Share

7. Sadis

Penulis: Viand Wahyudi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

-sangat khawatir-

      Hari ini adalah hari liburku untuk bekerja, jadi kalau sudah datang waktu libur, aku lebih banyak membantu ibu berjualan. Aku mulai membantu ibu mempersiapkan dagangan yang akan dijual, mulai dari menata bahan-bahan, menata meja serta membersihkan warung. Alhamdulillah, masih di jam delapan pagi dagangan ibu sudah lumayan ramai. Aku benar-benar semangat untuk hari ini. Tapi, di saatku sedang asyik-asyiknya bekerja, aku jadi teringat akan sosok Aisy dulu di saat dia suka mencicipi rujak buatan ibu, entah sampai saat ini apakah kira-kira Aisy masih suka atau tidak.

         Saat tiba jam sepuluh pagi, saat itulah aku mulai ingin pergi menuju rumahnya, yang tidak lain hanyalah untuk memberikan bungkusan rujak yang bisa mereka cicipi. Apa yang akan kulakukan saat ini sebagai upaya untuk membangun tali silaturahmi dengan keluarganya. Kusegera berangkat dengan berpamitan pada ibu. Saat dalam perjalanan, kumulai teringat kembali akan sosok Aisy di saat kita masih satu sekolah. Saat itu aku membawa bekal rujak dari rumah, dan Aisy selalu membawa bekal nasi goreng kesukaannya, dan satu hal yang menurutku paling menarik adalah, dulu kita berdua sering untuk tuker-tukeran bekal. Tak heran, ternyata Aisy sangat suka akan rujak buatan ibu, begitu juga dengan diriku yang juga suka dengan nasi goreng miliknya. Dari dulu rujak buatan ibu rasanya tidak pernah berubah, kini sudah kubawakan tiga bungkus rujak untuk Aisy dan keluarganya. Semoga saja ketika Aisy sudah mencicipi rujak ini, dia bisa merasa senang, karena kuyakin jika Aisy masih suka dengan rujak buatan ibu.

           “Assalamualikum.” Ucapku pada ibunya Aisy saat sudah tiba di depan rumahnya.

           “Walaikum salam, ehh nak Aldi mari masuk dulu!” seru beliau.

           “Hemm, tidak usah buk terima kasih, kedatangan saya cuma sebentar kok. Ini saya bawakan tiga bungkus rujak kesukaan Aisy. Silahkan bisa dicicipi.” Pintaku.

           “Waduh, nak Aldi kogh repot-repot sekali, maaf loh yaa.” Tukasnya.

           “Nggak kogh buk, sekali-kali saja saya nganter makanan kan juga nggak ada salahnya.” Jawabnya.

           “Iya-iya terima kasih banyak.” Jawab beliau kembali.

           “Ohhh iya buk Aisy ada?” tanyaku.

           “Hem, lah iya itu Aldi, Aisy belum pulang juga dari semalam. Ibuk sebenarnya sangat khawatir kalau dia sering-sering tidak pulang seperti ini.” keluh beliau.

           “Ohh begitu buk, pantesan mobilnya nggak kelihatan. Ya sudah buk semoga Aisy baik-baik saja yaa.” Tambahku.

           “Iya Aldi, insya Allah sebentar lagi juga akan pulang kogh.” Jawab beliau.

           “Kalau begitu Aldi pamit pulang dulu ya buk.” Ucapku.

           “Ya nak Aldi, terima kasih banyak loh yaa.” Imbuhnya.

           “Baik buk, assalamualikum.” Ucapku.

           “Walaikum salam.” Jawab beliau kembali.

          Dan aku kembali pulang dengan perasaan yang tak menentu. Rasa sesal dan sedikit kecewa sudah pasti ada. Aku datang dengan perasaan gembira, berharap bisa memandang wajah Aisy sejenak ternyata hal itu tak juga terwujud. Semua itu karena dirinya masih belum pulang dari semalam. Ya sudahlah, aku tak perlu merisaukan hal itu, lagipula diriku bukanlah seorang kakak dari Aisy. Dalam waktu ini, ku tak langsung pulang menuju rumah, tapi kusempatkan waktu sebentar bermain sendiri di taman dekat telaga. Aku terduduk dan mulai terdiam sepi. Ku kembali memikirkan akan sosok Aisy, kuteringat betul sosok Aisy antara dulu dan sekarang. Dulu dia adalah sosok perempuan yang begitu baik, lugu dan penuh perhatian. Aku sangat terpukau akan kebaikannya hingga saat ini bayangan itu masih terekam kuat di otakku.

         Namun kini sepertinya Aisy mulai berubah, tak seperti dulu lagi. Ada apa gerangan, apa yang sudah membuat hidup Aisy jadi seperti ini. Sungguh aku benar-benar merasa sangat prihatin atas hal itu. Namun aku sebagai sahabat sejatinya tak akan berhenti sampai di sini saja, kuakan terus berusaha untuk bisa berperilaku baik terhadapnya, meski terkadang dia selalu cuek dan mulai acuh tak acuh terhadap diriku. Apa yang aku ketahui pada dirinya sekarang tidaklah seberapa, karena aku belum sepenuhnya tahu apa penyebab dirinya bisa berubah seperti ini. Dan sampai kapanpun ku tetap akan mencari cara untuk dapat mengetahui kepribadian Aisy dengan lebih dalam, insya Allah dengan adanya usaha serta doa pasti akan ada hasil yang sangat baik untukku.

-mulai gugup-

         Waktu sore pun telah tiba, aku baru saja menyelesaikan shalat Ashar usai menjadi imam di masjid. Waktu telah menunjukkan di angka setengah empat pagi, dan Alhamdulillah dagangan ibu mulai habis, aku segera membantunya bersih-bersih warung. Setelah tiga puluh menit diriku membantu ibu, kini saatnya diriku mandi untuk membersihkan diri. Sepertinya kumulai ada rencana lagi, bahwasanya aku akan kembali datang dengan sembunyi-sembunyi untuk menengok Aisy, siapa tahu dia sudah pulang.

          Kumulai berangkat untuk melihat rumahnya, saat itu kutelah tiba dan hanya memandangi rumahnya dari balik pohon. Namun saat aku menengok ke arah garasi rumahnya, tak kulihat mobilnya. Dan saat itulah kumulai prihatin, bisa jadi Aisy masih belum pulang. Namun di saatku memandangi rumahnya, tiba-tiba ibunya Aisy pun memergokiku dari arah belakang tanpa kusadari.

           “Aldi.” Ucapnya beliau yang membuatku kaget.

           “Ehh ibuk, Assalamualikum buk.” Jawabku dengan sedikit gugup.

           “Kamu ngapain di sini kogh nggak masuk aja?” tanyanya.

           “Hem, iya buk. Saya cuma mau menengok apakah Aisy sudah pulang.” Jawabku.

           “Aisy masih belum pulang Aldi, ibuk benar-benar bingung kenapa dia belum juga pulang.” Jawab beliau kembali.

           “Memang biasanya Aisy selalu pergi ke mana buk?” tanyaku.

           “Ibuk juga ndak tahu, tapi setiap kali ibuk tanya, dia selalu main ke kafe Cokelat Klasik.” Jawab beliau kembali.

           “Ohh begitu buk, ya sudah kita tunggu sampai malam. Jika nanti Aisy belum pulang juga, Aldi yang akan mencarinya.” Imbuhku.

           “Ya sudah kalau begitu, makasih loh nak Aldi jadi ngerepotin.” Tambahnya.

           “Ahh nggak apa-apa buk, karena Aisy kan juga sahabat saya dari kecil.” Jawabku kembali.

          Aku kembali pulang untuk menjalani aktifitas sebagaimana biasanya, mulai dari shalat Maghrib, mengaji dan juga mengisi ceramah. Tak terasa waktu sudah menunjukkan di angka sembilan malam, syukurlah kewajibanku sudah usai kulaksanakan, dan sekarang tiba saatnya kembali berangkat menuju rumah Aisy. Kuberharap, Aisy sudah pulang dan juga sudah tertidur. Saat diriku tiba, aku kembali mendapati ibunya di rumah, dan kumulai menanyakan akan diri Aisy.

           “Assalamualaikum buk, bagaimana apakah Aisy sudah pulang buk?” tanyaku.

           “Tadi barusan sudah Aldi, tapi dia berangkat lagi. Aduh kok ibu jadi tambah khawatir begini yaa.” Keluhnya.

