Aisy dan Aldi adalah dua sejoli yang menjalin persahabatan dengan erat. Mereka berdua saling memahami dan juga saling menyayangi mulai dari kelas 1 hingga duduk di bangku kelas 6 SD. Lulusan sekolah tidak lama lagi, mereka berencana melanjutkan sekolah dalam satu sekolah SMP yang sama. Namun takdir telah berkehendak lain atas keduanya. Aldi diminta orang tuanya agar masuk ke pondok pesantren di Kalimantan, sementara Aisy dikirim ke kota untuk tinggal bersama neneknya dan melanjutkan sekolah di sana. Atas perpisahan itu, mereka masih bisa saling berkomunikasi walau hanya saling berkirim surat. Namun hal tersebut tak berlangsung lama, sedikit demi sedikit Aldi mulai berubah dan tak membalas surat-surat dari Aisy, hal inilah yang membuat Aisy penasaran, berprasangka buruk dan menimbulkan kebencian atas Aldi yang tak pernah lagi meresponnya.
View More-Masa SD-
Dua belas tahun sudah aku menjalani hidup, mulai dari TK dan tak terasa kini sudah masuk di kelas enam SD. Setidaknya ku akan lebih banyak belajar dengan giat, jika dulu ku lebih banyak menggunakan waktu untuk bermain, tapi untuk saat ini mulai aku kurangi, karenaku menyadari bahwa sebentar lagi diriku akan lulus.
Sekarang sudah memasuki tahun 2007, dan sudah masuk semester dua, jadi kurang enam bulan lagi aku pasti lulus dari sekolah. Bagiku, sekolah ini adalah sekolah yang luar biasa, karena telah banyak mengajarkanku menjadi seorang lelaki yang tangguh dan tahan baja. Cukup sering diriku kena hukum oleh guru-guru ketika tidak mengerjakan tugas, namun perlahan demi perlahan ku telah memiliki kesadaran penuh untuk menjadi seorang murid yang bertanggungjawab.
Semua ini juga karena ibu, ibu yang selalu mendidikku dengan baik, walau pada awalnya aku adalah anak yang paling bandel. Dan pada akhirnya aku cukup merasa senang berada di sekolah, karenaku tak hanya memiliki banyak teman, namun juga punya seorang sahabat yang tidak lain adalah perempuan itu.
Perempuan yang berseragam dengan rok panjang, serta berkerudung putih itu namanya Aisy, usianya lebih muda dariku, kurang lebih selisih enam bulanan. Sudah lama juga diriku bersahabat dengannya, tepatnya sejak kita berdua sama-sama duduk di bangku TK. Menurutku, dia adalah teman yang paling baik, di saat jam istirahat sekolah tiba, seringkali dia menawarkan sebuah jajanan kepadaku, yaitu kue serabi dengan kuah yang super enak, wajar saja karena ibunya juga jualan kue serabi di rumahnya.
Selama berteman, jarang sekali kita bertengkar walaupun itu hanyalah masalah sepele. Uniknya lagi, kita selalu bersama ke mana pun kita pergi, entah itu mengerjakan PR, bermain petak umpet, ataupun mencuci baju di sungai Brantas. Aku dan Aisy memanglah satu kesatuan yang sangat erat dalam menjalin hubungan pertemanan, dan sudah sepantasnya jika ia telah kuanggap sebagai sahabatku sendiri.
“Entar sore kita sholat di masjid bareng ya!” seru Aisy padaku saat kita hendak pulang bersama dari sekolah.
“Ya pastilah. Shalat berjamaah itukan pahalanya lebih besar daripada shalat sendirian di rumah,” jawabku.
Allahu Akbar Allahu Akbar. Suara azan mulai berkumandang pada jam enam sore, menandakan bahwa diriku harus menjalani shalat Maghrib berjamaah. Setiap hari aku selalu berangkat bersama Aisy menuju masjid terdekat, bukan hanya di waktu Maghrib melainkan juga di waktu Isyak, lebih-lebih di waktu Ashar jika kita kebetulan bertemu. Orang tuaku dan orang tua Aisy memang orang tua yang hebat, karena sejak kita masih TK sudah diajarkan menjalani shalat lima waktu setiap hari.
Hanya dalam waktu tidak sampai tiga puluh menit, diriku kembali pulang ke rumah. Saatku mengucap salam, dan baru saja kaki ini kulangkahkan, ternyata bapak dan ibu telah menungguku di ruang tamu, karena ada sesuatu yang sepertinya ingin bapak dan ibu bicarakan untukku.
