanita paruh baya itu melemparkan dua lembar uang dua puluh ke tanah. “Dasar tukang paket bodoh! Hanya bermodal motor butut saja banyak ngatur!” ejeknya sembari berjalan masuk ke dalam. Adimas memungut uang tersebut dan mengembuskan napas panjang. Ia tidak percaya jika dirinya harus dimaki-maki untuk mendapatkan uang yang sedikit. Namun, pada situasinya sekarang, uang nominal itu bisa menjadi amat berharga. Akhirnya, Adimas mulai berjalan menuju motornya yang m
Bagaimana tidak. Seperti kejatuhan durian, tiba-tiba seorang gadis menghampirinya dan memintanya untuk menjadi seorang pengasuh. “Ya, semacam itu,” jawab wanita bernama Bella itu, “Tentu saja, kami akan memberikan bayaran yang pantas! Sepuluh, lima belas, bahkan tiga puluh juta pun kami sanggup membayarmu!” ujarnya dengan yakin. Adimas sedikit terkejut. Jumlah itu jauh lebih besar daripada gajinya mengantar paket-paket itu. Namun, Adimas bukanlah orang yang mudah dibohongi. Ia tidak bisa memercayainya semudah itu. “Tapi, mengapa kamu tiba-tiba menawarkan pekerjaan ini kepada saya? Bukankah ada banyak pengasuh yang jauh lebih berpengalaman?” tanya Adimas dengan sedikit curiga. Wanita cantik itu memandang ke arahnya dengan serius. “Memang banyak, tetapi kalian memiliki nasib yang sama. Kalian sama-sama dirugikan oleh pernikahan keduanya. Itu akan membuatmu lebih mengerti dirinya daripada pengasuh lain.” Dia menjelaskan. Alasan itu cukup masuk akal, pikir Adimas. Pada akhirnya, di
Hari pernikahan datang lebih cepat daripada yang Adimas duga. Hingga dalam waktu dua hari, ia sudah berada di sebuah aula dan mengenakan jas resmi. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, pernikahan itu diadakan secara tertutup, hanya dihadiri oleh keluarga dekat dan seorang penghulu. Penampilan Karina tidak jauh lebih baik. Rambutnya masih berantakan. Wajahnya terlihat kusam dan dia mengenakan gaun putih sederhana. Adimas kira, pernikahan ini tidak akan berjalan mulus. Namun, rupanya Karina bisa duduk diam di sisinya tanpa berkata-kata. Tentu rasanya sangat aneh menikah dengan orang yang tidak dikenal. Karena itu, sementara penghulu bersiap-siap, Adimas mencoba menyapa. “Hai, Karina,” tuturnya sambil tersenyum manis. Ia mengulurkan tangan ke arah gadis itu. “Kau bisa memanggilku Adimas.” Karina tidak langsung bereaksi, tetapi ia menoleh, tanda bahwa ia bisa mendengar Adimas. Alih-alih menjabat tangan pria itu, Karina justru menamparnya. PLAKKK Adimas dan semua orang
Sesuai kesepakatan, Adimas dan Karina akan tetap tinggal bersama Markus dan istrinya di rumah keluarganya. Alasannya adalah agar mereka bisa memantau langsung perkembangan Adimas. Kini, pertanyaan dan peringatan dari David masih mengiang-ngiang di kepala Adimas. Hingga ketika keduanya tiba di rumah, Karina langsung pergi ke kamar untuk beristirahat, sementara Adimas masih merenungi pertanyaan yang sama. "Ada apa, Adimas?" Siska, ibu Karina, tiba-tiba datang dan menghampiri Adimas yang menunjukkan wajah serius. Wanita itu juga berada di tempat pernikahan mereka dan sudah mengganti busananya dengan pakaian yang lebih santai. Adimas belum terlalu mengetahui seluk-beluk keluarga ini, tetapi sejauh ini, Siska menunjukkan sikap yang baik. Adimas menggelengkan kepala. “Tidak, aku hanya tiba-tiba penasaran. Bagaimana awal mula Karina bisa menjadi seperti ini?” tanya pria itu. Sejak awal, Markus dan Bella hanya terus meyakinkannya bahwa Karina menjadi seperti ini karena David. Namun, apa
