Sesuai kesepakatan, Adimas dan Karina akan tetap tinggal bersama Markus dan istrinya di rumah keluarganya. Alasannya adalah agar mereka bisa memantau langsung perkembangan Adimas.
Kini, pertanyaan dan peringatan dari David masih mengiang-ngiang di kepala Adimas. Hingga ketika keduanya tiba di rumah, Karina langsung pergi ke kamar untuk beristirahat, sementara Adimas masih merenungi pertanyaan yang sama. "Ada apa, Adimas?" Siska, ibu Karina, tiba-tiba datang dan menghampiri Adimas yang menunjukkan wajah serius. Wanita itu juga berada di tempat pernikahan mereka dan sudah mengganti busananya dengan pakaian yang lebih santai. Adimas belum terlalu mengetahui seluk-beluk keluarga ini, tetapi sejauh ini, Siska menunjukkan sikap yang baik. Adimas menggelengkan kepala. “Tidak, aku hanya tiba-tiba penasaran. Bagaimana awal mula Karina bisa menjadi seperti ini?” tanya pria itu. Sejak awal, Markus dan Bella hanya terus meyakinkannya bahwa Karina menjadi seperti ini karena David. Namun, apa yang dilakukan David sampai Karina nyaris kehilangan akal sehat? Dan, mengapa David justru memperingatkan dirinya akan keluarga ini?Kecurigaan Adimas semakin beralasan saat wajah Siska tiba-tiba berubah. Menjadi tegang dan janggal. Ia yang baru saja duduk pun langsung kembali berdiri dengan resah. “Sepertinya, sudah saatnya kita memandikan Karina!” ucap Siska, mengubah topik secara tiba-tiba. Ia langsung berlalu pergi, dan Adimas tidak bisa mencegahnya, tetapi ia akan menyimpan ini untuk diselidiki. Bella membantu Adimas menceritakan bagaimana biasanya kakaknya mandi. Rupanya, masih sama seperti orang biasa. "Kakak sudah tidak mandi selama berhari-hari. Tidak ada satu pun dari kami yang bisa memandikannya,” tutur Bella seraya membimbing Adimas ke kamar Karina. Alis Adimas mengernyit. Tidak heran jika rambut Karina terlihat begitu kusut. Ia tidak akan heran jika Karin bahkan tidak mandi pada hari pernikahannya. “Mengapa?” Adimas bertanya. Bella menunjukkan senyum yang mencurigakan. “Kau akan segera mengetahui alasannya.” Pintu terbuka dan memunculkan sosok Karina yang tengah memandang keluar jendela seperti biasa. Adimas menyiapkan air hangat di bath tub sebelum mulai menghampiri gadis itu. "Karina …,” panggilnya dengan lembut. Tiba-tiba ….PLAAKK Adimas kembali ditampar oleh Karina. Bahu Adimas sedikit terlonjak kaget, tetapi raut wajahnya tidak berubah. Sepertinya, ia akan terbiasa dengan tamparan dari seorang wanita. "Maaf, apakah aku mengejutkanmu? Kita harus membersihkan dirimu,” tutur Adimas dengan lembut. Berusaha membujuk dengan kasih sayang. "Aku sudah menyiapkan air hangat agar kau menjadi rileks. Ayo, aku bantu naik ke bath tub.” Dengan gerakan amat perlahan, Adimas mulai menyentuh bahu lemah Karina dan ….PLAAKKK Adimas kembali ditampar. Kali ini, lebih kuat. Tidak hanya itu, Karina juga menepis tangannya dan membelalak takut ke arah Adimas. "Jangan mendekat! Jangan menyentuhku! Pergi! Pergi!" Karina menjerit-jerit. Adimas terkejut. Ini adalah kalimat pertama yang ditunjukkan kepada Adimas dan gadis itu tampak amat ketakutan. Ia terus berjalan mundur seraya memeluk dirinya sendiri seakan berusaha menenangkan diri. "Aku tidak akan menyakitimu. Aku janji. Aku hanya ingin membantumu. Aku akan melakukannya perlahan.” Adimas kembali membujuk dengan lemah lembut. "Tidak! Pergi!" bentak Karina dengan nada tinggi. Ia masih berjalan mundur hingga makin lama mendekati bath tub khusus itu. Kebetulan sekali, airnya