“Aldi, duduk sini nak!” seru bapak.
“Baik pak.” Jawabku, lalu aku duduk di samping ayah dan ibu.
“Sebelumnya bapak dan ibu ingin meminta maaf sama kamu nak,”
“Minta maaf untuk apa pak?” tanyaku.
Lalu bapak dan ibu terdiam sejenak, mungkin mereka merasa berat yang ingin mengatakan sesuatu.
“Bapak dan ibu belum bisa untuk mendaftarkan kamu masuk di SMP 3.”
“Lohhh, kenapa pak, padahal kan itu sekolah favoritku, sejak kelas empat Aldi berharap agar bisa sekolah di situ.”
“Sekali lagi maafkan bapak nak.”
“Terus kalau Aldi tidak sekolah di situ, lantas Aldi mau disekolahkan di mana pak.”
“Bapak dan ibu sebenarnya ingin mengatakkan hal ini sejak lama. Karena yang jelas bapak ingin memasukkanmu di pesantren nak.”
“Betul Aldi, karena bapak dan ibuk ingin agar kamu kelak bisa menjadi anak yang saleh,” imbah ibu.
“Ya nggak bisa begitu dong pak, Aldi itu paling takut dan tidak biasa hidup di pesantren.”
“Suatu saat kamu pasti akan menyadari nak, bahwa inilah jalan yang terbaik.”
Aku dan bapak mulai sedikit berdebat. Namun sebagai anak, aku tidaklah pantas untuk membantah. Biarlah, akan kuturuti saja apa kemauan bapak meski sebenarnya kumerasa sangat kecewa sekali, karena tidak bisa satu sekolah SMP dengan Aisy nantinya.
-Pesantren Impian-
Selama diriku menjalani pendidikan di pesantren, banyak sekali kegiatan yang telah kuikuti, mulai dari sekolah, mengaji, atau mengikuti kegiatan keagamaan seperti acara shalawat’an. Tahun demi tahun telah kulewati, dan kumerasa sangat nyaman tinggal di pesantren ini, karenaku bisa memiliki banyak teman dan seorang sahabat sejati, dia bernama Rahma, sahabatku yang paling setia sejak diriku masih duduk di kelas satu SMP. Dan Rahma adalah sahabat yang selalu mengerti akan keadaanku serta bisa memahami segala kekuranganku, sehingga tanpa sadar kumulai memiliki perasaan dengan sangat dalam yang tak bisa kuungkapkan untuk saat ini.
-Sepuluh tahun kemudian-
Sepuluh tahun sudah diriku menjalani pendidikan di pondok pesantren. Dan tak terasa juga besok kuharus menjalani wisuda sarjana, karenaku baru saja menyelesaikan pendidikan tinggi di Universitas Islam Pontianak. Di sore ini, akan menjadi hari terakhir bagiku untuk menjalani pendidikan di madrasah diniyah, karena seminggu lagi aku akan menjalani ujian kelulusan. Entah tak tahu bagaimana nasib ataupun rencana yang akan kulakukan nantinya, tentu sudah pasti akan kujalani hari demi hari ini dengan baik.
“Baik murid-muridku semua. Ini adalah hari terakhir kalian mengikuti pembelajaran diniyah di sore hari ini, karena sebentar lagi kalian semua harus menjalani ujian akhir sebagai persiapan kelulusan.” Ucap seorang guru yang sedang mengajar di kelasku saat ini.
Pembelajaran pun telah usai. Kita semua dalam satu kelas mulai saling meminta maaf antar teman dan juga kepada guru-guru kita, karena sebentar lagi kita akan berpisah. Aku mulai keluar dari kelas, tanpa sengaja kumelihat Rahma yang juga baru keluar dari kelasnya, kucoba untuk menghampirinya, karena sebenarnya kujuga ingin tahu mengenai rencana apakah yang akan dilakukan nanti ketika kita sudah berpisah.
“Assalamualaikum Rahma.”
“Iya walaikum salam Aldi.”
“Hmmm. Oh ya Rahma, sebentar lagi usai lulusan kamu ada rencana apa?” tanyaku dengan iseng.
“Alhamdulillah, Insya Allah saya mau menikah Aldi, karena ayah sudah mencarikan Rahma jodoh.”
“Oh begitu ya.” Jawabku dengan perasaan yang penuh kaget.
“Kalau kamu sendiri gimana Aldi?” tanyanya.
