-tekadku-
Kini pada akhirnya kuharus pulang sendiri usai memarahi Aisy, yang baru saja menikmati waktu malamnya beserta teman-temannya yang tidak benar. Dalam perjalanan pulang kali ini, aku mulai mengeluh dan juga sedikit menangis meratapi apa yang sudah Aisy lakukan. Dalam hati, aku benar-benar bingung, mengapa Aisy bisa seperti ini perilakunya, tak seperti dulu sebagaimana Aisy yang pernah aku kenal. Kubenar-benar sangat prihatin sekali, aku merasa bahwa Aisy sudah terjebak dalam sebuah pergaulan yang sangat membahayakan dirinya. Entah sudah berapa lamakah Aisy seperti ini.
“Ya Allah semoga tidak sampai terjadi apa-apa dengan Aisy ke depannya.” Batinku.
Saat diriku sudah tiba di rumah, kumulai terduduk dan hanya diam. Kumulai berpikir dengan cukup cermat, mengenai apa yang harus kulakukan nantinya setelah mengetahui perilaku Aisy yang seperti ini. Dan satu hal yang pasti kulakukan adalah, aku akan merahasiakan tentang kelakuan apa yang sudah Aisy lakukan, karena ku tak ingin kedua orang tuanya tahu bahwa Aisy sudah keblabasan dalam bergaul. Waktu sudah mendekati tengah malam, lebih baik segera kutunaikan ibadah shalat sebelum diriku tertidur, apa yang akan kulakukan di malam ini tiada lain adalah mendoakan kebaikan bapak di alam kubur, selain itu kujuga turut mendoakan secara khusus pada diri Aisy agar dirinya bisa diberikan hidayah oleh Allah, sehingga dia bisa kembali menjalani hari-hari yang penuh dengan kebaikan.
Aku mulai tertidur setelah baru saja melaksanakan shalat, lalu aku terbangun di jam tiga pagi. Sudah menjadi rutinitas untukku dalam melaksanakan shalat di sepertiga malam terakhir. Dan di malam inilah kucoba untuk melakukan shalat Istikharah, berharap akan datang suatu petunjuk dari Allah mengenai rencana yang akan aku lakukan selanjutnya, termasuk rencana untuk melamar Aisy.
-curhatku-
Saat pagi hari telah tiba, aku mulai terdiam. Bahwasanya diriku telah memiliki rencana untuk membimbing Aisy. Aku sadar jika kelakuan serta pergaulannya memang di luar batas, namun hal tersebut tak menggugurkan semangatku untuk bisa mendapatkan hatinya.
“Aldi.” Ucap ibu.
“Iya buk,” jawabku.
“Kenapa kamu daritadi ibuk lihatin kok selalu diam saja. Ada masalah apa nak?” tanya ibu.
“Emmm, enggak apa-apa kok buk.” Jawabku.
“Udah nggak usah disembunyiin nak, cerita sama ibu. Pasti akan ibuk bantu.” Desaknya.
“Hemmm, iya buk. Sebenarnya Aldi sudah berniat untuk menikahi seseorang. Aldi ingin, ibuk nanti sore bisa anterin Aldi ketemu sama orang tuanya.” Pintaku.
“Ohhh begitu. Memangnya kamu ingin melamar siapa nak?” tanya ibu.
“Sama Aisy buk. Aldi sudah benar-benar sangat mencintai dia dari dulu.” Jawabku.
“Ohh Aisy teman kamu waktu SD itu kah? Kalau ibuk sih ya merestui jika Aisy benar-benar wanita yang baik dan bisa membahagiakanmu. Tapi apakah Aisy juga mencintai kamu nak?” tanya ibu kembali.
“Sudahlah. Nanti ibuk juga akan tahu sendiri. Maaf untuk saat ini Aldi belum bisa menceritakan banyak soal Aisy buk. Karena yang pasti, Aldi hanyalah berniat untuk menyempurnakan ibadah.” Terangku.
“Ya sudah jika memang itu sudah menjadi kemauan kamu. Insya Allah sore ini ibuk bisa antar kamu nak, untuk menemui orang tuanya.” Imbuh ibu.
“Iya buk. Terima kasih.” Jawabku kembali.