"Ayo, Karina. Kamu harus mandi agar David mau menemuimu," bujuk Adimas dengan suara lembut. Tubuh keduanya basah akibat terguyur hujan dan Adimas berusaha memutar otak untuk membuat Karina mau untuk mandi. Dia hanya menyebutkan nama David sebagai percobaan. Tidak disangka, Karina langsung menoleh ke arahnya dengan tertarik. "David?" tanyanya dengan suara lirih. Adimas tersenyum dan mengangguk. "Ya. David hanya ingin menemuimu jika kau sudah bersih dan wangi," jawabnya. Ia merasa bersalah karena harus membohongi Karina seperti anak kecil, tetapi mungkin hanya itu satu-satunya cara untuk menjangkau Karina yang tidak ingin mendengarkannya. Dan, benar saja. Karina langsung mengangguk patuh seperti kucing kecil dan mulai berjalan ke arah kamar mandi. Bahkan, tanpa perlu Adimas suruh. Pria itu memandangnya dengan tidak percaya. Untuk saat ini, Karina hanya mendengarkan David. Gadis itu mungkin bahkan tidak pernah menghiraukannya. Adimas menyusul Karina mendekati kamar mandi dan sedi
Adimas tengah menunggu Karina yang ditangani dokter saat melihat Markus berjalan masuk dengan langkah tegas. "Karina--" Buukkk Markus langsung meninju wajah Adimas tanpa ragu. Wajahnya tampak memerah kesal. "Berani-beraninya kau membawa Karina ke tempat ini!" sergah pria paruh baya itu. Adimas tidak menjawab. Para pasien lain di sekitar mereka seketika terdiam mengamati pertengkaran di antara keduanya. "Di mana Karina?!" bentak pria itu seraya memandang sekeliling. Memperhatikan beberapa tempat tidur yang tertutupi tirai. Tanpa menunggu jawaban Adimas, Markus menghampiri salah satu tirai dan menyibakkannya. Terlihat seorang dokter yang tengah memasang infus untuk gadis itu. Tanpa ragu, Markus meraih tangan Karina yang tampak lemah dan menariknya. "Ayo, kita harus segera pergi dari sini!" ajaknya dengan kasar. Semua orang terkejut dengan tindakan Markus dan Adimas cepat-cepat menghentikkannya. "Karina harus segera mendapat penanganan!" tegas Adimas melawan Markus. Raut wajah
Adimas tidak pernah menjadi seperti ini sebelumnya. Ini kali pertama pria itu terjaga semalaman untuk menjaga seseorang dan memang Adimas tidak pernah tenang. Setiap beberapa jam, pria itu terbangun dan mengecek suhu tubuh Karina, Mengganti kompres gadis itu. Dan selalu siap siaga tiap kali Karina terbangun. Bahkan, kali ini, saat Adimas terbangun di sisi Karina, pria itu mendapati Karina telah membuka mata dan menatap ke arahnya. "Kau sudah bangun," sapa Adimas, sedikit terkejut karena Karina memandangnya dengan serius. Khawatir pipinya akan menjadi sasaran sepagi ini. "Kau... bukan David," tutur gadis itu, terdengar serak dan lemah. Adimas berkedip dua kali dengan heran dan memandang lurus ke arah Karina. Mengapa tiba-tiba gadis itu menanyakannya? Apakah selama ini Karina menganggapnya sebagai David. Jika demikian, bisa-bisa gadis itu tidak akan menuruti Adimas lagi. Namun, Adimas mengambil risiko itu dan mengangguk. "Benar, aku bukan David," jawabnya dengan tegas. Di luar
Siska tidak berkutik di tempatnya. Iris hitamnya membesar melihat video yang terputar dan dia mematung. Hingga sedetik kemudian, Siska merebut ponsel itu dengan kasar dari Adimas. "Siapa bilang kau bisa menyentuh barang dengan sembarangan?!" omelnya dengan nada tinggi. Terdapat kegugupan dalam nada suaranya, seakan ia baru saja tertangkap basah melakukan hal yang salah. Adimas mengabaikan amarah itu dan terus mengejar. "Bagaimana bisa ada video itu? Apa yang dilakukan Karina?" tanyanya. Ia tidak dapat membendung rasa penasarannya lagi. Bagaimana mungkin, Karina bisa berada di klub malam dan dikelilingi pria seperti itu? "Kau membuka ponsel orang lain. Benar-benar pria lancang!" tuduh Siska dengan geram. Raut wajahnya kini terlihat marah dan berusaha melawan Adimas. Sementara itu, Adimas masih terlihat tenang, tetapi rahangnya mengeras dan membuat pria itu terlihat lebih tegas. "Jika kulihat, latar belakang ponsel itu adalah foto Karina. Berarti, itu milik Karina, bukan? Aku ber