sudah cukup dan Adimas amat berharap Karina akan terus berjalan mundur hingga tiba di bath tub. Benar saja, Karina berhenti karena terpojok dan tanpa sadar tubuhnya jatuh ke dalam bath tub berisi air hangat tersebut. Adimas langsung memanfaatkan kesempatan emas dan berharga seperti ini. Dengan cepat dan perlahan ia menghampiri Karina. "Gadis pintar. Sekarang, kita harus membersihkan rambutmu terlebih dahulu,” ujar Adimas, mulai membasahi tangannya dan ia sudah mengeluarkan samponya saat tiba-tiba sebuah tamparan kembali mendarat di wjah Erina. PLAAKK! Pipi Adimas terasa panas, tetapi pria itu berusaha keras untuk tetap tersenyum menghadapi ujian ini hingga tiba-tiba Karina bangun dan berjalan cepat keluar ruangan. “Gawat! Dia melarikan diri!” gumsm Adimas, “Seseorang, bantu aku!!” ujarnya sembari bergegas pergi. Karina berlari sangat cepat. Dalam kondisi setengah basah, ia membuat rute yang dilaluinya menjadi becek dan Adimas mengikuti jejaknya. Hingga Karina berjalan cepat menuju luar dan saat Adimas menyusul, ia sudah melihat David dan Kamala di sana. “Dia mengejutkanku! Penampilannya semakin mirip dengan orang gila!” kecam Kamala yang dengan erat menggenggam tangan David yang kini berstatus sebagai suaminya. Karina mendengarnya, tetapi dia tidak bereaksi. Matanya tertuju pada David seorang. "David! David!" Karina memanggil-manggil seraya berjalan mendekatinya. Kedua tangannya terulur untuk menyentuh pria itu. Akan tetapi, Kamala menghempasnya begitu saja dan mendorong tubuh Karina menjauh."Berhenti memanggil-manggil kekasihku! Akh!" Kamala terkejut saat tiba-tiba Karina melompat ke arahnya dan seakan ingin membalas perbuatannya. "David! Jauhkan gadis gila ini dariku!" jerit Kamala dengan panik. Mendengar itu, David langsung menarik bahu Karina dan mendorong tubuh gadis itu. Ia mendorongnya dengan cukup kuat hingga tubuh Karina terhempas di tanah. Adimas melihatnya dan dia sedikit terhenyak melihat Karina hanya menerima perlakuan kasar itu tanpa memprotes. Apakah Karina begitu cinta hingga menerima saja saat diperlakukan kasar oleh pria berengsek itu? Adimas melangkah maju dengan kesal. "Apa yang kau lakukan?! Jangan menyentuhnya!" sergah pria itu. "Kekasih gilamu yang menyentuh kekasihku lebih dulu!" David membalas dengan tidak kalah sengit. Ia memandang hina pada Adimas yang rela berlutut di sisi gadis berpenampilan berantakan itu. Adimas mengecek kondisinya. Tidak ada luka ataupun lecet. Syukurlah. Adimas mengembuskan napas lega. Ia mungkin akan langsung menghajar David jika Karina terluka meski sedikit. "Apa-apaan ini, Adimas? Mengapa penampilanmu seperti ini? Kau benar-benar menjadi pengasuh wanita gila ini?!" Kamala bertanya. Ia memandang dengan tidak percaya pada Adimas yang mengenakan kaus dan celana jins lusuh, penampilan yang biasa ia tunjukkan saat berada di rumahnya. "Dia adalah istriku, jangan menyebutnya sebagai wanita gila! Aku memperingatkanmu,” kecam Adimas dengan serius. Ia menatap pasangan itu bergantian. "Apa yang kalian lakukan di sini?"Kamala tersenyum sinis dan mendelik tidak senang. Nada bicaranya terdengar sedikit kasar saat ia menjawab, "David bilang ada sesuatu yang harus dia kembalikan." Saat itu, David mengeluarkan kantong yang dibawanya dan menumpahkan semua barang di dalamnya kepada Karina begitu saja. "Ini milikmu, Karina! Aku kembalikan! Aku tidak akan menyimpan apa pun pemberianmu," ucap David dengan raut menyeringai. Tatapan Adimas menjadi lebih tajam. Tidak