Adimas tidak pernah menjadi seperti ini sebelumnya. Ini kali pertama pria itu terjaga semalaman untuk menjaga seseorang dan memang Adimas tidak pernah tenang.
Setiap beberapa jam, pria itu terbangun dan mengecek suhu tubuh Karina, Mengganti kompres gadis itu. Dan selalu siap siaga tiap kali Karina terbangun.Bahkan, kali ini, saat Adimas terbangun di sisi Karina, pria itu mendapati Karina telah membuka mata dan menatap ke arahnya."Kau sudah bangun," sapa Adimas, sedikit terkejut karena Karina memandangnya dengan serius. Khawatir pipinya akan menjadi sasaran sepagi ini."Kau... bukan David," tutur gadis itu, terdengar serak dan lemah.Adimas berkedip dua kali dengan heran dan memandang lurus ke arah Karina.Mengapa tiba-tiba gadis itu menanyakannya? Apakah selama ini Karina menganggapnya sebagai David. Jika demikian, bisa-bisa gadis itu tidak akan menuruti Adimas lagi.Namun, Adimas mengambil risiko itu dan mengangguk."Benar, aku bukan David," jawabnya dengan tegas.Di luar dugaan, Karina tidak lepas kendali. Gadis itu masih menatap lurus ke arahnya dengan fokus."Siapa... kamu?" tanyanya.Adimas tersenyum tipis. Rupanya, selama ini Karina benar-benar memandangnya sebagai David."Adimas," jawab Adimas sembari berdiri. Ia yakin jika dia memberitahunya pun Karina tidak akan ingat.Pria itu menaruh telapak tangannya pada dahi Karina, kemudian tersenyum cerah."Suhu tubuhmu sudah mulai turun. Aku akan mengambilkan sarapan untukmu," tutur pria itu, kemudian berjalan pergi, meninggalkan Karina yang masih memandang ke arahnya dengan heran.Saat Adimas pergi melewati dapur, ia melihat Markus, Siska, dan Bella tengah memakan sarapan di meja makan. Itu bagus. Artinya Adimas tidak perlu memasak terlebih dahulu untuk Karina.Ia terus berjalan dan sedikit terkejut mendapati nasi dan lauknya hanya tersisa sedikit. Begitu sedikit hingga mungkin tidak akan cukup untuk Karina seorang.Tiba-tiba seorang berjalan mendekat. Itu adalah Siska yang telah menyelesaikan sarapannya dan menaruh piringnya di wastafel dengan sedikit kasar."Jangan lupa untuk mencuci semua piring ini!" titah wanita itu. Sudut bibirnya tertarik dan sedikit membentuk senyum sinis.Bella menyusul di belakang dan menaruh piringnya di atas piring sang ibu."Piringku sekalian. Kukuku baru saja mendapat perawatan, jadi tidak bisa menyentuh piring-piring ini," tutur gadis itu seraya memandangi kuku-kuku jarinya yang tampak dihiasi dan berkilauan.Adimas tidak berkutik. Pria itu hanya bisa mengembuskan napas pendek melihat kelakukan kedua wanita itu."Apakah tidak ada buah untuk Karina?" Dia bertanya seraya melihat isi kulkas yang hanya menyimpan air, beberapa telur, dan makanan manis.Seingat Adimas, masih ada beberapa buah alpukat dan jeruk di sini. Karina dalam masa pemulihan dan buah-buahan itu akan sangat berguna baginya."Buah? Ah, alpukat dan jeruknya sudah aku buat jus untuk diminum untukku dan Bella," jawab Siska. Raut wajahnya tidak berubah, terlihat tenang-tenang saja seakan tidak merasa bersalah."Tapi, Karina sedang sakit. Seharusnya, dia yang mendapatkan asupan lebih. Apakah kalian tidak pernah memikirkan dia?" ujar Adimas.Akhirnya, kata-kata itu lolos juga. Sejak tadi, ia berusaha untuk menahannya, tetapi jawaban sang ibu justru membuat Adimas semakin geram.Wajah Siska seketika berubah menjadi kesal mendengar komentar pria itu."Jangan asal bicara kamu!" bantahnya dengan nada tinggi. "Jika kami tidak memikirkan Karina, kami tidak akan menyisakan sarapan untuknya. Sudah! Jangan ribut! Berikan saja makanan itu kepada Karina dan beri dia obat agar lekas sehat! Benar-benar merepotkan," keluh Siska sembari berjalan pergi dengan tidak senang."Jangan lupa untuk mengerjakan semua hukumanmu!" tambah wanita itu dengan nada memerintah.Ia menghampiri Markus yang juga telah menyelesaikan makanannya dan tengah serius membaca berita di