Empat bulan kemudian …. “Kamu yakin bisa pergi, Ayana?” Mark bertanya dengan cemas. Ia menatap pada istrinya yang duduk di depan meja rias. Ayana menjawab dengan anggukan. “Ini adalah wisuda kita, mana mungkin aku tidak datang?” tanya Ayana, kemudian lanjut merias dirinya. Mark menghela napas panjang dan berjalan mendekati sang istri. Dia menaruh tangannya di atas bahu Ayana. “Tapi, kandungan kamu sudah besar. Dokter bilang perkiraan lahirnya sebentar lagi, bukan?” tanya Mark, tidak dapat menyembunyikan kecemasannya. Mendengar itu, Ayana beranjak bangkit dari kursinya dan terlihat jelas perutnya yang sudah membungkit sempurna. Tampak siap untuk melahirkan. “Masih ada sisa waktu empat hari sampai hari perkiraan lahir,” ucap gadis itu, “Aku sudah menunggu-nunggu untuk wisuda ini. Biarkan aku ikut, ya? Ya?” tanyanya. Seharusnya mustahil bagi perempuan dewasa yang sudah hamil untuk terlihat seperti anak kucing, tetapi Ayana benar-benar menatap Mark dengan penuh harap hingga p
Andreas tidak mengizinkan Cakra pergi bersama Mark dan Ayana. Pria itu menuntut penjelasan dari Cakra yang tidak pernah menceritakan apa pun kepadanya. Sebagai trio, Andreas selalu merasa dirinya terbelakang. Bahkan saat Mark mengakui Ayana sebagai istrinya, Cakra telah mencurigai hal itu terlebih dahulu. Akhirnya, hanya ada Ayana dan Mark di dalam mobil pria itu. Selama perjalanan pulang, Ayana tidak berhenti tersenyum. “Apa yang lucu?” Mark bertanya, tidak tahan melihat istrinya yang sejak tadi senyam-senyum seorang diri. Ayana menggeleng, tetapi senyumnya bertambah lebar. “Tidak apa-apa, hanya saja kisah mereka membuatku terharu,” ucap gadis itu, “Aku tidak menyangka Cakra bisa mengucapkan kata-kata romantis seperti itu.” Ayana memuji, kemudian tersenyum lebih lebar. Selama ini, Ayana mengenal Cakra sebagai satu-satunya pria yang normal di antara tiga sahabat itu. Andreas terkenal sering memainkan perasaan wanita, sementara Mark lebih banyak diam. Ditambah, fakta bahwa koneks
“... apa?” Cakra bertanya. Pria itu berkedip satu kali dan menatap tak percaya ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum saat pandangannya jatuh ke bawah, terlihat malu sekaligus pahit. “Aku sudah memikirkannya. Aku benar-benar akan melanjutkan kuliah di luar negeri,” ucap Chika, “Aku tahu ini mungkin tidak penting untukmu, tapi aku merasa harus memberitahunya.” Setelah beberapa kali meminta, ayahnya akhirnya mengizinkan Chika untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Ia dan Cakra tidak pernah dekat sebelumnya. Mereka hanya sering bicara saat Chika mulai mencari Sandi. Namun, entah mengapa, saat pertama Chika mendapat izin, satu-satunya yang terlintas dalam benak perempuan itu adalah memberitahu Cakra. Kini, ia merasa malu sekaligus menyesal. Chika tahu ia pasti terlihat aneh, tahu-tahu memberi kabar seperti itu seolah dirinya penting. Di luar dugaan, wajah Cakra terlihat tawar dan sedikit kecewa. “Mengapa? Bukankah Ayana sudah memaafkanmu berkat Sandi kemarin?” tanya pria itu.