           “Ya sudah buk, saya akan coba mengejar ke mana Aisy pergi.” tambahku.

-tak tinggal diam-

          Dengan sigap, aku langsung menancap gas motor dengan kencang. Kuyakin, Aisy mungkin sedang dalam perjalanan menuju arah kota. Setelah kumelaju dengan kecepatan yang lumayan tinggi, pada akhirnya kusempat melihat mobil Aisy dari kejauhan. Kucoba untuk terus membuntuti ke mana arah perginya. Setelah melaju sekitar empat puluh menit, kulihat mobilnya mulai berbelok ke arah hotel Kartika Sari, kuterus mengikutinya dengan sembunyi-sembunyi. Aisy mulai memarkir mobilnya di basement, dan saat itu juga dia mulai turun menuju suatu tempat. Kukembali mengikutinya sambil berjalan pelan, tak kusangka ternyata dia sudah disambut oleh banyak teman-temannya, dan memasuki sebuah tempat hiburan malam.

           “Ya ampun, ternyata selama ini di sini Aisy mengisi waktu malamnya, aku benar-benar tidak habis pikir.” Batinku.

          Waktu sudah menunjukkan di angka sepuluh lebih dua menit. Kumulai terduduk dan hanya terdiam sendiri, menyikapi Aisy yang sedang asyik menikmati waktunya. Ku mulai bingung, apa yang harus kulakukan jika kondisinya menjadi seperti ini. Aku tak bisa pulang jika diriku tak membawa hasil walau itu sedikit, entah apakah kujuga harus masuk ke tempat itu, namun yang pasti kuakan merasa kebingungan di hadapan Aisy. Tetapi ini tidak bisa dibiarkan, kujadi ingat akan ibunya, yang selalu khawatir dan mulai pusing memikirkan sikap Aisy yang mulai menjadi-jadi.

          Baiklah, aku akan bertindak dengan segera, detik ini juga kan kuberanikan diri untuk masuk ke tempat hiburan malam itu, dan aku akan mengambil tindakan tegas jika Aisy keterlaluan. Di saatku mulai masuk, saat itulah hatiku merasa geram terhadap perilaku orang-orang di ruangan ini. Saat kusudah tiba di tempat orang-orang dugem, ku mulai mencari di mana keberadaannya. Kucoba berjalan ke arah depan, ada pemandangan yang membuatku sangat terkejut, di mana dirinya mulai duduk dan canda tawa bersama teman-temannya sambil merokok, dan parahnya lagi dia sempat meminum minuman beralkohol.

           “Ya Allah Aisy astaghfirullahal adzim, apa-apaan kamu di sini hahhh.” Tegasku.

          Dengan sedikit amarah, kulangsung menarik rokoknya lalu kubuang, dan setelah itu kutarik tangannya dan kuseret keluar.

           “Sini kamu.” Tegasku kembali.

           “Aldi lepasin, kamu tuh ngapain sihhh.” Jawabnya.

           “Udah diemmmm.” Bentakku.

           “Kamu ini yaa, ibumu susah banting tulang di rumah, tiap pagi tiap malam selalu memikirkan kamu. Kamu malah enak-enaknya main ke tempat seperti ini.” tegasku.

           “Lah terus kenapa? Emang masalah buat loe. Sok marah-marah lagi.” Jawabnya.

           “Ya jelas lah aku marah, karena aku peduli sama ibumu dan juga sama kamu Aisy.” Bantahku.

           “Apa? Peduli. Kepedean amat ya loe bilang. Ehh Aldi, inget yaa. Kita itu emang berteman tapi itu dulu, dan sekarang loe itu udah nggak pantas jadi temen gue lagi, jadi nggak usah sok perhatiin sama gue deh.” Balasnya.

           “Enggak, pokoknya aku nggak akan biarin kamu begitu saja. Istigfar Aisy, istighfar!!!” seruku.

           “Ahh udah ahh stoppp, nggak usah sok ceramah di sini. Sekarang loe pergi dari sini atau gue panggil satpam dan gue teriakin maling, pergiiiii!!!!” bentaknya dengan keras.

          Lalu dengan perlahan kumulai pergi meninggalkannya.

Bab terkait

  • Panggil Aku Aisyah   8. Berniat untuk Ibadah

    -tekadku- Kini pada akhirnya kuharus pulang sendiri usai memarahi Aisy, yang baru saja menikmati waktu malamnya beserta teman-temannya yang tidak benar. Dalam perjalanan pulang kali ini, aku mulai mengeluh dan juga sedikit menangis meratapi apa yang sudah Aisy lakukan. Dalam hati, aku benar-benar bingung, mengapa Aisy bisa seperti ini perilakunya, tak seperti dulu sebagaimana Aisy yang pernah aku kenal. Kubenar-benar sangat prihatin sekali, aku merasa bahwa Aisy sudah terjebak dalam sebuah pergaulan yang sangat membahayakan dirinya. Entah sudah berapa lamakah Aisy seperti ini. “Ya Allah semoga tidak sampai terjadi apa-apa dengan Aisy ke depannya.” Batinku. Saat diriku sudah tiba di rumah, kumulai terduduk dan hanya diam. Kumulai berpikir dengan cukup cermat, mengena

  • Panggil Aku Aisyah   9. Selalu Saja Salah

    -pertikaian- Aku segera mengambil motor yang telah terparkir di teras rumah Aisy, di mana pada sore hari ini, aku dan ibu akan pulang dengan tangan hampa serta rasa yang penuh dengan kekecewaan. Saat dalam perjalanan pulang, ibu hanya diam saja dengan wajah yang sedikit cemberut terhadapku, aku berfirasat bisa jadi ibu merasa kecewa karena tidak habis pikir setelah melihat kelakuan Aisy yang terbilang kasar pada orang tuanya. Dalam hati aku mulai menyadari sepenuhnya bahwa memang sekarang bukanlah saat yang tepat bagiku untuk mengenalkan Aisy pada ibu. Namun entah bagaimana lagi sedangkan aku ingin ibu bisa cepat merestui diriku yang ingin menjalin hubungan serius dengan Aisy. Dan kini aku dan ibu telah sampai di depan rumah, rasa malu dan tenggang rasa sudah pasti ada dalam hatiku. Betapa tidak, bahwa kelakuan Aisy barusan benar-benar telah me

  • Panggil Aku Aisyah   10. Doaku

    -kegelisahanku- “Aldi.” Sapa ibu saat diriku terduduk sendiri di teras rumah. “Iya buk,” jawabku. “Kamu kenapa masih di sini, udah jam segini kok belum berangkat?” tanya ibu. “Iya buk, mungkin lima menit lagi.” Jawabku. “Emm begitu, oh ya Di, ntar usai pulang kerja kamu mampir ke mpok Mina ya, seperti biasa ambil pesanan ibuk.” Pinta ibu. “Ohh iya buk. Ya sudah kalau begitu Aldi berangkat kerja sekarang aja ya.” Tukasku. “

  • Panggil Aku Aisyah   11. Terpenjara Dalam Sepi

    -kritis- Seperti biasanya, setiap pagi dan setiap hari aku selalu membantu ibu mempersiapkan berbagai peralatan serta perlengkapan jualan rujak. Semua ini sudah menjadi kewajibanku dalam meringankan beban ibu sejak ayah tiada. Dan seperti biasanya, di hari libur seperti ini aku selalu menyempatkan waktu memberikan dua bungkus rujak ke orang tuanya Aisy, karena kusadar jika mereka sangat suka sekali rujak buatan ibu. Di saat hari mulai menjelang siang, segera kusempatkan waktu untuk berangkat ke rumahnya, dan kuyakin di siang hari ini Aisy pasti tidak ada di rumah, karena sudah menjadi rutinitas jika Aisy selalu saja suka bermain-main. “Assalamualikum.” sapaku saat tiba di rumah Aisy. “Walaikum salam nak Aldi, mari silakan masuk.” jawab ibunya Aisy.

  • Panggil Aku Aisyah   12. Selamat Tinggal Bapak

    -kepergian bapak- Waktu telah menunjukkan di angka sepuluh malam, dan di malam inilah kumulai bersandar pada sebuah dipan dan mulai terbaring di atas ranjang. Kumulai terdiam serta merenungi segala apa yang telah terjadi, baik di saat dulu hingga sampai saat ini. Kucoba untuk bertanya pada hati yang terdalam atas sebuah perjalanan cerita kehidupanku, ternyata dari semua yang pernah kualami, tak sebanding dengan apa yang telah Aisy rasakan. Dan sampai saat ini, aku akan tetap mencari tahu mengenai kesalahan apa yang pernah kulakukan padanya, hingga pada akhirnya dirinya sudah tidak sudi lagi untuk berteman denganku. Aku bisa saja pergi, dan mulai menghilang dari kehidupannya, namun mengapa diriku tak sanggup walau harus melangkah setapak. Mungkin semua itu karena diriku belum bisa melupakan segala kenangan yang dulu pernah kita lakukan bersama. Rasa s

  • Panggil Aku Aisyah   13. Karena Kucinta

    -teraniaya- Aku baru saja melangkahkan kaki, dan mulai keluar dari masjid usai mengisi ceramah di masjid desa sebelah. Ceramah yang baru saja kusampaikan, bertemakan dengan kesabaran seorang suami, yang diambil dari dari kitab Jawahirul Lu’luiyyah. Ya, meskipun diriku belum berumah tangga, setidaknya kusudah mulai memahami dan mulai mengerti, agar nanti jika diriku sudah menikah, kusudah memiliki kemampuan serta ilmu yang cukup untuk membangun rumah tangga. Kumulai menaiki motor usai berpamitan dengan pihak masjid serta beberapa jamaah yang masih belum pulang. Saat dalam perjalanan pulang, ada rasa yang sedikit tidak enak di saatku melaju. Entahlah, mungkin saja diriku sedang merasa tidak enak badan, sehingga apapun suasana di sekelilingku ini tak begitu nyaman untuk dirasakan. Sepuluh menit kemudian, kumulai memasuki gang rumahku yang se

  • Panggil Aku Aisyah   14. Kepergian Aisy

    -pelaku sebenarnya- Waktu pun akan terus berjalan, sudah satu minggu kepergian bapak dari kehidupan ini. Mungkin saja usai kepergian beliau, hal ini bisa membuat diri Aisy sadar dan mulai berubah akan perilakunya. Setiap untaian doa sudah pasti kupanjatkan untuknya, karena semua itu juga demi kebaikannya. Insya Allah, selama diriku terus berusaha, Allah pasti akan membukakan jalan untuknya, karena kujuga percaya bahwa kerasnya batu sudah pasti bisa hancur oleh tetesan air hujan. Namun sayangnya, ada satu hal yang membuat diriku tak habis pikir. Kuberpikir usai kepergian bapaknya mungkin bisa membuat diri Aisy bisa berubah, ternyata semua yang kupikirkan telah terjadi di luar dugaan. Aisy kembali terlibat dalam pergaulan yang salah sebagaimana yang dia lakukan bersama teman-temannya. Kurasa kesedihan yang kerap dia alami bisa membuat dirin

  • Panggil Aku Aisyah   15. Ketabahan Sang Bunda

    -kesendirian- Semenjak Aisy pergi meninggalkan rumah, aku mulai berperan membantu segala aktivitasnya di rumah, karena sebenarnya aku tak ingin beliau merasa kesepian dan tersendiri, maka sebisa mungkin kuharus bisa melukis senyuman baru pada wajah beliau. Rasa letih dan juga lelah sudah pasti kurasa, karena aktivitasku juga banyak sekali. Entahlah, kujalani saja semua ini dengan ikhlas dan sabar, karena aku menyadari jika ini sudah menjadi takdir yang harus diterima. “Nak Aldi." panggil beliau. “Iya buk." jawabku. “Sebaiknya kamu nggak usah setiap hari ke sini, tanpa harus kamu bantu-bantu ibuk sudah bisa melakukannya sendiri kok nak." ucapnya. 

Bab terbaru

  • Panggil Aku Aisyah   25. Wanita Termulia Sepanjang Zaman

    -Semangat Pagiku- Assalamualaikum Warahmatullah. Baru saja ku menyelesaikan shalat secara berjamaah bersama dia dan juga ibu, dan sekarang adalah waktu yang terbaik untukku agar segera mandi untuk persiapan masuk kerja. Saat diriku mulai beranjak menuju kamar mandi, saat itulah kumelihat dirinya berdandan dengan penuh pesona, aku dibuat kagum olehnya. Sudahlah, lebih baik kulanjutkan saja aktifitasku mandi sejenak. “Ibuk, ada yang bisa dibantu?” ucap Aisyah pada ibuku. “Emmm ndak usah dulu Aisyah, ibuk udah selesai kok.” Jawab ibu. “Ohh ya sudah, Aisyah beres-beres dulu aja ya buk.” Ucap kembali Aisyah. “Iya Aisyah, silakan.” Jawab ibu ke

  • Panggil Aku Aisyah   24. Meniti Ilmu di Pesantren

    -sore yang indah- Aku baru saja mandi di waktu ini. Waktu telah menunjukkan tepat di angka tiga sore, sebagaimana rencana yang sudah kita buat kemarin, kita akan meluangkan waktu di taman bunga. Saat kita berdua sudah siap untuk berangkat, aku dan istriku segera berpamitan pada ibu. “Ibuk, kami berangkat dulu ya.” Ucap Aisyah pada ibu. “Iya nak, kalian berdua hati-hati di jalan ya, dan Jangan pulang malem-malem.” Jawab ibu. “Baik buk, insya Allah nanti jam delapan kita sudah berada di sini.” Tambahku. “Iya Di, jaga istri kamu ya!” seru ibu. “Iya buk, Assalamualaikum.” Uca

  • Panggil Aku Aisyah   23. Hijrah

    -hadiah terindah- Di sore hari ini, kumulai terduduk sendiri. Tak ada seorang pun yang bisa menemani kecuali hanyalah hembusan angin serta suara kicauan burung-burung yang sedang bertengger. Saat kuterduduk, di saat ini pula kumulai merenungi, akan sebuah kisah serta kebersamaan yang pernah kulakukan bersama dia di hari kemarin-kemarin. Kemarin kita masih bisa bersama, kemarin kita juga masih bisa tertawa bahagia. Namun kini kebahagiaan itu hanya ada di satu pihak, yang tidak lain hanya ada pada diri Aisy. Kuyakin hari ini dia pasti sangat berbahagia, karena dia sudah bisa menikmati kesehatan yang di mana selama ini dia harus bertahan dari kelumpuhan, sementara kuharus mundur dan mulai berniat melangkah pergi dari kenyataan itu. Tentu diriku tidak akan langsung pergi begitu saja, karena kuingin meninggalkan satu kenangan yang bisa kuberikan unt

  • Panggil Aku Aisyah   22. Keajaiban

    -ku mulai menyadari kesalahanku- Aisy mulai membuatku merasa bimbang dan penuh dengan rasa penasaran. Sebenarnya Aku belum siap menerima kalimat yang akan dia lontarkan saat ini, namun mau tidak kuharus segera menerima alasan yang akan dia berikan. Rasa takut dan bersalah memang sudah pasti kurasakan, namun entahlah, jika pun nanti pada akhirnya Aisy mulai memintaku untuk pergi, maka Aku harus siap sepenuh hati. “Aldi, kamu masih ingat kebersamaan kita di saat kita baru lulus dari sekolah SD.” Ucapnya. “Tentu Aisy, aku benar-benar ingat dengan semua yang pernah kita lakukan bersama pada saat itu.” Jawabku. “Dan kamu juga masih ingat kan, usai kelulusan itu kita sempat berpisa

  • Panggil Aku Aisyah   21. Wujud Balas Budiku

    -kedatanganku- Pagi hari pun telah tiba, usai diriku mandi dan shalat Dhuha, aku segera berpamitan dengan ibu untuk berangkat kerja. Ada satu rencana yang ingin kulakukan tanpa harus bilang ke ibu, di mana di pagi ini aku berencana untuk menemui Aisy sebelum berangkat kerja, karena kumenduga mungkin ibu juga tidak akan setuju jika kuharus menemui Aisy. Sebenarnya, aku benar-benar tidak ada kemauan untuk menemui dirinya, hanya saja untuk kali ini kuharus nekat. Kedatanganku hanyalah ingin meminta maaf serta mengembalikan jilbab putih ini yang sudah berumur belasan tahun. Ya, lebih baik kukembalikan saja agar diriku tidak tergoda untuk mengenangnya. “Aldi berangkat dulu ya buk." ucapku pada ibu saat berpamitan untuk berangkat kerja. “Iya Di, hati-hati di jalan, semangat ya.

  • Panggil Aku Aisyah   20. Mimpiku

    -aku mulai melupakannya- Saat diriku teringat bahwa ini adalah jilbab putih milik Aisy, saat itulah kumencoba untuk membersihkan jilbab ini dari bekas darahku yang telah menempel. Entah kenapa di saatku sedang mencuci jilbab ini, bayangan sosok Aisy di mataku semakin kuat, tentunya bukan bayangan Aisy yang sekarang, melainkan bayangan Aisy di saat dia masih kecil, tepatnya di saat kita masih sama-sama duduk di bangku sekolah. Setelah aku mencucinya, kucoba untuk memberikan sebuah pewangi agar harum sebelum kujemur di bawah terik panas matahari. Apa yang ingin kulakukan saat ini sebagai wujud untuk kembali mengenang masa-masa indah antara aku dengan dirinya, sejak dulu hingga saat ini. Hari telah berganti, dan kini tiba saatnya diriku untuk berpamitan pada ibu untuk berangkat kerja. Aku akan menjalani aktifitas seperti biasanya tanpa pernah meng

  • Panggil Aku Aisyah   19. Jilbab Putih

    -kepulangannya- Kebersamaan itu akan terasa lebih indah bersama seseorang yang kita cintai, baik antar keluarga maupun sahabat. Betapa bahagianya diri ku dahulu di saat bapak masih muda, di mana kita bisa bermain, bercanda tawa, serta beribadah bersama dalam satu rumah. Namun setelah kepergian bapak, hidupku seakan-akan tidak bisa bersemangat lagi meski telah kupaksakan. Namun beruntung, masih ada ibu di sampingku, yang bisa menemani diriku hingga kubisa menjalani hari-hari indah ini meski belum memiliki pasangan hidup. Hal yang sama juga dialami oleh Aisy, ayahnya baru saja meninggal dunia, meninggalkan semua kenangan indah yang pernah mereka miliki berdua. Aku sempat prihatin usai sepeninggalnya, akankah Aisy ada rasa penyesalan usai ayahnya pergi, atau malah membuat diri Aisy semakin bebas dalam bergaul, karena tidak ada keluarga yang bisa m

  • Panggil Aku Aisyah   18. Kelumpuhan

    -Terbaring lemah- Dia masih tertidur dan terbaring lemah di atas ranjang itu, sudah satu hari ini kutelah menunggu agar dirinya bisa segera sadar. Segala doa telah kupanjatkan di saatku shalat maupun di setiap waktu, agar datang segera keajaiban atas kesadaran yang ada pada diri Aisy, baik sadar dalam hal fisik, maupun sadar atas segala sikap yang selama ini dia lakukan padaku, maupun pada sang ibu. Dengan perlahan, waktu demi waktu mulai berjalan, sudah saatnya bagiku untuk kembali pulang dan menuju rumah sakit yang berbeda di mana saat ini ibunya Aisy dirawat. Dalam perjalanan ini, Aku benar-benar bingung. Aisy sudah berhasil kutemukan, namun diriku belum siap untuk mengatakan hal ini pada ibunya, karena aku tak ingin melihat beliau jadi tambah stress dan juga shock setelah tahu bahwa Aisy baru saja mengalami kecelakaan, dan parahnya lagi,

  • Panggil Aku Aisyah   17. Kecelakaan Maut

    -Terbaring Lemah- Pagi hari ini cuacanya begitu sangat cerah. Angin-angin mulai berhembus dari arah timur, memberikan aku kesejukkan di saat diriku menikmati suasana pagi dengan secangkir kopi manis buatan ibu. Sekarang adalah hari minggu, hari di mana orang-orang menikmati waktunya untuk berlibur, entah itu ke pantai, atau ke puncak gunung. Aku tidaklah meluangkan waktu liburku untuk bermain, melainkanku lebih sering membantu ibu dalam berjualan rujak di rumah, lagipula kujuga belum berkeluarga, jadi masih banyak waktu yang bisa aku manfaatkan untuk menjalani aktifitas di rumah. Jam masih menunjukkan di angka enam pagi, dan matahari mulai hadir menampakkan sinarnya. Aku mulai membantu ibu mengangkat beberapa bahan makanan untuk membuat rujak, karena biasanya di pagi ini banyak orang berdatangan untuk membeli sarapan pagi. Syukurlah, di waktu ini jug

DMCA.com Protection Status