tabletnya."Ayah, Mama akan pergi berkumpul dengan teman-teman Mama. Tapi, Mama mau menata rambut dan sedikit perawatan dulu. Kemarin, Mama lihat Ibu Dias sangat cantik sampai menarik perhatian semua orang," ujar Siska di sisi suaminya dengan nada setengah memohon.Markus menoleh ke arahnya. Tanpa menunggu lama, pria itu mengeluarkan dompet dan memberikan sebuah kartu kepada istrinya itu."Boleh, Ma. Pakai saja kartu Ayah yang ini," jawab Markus dengan suara lembut.Raut wajah Siska langsung berubah cerah seperti anak kecil. "Terima kasih, Ayah! Mama akan pergi sebentar lagi," jawabnya dengan nada manja.Tak selang sedetik, kini Bella yang mencoba menghampiri sang ayah."Ayah, Bella juga akan bertemu dengan Lina. Kita berencana nonton sambil belanja. Baju-baju Bella juga sudah lama. Bella bingung harus memakai baju apa lagi," tutur gadis itu seraya mengerutkan bibirnya dengan manja.Markus tersenyum lembut, kemudian mengeluarkan kartunya yang lain."Ini, Bella. Pakai saja untuk membeli baju-baju yang bagus," ujar Markus tanpa ragu.Bella dengan senang hati menerimanya. "Terima kasih, Ayah! Bella sayang Ayah!"Markus mengangguk. "Hati-hati di jalan. Apakah kamu mau berangkat bersama Ayah?" tanyanya sembari mengusap kepala Bella dengan penuh kasih sayang. Tangan itu juga yang tega menyakiti Karina, bahkan menyeretnya dari ranjang rumah sakit."Tidak perlu, Ayah. Nanti, Bella akan menggunakan mobil kita yang ayah beli bulan lalu.""Yang penting, hati-hati. Ayah tidak mau sesuatu terjadi pada putri Ayah," jawab Markus, terdengar seperti dusta di telinga Adimas.Tampaknya, putri mereka di keluarga ini hanyalah Bella seorang. Karina seakan tidak dianggap oleh semua orang."Baik, Ayah!" jawab Bella, kemudian melenggang pergi.Adimas masih berdiri di sana, membawa sebuah piring berisi sedikit makanan untuk Karina. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Bagaimana mungkin Markus menjadi begitu berbeda?Tanpa rasa bersalah, merkea menghabiskan uang untuk berhura-hura tanpa memikirkan Karina sedikit pun.Sakit. Semua orang di keluarga ini sakit dan gila.Markus segera menyadari Adimas yang masih berdiri di sana dan memandanginya sejak tadi."Kenapa lihat-lihat? Selesaikan saja pekerjaanmu!" perintah pria itu dengan nada mencemooh.Adimas tidak membalas. Ia berusaha menahan diri untuk tidak membalas dan memilih langsung melenggang pergi.Begitu masuk, Karina masih berada di atas ranjangnya. Namun, keadaan gadis itu sudah terlihat lebih baik."Ini, Karina. Ayo, kita sarapan dahulu," ajak Adimas seraya duduk di sisi ranjang dengan piring berisi makanan di pangkuannya.Karina tidak menolak. Adimas membantu membangunkan gadis itu. Dia berniat menyuapi Karina, tetapi terhenti saat memandang pada wajah pucat dan lemas gadis itu."Kasihan sekali kamu, Karina. Apakah kamu sudah seperti ini sejak sebelum bersamaku?" gumamnya pelan meski tahu Karina tidak akan mengerti dan tidak akan menjawab.Akhirnya, Adimas mulai menyuapi Karina sedikit demi sedikit. Caci maki dan hinaan yang Adimas dapat seakan terbayarkan saat melihat Karina mau memakan makanannya suap demi suap."Bagus. Dengan demikian, kau bisa cepat sembuh," puji pria itu sambil tersenyum bangga.Tiba-tiba pintu diketuk dan terbuka, menampilkan sosok Bella yang tampak sudah 'stylish' untuk pergi. Semenjak Adimas tiba dan tinggal di isni, ia tidak pernah melihat Bella mengenakan baju yang sama. Bagaimana bisa gadis itu berkata dia tidak memiliki baju?"Bagaimana keadaan Kakak?" tanya gadis itu.Adimas tidak dapat membaca apakah perkataan itu tulus atau tidak. Namun, pria itu tetap menjawabnya."Demamnya sudah turun," jawab Adimas. Dengan lembut, pria itu menaruh tangannya di dahi Karina dan memandangnya dengan perhatian. "Kuharap dia akan lebih mendingan setelah makan dan minum obat," lanjutnya.Adimas sedikit terkejut saat mendapati raut wajah Bella telah berubah. Dari semula tenang menjadi tampak sedikit kesal. Ia menatap ke arah keduanya dengan sedikit sinis."Aku akan pergi untuk menemui temanku. Apakah kau bisa membantu mengantarku?" tanya gadis itu tanpa ragu.Adimas tampak sedikit terkejut mendengarnya. Bella bisa memaklumi. Adimas pasti kaget karina tiba-tiba Bella meminta bantuannya. Namun, ia yakin Adimas pasti mau melakukannya. Selama ini, tidak pernah ada pria yang menolak saat Bella meminta bantuannya."Bukankah kau akan mengendarai mobil sendiri?" tanya pria itu.Bella sudah mengantisipasi Adimas akan menanyakan hal itu dan ia pun sudah menyiapkan jawaban paling logis."Mobil ini baru ayah beli kemarin. Aku masih beradaptasi dan sedikit gugup," tuturnya.Bella yakin Adimas tidak akan berkutik dengan jawaban paling masuk akal itu. Namun, respons Adimas berikutnya justru di luar dugaan."Mengapa kau yakin aku bisa menyetir mobil?" tanya pria itu.Bella berkedip dua kali. Tampak canggung oleh tembakan tiba-tiba itu.Benar juga. Bella memang ingin diantar oleh Adimas. Namun, mengapa ia begitu yakin Adimas bisa menyetir mobil?Bella berkedip cepat dan berdeham. "Ba--bagaimanapun, kau adalah seorang kurir! Pasti kau bisa menyetir mobil!" jawabnya, setengah bersikeras."Uhukk!!" Karina tiba-tiba terbatuk mendengarnya seakan dapat memahaminya. Adimas cepat-cepat mengambil air. Dia membantu Karina minum dan mengusap-usap punggungnya dengan lembut.Raut wajah Bella menjadi semakin jengkel mendengarnya."Sepertinya, aku tidak bisa meninggalkan Karina," jawab Adimas, tidak tega meninggalkan gadis itu dalam keadaan seperti ini.Bella nyaris tersenyum. Ia juga telah memprediksi jawaban itu dan sudah menyiapkan sanggahan terbaik. Apa pun yang terbaik, Adimas harus ikut bersamanya."Jangan khawatir! Aku akan menyuruh pelayan untuk menungguinya. Dia pasti akan baik-baik saja. Kau hanya perlu mengantarku ke sana," jawab Bella.Kini, Adimas tidak akan memiliki alasan lain untuk menolak tawaran Bella. Hingga tiba-tiba Karina bangkit dan ....PLAAAKKKKKarina menampar pipi sang adik begitu saja. Membuat semua orang terkejut. Bahkan, Bella tidak menyangka dengan perlakuan itu dan membeku di tempatnya.Lama-kelamaan, mata Bella mulai memerah dan Adimas cepat-cepat menengahi keduanya sebelum Bella lepas kendali dan membalaskan kekesalannya."Sepertinya, Karina masih belum terlalu sembuh sehingga menjadi tidak terkendali. Aku tidak bisa meninggalkannya, maaf!" jawab Adimas.Dia memegang kedua bahu Karina dan dengan lembut kembali mengarahkan gadis itu untuk duduk di ranjangnya.Wajah Bella memerah. Ia ingin membalas tamparan itu, tetapi ia harus menjaga sikap di depan Adimas. Tidak mungkin ia menunjukkan emosinya di depan pria itu.Hingga akhirnya, Bella beranjak pergi dengan wajah kesal."Ck, gagal. Bagaimana bisa gadis cacat seperti dia mendapatkan pria sesabar itu? Dia bahkan berani-beraninya memukulku!!" keluhnya dengan jengkel seraya berjalan meninggalkan kamar itu."Tunggu, Bella!" Suara berat Adimas terdengar, disusul derap langkah kaki mendekatinya.Bella cepat-cepat mengubah raut wajahnya. Ia tahu Adimas pasti tidak akan menolak tawarannya."Ada apa?" tanya gadis itu."Boleh aku meminta bantuanmu? Tolong berikan beberapa buah untuk Karina. Jika ada, belikan yang mengandung vitamin C dan ini uangnya," ujar Adimas seraya menyerahkan dua lembar uang lima puluhan.Bella tidak langsung menerimanya. Gadis itu hanya menatapnya dan ingin sekali mencabik-cabiknya. Namun, lagi-lagi gadis itu harus menjaga sikap di depan Adimas dan tidak memiliki pilihan selain mengambilnya."Terima kasih," ujar Adimas, kemudian langsung berlari kembali ke kamarnya.Bella membanting uang itu ke lantai dengan jengkel. "Mengapa aku menerimanya?!" sergah gadis itu dengan jengkel.Di sisi lain, Adimas kembali menyuapi Karina."Setelah ini, aku akan membersihkan rumah. Kau harus beristirahat di sini dengan tenang. Apakah kau mengerti, Karina?" tanya pria itu.Karina tidak menjawab. Dia hanya fokus mencerna makanan yang masuk ke mulutnya."Aku akan menganggapnya sebagai jawaban 'ya'," lanjut Adimas.Meski tidak menjawab, tetapi Karina menuruti perkataan pria itu dan Adimas mulai mengerjakan seluruh pekerjaan rumah. Mulai dari membereskan meja makan, mencuci piring kotor, dan menyapu. Ia juga diminta membersihkan gudang yang tampak porak-poranda.Tas-tas dan sepatu mendominasi isi gudang tersebut. Ia meraih sebuah tas merah yang berdebu dan menggelengkan kepala.Bagaimana bisa tas seperti ini ditaruh di gudang?Ia membersihkannya dan tiba-tiba sebuah ponsel hitam keluar. Adimas mengeceknya, rupanya masih menyala. Dia mencoba membukanya dan menemukan sebuah video menarik. Ia memutarnya dan jantungnya seakan tercekat.Dalam video itu, terlihat Karina dengan pakaian minim tampak menari. Meliuk-liukkan tubuhnya di hadapan para lelaki yang memuji dan menyorakinya."Bagaimana bisa tas sepenting ini ketinggalan?" Siska bergumam sambil berjalan. Ia sudah dalam perjalanan saat teringat tasnya tertinggal.Langkah wanita itu terhenti saat melihat pintu gudang terbuka dan Adimas berada di dalamnya."Apa yang kau lakukan?" tanyanya.Adimas tidak langsung menjawab. Pria itu tampak mematung, dan raut wajahnya masih terkejut saat ia menoleh. Menunjukkan video yang terputar."Video ini.... Apa maksud video ini?"Siska tidak berkutik di tempatnya. Iris hitamnya membesar melihat video yang terputar dan dia mematung. Hingga sedetik kemudian, Siska merebut ponsel itu dengan kasar dari Adimas. "Siapa bilang kau bisa menyentuh barang dengan sembarangan?!" omelnya dengan nada tinggi. Terdapat kegugupan dalam nada suaranya, seakan ia baru saja tertangkap basah melakukan hal yang salah. Adimas mengabaikan amarah itu dan terus mengejar. "Bagaimana bisa ada video itu? Apa yang dilakukan Karina?" tanyanya. Ia tidak dapat membendung rasa penasarannya lagi. Bagaimana mungkin, Karina bisa berada di klub malam dan dikelilingi pria seperti itu? "Kau membuka ponsel orang lain. Benar-benar pria lancang!" tuduh Siska dengan geram. Raut wajahnya kini terlihat marah dan berusaha melawan Adimas. Sementara itu, Adimas masih terlihat tenang, tetapi rahangnya mengeras dan membuat pria itu terlihat lebih tegas. "Jika kulihat, latar belakang ponsel itu adalah foto Karina. Berarti, itu milik Karina, bukan? Aku ber
Adimas tidak tahu kapan hukumannya akan berakhir. Pagi itu, Adimas baru saja selesai menikmati sarapan bersama Karina dan tengah mencuci semua piring kotor saat tiba-tiba Markus berjalan ke ruang tengah dengan tergesa. Tak lama, Bella dan Siska ikut berkumpul di sana. "Ada apa, Yah? Mengapa tiba-tiba Ayah memanggil kami?" tanya Bella. Raut wajah gadis itu kelihatan sembab dan sebal karena sang ayah mengganggu waktu tidurnya.Begitu pula Siska yang tampak sedikit kesal karena rutinitas perawatannya harus terhenti. Markus mengabaikan hal itu dan mengumumkan. "Ayah baru mendapat kabar dari Fero dan katanya dia akan kembali hari ini," ujarnya. Semua orang seketika terkesiap mendengarnya. Adimas tidak tahu siapa pria itu, tetapi dia jelas cukup berpengaruh hingga membuat semua orang terkejut. "Kakak akan kembali hari ini?" tanya Bella. Kedua matanya terbelalak tidak percaya. "Apakah dia sudah menyelesaikan studinya?!" Sang ibu ikut bertanya. "Jika dia kembali, tentu saja itu berarti
"Apakah kau benar-benar akan menjalani hidup malang seperti ini?" Pria itu kembali bertanya untuk kedua kalinya. Adimas menelan saliva dengan terkejut. "A--ayah...." Adimas menoleh ke arah Benny dan seakan menuntut sebuah penjelasan dari pria itu. Namun, belum sempat Benny membuka suara, ayahnya sudah bersuara lagi. "Ayah sudah mendengar semuanya dari Benny. Apakah kau benar-benar akan menjalani hidup malang seperti ini? Kau bisa saja menyebut bahwa kau adalah anakku dan keluarga itu pasti akan memperlakukanmu dengan baik," ujar Dirga, salah satu orang paling sukses di keluarga Nelson. Nama Dirgantara Nelson telah terkenal di seluruh negeri. Pria itu adalah pria paling sukses di negaranya. Meski demikian, nama Adimas tidak lantas turut menjadi tenar. Adimas sengaja tidak pernah membawa nama sang ayah ke mana pun ia pergi. Begitu pula saat di keluarga Covey. Sekali ia membongkar identitasnya di depan keluarga itu, pastilah Markus dan Siska akan memanfaatkan nama keluarganya yang b
"Lama sekali, padahal hanya membeli sebotol anggur!" Fero mengomel saat Adimas datang dan memberikan pesanannya. Kini, pria itu tengah bersantai di tepi kolam renang dengan mantel mandinya. Adimas ingin sekali membalas perkataannya itu dengan menceburkannya ke kolam renang, tetapi pria itu hanya terdiam dan berjalan pergi tanpa mengatakan apa-apa. Dalam perjalanan, tanpa sengaja pria tampan berambut hitam itu berpapasan dengan Bella yang terlihat baru saja mandi. Gadis itu hanya mengenakan mantel mandi yang sedikit terbuka. Bella amat yakin Adimas akan terpesona dengan penampilannya. Namun, pria itu hanya terus melewatinya tanpa menoleh sedikit pun. Hingga perhatian Bella tertuju pada sebuah bingkisan yang dibawa Adimas. "Kulihat kau baru saja pergi keluar." Bella mulai bersuara untuk basa-basi. "Apa yang kau beli?" tanyanya. Ia berusaha melihat ke dalam bingkisan dan menemukan sebuah kain di dalamnya. Adimas berhenti berjalan dan menoleh ke arah gadis itu. Raut wajahnya tidak
“Apa yang kau lakukan?” Suara Markus terdengar dari belakang punggung Adimas. Pemuda itu tengah berdiri di dapur dengan sebuah piring di tangannya, siap untuk mengambil sarapan untuk Karina dan dirinya. “Aku akan mengambil sarapan untuk Karina,” jawab Adimas. “Kalian mengambil sarapan sebelum kami? Dasar menantu yang lancang!” sergah Markus. “Pelayan!” Seorang pelayan wanita datang menghampiri mereka dalam waktu singkat. “Ya, Tuan. Apa yang bisa saya bantu?” “Siapkan sarapan untuk kami! Bawa semua makanan yang sudah disiapkan!” titah Markus tanpa memedulikan Adimas yang berdiri di sana. “Kalau begitu, aku akan mengajak Karina kemari,” ujar Adimas. Pria itu meletakkan kembali piring di tangannya dan berniat pergi saat tahu-tahu Siska menghalanginya. “Tidak! Kau mau dia makan bersama kami? Bagaimana jika dia makan dengan berantakan? Itu akan mengganggu selera makan kami! Tidak, Karina tidak diizinkan makan di meja makan bersama yang lain,” tutur Siska dengan tegas. Raut wajahny
Adimas tahu ia akan segera kembali terjebak dalam masalah. Tubuh Adimas dan Bella seakan mematung begitu melihat keberadaan Markus di sana dan menatap nyalang ke arah mereka. Adimas bisa melihat Bella yang menjadi panik dan gusar seketika. Posisi dan jarak di antara keduanya tidak diragukan lagi akan menimbulkan fitnah, terlebih dengan Bella yang busananya setengah terbuka. Markus langsung mengambil langkah maju dengan tegas. "Jelaskan padaku, apa yang terjadi di sini!" damprat pria itu. Dia memandang ke arah Adimas dan Bella bergantian. Menuntut penjelasan atas tindakan mereka. "Anda sudah salah paham--" "Diam!" Markus menyentak Adimas dengan suara bernada tinggi. Dia memandang ke arah Bella yang masih berdiri diam. "Mengapa kau tidak mengatakan apa-apa, Bella? Apa yang terjadi di sini? Mengapa busanamu seperti itu?" Markus menyerang anak gadisnya dengan pertanyaan bertubi-tubi. Bella menatap ke arah Adimas, kemudian mulai terisak. "Aku tidak tahu, Ayah. Aku hanya datang
Pagi-pagi, Adimas sudah mengerjakan banyak pekerjaan rumah. Membersihkan rumah, mengepel, dan mencuci baju. Ia harus menyelesaikan semua itu sebelum siang. "Biar saya yang melakukannya, Tuan," ujar Bibi Heni kepada Adimas. Ia tidak tega melihat menantu di keluarga ini justru harus mengerjakan pekerjaan semacam ini. "Tidak perlu, Bi," jawab Adimas seraya menggeleng, "Jika ketahuan membantu, Markus akan semakin marah dan Karina mungkin menjadi sasarannya," tutur pria itu. Sorot Bibi Heni seketika melembut. Hatinya menghangat mendengar jawaban itu. "Saya tidak menyangka jika Nona Karina akan mendapatkan pria seperti Tuan. Jika orang lain yang merawatnya, keadaan pasti akan sangat berbeda," ujar Bibi Heni dengan tulus. Adimas ikut tersenyum mendengarnya, meski dalam hati ia juga merasa miris. Ia tidak tahu mengapa dirinya, yang notabene seorang pewaris konglomerat, justru menjadi pembantu di rumah mertuanya. Adimas selalu menunggu waktu yang tepat untuk pergi. Jika ia membawa Karin
Hampir genap satu bulan semenjak Adimas tinggal di kediaman Covey. Sampai sekarang, Adimas telah menghafalkan ritme aktivitas di rumah itu dan mengetahui bahwa semua orang pergi tidur pada pukul sebelas. Tidak hanya ritme tidur, ritme keamanan di rumah itu pun sudah Adimas hafal. Malam ini, Adimas memutuskan untuk pergi diam-diam menyelinap keluar rumah itu. Ia sengaja mengadakan pertemuan dadakan di Hotel Karisma. Ia berhasil keluar tanpa mendapati kesulitan. Selang beberapa meter, sudah ada sebuah mobil yang menunggunya dan berjalan dalam kesunyian malam. Tanpa menunggu lama, Adimas sudah muncul di hotel tersebut. Penampilannya sangat kontras. Jika biasanya ia hanya mengenakan kaus dan celana jins lusuh. Kali ini, tubuh atletis pria itu dibalut kemeja rapi dan jas yang kaku. Celananya pun tampak mengepas di kakinya, ditambah sepatu pantofel yang mengkilap. Adimas langsung memasuki lift. Tidak menyadari keberadaan Fero tepat di dalam lift di depannya. Ia langsung menuju lantai 56
Empat bulan kemudian …. “Kamu yakin bisa pergi, Ayana?” Mark bertanya dengan cemas. Ia menatap pada istrinya yang duduk di depan meja rias. Ayana menjawab dengan anggukan. “Ini adalah wisuda kita, mana mungkin aku tidak datang?” tanya Ayana, kemudian lanjut merias dirinya. Mark menghela napas panjang dan berjalan mendekati sang istri. Dia menaruh tangannya di atas bahu Ayana. “Tapi, kandungan kamu sudah besar. Dokter bilang perkiraan lahirnya sebentar lagi, bukan?” tanya Mark, tidak dapat menyembunyikan kecemasannya. Mendengar itu, Ayana beranjak bangkit dari kursinya dan terlihat jelas perutnya yang sudah membungkit sempurna. Tampak siap untuk melahirkan. “Masih ada sisa waktu empat hari sampai hari perkiraan lahir,” ucap gadis itu, “Aku sudah menunggu-nunggu untuk wisuda ini. Biarkan aku ikut, ya? Ya?” tanyanya. Seharusnya mustahil bagi perempuan dewasa yang sudah hamil untuk terlihat seperti anak kucing, tetapi Ayana benar-benar menatap Mark dengan penuh harap hingga p
Andreas tidak mengizinkan Cakra pergi bersama Mark dan Ayana. Pria itu menuntut penjelasan dari Cakra yang tidak pernah menceritakan apa pun kepadanya. Sebagai trio, Andreas selalu merasa dirinya terbelakang. Bahkan saat Mark mengakui Ayana sebagai istrinya, Cakra telah mencurigai hal itu terlebih dahulu. Akhirnya, hanya ada Ayana dan Mark di dalam mobil pria itu. Selama perjalanan pulang, Ayana tidak berhenti tersenyum. “Apa yang lucu?” Mark bertanya, tidak tahan melihat istrinya yang sejak tadi senyam-senyum seorang diri. Ayana menggeleng, tetapi senyumnya bertambah lebar. “Tidak apa-apa, hanya saja kisah mereka membuatku terharu,” ucap gadis itu, “Aku tidak menyangka Cakra bisa mengucapkan kata-kata romantis seperti itu.” Ayana memuji, kemudian tersenyum lebih lebar. Selama ini, Ayana mengenal Cakra sebagai satu-satunya pria yang normal di antara tiga sahabat itu. Andreas terkenal sering memainkan perasaan wanita, sementara Mark lebih banyak diam. Ditambah, fakta bahwa koneks
“... apa?” Cakra bertanya. Pria itu berkedip satu kali dan menatap tak percaya ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum saat pandangannya jatuh ke bawah, terlihat malu sekaligus pahit. “Aku sudah memikirkannya. Aku benar-benar akan melanjutkan kuliah di luar negeri,” ucap Chika, “Aku tahu ini mungkin tidak penting untukmu, tapi aku merasa harus memberitahunya.” Setelah beberapa kali meminta, ayahnya akhirnya mengizinkan Chika untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Ia dan Cakra tidak pernah dekat sebelumnya. Mereka hanya sering bicara saat Chika mulai mencari Sandi. Namun, entah mengapa, saat pertama Chika mendapat izin, satu-satunya yang terlintas dalam benak perempuan itu adalah memberitahu Cakra. Kini, ia merasa malu sekaligus menyesal. Chika tahu ia pasti terlihat aneh, tahu-tahu memberi kabar seperti itu seolah dirinya penting. Di luar dugaan, wajah Cakra terlihat tawar dan sedikit kecewa. “Mengapa? Bukankah Ayana sudah memaafkanmu berkat Sandi kemarin?” tanya pria itu.
“Bapak lihat Mark?” Ayana bertanya kepada satpam yang berjaga di kediaman mereka. Sesuai kesepakatan, pagi itu mereka akan pergi ke pemakaman ayah Ayana. Namun, saat Ayana bangun pagi ini, ia justru tidak dapat menemukan suaminya itu di mana pun. “Tuan Mark pergi dengan mobilnya pagi-pagi sekali, Nyonya,” jawab satpam itu. Alis Ayana mengernyit dalam. Tak biasanya Mark pergi tanpa meninggalkan kabar apa pun. Gadis itu kembali berjalan ke dalam rumah sembari mengecek ponselnya, tetapi tidak ada pesan apa pun dari Mark. Ke mana perginya pria itu? “Ada apa, Kak?” Suara Sandi terdengar. Pria itu baru saja turun dari lantai dua. Tadi malam, Ayana memaksa Sandi untuk menginap sesuai rencana mereka. Kini, justru Mark yang tidak tahu keberadaannya. Ayana menggelengkan kepala. “Bukan apa-apa,” jawabnya, “Kita harus sarapan sebelum pergi,” ajak gadis itu. Keduanya berjalan menuju dapur dan Sandi kembali menyadari keanehan saat mereka hanya menyantap sarapan berdua. “Di mana kakak ipa
Wajah Ayana menjadi kecut. Dengan gugup, Ayana melirik ke arah Mark, kemudian mengangguk membenarkan pertanyaan Sandi. Pemuda itu tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia memandang Ayana dan suaminya bergantian, masih tidak menyangka jika kakak perempuannya itu benar-benar sudah bersuami. “Ayana banyak bercerita tentangmu,” ucap Mark, menunjukkan senyum ramah, “Bagaimana kalau kita berbincang di rumah?” Sebelum pergi, Ayana kembali menghampiri Chika dan Cakra yang menghampiri mereka. Ia tersenyum ke arah perempuan itu. “Terima kasih,” ucapnya, “Aku bisa bertemu kembali dengan Adikku berkat bantuanmu,” lanjut Ayana. Chika sedikit tertegun. Ia tak menyangka jika Ayana akan berterima kasih secara langsung. Ia sendiri selalu merasa gengsi untuk mengatakannya. Akhirnya, Chika mengangguk. “Kuharap itu balasan yang sepadan untuk kesalahanku,” ucapnya. Mark mengajak Chika dan Cakra untuk turut bersama mereka ke kediamannya, tetapi keduanya menolak. Hingga Sandi menemukan keaneh
Sejak insiden itu, hubungan Chika dan Ayana menjadi kian renggang. Keduanya masih duduk bersisian, tetapi amat jarang bertukar sapa. Kini, tepat setelah mata kuliah selesai, tiba-tiba wanita itu menghampiri Ayana yang tengah bersama Mark. Melihat kedatangan Chika sukses membuat Mark menjadi waspada. Pria itu dengan sigap pasang badan di hadapan Ayana. “Apa yang ingin kau lakukan?” Mark bertanya, menatap lurus ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum getir, sadar jika ia benar-benar telah bersikap buruk hingga dicap sebagai orang yang mampu membahayakan Ayana. Bahkan setelah lewat beberapa hari, kewaspadaan Mark terhadap dirinya sama sekali tidak berkurang. Chika menggelengkan kepala. “Aku ingin bicara dengan Ayana,” ucapnya, terdengar segan. Mark dan Ayana seketika bertukar tatapan dengan heran. Pria itu terlihat enggan untuk mengizinkan, tetapi Ayana memberi isyarat hingga akhirnya Mark sedikit menyingkir, membiarkan Ayana berhadapan langsung dengan wanita berambut pendek itu.
Tak jauh dari pusat kota, terlihat sebuah proyek yang tengah dibangun. Para pria yang mengenakan rompi keselamatan kerja berlalu-lalang, terus tekun bekerja di bawah terik matahari. Pasir, debu, dan semen beterbangan di udara, tetapi semua orang seakan terbiasa dengan itu. “Sandi! Bawakan lima sak semen ke sini!” titah seorang pria paruh baya yang menjadi mandor di proyek tersebut. Sandi, yang semula tampak sibuk menata besi-besi itu lantas berdiri tegak.“Baik, Pak!” jawabnya.Dia pekerja paling muda di sana. Kulit pemuda itu kecokelatan karena terus terpapar sinar matahari. Keringat yang mengalir di pelipisnya tampak kotor oleh pasir dan debu, tetapi ia tidak menghiraukannya. Sandi menyusun lima sak semen dan mengangkat semuanya langsung di punggung, kemudian berjalan menuju tempat yang diminta. Ia hampir sampai saat tanpa sengaja kakinya menginjak batu. Batu itu tergulir dan membuat Sandi kehilangan keseimbangan hingga jatuh bersama lima sak semen di punggungnya. BUK Suara it
“Sepertinya dia kecewa kepada Ibu dan memutuskan untuk pergi. Sejak itu, Ibu tidak pernah berhasil menemukan Sandi,” tutur Wati, mengakhiri ceritanya. Air mata sudah mengering di pipinya, tetapi matanya masih memerah bekas menangis dan napasnya sesenggukan. Beberapa saat lalu, Ayana berhasil mendesak Wati untuk menceritakan awal mula hilangnya Sandi. Meski terasa berat, Wati berhasil menceritakannya dan kini ketiganya membungkam. “Ini foto terakhir yang Ibu ambil sewaktu dia kelulusan,” tutur Wati, menyerahkan sebuah foto ke arah Ayana. Gadis itu menerimanya dan napasnya tercekat melihat Sandi. Saat mereka berpisah dahulu, adiknya itu masih kecil, bahkan jauh lebih pendek daripada Ayana. Namun, sosok Sandi di foto itu telah bertumbuh pesat. Kini dia tinggi, terlihat tampan dan sangat mirip dengan ayahnya. Wajah Ayana diliputi kecemasan membayangkan adiknya mengadu nasib di dunia luar. Seorang diri. “Bagaimana dengan informasi yang diberikan Chika? Apakah dia berbohong?” Mark be
Chika menyeret langkahnya keluar kelas. Pada akhirnya, ia berhasil bertahan selama kelas hari itu. Bahkan, Ayana duduk tepat di sisinya. Gadis itu tidak menunjukkan aura permusuhan, tetapi juga tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sekarang, air mata Chika sudah sepenuhnya mengering, tetapi ingatan itu masih membekas dalam ingatannya. Sepanjang berjalan, pandangan Chika terus tertuju ke arah bawah. Ia berusaha mengabaikan komentar dan pembicaraan yang terang-terangan membahas dirinya.Hingga langkah perempuan itu berhenti saat melihat sepasang sepatu yang berdiri tepat di hadapannya. Perlahan, Chika mendongak. Ia sudah cemas akan menerima bullyan lagi, tetapi alisnya mengernyit saat ia justru menemukan wajah Cakra. Pria itu menatap lurus ke arahnya. Dia membuka bibirnya dan siap untuk mengatakan sesuatu, tetapi Chika lebih dahulu menyela. “Aku tahu,” ucapnya, “Aku tahu apa yang akan kamu ucapkan. Kamu akan memberiku peringatan akan pembalasan Mark dan memintaku untuk tidak menyaki