“Bapak lihat Mark?” Ayana bertanya kepada satpam yang berjaga di kediaman mereka. Sesuai kesepakatan, pagi itu mereka akan pergi ke pemakaman ayah Ayana. Namun, saat Ayana bangun pagi ini, ia justru tidak dapat menemukan suaminya itu di mana pun. “Tuan Mark pergi dengan mobilnya pagi-pagi sekali, Nyonya,” jawab satpam itu. Alis Ayana mengernyit dalam. Tak biasanya Mark pergi tanpa meninggalkan kabar apa pun. Gadis itu kembali berjalan ke dalam rumah sembari mengecek ponselnya, tetapi tidak ada pesan apa pun dari Mark. Ke mana perginya pria itu? “Ada apa, Kak?” Suara Sandi terdengar. Pria itu baru saja turun dari lantai dua. Tadi malam, Ayana memaksa Sandi untuk menginap sesuai rencana mereka. Kini, justru Mark yang tidak tahu keberadaannya. Ayana menggelengkan kepala. “Bukan apa-apa,” jawabnya, “Kita harus sarapan sebelum pergi,” ajak gadis itu. Keduanya berjalan menuju dapur dan Sandi kembali menyadari keanehan saat mereka hanya menyantap sarapan berdua. “Di mana kakak ipa
Wajah Ayana menjadi kecut. Dengan gugup, Ayana melirik ke arah Mark, kemudian mengangguk membenarkan pertanyaan Sandi. Pemuda itu tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia memandang Ayana dan suaminya bergantian, masih tidak menyangka jika kakak perempuannya itu benar-benar sudah bersuami. “Ayana banyak bercerita tentangmu,” ucap Mark, menunjukkan senyum ramah, “Bagaimana kalau kita berbincang di rumah?” Sebelum pergi, Ayana kembali menghampiri Chika dan Cakra yang menghampiri mereka. Ia tersenyum ke arah perempuan itu. “Terima kasih,” ucapnya, “Aku bisa bertemu kembali dengan Adikku berkat bantuanmu,” lanjut Ayana. Chika sedikit tertegun. Ia tak menyangka jika Ayana akan berterima kasih secara langsung. Ia sendiri selalu merasa gengsi untuk mengatakannya. Akhirnya, Chika mengangguk. “Kuharap itu balasan yang sepadan untuk kesalahanku,” ucapnya. Mark mengajak Chika dan Cakra untuk turut bersama mereka ke kediamannya, tetapi keduanya menolak. Hingga Sandi menemukan keaneh
Sejak insiden itu, hubungan Chika dan Ayana menjadi kian renggang. Keduanya masih duduk bersisian, tetapi amat jarang bertukar sapa. Kini, tepat setelah mata kuliah selesai, tiba-tiba wanita itu menghampiri Ayana yang tengah bersama Mark. Melihat kedatangan Chika sukses membuat Mark menjadi waspada. Pria itu dengan sigap pasang badan di hadapan Ayana. “Apa yang ingin kau lakukan?” Mark bertanya, menatap lurus ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum getir, sadar jika ia benar-benar telah bersikap buruk hingga dicap sebagai orang yang mampu membahayakan Ayana. Bahkan setelah lewat beberapa hari, kewaspadaan Mark terhadap dirinya sama sekali tidak berkurang. Chika menggelengkan kepala. “Aku ingin bicara dengan Ayana,” ucapnya, terdengar segan. Mark dan Ayana seketika bertukar tatapan dengan heran. Pria itu terlihat enggan untuk mengizinkan, tetapi Ayana memberi isyarat hingga akhirnya Mark sedikit menyingkir, membiarkan Ayana berhadapan langsung dengan wanita berambut pendek itu.