seperti dirinya yang selalu mendapat tamparan, Karina bahkan tidak menolak saat David memperlakukannya dengan kasar. Apakah sebesar itu cinta Karina pada laki-laki berengsek itu? "Lepaskan dia!" sergah Adimas. "Bisa-bisanya kau bersikap kasar pada gadis yang pernah menjadi kekasihmu!" kecamnya dengan rahang mengeras dan mata menatap tajam. "Kau membelanya?" Kamala bertanya dengan tidak percaya, kemudian menyeringai tipis. "Kalian benar-benar serasi. Benar-benar pasangan gila!" hinanya dengan senyum penuh kepuasan. "Sudah, ayo kita pergi dari sini, David. Lama-lama, kita bisa ketularan gila seperti mereka,” ejek Kamala dengan kasar. Ia menggandeng mesra tangan David, kemudian mengajaknya beranjak pergi. Tahu-tahu Karina bergerak dan langsung memeluk kaki David begitu saja. Membuat semua orang terkejut, bahkan Adimas tidak menyangka Karina akan melakukan hal senekat itu. "Lepaskan aku! Lepaskan!" sergah David dengan panik seraya menggerakkan kakinya berusaha melepaskan diri. Kamala turut memandang ke arah Karina dengan sorot kesal. Tidak terima suaminya disentuh begitu saja.Akan tetapi, Karina tidak langsung melepaskan. Gadis itu bersikeras memeluk lutut David untuk menahannya agar tidak pergi. Adimas berlutut di sisinya dan berbisik pelan. "Jangan lakukan ini, Karina. Kita harus membiarkan mereka pergi. Dia bukan lagi David yang kau cintai," bujuknya dengan lembut. Perlahan, Adimas menyentuh tangan Karina dan berusaha melepaskannya. Karina menurut meski setetes air mata lolos membasahi pipinya. Kamala mendengkus tidak percaya. "Ternyata orang gila bisa menangis juga," sindirnya, kemudian melenggang pergi meninggalkan keduanya. Rintik-rintik hujan mulai jatuh membasahi bumi, semakin lama semakin deras. "Kita harus segera ke dalam Karina," ucap Adimas pada Karina yang masih berlutut di tanah. Gadis itu tidak bereaksi. Bahkan, bibirnya tidak terbuka, tetapi Adimas bisa melihat air mata yang menyatu dengan air hujan. Pada akhirnya, Adimas bergegas pergi untuk mengambil payung yang tersedia di sisi pintu. Saat itu, ia melihat Markus, Bella, dan Siska berada di sana. Tampaknya, mereka menyaksikan semuanya dan alis Adimas mengernyit heran. Mengapa mereka hanya diam saja saat putrinya direndahkan? Adimas berjalan kembali dan memayungi Karina serta dirinya di bawah derai hujan. Menit demi menit, Adimas menunggu dengan sabar, tanpa memprotes. Hingga beberapa saat kemudian, akhirnya Karina tergerak untuk menoleh ke arahnya. Adimas menyambutnya dengan senyum hangat. "Kamu sudah selesai? Sekarang, ayo kita kembali ke dalam. Nanti kamu bisa sakit," tuturnya. Ia berlutut dan merangkul tubuh Karina untuk membantunya bangun. Karina tidak menolak. Ia menurut saat Adimas membimbingnya masuk. “Setelah ini, kamu harus mandi, ya? Seluruh tubuhmu basah. Kau bisa sakit jika tidak mandi. Aku akan membantumu.” Adimas membujuk dengan lembut."Ayo, Karina. Kamu harus mandi agar David mau menemuimu," bujuk Adimas dengan suara lembut. Tubuh keduanya basah akibat terguyur hujan dan Adimas berusaha memutar otak untuk membuat Karina mau untuk mandi. Dia hanya menyebutkan nama David sebagai percobaan. Tidak disangka, Karina langsung menoleh ke arahnya dengan tertarik. "David?" tanyanya dengan suara lirih. Adimas tersenyum dan mengangguk. "Ya. David hanya ingin menemuimu jika kau sudah bersih dan wangi," jawabnya. Ia merasa bersalah karena harus membohongi Karina seperti anak kecil, tetapi mungkin hanya itu satu-satunya cara untuk menjangkau Karina yang tidak ingin mendengarkannya. Dan, benar saja. Karina langsung mengangguk patuh seperti kucing kecil dan mulai berjalan ke arah kamar mandi. Bahkan, tanpa perlu Adimas suruh. Pria itu memandangnya dengan tidak percaya. Untuk saat ini, Karina hanya mendengarkan David. Gadis itu mungkin bahkan tidak pernah menghiraukannya. Adimas menyusul Karina mendekati kamar mandi dan sedi