“Emm, aku masih belum ada rencana Rahma. Tapi Insya Allah aku mau lanjut S2.”
“Oh begitu ya. Bagus dong, ya sudah aku kembali ke pondok dulu ya.” Imbuhnya.
“Iya Rahma, semangat terus ya.”
“Iya Aldi, kamu juga tetap semangat ya.”
Rahma kembali berjalan menuju asramanya meninggalkanku sendiri. Aku masih tetap berdiri di sini sambil memandangi dirinya di saat melangkah pergi, dan saat itulah kumulai terdiam bercampur rasa sedih yang cukup menyiksa. Mengapa hati ini terasa perih di saat telinga baru saja mendengar kabar bahwa dirinya akan melangsungkan pernikahan. Aku dan dirinya sudah berteman selama sepuluh tahun, di saat itu juga kita sempat menjalin persahabatan sehingga tanpa sadar telah tumbuh sebuah rasa suka, kagum dan cinta yang selama ini kupendam dengan sangat dalam.
Aku terus merenungi akan hal itu hingga tanpa sadar mata ini mulai terbendung air mata. Kucoba tuk menahan, dan pada akhirnya terjatuh juga membasahi bumi.
“Ya Allah, mengapa ini terjadi padaku. Sudah sekian lama kumenginginkan dirinya, berharap di waktu yang tepat ini kubisa mengungkapkan rasa sekaligus melamarnya,” batinku.
Namun apalah daya jika pada akhirnya dia akan bersanding dengan pria lain. Terpaksa kuharus mengikhlaskan semua itu, karena ini sudah menjadi kehendak Allah yang tak bisa ku tolak. Demi Allah, aku belum siap merelakan dirinya, karena ia sudah kuanggap sebagai matahari yang senantiasa menyinari hari-hariku di pesantren ini, demi Allah aku ikhlas.
Waktu di malam hari telah tiba, dan ini adalah waktu pesantren akan menyelenggarakan acara shalawatan. Sudah menjadi rutinitas jika kegiatan ini dilakukan setiap satu bulan sekali, dan kebetulan juga aku mendapati jadwal memberikan Mauidzah Hasanah atau ceramah terhadap seluruh santri, dan untuk kali ini ku akan memberikan ceramah dengan judul menggapai cinta sang Rasul dengan banyak bershalawat.
Syukurlah, topik ini sudah kusiapkan sejak minggu kemarin, agar kudapat menyampaikannya secara baik dan juga maksimal. Setelah acara demi acara mulai terlewati, kini tiba saatnya waktuku untuk memasuki acara terakhir, yaitu ceramah yang akan kusampaikan. Di saat aku baru saja naik di atas panggung, kucoba untuk melirik ke sebelah utara, tentu barisan para santri akhwat.
Dengan perlahan, kumulai menyampaikan dengan baik dari materi yang akan kusampaikan. Tanpa sengaja, kusempat melihat wajah Rahma di mana dia telah duduk di barisan paling depan. Dengan hati yang cukup gembira, dia mulai tersenyum ke arah wajahku, begitu juga sebaliknya. Bisa jadi ini adalah malam yang terakhir aku bisa menampilkan diri kepadanya, maka dari itu, aku akan persembahkan momen ini dengan sebaik-baiknya, mengingat sebentar lagi kita akan berpisah dan dirinya juga akan menikah.
***
Kumulai membuka mata ini dan terbangun dari tidurku. Suara adzan belum terdengar karena waktu masih menunjukkan jam tiga pagi. Segera kubasuh tubuh ini dengan air wudhu, serta bersiap diri menjalani Qiyamullail. Kumulai membasuh diri ini, namun entah kenapa tiba-tiba kuteringat dengan ayah dan ibu di rumah, sepertinya aku merindukan mereka. Dalam waktu tiga tahun, hanya dalam sebulan ku bisa menikmati kebersamaan dengan mereka, mungkinkah aku harus segera kembali sedangkan diriku masih ingin menetap di pesantren untuk dua tahun ke depan. Sudahlah, tak perlu diriku merisaukan hal itu, lebih baik kujalani saja dari apa yang ingin kulakukan, Insya Allah pasti akan ada solusi serta jalan terbaik dari Allah SWT.