Tak jauh dari pusat kota, terlihat sebuah proyek yang tengah dibangun. Para pria yang mengenakan rompi keselamatan kerja berlalu-lalang, terus tekun bekerja di bawah terik matahari. Pasir, debu, dan semen beterbangan di udara, tetapi semua orang seakan terbiasa dengan itu. “Sandi! Bawakan lima sak semen ke sini!” titah seorang pria paruh baya yang menjadi mandor di proyek tersebut. Sandi, yang semula tampak sibuk menata besi-besi itu lantas berdiri tegak.“Baik, Pak!” jawabnya.Dia pekerja paling muda di sana. Kulit pemuda itu kecokelatan karena terus terpapar sinar matahari. Keringat yang mengalir di pelipisnya tampak kotor oleh pasir dan debu, tetapi ia tidak menghiraukannya. Sandi menyusun lima sak semen dan mengangkat semuanya langsung di punggung, kemudian berjalan menuju tempat yang diminta. Ia hampir sampai saat tanpa sengaja kakinya menginjak batu. Batu itu tergulir dan membuat Sandi kehilangan keseimbangan hingga jatuh bersama lima sak semen di punggungnya. BUK Suara it
“Sepertinya dia kecewa kepada Ibu dan memutuskan untuk pergi. Sejak itu, Ibu tidak pernah berhasil menemukan Sandi,” tutur Wati, mengakhiri ceritanya. Air mata sudah mengering di pipinya, tetapi matanya masih memerah bekas menangis dan napasnya sesenggukan. Beberapa saat lalu, Ayana berhasil mendesak Wati untuk menceritakan awal mula hilangnya Sandi. Meski terasa berat, Wati berhasil menceritakannya dan kini ketiganya membungkam. “Ini foto terakhir yang Ibu ambil sewaktu dia kelulusan,” tutur Wati, menyerahkan sebuah foto ke arah Ayana. Gadis itu menerimanya dan napasnya tercekat melihat Sandi. Saat mereka berpisah dahulu, adiknya itu masih kecil, bahkan jauh lebih pendek daripada Ayana. Namun, sosok Sandi di foto itu telah bertumbuh pesat. Kini dia tinggi, terlihat tampan dan sangat mirip dengan ayahnya. Wajah Ayana diliputi kecemasan membayangkan adiknya mengadu nasib di dunia luar. Seorang diri. “Bagaimana dengan informasi yang diberikan Chika? Apakah dia berbohong?” Mark be
Chika menyeret langkahnya keluar kelas. Pada akhirnya, ia berhasil bertahan selama kelas hari itu. Bahkan, Ayana duduk tepat di sisinya. Gadis itu tidak menunjukkan aura permusuhan, tetapi juga tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sekarang, air mata Chika sudah sepenuhnya mengering, tetapi ingatan itu masih membekas dalam ingatannya. Sepanjang berjalan, pandangan Chika terus tertuju ke arah bawah. Ia berusaha mengabaikan komentar dan pembicaraan yang terang-terangan membahas dirinya.Hingga langkah perempuan itu berhenti saat melihat sepasang sepatu yang berdiri tepat di hadapannya. Perlahan, Chika mendongak. Ia sudah cemas akan menerima bullyan lagi, tetapi alisnya mengernyit saat ia justru menemukan wajah Cakra. Pria itu menatap lurus ke arahnya. Dia membuka bibirnya dan siap untuk mengatakan sesuatu, tetapi Chika lebih dahulu menyela. “Aku tahu,” ucapnya, “Aku tahu apa yang akan kamu ucapkan. Kamu akan memberiku peringatan akan pembalasan Mark dan memintaku untuk tidak menyaki