Adimas tengah menunggu Karina yang ditangani dokter saat melihat Markus berjalan masuk dengan langkah tegas. "Karina--" Buukkk Markus langsung meninju wajah Adimas tanpa ragu. Wajahnya tampak memerah kesal. "Berani-beraninya kau membawa Karina ke tempat ini!" sergah pria paruh baya itu. Adimas tidak menjawab. Para pasien lain di sekitar mereka seketika terdiam mengamati pertengkaran di antara keduanya. "Di mana Karina?!" bentak pria itu seraya memandang sekeliling. Memperhatikan beberapa tempat tidur yang tertutupi tirai. Tanpa menunggu jawaban Adimas, Markus menghampiri salah satu tirai dan menyibakkannya. Terlihat seorang dokter yang tengah memasang infus untuk gadis itu. Tanpa ragu, Markus meraih tangan Karina yang tampak lemah dan menariknya. "Ayo, kita harus segera pergi dari sini!" ajaknya dengan kasar. Semua orang terkejut dengan tindakan Markus dan Adimas cepat-cepat menghentikkannya. "Karina harus segera mendapat penanganan!" tegas Adimas melawan Markus. Raut wajah
Adimas tidak pernah menjadi seperti ini sebelumnya. Ini kali pertama pria itu terjaga semalaman untuk menjaga seseorang dan memang Adimas tidak pernah tenang. Setiap beberapa jam, pria itu terbangun dan mengecek suhu tubuh Karina, Mengganti kompres gadis itu. Dan selalu siap siaga tiap kali Karina terbangun. Bahkan, kali ini, saat Adimas terbangun di sisi Karina, pria itu mendapati Karina telah membuka mata dan menatap ke arahnya. "Kau sudah bangun," sapa Adimas, sedikit terkejut karena Karina memandangnya dengan serius. Khawatir pipinya akan menjadi sasaran sepagi ini. "Kau... bukan David," tutur gadis itu, terdengar serak dan lemah. Adimas berkedip dua kali dengan heran dan memandang lurus ke arah Karina. Mengapa tiba-tiba gadis itu menanyakannya? Apakah selama ini Karina menganggapnya sebagai David. Jika demikian, bisa-bisa gadis itu tidak akan menuruti Adimas lagi. Namun, Adimas mengambil risiko itu dan mengangguk. "Benar, aku bukan David," jawabnya dengan tegas. Di luar
Siska tidak berkutik di tempatnya. Iris hitamnya membesar melihat video yang terputar dan dia mematung. Hingga sedetik kemudian, Siska merebut ponsel itu dengan kasar dari Adimas. "Siapa bilang kau bisa menyentuh barang dengan sembarangan?!" omelnya dengan nada tinggi. Terdapat kegugupan dalam nada suaranya, seakan ia baru saja tertangkap basah melakukan hal yang salah. Adimas mengabaikan amarah itu dan terus mengejar. "Bagaimana bisa ada video itu? Apa yang dilakukan Karina?" tanyanya. Ia tidak dapat membendung rasa penasarannya lagi. Bagaimana mungkin, Karina bisa berada di klub malam dan dikelilingi pria seperti itu? "Kau membuka ponsel orang lain. Benar-benar pria lancang!" tuduh Siska dengan geram. Raut wajahnya kini terlihat marah dan berusaha melawan Adimas. Sementara itu, Adimas masih terlihat tenang, tetapi rahangnya mengeras dan membuat pria itu terlihat lebih tegas. "Jika kulihat, latar belakang ponsel itu adalah foto Karina. Berarti, itu milik Karina, bukan? Aku ber