Apapun yang terjadi, aku harus siap untuk menikahi Aisy, karena hanya itulah satu-satunya cara agar aku bisa mendidiknya ke jalan yang baik. Demi Allah, aku benar-benar sangat mencintai Aisy sejak lama, dan aku sudah benar-benar sudah memiliki tekad yang kuat untuk bisa meminangnya. Kutak bisa terus-terusan diam dalam menyimpan rasa yang begitu sesak di dada, karena kuyakin jika hanya Aisylah satu-satunya kebahagiaanku, aku akan tetap menyayanginya meski dirinya mulai membenciku.
Waktu di sore hari mulai tiba. Jam telah menunjukkan di angka tiga dan suara adzan mulai berkumandang. Aku dan ibu segera menunaikan shalat Ashar berjamaah. Segala doa sudah pasti aku panjatkan agar di waktu sore ini bisa diberi kelancaran, di mana ku telah berencana menemui kedua orang tua Aisy bersama ibu. Usai mandi, kusegera mempersiapkan diri, begitu juga dengan ibu. Aku dan ibu segera menaiki motor dan mulai melaju dengan kecepatan sedang.
-melamarnya-
Dalam perjalanan ini, aku mulai menikmati suasana dengan cuaca yang penuh dengan kesejukkan. Sambil menikmati waktu di perjalanan, ku mulai ngobrol dengan ibu di atas dua roda ini, baik itu soal bapak maupun soal Aisy. Dalam waktu tidak sampai tiga puluh menit, kini ku telah tiba di rumahnya. Tapi sayangnya, kulihat mobil Aisy tidak ada, sudah pasti dia sedang keluar rumah. Ya sudahlah tidak masalah, yang penting diriku bisa bertemu dengan kedua orang tuanya.
Tok tok tok.
“Assalamualaikum.” Ucapku sambil mengetuk pintu.
“Walaikum salam. Ehh nak Aldi, mari silahkan masuk.” Jawab beliau.
Aku dan ibu segera duduk, begitu juga dengan kedua orang tuanya.
“Alhamdulillah, kok tumben ibunya diajak ke sini juga.” Gumam beliau.
“Iya buk, karena ada satu hal penting yang ingin Aldi bicarakan.” Jawabku.
“Ohh begitu, ya sudah mari.” Ucap beliau kembali sambil menyuguhkan secangkir teh.
“Aisy belum pulang buk?” tanyaku dengan iseng.
“Emm, iya belum. Katanya sih tadi bilangnya keluar sebentar, tapi insya Allah sebentar lagi juga pulang nak.” Jawabnya.
“Emmm, iya buk. Jadi kedatangan kami berdua bukanlah kebetulan atau hanya sekedar menjalin silaturahmi. Tapi kedatangan kami di sini, hanyalah ingin mengatakan satu hal yang perlu untuk bapak dan juga ibuk tahu.” Terangku.
“Ohh begitu, memangnya nak Aldi mau ngomong apa silakan saja.” Pinta beliau kembali.
Ingin segera kuutarakan mengenai apa yang ingin aku sampaikan pada beliau, namun entah kenapa hati ini merasa sangat gugup. Entahlah, kenapa harus malu-malu, lagipula niatku juga sangat baik.
“Emm, jadi begini pak, buk. Mungkin bapak dan ibuk sudah mengenal saya sejak lama, di saat saya dan Aisy pernah satu sekolah di SD. Bahwasanya kami datang ke sini, berniat untuk menyempurnakan ibadah, yaitu ingin melamar anak ibuk.” Terangku.
“Ohhh begitu, memangnya kamu sudah memiliki keyakinan kuat dan sanggup untuk memperistri anak saya.” Tanya ayahnya Aisy.
“Iya insya Allah sanggup bapak, karena saya pribadi sudah benar-benar merasa cocok bersama anak bapak.” Jawabku.
“Hemm, iya sih ibuk juga tidak melarang jika memang kalian berjodoh. Namun, ada satu hal yang menurut ibuk masih terasa berat untuk melepaskan Aisy kepadamu nak Aldi.” Curhatnya.
“Berat bagaimana ya buk, insya Allah saya bisa kok menerima segala kekurangan Aisy, karena kami berdua sudah benar-benar saling menyayangi.” Tukasku.
“Iya ibuk tahu, tetapi bukan itu masalahnya bagi kami nak.” Keluh beliau.
“Terus, masalahnya di mana kalau boleh tahu buk, insya Allah Aldi bisa bantu.” Jawabku.
“Begini nak Aldi, kalau ibuk perhatikan, kamu memanglah anak yang baik. Memiliki akhlak yang bagus, santun, serta kamu juga seorang ustadz. Sementara kamu tahu sendiri kan kelakukan Aisy sekarang bagaimana, hidupnya mulai jauh dari nilai-nilai agama. Jadi apakah nak Aldi yakin mau melamar Aisy dengan kondisi yang seperti ini.” keluh beliau dengan cukup sedih.
“Hemmm, justru itu buk. Apa yang ingin Aldi lakukan terhadapnya, tidak lain hanyalah ingin mendidiknya. Agar Aisy bisa menjadi wanita yang baik, salehah, dan taat terhadap ibuk dan juga bapak. Insya Allah buk, Aldi yakin bisa mendidiknya dengan baik.” Terangku kembali.
“Masya Allah, kamu benar-benar anak yang saleh nak Aldi. Tapi ibuk benar-benar kurang yakin jika Aisy bisa berubah, hati Aisy itu udah sekeras batu nak. Ibuk takut jika nanti kamu terlanjur kecewa.” Tukasnya.
“Ssssttttt. Ibuk nggak boleh ngomong begitu, karena Aisy kan juga satu-satunya anak ibuk. Aldi berjanji buk, Aldi akan terus bekerja keras untuk membina Aisy dengan baik, percaya sama Aldi ya buk.” Pintaku dengan lembut.
“Alhamdulillah. Insya Allah kami selaku orang tua sudah merestui hubungan kalian. Tapi soal diterima atau tidaknya lamaran ini semuanya ibuk serahkan sama Aisy ya. Jika memang Aisy menerima lamaran kamu, kami turut sudi.” Jawab beliau.
Aku dan beliau beserta ibuku kembali berbincang-bincang dan ngobrol untuk menjalin keakraban. Sesuatu yang tak terduga mulai terjadi, tanpa ada ucapan salam, tiba-tiba Aisy datang mendadak. Dengan spontan, ibunya memanggilnya.
“Aisy …” panggil ibu dan menghampirinya.
“Ada apa buk, kenapa dia bisa datang ke sini.” Jawabnya dengan nada yang kurang sopan.
“Udah nanti kamu akan tahu sendiri, ayo kita duduk dulu di sana, sebentar aja kok.” Pintanya.
Lalu Aisy dan juga ibunya mulai terduduk di tengah-tengah orang tuanya dan menghadapku.
“Ada apa sih ini buk?” tanya Aisy kembali.
“Emmm, jadi begini nak. Kedatangan Aldi kesini memiliki niat yang sangat baik, kalian tahu sendiri kan kalau kalian berdua sudah berteman sejak lama …” terang ibunya.
“Aduhh stop stop, berbelit-belit ahhh. Ada apa sih ini buk.” Bantah Aisy yang membuat ibuku sedikit menggelengkan kepalanya.
“Iya Aisy, jadi kedatangan Aldi ke sini berniat untuk melamar kamu nak.” Terang ibunya dengan penuh gugup.
“Apa??? Melamar aku.” Sontak Aisy dengan amarahnya.
Brrruuuaakkk. Tangannya menggebrak meja dan berdiri menghadapku.
“Hey Aldi. Jangan mentang-mentang kamu terlihat sok baik pada ibuku lalu dengan entengnya kamu mau melamar aku ya.” Tegas Aisy padaku.
“Aisy, Aldi kan berniat baik untuk masa depanmu nak.” Sahut ibunya.
“Masa depan apa? Dengar ya buk. Sampai kapanpun Aisy tidak kan pernah sudi nikah sama cowok yang kere kayak dia.” Ucap Aisy.
“Aisy cukup, kamu jadi anak nggak tahu sopan santun ya, apa kayak gini didikan bapak ibuk sejak kamu kecil.” Bentak bapaknya pada Aisy.