-Wisuda Sarjana-
Setelah sepuluh tahun menjalani pendidikan di pesantren, akhirnya kiniku telah berhasil meluluskan diri dari pendidikan tinggi dengan gelar terakhir S1. Ayah dan ibu begitu bangga melihatku, yang telah berhasil lulus dari perguruan tinggi. Entah nanti kedepannya harus bagaimana, yang jelas aku masih belum memiliki satu rencana, tetapi yang jelas, aku akan tetap berusaha lagi menjadi lebih baik sebagai anak yang bisa berbakti pada kedua orang tua.
-Semangat Pagiku- Assalamualaikum Warahmatullah. Baru saja ku menyelesaikan shalat secara berjamaah bersama dia dan juga ibu, dan sekarang adalah waktu yang terbaik untukku agar segera mandi untuk persiapan masuk kerja. Saat diriku mulai beranjak menuju kamar mandi, saat itulah kumelihat dirinya berdandan dengan penuh pesona, aku dibuat kagum olehnya. Sudahlah, lebih baik kulanjutkan saja aktifitasku mandi sejenak. “Ibuk, ada yang bisa dibantu?” ucap Aisyah pada ibuku. “Emmm ndak usah dulu Aisyah, ibuk udah selesai kok.” Jawab ibu. “Ohh ya sudah, Aisyah beres-beres dulu aja ya buk.” Ucap kembali Aisyah. “Iya Aisyah, silakan.” Jawab ibu ke
-sore yang indah- Aku baru saja mandi di waktu ini. Waktu telah menunjukkan tepat di angka tiga sore, sebagaimana rencana yang sudah kita buat kemarin, kita akan meluangkan waktu di taman bunga. Saat kita berdua sudah siap untuk berangkat, aku dan istriku segera berpamitan pada ibu. “Ibuk, kami berangkat dulu ya.” Ucap Aisyah pada ibu. “Iya nak, kalian berdua hati-hati di jalan ya, dan Jangan pulang malem-malem.” Jawab ibu. “Baik buk, insya Allah nanti jam delapan kita sudah berada di sini.” Tambahku. “Iya Di, jaga istri kamu ya!” seru ibu. “Iya buk, Assalamualaikum.” Uca
-hadiah terindah- Di sore hari ini, kumulai terduduk sendiri. Tak ada seorang pun yang bisa menemani kecuali hanyalah hembusan angin serta suara kicauan burung-burung yang sedang bertengger. Saat kuterduduk, di saat ini pula kumulai merenungi, akan sebuah kisah serta kebersamaan yang pernah kulakukan bersama dia di hari kemarin-kemarin. Kemarin kita masih bisa bersama, kemarin kita juga masih bisa tertawa bahagia. Namun kini kebahagiaan itu hanya ada di satu pihak, yang tidak lain hanya ada pada diri Aisy. Kuyakin hari ini dia pasti sangat berbahagia, karena dia sudah bisa menikmati kesehatan yang di mana selama ini dia harus bertahan dari kelumpuhan, sementara kuharus mundur dan mulai berniat melangkah pergi dari kenyataan itu. Tentu diriku tidak akan langsung pergi begitu saja, karena kuingin meninggalkan satu kenangan yang bisa kuberikan unt
-ku mulai menyadari kesalahanku- Aisy mulai membuatku merasa bimbang dan penuh dengan rasa penasaran. Sebenarnya Aku belum siap menerima kalimat yang akan dia lontarkan saat ini, namun mau tidak kuharus segera menerima alasan yang akan dia berikan. Rasa takut dan bersalah memang sudah pasti kurasakan, namun entahlah, jika pun nanti pada akhirnya Aisy mulai memintaku untuk pergi, maka Aku harus siap sepenuh hati. “Aldi, kamu masih ingat kebersamaan kita di saat kita baru lulus dari sekolah SD.” Ucapnya. “Tentu Aisy, aku benar-benar ingat dengan semua yang pernah kita lakukan bersama pada saat itu.” Jawabku. “Dan kamu juga masih ingat kan, usai kelulusan itu kita sempat berpisa
-kedatanganku- Pagi hari pun telah tiba, usai diriku mandi dan shalat Dhuha, aku segera berpamitan dengan ibu untuk berangkat kerja. Ada satu rencana yang ingin kulakukan tanpa harus bilang ke ibu, di mana di pagi ini aku berencana untuk menemui Aisy sebelum berangkat kerja, karena kumenduga mungkin ibu juga tidak akan setuju jika kuharus menemui Aisy. Sebenarnya, aku benar-benar tidak ada kemauan untuk menemui dirinya, hanya saja untuk kali ini kuharus nekat. Kedatanganku hanyalah ingin meminta maaf serta mengembalikan jilbab putih ini yang sudah berumur belasan tahun. Ya, lebih baik kukembalikan saja agar diriku tidak tergoda untuk mengenangnya. “Aldi berangkat dulu ya buk." ucapku pada ibu saat berpamitan untuk berangkat kerja. “Iya Di, hati-hati di jalan, semangat ya.