Adimas tidak tahu kapan hukumannya akan berakhir. Pagi itu, Adimas baru saja selesai menikmati sarapan bersama Karina dan tengah mencuci semua piring kotor saat tiba-tiba Markus berjalan ke ruang tengah dengan tergesa. Tak lama, Bella dan Siska ikut berkumpul di sana. "Ada apa, Yah? Mengapa tiba-tiba Ayah memanggil kami?" tanya Bella. Raut wajah gadis itu kelihatan sembab dan sebal karena sang ayah mengganggu waktu tidurnya.Begitu pula Siska yang tampak sedikit kesal karena rutinitas perawatannya harus terhenti. Markus mengabaikan hal itu dan mengumumkan. "Ayah baru mendapat kabar dari Fero dan katanya dia akan kembali hari ini," ujarnya. Semua orang seketika terkesiap mendengarnya. Adimas tidak tahu siapa pria itu, tetapi dia jelas cukup berpengaruh hingga membuat semua orang terkejut. "Kakak akan kembali hari ini?" tanya Bella. Kedua matanya terbelalak tidak percaya. "Apakah dia sudah menyelesaikan studinya?!" Sang ibu ikut bertanya. "Jika dia kembali, tentu saja itu berarti
"Apakah kau benar-benar akan menjalani hidup malang seperti ini?" Pria itu kembali bertanya untuk kedua kalinya. Adimas menelan saliva dengan terkejut. "A--ayah...." Adimas menoleh ke arah Benny dan seakan menuntut sebuah penjelasan dari pria itu. Namun, belum sempat Benny membuka suara, ayahnya sudah bersuara lagi. "Ayah sudah mendengar semuanya dari Benny. Apakah kau benar-benar akan menjalani hidup malang seperti ini? Kau bisa saja menyebut bahwa kau adalah anakku dan keluarga itu pasti akan memperlakukanmu dengan baik," ujar Dirga, salah satu orang paling sukses di keluarga Nelson. Nama Dirgantara Nelson telah terkenal di seluruh negeri. Pria itu adalah pria paling sukses di negaranya. Meski demikian, nama Adimas tidak lantas turut menjadi tenar. Adimas sengaja tidak pernah membawa nama sang ayah ke mana pun ia pergi. Begitu pula saat di keluarga Covey. Sekali ia membongkar identitasnya di depan keluarga itu, pastilah Markus dan Siska akan memanfaatkan nama keluarganya yang b
"Lama sekali, padahal hanya membeli sebotol anggur!" Fero mengomel saat Adimas datang dan memberikan pesanannya. Kini, pria itu tengah bersantai di tepi kolam renang dengan mantel mandinya. Adimas ingin sekali membalas perkataannya itu dengan menceburkannya ke kolam renang, tetapi pria itu hanya terdiam dan berjalan pergi tanpa mengatakan apa-apa. Dalam perjalanan, tanpa sengaja pria tampan berambut hitam itu berpapasan dengan Bella yang terlihat baru saja mandi. Gadis itu hanya mengenakan mantel mandi yang sedikit terbuka. Bella amat yakin Adimas akan terpesona dengan penampilannya. Namun, pria itu hanya terus melewatinya tanpa menoleh sedikit pun. Hingga perhatian Bella tertuju pada sebuah bingkisan yang dibawa Adimas. "Kulihat kau baru saja pergi keluar." Bella mulai bersuara untuk basa-basi. "Apa yang kau beli?" tanyanya. Ia berusaha melihat ke dalam bingkisan dan menemukan sebuah kain di dalamnya. Adimas berhenti berjalan dan menoleh ke arah gadis itu. Raut wajahnya tidak
“Apa yang kau lakukan?” Suara Markus terdengar dari belakang punggung Adimas. Pemuda itu tengah berdiri di dapur dengan sebuah piring di tangannya, siap untuk mengambil sarapan untuk Karina dan dirinya. “Aku akan mengambil sarapan untuk Karina,” jawab Adimas. “Kalian mengambil sarapan sebelum kami? Dasar menantu yang lancang!” sergah Markus. “Pelayan!” Seorang pelayan wanita datang menghampiri mereka dalam waktu singkat. “Ya, Tuan. Apa yang bisa saya bantu?” “Siapkan sarapan untuk kami! Bawa semua makanan yang sudah disiapkan!” titah Markus tanpa memedulikan Adimas yang berdiri di sana. “Kalau begitu, aku akan mengajak Karina kemari,” ujar Adimas. Pria itu meletakkan kembali piring di tangannya dan berniat pergi saat tahu-tahu Siska menghalanginya. “Tidak! Kau mau dia makan bersama kami? Bagaimana jika dia makan dengan berantakan? Itu akan mengganggu selera makan kami! Tidak, Karina tidak diizinkan makan di meja makan bersama yang lain,” tutur Siska dengan tegas. Raut wajahny
Empat bulan kemudian …. “Kamu yakin bisa pergi, Ayana?” Mark bertanya dengan cemas. Ia menatap pada istrinya yang duduk di depan meja rias. Ayana menjawab dengan anggukan. “Ini adalah wisuda kita, mana mungkin aku tidak datang?” tanya Ayana, kemudian lanjut merias dirinya. Mark menghela napas panjang dan berjalan mendekati sang istri. Dia menaruh tangannya di atas bahu Ayana. “Tapi, kandungan kamu sudah besar. Dokter bilang perkiraan lahirnya sebentar lagi, bukan?” tanya Mark, tidak dapat menyembunyikan kecemasannya. Mendengar itu, Ayana beranjak bangkit dari kursinya dan terlihat jelas perutnya yang sudah membungkit sempurna. Tampak siap untuk melahirkan. “Masih ada sisa waktu empat hari sampai hari perkiraan lahir,” ucap gadis itu, “Aku sudah menunggu-nunggu untuk wisuda ini. Biarkan aku ikut, ya? Ya?” tanyanya. Seharusnya mustahil bagi perempuan dewasa yang sudah hamil untuk terlihat seperti anak kucing, tetapi Ayana benar-benar menatap Mark dengan penuh harap hingga p
Andreas tidak mengizinkan Cakra pergi bersama Mark dan Ayana. Pria itu menuntut penjelasan dari Cakra yang tidak pernah menceritakan apa pun kepadanya. Sebagai trio, Andreas selalu merasa dirinya terbelakang. Bahkan saat Mark mengakui Ayana sebagai istrinya, Cakra telah mencurigai hal itu terlebih dahulu. Akhirnya, hanya ada Ayana dan Mark di dalam mobil pria itu. Selama perjalanan pulang, Ayana tidak berhenti tersenyum. “Apa yang lucu?” Mark bertanya, tidak tahan melihat istrinya yang sejak tadi senyam-senyum seorang diri. Ayana menggeleng, tetapi senyumnya bertambah lebar. “Tidak apa-apa, hanya saja kisah mereka membuatku terharu,” ucap gadis itu, “Aku tidak menyangka Cakra bisa mengucapkan kata-kata romantis seperti itu.” Ayana memuji, kemudian tersenyum lebih lebar. Selama ini, Ayana mengenal Cakra sebagai satu-satunya pria yang normal di antara tiga sahabat itu. Andreas terkenal sering memainkan perasaan wanita, sementara Mark lebih banyak diam. Ditambah, fakta bahwa koneks
“... apa?” Cakra bertanya. Pria itu berkedip satu kali dan menatap tak percaya ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum saat pandangannya jatuh ke bawah, terlihat malu sekaligus pahit. “Aku sudah memikirkannya. Aku benar-benar akan melanjutkan kuliah di luar negeri,” ucap Chika, “Aku tahu ini mungkin tidak penting untukmu, tapi aku merasa harus memberitahunya.” Setelah beberapa kali meminta, ayahnya akhirnya mengizinkan Chika untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Ia dan Cakra tidak pernah dekat sebelumnya. Mereka hanya sering bicara saat Chika mulai mencari Sandi. Namun, entah mengapa, saat pertama Chika mendapat izin, satu-satunya yang terlintas dalam benak perempuan itu adalah memberitahu Cakra. Kini, ia merasa malu sekaligus menyesal. Chika tahu ia pasti terlihat aneh, tahu-tahu memberi kabar seperti itu seolah dirinya penting. Di luar dugaan, wajah Cakra terlihat tawar dan sedikit kecewa. “Mengapa? Bukankah Ayana sudah memaafkanmu berkat Sandi kemarin?” tanya pria itu.
“Bapak lihat Mark?” Ayana bertanya kepada satpam yang berjaga di kediaman mereka. Sesuai kesepakatan, pagi itu mereka akan pergi ke pemakaman ayah Ayana. Namun, saat Ayana bangun pagi ini, ia justru tidak dapat menemukan suaminya itu di mana pun. “Tuan Mark pergi dengan mobilnya pagi-pagi sekali, Nyonya,” jawab satpam itu. Alis Ayana mengernyit dalam. Tak biasanya Mark pergi tanpa meninggalkan kabar apa pun. Gadis itu kembali berjalan ke dalam rumah sembari mengecek ponselnya, tetapi tidak ada pesan apa pun dari Mark. Ke mana perginya pria itu? “Ada apa, Kak?” Suara Sandi terdengar. Pria itu baru saja turun dari lantai dua. Tadi malam, Ayana memaksa Sandi untuk menginap sesuai rencana mereka. Kini, justru Mark yang tidak tahu keberadaannya. Ayana menggelengkan kepala. “Bukan apa-apa,” jawabnya, “Kita harus sarapan sebelum pergi,” ajak gadis itu. Keduanya berjalan menuju dapur dan Sandi kembali menyadari keanehan saat mereka hanya menyantap sarapan berdua. “Di mana kakak ipa
Wajah Ayana menjadi kecut. Dengan gugup, Ayana melirik ke arah Mark, kemudian mengangguk membenarkan pertanyaan Sandi. Pemuda itu tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia memandang Ayana dan suaminya bergantian, masih tidak menyangka jika kakak perempuannya itu benar-benar sudah bersuami. “Ayana banyak bercerita tentangmu,” ucap Mark, menunjukkan senyum ramah, “Bagaimana kalau kita berbincang di rumah?” Sebelum pergi, Ayana kembali menghampiri Chika dan Cakra yang menghampiri mereka. Ia tersenyum ke arah perempuan itu. “Terima kasih,” ucapnya, “Aku bisa bertemu kembali dengan Adikku berkat bantuanmu,” lanjut Ayana. Chika sedikit tertegun. Ia tak menyangka jika Ayana akan berterima kasih secara langsung. Ia sendiri selalu merasa gengsi untuk mengatakannya. Akhirnya, Chika mengangguk. “Kuharap itu balasan yang sepadan untuk kesalahanku,” ucapnya. Mark mengajak Chika dan Cakra untuk turut bersama mereka ke kediamannya, tetapi keduanya menolak. Hingga Sandi menemukan keaneh
Sejak insiden itu, hubungan Chika dan Ayana menjadi kian renggang. Keduanya masih duduk bersisian, tetapi amat jarang bertukar sapa. Kini, tepat setelah mata kuliah selesai, tiba-tiba wanita itu menghampiri Ayana yang tengah bersama Mark. Melihat kedatangan Chika sukses membuat Mark menjadi waspada. Pria itu dengan sigap pasang badan di hadapan Ayana. “Apa yang ingin kau lakukan?” Mark bertanya, menatap lurus ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum getir, sadar jika ia benar-benar telah bersikap buruk hingga dicap sebagai orang yang mampu membahayakan Ayana. Bahkan setelah lewat beberapa hari, kewaspadaan Mark terhadap dirinya sama sekali tidak berkurang. Chika menggelengkan kepala. “Aku ingin bicara dengan Ayana,” ucapnya, terdengar segan. Mark dan Ayana seketika bertukar tatapan dengan heran. Pria itu terlihat enggan untuk mengizinkan, tetapi Ayana memberi isyarat hingga akhirnya Mark sedikit menyingkir, membiarkan Ayana berhadapan langsung dengan wanita berambut pendek itu.
Tak jauh dari pusat kota, terlihat sebuah proyek yang tengah dibangun. Para pria yang mengenakan rompi keselamatan kerja berlalu-lalang, terus tekun bekerja di bawah terik matahari. Pasir, debu, dan semen beterbangan di udara, tetapi semua orang seakan terbiasa dengan itu. “Sandi! Bawakan lima sak semen ke sini!” titah seorang pria paruh baya yang menjadi mandor di proyek tersebut. Sandi, yang semula tampak sibuk menata besi-besi itu lantas berdiri tegak.“Baik, Pak!” jawabnya.Dia pekerja paling muda di sana. Kulit pemuda itu kecokelatan karena terus terpapar sinar matahari. Keringat yang mengalir di pelipisnya tampak kotor oleh pasir dan debu, tetapi ia tidak menghiraukannya. Sandi menyusun lima sak semen dan mengangkat semuanya langsung di punggung, kemudian berjalan menuju tempat yang diminta. Ia hampir sampai saat tanpa sengaja kakinya menginjak batu. Batu itu tergulir dan membuat Sandi kehilangan keseimbangan hingga jatuh bersama lima sak semen di punggungnya. BUK Suara it
“Sepertinya dia kecewa kepada Ibu dan memutuskan untuk pergi. Sejak itu, Ibu tidak pernah berhasil menemukan Sandi,” tutur Wati, mengakhiri ceritanya. Air mata sudah mengering di pipinya, tetapi matanya masih memerah bekas menangis dan napasnya sesenggukan. Beberapa saat lalu, Ayana berhasil mendesak Wati untuk menceritakan awal mula hilangnya Sandi. Meski terasa berat, Wati berhasil menceritakannya dan kini ketiganya membungkam. “Ini foto terakhir yang Ibu ambil sewaktu dia kelulusan,” tutur Wati, menyerahkan sebuah foto ke arah Ayana. Gadis itu menerimanya dan napasnya tercekat melihat Sandi. Saat mereka berpisah dahulu, adiknya itu masih kecil, bahkan jauh lebih pendek daripada Ayana. Namun, sosok Sandi di foto itu telah bertumbuh pesat. Kini dia tinggi, terlihat tampan dan sangat mirip dengan ayahnya. Wajah Ayana diliputi kecemasan membayangkan adiknya mengadu nasib di dunia luar. Seorang diri. “Bagaimana dengan informasi yang diberikan Chika? Apakah dia berbohong?” Mark be
Chika menyeret langkahnya keluar kelas. Pada akhirnya, ia berhasil bertahan selama kelas hari itu. Bahkan, Ayana duduk tepat di sisinya. Gadis itu tidak menunjukkan aura permusuhan, tetapi juga tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sekarang, air mata Chika sudah sepenuhnya mengering, tetapi ingatan itu masih membekas dalam ingatannya. Sepanjang berjalan, pandangan Chika terus tertuju ke arah bawah. Ia berusaha mengabaikan komentar dan pembicaraan yang terang-terangan membahas dirinya.Hingga langkah perempuan itu berhenti saat melihat sepasang sepatu yang berdiri tepat di hadapannya. Perlahan, Chika mendongak. Ia sudah cemas akan menerima bullyan lagi, tetapi alisnya mengernyit saat ia justru menemukan wajah Cakra. Pria itu menatap lurus ke arahnya. Dia membuka bibirnya dan siap untuk mengatakan sesuatu, tetapi Chika lebih dahulu menyela. “Aku tahu,” ucapnya, “Aku tahu apa yang akan kamu ucapkan. Kamu akan memberiku peringatan akan pembalasan Mark dan memintaku untuk tidak menyaki