“Ahhh udah ahhh. Bisa-bisa aku tambah stress di sini.” Bantah Aisy dengan keras, lalu pergi menuju kamarnya dan menutup pintunya dengan keras, bruuaakkk.
“Maafin anak kami ya nak Aldi, ibuk.” Ucap ibunya.
“Iya buk nggak apa-apa, seharusnya kami berdua yang meminta maaf, karena kita datang di waktu yang belum tepat.” Jawabku.
“Iya sekali lagi kami minta maaf ya nak, Aisy dari dulu memang seperti itu.” Imbuh beliau.
“Iya buk sudah nggak usah dipikirin. Kami berdua pamit pulang dulu yaa, Assalamualaikum.” Ucapku.
“Walaikum salam, hati-hati nak.” Jawab beliau kembali.
-pertikaian- Aku segera mengambil motor yang telah terparkir di teras rumah Aisy, di mana pada sore hari ini, aku dan ibu akan pulang dengan tangan hampa serta rasa yang penuh dengan kekecewaan. Saat dalam perjalanan pulang, ibu hanya diam saja dengan wajah yang sedikit cemberut terhadapku, aku berfirasat bisa jadi ibu merasa kecewa karena tidak habis pikir setelah melihat kelakuan Aisy yang terbilang kasar pada orang tuanya. Dalam hati aku mulai menyadari sepenuhnya bahwa memang sekarang bukanlah saat yang tepat bagiku untuk mengenalkan Aisy pada ibu. Namun entah bagaimana lagi sedangkan aku ingin ibu bisa cepat merestui diriku yang ingin menjalin hubungan serius dengan Aisy. Dan kini aku dan ibu telah sampai di depan rumah, rasa malu dan tenggang rasa sudah pasti ada dalam hatiku. Betapa tidak, bahwa kelakuan Aisy barusan benar-benar telah me
-kegelisahanku- “Aldi.” Sapa ibu saat diriku terduduk sendiri di teras rumah. “Iya buk,” jawabku. “Kamu kenapa masih di sini, udah jam segini kok belum berangkat?” tanya ibu. “Iya buk, mungkin lima menit lagi.” Jawabku. “Emm begitu, oh ya Di, ntar usai pulang kerja kamu mampir ke mpok Mina ya, seperti biasa ambil pesanan ibuk.” Pinta ibu. “Ohh iya buk. Ya sudah kalau begitu Aldi berangkat kerja sekarang aja ya.” Tukasku. “
-kritis- Seperti biasanya, setiap pagi dan setiap hari aku selalu membantu ibu mempersiapkan berbagai peralatan serta perlengkapan jualan rujak. Semua ini sudah menjadi kewajibanku dalam meringankan beban ibu sejak ayah tiada. Dan seperti biasanya, di hari libur seperti ini aku selalu menyempatkan waktu memberikan dua bungkus rujak ke orang tuanya Aisy, karena kusadar jika mereka sangat suka sekali rujak buatan ibu. Di saat hari mulai menjelang siang, segera kusempatkan waktu untuk berangkat ke rumahnya, dan kuyakin di siang hari ini Aisy pasti tidak ada di rumah, karena sudah menjadi rutinitas jika Aisy selalu saja suka bermain-main. “Assalamualikum.” sapaku saat tiba di rumah Aisy. “Walaikum salam nak Aldi, mari silakan masuk.” jawab ibunya Aisy.
-kepergian bapak- Waktu telah menunjukkan di angka sepuluh malam, dan di malam inilah kumulai bersandar pada sebuah dipan dan mulai terbaring di atas ranjang. Kumulai terdiam serta merenungi segala apa yang telah terjadi, baik di saat dulu hingga sampai saat ini. Kucoba untuk bertanya pada hati yang terdalam atas sebuah perjalanan cerita kehidupanku, ternyata dari semua yang pernah kualami, tak sebanding dengan apa yang telah Aisy rasakan. Dan sampai saat ini, aku akan tetap mencari tahu mengenai kesalahan apa yang pernah kulakukan padanya, hingga pada akhirnya dirinya sudah tidak sudi lagi untuk berteman denganku. Aku bisa saja pergi, dan mulai menghilang dari kehidupannya, namun mengapa diriku tak sanggup walau harus melangkah setapak. Mungkin semua itu karena diriku belum bisa melupakan segala kenangan yang dulu pernah kita lakukan bersama. Rasa s
-teraniaya- Aku baru saja melangkahkan kaki, dan mulai keluar dari masjid usai mengisi ceramah di masjid desa sebelah. Ceramah yang baru saja kusampaikan, bertemakan dengan kesabaran seorang suami, yang diambil dari dari kitab Jawahirul Lu’luiyyah. Ya, meskipun diriku belum berumah tangga, setidaknya kusudah mulai memahami dan mulai mengerti, agar nanti jika diriku sudah menikah, kusudah memiliki kemampuan serta ilmu yang cukup untuk membangun rumah tangga. Kumulai menaiki motor usai berpamitan dengan pihak masjid serta beberapa jamaah yang masih belum pulang. Saat dalam perjalanan pulang, ada rasa yang sedikit tidak enak di saatku melaju. Entahlah, mungkin saja diriku sedang merasa tidak enak badan, sehingga apapun suasana di sekelilingku ini tak begitu nyaman untuk dirasakan. Sepuluh menit kemudian, kumulai memasuki gang rumahku yang se
-pelaku sebenarnya- Waktu pun akan terus berjalan, sudah satu minggu kepergian bapak dari kehidupan ini. Mungkin saja usai kepergian beliau, hal ini bisa membuat diri Aisy sadar dan mulai berubah akan perilakunya. Setiap untaian doa sudah pasti kupanjatkan untuknya, karena semua itu juga demi kebaikannya. Insya Allah, selama diriku terus berusaha, Allah pasti akan membukakan jalan untuknya, karena kujuga percaya bahwa kerasnya batu sudah pasti bisa hancur oleh tetesan air hujan. Namun sayangnya, ada satu hal yang membuat diriku tak habis pikir. Kuberpikir usai kepergian bapaknya mungkin bisa membuat diri Aisy bisa berubah, ternyata semua yang kupikirkan telah terjadi di luar dugaan. Aisy kembali terlibat dalam pergaulan yang salah sebagaimana yang dia lakukan bersama teman-temannya. Kurasa kesedihan yang kerap dia alami bisa membuat dirin
-kesendirian- Semenjak Aisy pergi meninggalkan rumah, aku mulai berperan membantu segala aktivitasnya di rumah, karena sebenarnya aku tak ingin beliau merasa kesepian dan tersendiri, maka sebisa mungkin kuharus bisa melukis senyuman baru pada wajah beliau. Rasa letih dan juga lelah sudah pasti kurasa, karena aktivitasku juga banyak sekali. Entahlah, kujalani saja semua ini dengan ikhlas dan sabar, karena aku menyadari jika ini sudah menjadi takdir yang harus diterima. “Nak Aldi." panggil beliau. “Iya buk." jawabku. “Sebaiknya kamu nggak usah setiap hari ke sini, tanpa harus kamu bantu-bantu ibuk sudah bisa melakukannya sendiri kok nak." ucapnya. 
-Terbaring lemah- Alhamdulillah, hari libur pun telah datang untukku, sehingga kubisa kembali meluangkan banyak waktu untuk menemani ibunya Aisy. Lelah sudah pasti kurasa, namun aku sikapi semua dengan rasa senang, agar diriku bisa ikhlas dalam melakukan semua yang ada. Sebenarnya, hari ini kutelah diundang untuk mengisi sebuah ceramah di salah satu tempat, namun dengan lembut kumenolak, karena kulebih memilih menemani beliau agar tidak merasa kesepian. Kumulai membaca Al-Qur’an dengan tartil, karena di waktu ini rasa kegelisahanku mulai meluap, dan hanya dengan membaca Al-Qur'an hati ini akan terasa lebih tenang dan lebih tentram, di sisi lain kujuga turut mendoakan untuk kebaikan keluargaku dan juga keluarga Aisy. Baru saja diriku membaca tiga halaman, tiba-tiba diriku kaget usai mendengar suara gelas pecah di kamar beliau, pyarrrr
-Semangat Pagiku- Assalamualaikum Warahmatullah. Baru saja ku menyelesaikan shalat secara berjamaah bersama dia dan juga ibu, dan sekarang adalah waktu yang terbaik untukku agar segera mandi untuk persiapan masuk kerja. Saat diriku mulai beranjak menuju kamar mandi, saat itulah kumelihat dirinya berdandan dengan penuh pesona, aku dibuat kagum olehnya. Sudahlah, lebih baik kulanjutkan saja aktifitasku mandi sejenak. “Ibuk, ada yang bisa dibantu?” ucap Aisyah pada ibuku. “Emmm ndak usah dulu Aisyah, ibuk udah selesai kok.” Jawab ibu. “Ohh ya sudah, Aisyah beres-beres dulu aja ya buk.” Ucap kembali Aisyah. “Iya Aisyah, silakan.” Jawab ibu ke
-sore yang indah- Aku baru saja mandi di waktu ini. Waktu telah menunjukkan tepat di angka tiga sore, sebagaimana rencana yang sudah kita buat kemarin, kita akan meluangkan waktu di taman bunga. Saat kita berdua sudah siap untuk berangkat, aku dan istriku segera berpamitan pada ibu. “Ibuk, kami berangkat dulu ya.” Ucap Aisyah pada ibu. “Iya nak, kalian berdua hati-hati di jalan ya, dan Jangan pulang malem-malem.” Jawab ibu. “Baik buk, insya Allah nanti jam delapan kita sudah berada di sini.” Tambahku. “Iya Di, jaga istri kamu ya!” seru ibu. “Iya buk, Assalamualaikum.” Uca
-hadiah terindah- Di sore hari ini, kumulai terduduk sendiri. Tak ada seorang pun yang bisa menemani kecuali hanyalah hembusan angin serta suara kicauan burung-burung yang sedang bertengger. Saat kuterduduk, di saat ini pula kumulai merenungi, akan sebuah kisah serta kebersamaan yang pernah kulakukan bersama dia di hari kemarin-kemarin. Kemarin kita masih bisa bersama, kemarin kita juga masih bisa tertawa bahagia. Namun kini kebahagiaan itu hanya ada di satu pihak, yang tidak lain hanya ada pada diri Aisy. Kuyakin hari ini dia pasti sangat berbahagia, karena dia sudah bisa menikmati kesehatan yang di mana selama ini dia harus bertahan dari kelumpuhan, sementara kuharus mundur dan mulai berniat melangkah pergi dari kenyataan itu. Tentu diriku tidak akan langsung pergi begitu saja, karena kuingin meninggalkan satu kenangan yang bisa kuberikan unt
-ku mulai menyadari kesalahanku- Aisy mulai membuatku merasa bimbang dan penuh dengan rasa penasaran. Sebenarnya Aku belum siap menerima kalimat yang akan dia lontarkan saat ini, namun mau tidak kuharus segera menerima alasan yang akan dia berikan. Rasa takut dan bersalah memang sudah pasti kurasakan, namun entahlah, jika pun nanti pada akhirnya Aisy mulai memintaku untuk pergi, maka Aku harus siap sepenuh hati. “Aldi, kamu masih ingat kebersamaan kita di saat kita baru lulus dari sekolah SD.” Ucapnya. “Tentu Aisy, aku benar-benar ingat dengan semua yang pernah kita lakukan bersama pada saat itu.” Jawabku. “Dan kamu juga masih ingat kan, usai kelulusan itu kita sempat berpisa
-kedatanganku- Pagi hari pun telah tiba, usai diriku mandi dan shalat Dhuha, aku segera berpamitan dengan ibu untuk berangkat kerja. Ada satu rencana yang ingin kulakukan tanpa harus bilang ke ibu, di mana di pagi ini aku berencana untuk menemui Aisy sebelum berangkat kerja, karena kumenduga mungkin ibu juga tidak akan setuju jika kuharus menemui Aisy. Sebenarnya, aku benar-benar tidak ada kemauan untuk menemui dirinya, hanya saja untuk kali ini kuharus nekat. Kedatanganku hanyalah ingin meminta maaf serta mengembalikan jilbab putih ini yang sudah berumur belasan tahun. Ya, lebih baik kukembalikan saja agar diriku tidak tergoda untuk mengenangnya. “Aldi berangkat dulu ya buk." ucapku pada ibu saat berpamitan untuk berangkat kerja. “Iya Di, hati-hati di jalan, semangat ya.
-aku mulai melupakannya- Saat diriku teringat bahwa ini adalah jilbab putih milik Aisy, saat itulah kumencoba untuk membersihkan jilbab ini dari bekas darahku yang telah menempel. Entah kenapa di saatku sedang mencuci jilbab ini, bayangan sosok Aisy di mataku semakin kuat, tentunya bukan bayangan Aisy yang sekarang, melainkan bayangan Aisy di saat dia masih kecil, tepatnya di saat kita masih sama-sama duduk di bangku sekolah. Setelah aku mencucinya, kucoba untuk memberikan sebuah pewangi agar harum sebelum kujemur di bawah terik panas matahari. Apa yang ingin kulakukan saat ini sebagai wujud untuk kembali mengenang masa-masa indah antara aku dengan dirinya, sejak dulu hingga saat ini. Hari telah berganti, dan kini tiba saatnya diriku untuk berpamitan pada ibu untuk berangkat kerja. Aku akan menjalani aktifitas seperti biasanya tanpa pernah meng
-kepulangannya- Kebersamaan itu akan terasa lebih indah bersama seseorang yang kita cintai, baik antar keluarga maupun sahabat. Betapa bahagianya diri ku dahulu di saat bapak masih muda, di mana kita bisa bermain, bercanda tawa, serta beribadah bersama dalam satu rumah. Namun setelah kepergian bapak, hidupku seakan-akan tidak bisa bersemangat lagi meski telah kupaksakan. Namun beruntung, masih ada ibu di sampingku, yang bisa menemani diriku hingga kubisa menjalani hari-hari indah ini meski belum memiliki pasangan hidup. Hal yang sama juga dialami oleh Aisy, ayahnya baru saja meninggal dunia, meninggalkan semua kenangan indah yang pernah mereka miliki berdua. Aku sempat prihatin usai sepeninggalnya, akankah Aisy ada rasa penyesalan usai ayahnya pergi, atau malah membuat diri Aisy semakin bebas dalam bergaul, karena tidak ada keluarga yang bisa m
-Terbaring lemah- Dia masih tertidur dan terbaring lemah di atas ranjang itu, sudah satu hari ini kutelah menunggu agar dirinya bisa segera sadar. Segala doa telah kupanjatkan di saatku shalat maupun di setiap waktu, agar datang segera keajaiban atas kesadaran yang ada pada diri Aisy, baik sadar dalam hal fisik, maupun sadar atas segala sikap yang selama ini dia lakukan padaku, maupun pada sang ibu. Dengan perlahan, waktu demi waktu mulai berjalan, sudah saatnya bagiku untuk kembali pulang dan menuju rumah sakit yang berbeda di mana saat ini ibunya Aisy dirawat. Dalam perjalanan ini, Aku benar-benar bingung. Aisy sudah berhasil kutemukan, namun diriku belum siap untuk mengatakan hal ini pada ibunya, karena aku tak ingin melihat beliau jadi tambah stress dan juga shock setelah tahu bahwa Aisy baru saja mengalami kecelakaan, dan parahnya lagi,
-Terbaring Lemah- Pagi hari ini cuacanya begitu sangat cerah. Angin-angin mulai berhembus dari arah timur, memberikan aku kesejukkan di saat diriku menikmati suasana pagi dengan secangkir kopi manis buatan ibu. Sekarang adalah hari minggu, hari di mana orang-orang menikmati waktunya untuk berlibur, entah itu ke pantai, atau ke puncak gunung. Aku tidaklah meluangkan waktu liburku untuk bermain, melainkanku lebih sering membantu ibu dalam berjualan rujak di rumah, lagipula kujuga belum berkeluarga, jadi masih banyak waktu yang bisa aku manfaatkan untuk menjalani aktifitas di rumah. Jam masih menunjukkan di angka enam pagi, dan matahari mulai hadir menampakkan sinarnya. Aku mulai membantu ibu mengangkat beberapa bahan makanan untuk membuat rujak, karena biasanya di pagi ini banyak orang berdatangan untuk membeli sarapan pagi. Syukurlah, di waktu ini jug