-aku mulai melupakannya- Saat diriku teringat bahwa ini adalah jilbab putih milik Aisy, saat itulah kumencoba untuk membersihkan jilbab ini dari bekas darahku yang telah menempel. Entah kenapa di saatku sedang mencuci jilbab ini, bayangan sosok Aisy di mataku semakin kuat, tentunya bukan bayangan Aisy yang sekarang, melainkan bayangan Aisy di saat dia masih kecil, tepatnya di saat kita masih sama-sama duduk di bangku sekolah. Setelah aku mencucinya, kucoba untuk memberikan sebuah pewangi agar harum sebelum kujemur di bawah terik panas matahari. Apa yang ingin kulakukan saat ini sebagai wujud untuk kembali mengenang masa-masa indah antara aku dengan dirinya, sejak dulu hingga saat ini. Hari telah berganti, dan kini tiba saatnya diriku untuk berpamitan pada ibu untuk berangkat kerja. Aku akan menjalani aktifitas seperti biasanya tanpa pernah meng
-kepulangannya- Kebersamaan itu akan terasa lebih indah bersama seseorang yang kita cintai, baik antar keluarga maupun sahabat. Betapa bahagianya diri ku dahulu di saat bapak masih muda, di mana kita bisa bermain, bercanda tawa, serta beribadah bersama dalam satu rumah. Namun setelah kepergian bapak, hidupku seakan-akan tidak bisa bersemangat lagi meski telah kupaksakan. Namun beruntung, masih ada ibu di sampingku, yang bisa menemani diriku hingga kubisa menjalani hari-hari indah ini meski belum memiliki pasangan hidup. Hal yang sama juga dialami oleh Aisy, ayahnya baru saja meninggal dunia, meninggalkan semua kenangan indah yang pernah mereka miliki berdua. Aku sempat prihatin usai sepeninggalnya, akankah Aisy ada rasa penyesalan usai ayahnya pergi, atau malah membuat diri Aisy semakin bebas dalam bergaul, karena tidak ada keluarga yang bisa m
-Terbaring lemah- Dia masih tertidur dan terbaring lemah di atas ranjang itu, sudah satu hari ini kutelah menunggu agar dirinya bisa segera sadar. Segala doa telah kupanjatkan di saatku shalat maupun di setiap waktu, agar datang segera keajaiban atas kesadaran yang ada pada diri Aisy, baik sadar dalam hal fisik, maupun sadar atas segala sikap yang selama ini dia lakukan padaku, maupun pada sang ibu. Dengan perlahan, waktu demi waktu mulai berjalan, sudah saatnya bagiku untuk kembali pulang dan menuju rumah sakit yang berbeda di mana saat ini ibunya Aisy dirawat. Dalam perjalanan ini, Aku benar-benar bingung. Aisy sudah berhasil kutemukan, namun diriku belum siap untuk mengatakan hal ini pada ibunya, karena aku tak ingin melihat beliau jadi tambah stress dan juga shock setelah tahu bahwa Aisy baru saja mengalami kecelakaan, dan parahnya lagi,
-Terbaring Lemah- Pagi hari ini cuacanya begitu sangat cerah. Angin-angin mulai berhembus dari arah timur, memberikan aku kesejukkan di saat diriku menikmati suasana pagi dengan secangkir kopi manis buatan ibu. Sekarang adalah hari minggu, hari di mana orang-orang menikmati waktunya untuk berlibur, entah itu ke pantai, atau ke puncak gunung. Aku tidaklah meluangkan waktu liburku untuk bermain, melainkanku lebih sering membantu ibu dalam berjualan rujak di rumah, lagipula kujuga belum berkeluarga, jadi masih banyak waktu yang bisa aku manfaatkan untuk menjalani aktifitas di rumah. Jam masih menunjukkan di angka enam pagi, dan matahari mulai hadir menampakkan sinarnya. Aku mulai membantu ibu mengangkat beberapa bahan makanan untuk membuat rujak, karena biasanya di pagi ini banyak orang berdatangan untuk membeli sarapan pagi. Syukurlah, di waktu ini jug
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments