Beranda / Romansa / Panggil Aku Aisyah / 9. Selalu Saja Salah

Share

9. Selalu Saja Salah

Penulis: Viand Wahyudi
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-31 16:42:37

-pertikaian-

          Aku segera mengambil motor yang telah terparkir di teras rumah Aisy, di mana pada sore hari ini, aku dan ibu akan pulang dengan tangan hampa serta rasa yang penuh dengan kekecewaan. Saat dalam perjalanan pulang, ibu hanya diam saja dengan wajah yang sedikit cemberut terhadapku, aku berfirasat bisa jadi ibu merasa kecewa karena tidak habis pikir setelah melihat kelakuan Aisy yang terbilang kasar pada orang tuanya. Dalam hati aku mulai menyadari sepenuhnya bahwa memang sekarang bukanlah saat yang tepat bagiku untuk mengenalkan Aisy pada ibu. Namun entah bagaimana lagi sedangkan aku ingin ibu bisa cepat merestui diriku yang ingin menjalin hubungan serius dengan Aisy.

          Dan kini aku dan ibu telah sampai di depan rumah, rasa malu dan tenggang rasa sudah pasti ada dalam hatiku. Betapa tidak, bahwa kelakuan Aisy barusan benar-benar telah membuat malu pada orang tuanya, bahkan ibuku sendiri pun juga menyaksikannya. Kubenar-benar bingung tak tahu lagi harus bagaimana, namun yang pasti aku tidak bisa diam jika memang aku memiliki rasa yang begitu besar terhadap Aisy. Kumerasa, mungkin Allah sudah mulai mengujiku hingga ku harus menanggung malu dihadapan orang tuanya. Saat aku baru saja membuka pintu rumah, tanpa ada banyak waktu ibu mulai menegurku.

           “Pokoknya ibu tidak bisa seperti ini Aldi, ibuk nggak bisa harus merestui hubungan kamu.” Ucap ibuku.

           “Ibuk. Ibuk tenang dulu yaa, Aisy itu anaknya sebenarnya baik kok.” Jawabku.

           “Baik apanya. Jelas-jelas dari kata-katanya sudah bisa ibu lihat, begitu berani dan kasarnya sama orang tua sendiri, nggak ada sopan santunnya.” Bantah ibu.

           “Nggak buk, Aldi yakin mungkin Aisy hanya khilaf.” Tukasku.

           “Pokoknya tidak bisa Aldi. Ibuk malu punya menantu kayak dia. Bagaimana dengan nasib kamu nantinya.” Bantah ibu kembali.

          “Ya sudah ibuk tenangkan pikiran dulu yaa. Aisy itu tak seburuk dari apa yang ibu bayangin kok. Percaya sama Aldi ya buk, Aldi janji pasti akan memberikan yang terbaik buat calon menantu ibuk.” Imbuhku.

          “Ahhh kamu ini, ada aja alasannya kalau mau ngeles.” Jawab ibu kembali.

          Aku pun kembali terdiam, karena aku tak ingin ada perdebatan dengan ibu hanya karena gara-gara sikap Aisy. Akan tetapi aku tak ingin berhenti di sini saja, cepat atau lambat aku harus bisa melakukan suatu cara demi bisa meyakinkan ibu. Entah bagaimanapun caranya kuharus bisa membuktikan yang terbaik buat ibu.

          Suara adzan pun mulai berkumandang, saatnya diri ini beranjak menjalankan kewajiban shalat. Insya Allah, dalam shalat yang kulakukan, mulai sekarang dan seterusnya sudah pasti aku akan mendoakan demi kebaikan diriku dan juga ibu. Selain itu kujuga pasti berdoa agar Allah SWT berkehendak dalam memberikan yang terbaik pada diri Aisy. Insya Allah dengan doa yang selalu terpanjatkan, kuyakin Allah pasti bisa mengabulkan doaku.

          Saat waktu di malam hari mulai tiba, kumulai terduduk sendiri. Ku hanya terdiam sambil memandangi bintang-bintang di langit. Dalam diam ini hati kecilku seakan berkata, bahwa sebenarnya aku memiliki sebuah harapan untuk bisa mendapatkan Aisy, yang akan kujadikan sebagai istriku. Apa yang telah kuharapkan, tidak lain hanyalah karena aku ingin memberikan pendidikan yang baik pada dirinya, kuingin merubah karakternya menjadi wanita yang salehah, yang selalu taat pada suami, orang tua dan juga rajin beribadah. Kusadar jika harapanku ini cukup berat, namun takdir Allah tiada yang tidak mungkin.

          Mungkinkah aku harus menunggu suatu keajaiban agar Allah bisa mengabulkan doaku. Jujur dan demi Allah aku masih mencintai Aisy, meski terkadang dirinya masih belum memahami. Ingin sekali kudapat membuktikan bahwa diriku benar-benar memiliki rasa yang sangat dalam untuknya, dan aku takkan pernah menyerah dan putus asa, karena sampai kapanpun aku akan selalu berdoa agar dirinya bisa mengerti.

          Kumulai tertidur di atas tempat tidurku ini, tidak ada hal lain yang bisa kubayangkan selain canda, tawa serta senyuman manis yang ada pada dirinya. Jika harus mengingat akan masa lalu itu, tak pernah sedikitpun kumelihat suatu kesedihan yang ada pada dirinya, karena baginya, aku adalah sosok sang penghibur yang selalu ada di saat dia gundah, dan selalu ada di saat kita sengsara.

          Kini pada akhirnya ibu mulai tahu dan mengerti akan sifat Aisy yang mulai berubah, tak seperti dulu di saat dia masih duduk di bangku SD. Walau hanya sedikit, ibu benar-benar mengenal betul sifat Aisy yang dulu-dulunya. Namun kini ibu mulai tak menyangka jika Aisy sudah benar-benar keterlaluan dalam menunjukkan sikapnya. Hal inilah yang membuat diri ibu mulai ragu akan doa restu yang akan diberikannya untukku.

          Aku masih terdiam dan mulai bingung sendiri. Kutak tahu harus bagaimana jika semuanya sudah terlanjur terjadi. Mungkinkah aku bisa kembali meyakinkan ibu bahwa Aisy tak seburuk apa dari yang ibu bayangkan, karena kuyakin Aisy pasti khilaf, karena mungkin dia merasa kaget di mana diriku tiba-tiba datang di hadapannya walau dengan maksud baik untuk melamarnya.

-pelita hati-

          Karena Aisy adalah pelita hatiku, yang selalu memberikan arti dalam perjalanan hidup di saatku masih kecil. Kini masa-masa indah itu telah menjadi kenangan yang tak bisa kuwujudkan kembali. Yaa Allah, apakah aku bisa, kembali menjalani persahabatan dengannya, sebagaimana yang pernah kita berdua jalani dulu. Semua itu hanya Allah yang tahu, namun jika seandainya nanti harapanku ini belum bisa terwujudkan, mungkin karena Allah sudah memiliki rencana yang jauh lebih baik dari yang kukira.

         Aku mulai berjalan di atas jembatan ini. Sebuah jembatan yang membentang panjang sejauh mata memandang. Jutaan burung mulai terbang di atasku, lalu berkicau dengan suara yang sangat indah. Kumulai berhenti, dan kucoba untuk memandangi satu pulau di depanku, kucoba untuk mengamati ternyata di sana ada sebuah telaga yang terhiasi oleh air terjun. Tak lama setelah ku memandanginya, kulihat ada sesosok perempuan yang mulai merendamkan kakinya dalam dinginnya air yang tenang. Kurasa itu bukanlah perempuan biasa, karena dia memiliki sepasang sayap yang sangat indah. Atas hal itu, kucoba untuk menghampirinya dengan berlari, pelarianku tidaklah sendiri, melainkan ditemani oleh seekor burung bangau yang kebetulan juga terbang di sampingku.

          Aku telah tiba di pulau ini, namun cuaca mulai menghadirkan sejuta kabut, sehingga tak lagi tampak sosok perempuan yang kulihat dari kejauhan tadi. Kumulai berjalan, menapaki jalanan yang penuh akan daun kering usai berguguran, tidak lain hanyalah ingin mencari sosok perempuan itu kembali, namun setelah diriku mencoba mengelilingi pulau ini, ternyata sampai sekarang belum kutemukan juga. Ku berpikir, mungkin perempuan tersebut sudah pergi dan terbang tinggi dengan menggunakan sayapnya. Aku pun terduduk, dan saat itulah kumulai terlelah hingga tak sadar mata ini terpejam lalu terbaring di atas pangkuan batu.

          Allahu Akbar Allahu Akbar. Suara adzan mulai terdengar keras dan saling bersahutan dari tiap penjuru. Kumulai terbangun lalu kubuka kedua mata ini, ternyata diriku baru saja tertidur usai mengerjakan semua tugas-tugas siswa di sekolah. Sejenak ku berdiam diri, tak ada hal lagi yang bisa kupikirkan kecuali mimpi yang baru saja kualami dalam tidur yang hanya sejenak, di mana jiwa dan raga ini telah hadir dalam sebuah peristiwa indah walau hanya sebatas mimpi. Telah kutemukan seorang bidadari cantik, bermata jeli dan memiliki sayap yang indah dalam mimpi itu, kucoba untuk meraihnya, namun dia tiba-tiba menghilang begitu saja. Kucoba untuk menunggu, namun pada akhirnya ku tertidur dan kembali terbangun dalam dunia ini.

          Dan saat itulah kumulai berpikir sejenak, bahwa suatu keindahan, takkan mungkin bisa kugapai dengan tangan kosong, kecuali dengan adanya doa yang selalu terpanjatkan di setiap waktu. Begitu juga dengan apa yang saat ini aku alami. Kuakui jika diriku memiliki suatu harapan untuk bisa menjadikan Aisy sebagai teman hidupku. Ku tidak peduli dengan sikap serta karakter yang saat ini dia alami, walaupun sebenarnya masih banyak perempuan yang bisa kupilih.

          Namun hatiku telah berkehendak lain, bahwa diriku memilih Aisy untuk bisa kujadikan istri yang sah untukku. Telah banyak suatu derita besar yang pernah kurasakan, baik di saatku masih memiliki rasa untuk Rahma atau saat ini. Memang benar jika Aisy tak sebaik dengan Aisy dulu yang pernah kukenal, akan tetapi wajahnya selalu kurindukan. Karena kebahagiaanku bersama dia saat masih SD masih teringat betul dalam pikiran ini, maka dari itu kuingin bisa kembali mewujudkan kebahagiaan itu entah bagaimanapun caranya.

-doa ibu-

          Aku tak mampu membiarkan hal itu hilang begitu saja, sebisa mungkin kuharus tetap mencoba tanpa kenal putus asa. Mungkin dalam beberapa waktu ke depan, kuakan kembali berpikir, untuk bisa menemukan satu cara agar kubisa membangun persahabatan yang pernah kita bangun. Dan aku takkan pernah berhenti di situ saja, selama nafas ini masih berdesah.

          Di waktu sore ini, aku kembali berjalan menuju rumah usai mengajar. Dan dalam perjalanan inilah, aku kembali berpikir, untuk bisa mencari kata demi kata yang akan kulontarkan terhadap ibu. Kumenyadari sepenuh hati jika dengan adanya doa dari sang ibu, harapanku bisa terwujudkan. Yang pasti diriku tiada maksud untuk berdebat, melainkan hanyalah meminta agar ibu bisa kembali merestuiku jika diriku benar-benar memang mencintai Aisy.  Apapun akan kulakukan, demi bisa memberikan yang terbaik untuk ibu, karena yang selalu kunantikan hanyalah doa yang selalu ibu panjatkan untukku, dan juga untuk Aisy.

Bab terkait

  • Panggil Aku Aisyah   10. Doaku

    -kegelisahanku- “Aldi.” Sapa ibu saat diriku terduduk sendiri di teras rumah. “Iya buk,” jawabku. “Kamu kenapa masih di sini, udah jam segini kok belum berangkat?” tanya ibu. “Iya buk, mungkin lima menit lagi.” Jawabku. “Emm begitu, oh ya Di, ntar usai pulang kerja kamu mampir ke mpok Mina ya, seperti biasa ambil pesanan ibuk.” Pinta ibu. “Ohh iya buk. Ya sudah kalau begitu Aldi berangkat kerja sekarang aja ya.” Tukasku. “

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-31
  • Panggil Aku Aisyah   11. Terpenjara Dalam Sepi

    -kritis- Seperti biasanya, setiap pagi dan setiap hari aku selalu membantu ibu mempersiapkan berbagai peralatan serta perlengkapan jualan rujak. Semua ini sudah menjadi kewajibanku dalam meringankan beban ibu sejak ayah tiada. Dan seperti biasanya, di hari libur seperti ini aku selalu menyempatkan waktu memberikan dua bungkus rujak ke orang tuanya Aisy, karena kusadar jika mereka sangat suka sekali rujak buatan ibu. Di saat hari mulai menjelang siang, segera kusempatkan waktu untuk berangkat ke rumahnya, dan kuyakin di siang hari ini Aisy pasti tidak ada di rumah, karena sudah menjadi rutinitas jika Aisy selalu saja suka bermain-main. “Assalamualikum.” sapaku saat tiba di rumah Aisy. “Walaikum salam nak Aldi, mari silakan masuk.” jawab ibunya Aisy.

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-01
  • Panggil Aku Aisyah   12. Selamat Tinggal Bapak

    -kepergian bapak- Waktu telah menunjukkan di angka sepuluh malam, dan di malam inilah kumulai bersandar pada sebuah dipan dan mulai terbaring di atas ranjang. Kumulai terdiam serta merenungi segala apa yang telah terjadi, baik di saat dulu hingga sampai saat ini. Kucoba untuk bertanya pada hati yang terdalam atas sebuah perjalanan cerita kehidupanku, ternyata dari semua yang pernah kualami, tak sebanding dengan apa yang telah Aisy rasakan. Dan sampai saat ini, aku akan tetap mencari tahu mengenai kesalahan apa yang pernah kulakukan padanya, hingga pada akhirnya dirinya sudah tidak sudi lagi untuk berteman denganku. Aku bisa saja pergi, dan mulai menghilang dari kehidupannya, namun mengapa diriku tak sanggup walau harus melangkah setapak. Mungkin semua itu karena diriku belum bisa melupakan segala kenangan yang dulu pernah kita lakukan bersama. Rasa s

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-01
  • Panggil Aku Aisyah   13. Karena Kucinta

    -teraniaya- Aku baru saja melangkahkan kaki, dan mulai keluar dari masjid usai mengisi ceramah di masjid desa sebelah. Ceramah yang baru saja kusampaikan, bertemakan dengan kesabaran seorang suami, yang diambil dari dari kitab Jawahirul Lu’luiyyah. Ya, meskipun diriku belum berumah tangga, setidaknya kusudah mulai memahami dan mulai mengerti, agar nanti jika diriku sudah menikah, kusudah memiliki kemampuan serta ilmu yang cukup untuk membangun rumah tangga. Kumulai menaiki motor usai berpamitan dengan pihak masjid serta beberapa jamaah yang masih belum pulang. Saat dalam perjalanan pulang, ada rasa yang sedikit tidak enak di saatku melaju. Entahlah, mungkin saja diriku sedang merasa tidak enak badan, sehingga apapun suasana di sekelilingku ini tak begitu nyaman untuk dirasakan. Sepuluh menit kemudian, kumulai memasuki gang rumahku yang se

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-03
  • Panggil Aku Aisyah   14. Kepergian Aisy

    -pelaku sebenarnya- Waktu pun akan terus berjalan, sudah satu minggu kepergian bapak dari kehidupan ini. Mungkin saja usai kepergian beliau, hal ini bisa membuat diri Aisy sadar dan mulai berubah akan perilakunya. Setiap untaian doa sudah pasti kupanjatkan untuknya, karena semua itu juga demi kebaikannya. Insya Allah, selama diriku terus berusaha, Allah pasti akan membukakan jalan untuknya, karena kujuga percaya bahwa kerasnya batu sudah pasti bisa hancur oleh tetesan air hujan. Namun sayangnya, ada satu hal yang membuat diriku tak habis pikir. Kuberpikir usai kepergian bapaknya mungkin bisa membuat diri Aisy bisa berubah, ternyata semua yang kupikirkan telah terjadi di luar dugaan. Aisy kembali terlibat dalam pergaulan yang salah sebagaimana yang dia lakukan bersama teman-temannya. Kurasa kesedihan yang kerap dia alami bisa membuat dirin

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-03
  • Panggil Aku Aisyah   15. Ketabahan Sang Bunda

    -kesendirian- Semenjak Aisy pergi meninggalkan rumah, aku mulai berperan membantu segala aktivitasnya di rumah, karena sebenarnya aku tak ingin beliau merasa kesepian dan tersendiri, maka sebisa mungkin kuharus bisa melukis senyuman baru pada wajah beliau. Rasa letih dan juga lelah sudah pasti kurasa, karena aktivitasku juga banyak sekali. Entahlah, kujalani saja semua ini dengan ikhlas dan sabar, karena aku menyadari jika ini sudah menjadi takdir yang harus diterima. “Nak Aldi." panggil beliau. “Iya buk." jawabku. “Sebaiknya kamu nggak usah setiap hari ke sini, tanpa harus kamu bantu-bantu ibuk sudah bisa melakukannya sendiri kok nak." ucapnya. 

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-03
  • Panggil Aku Aisyah   16. Kucari Jalan Terbaik

    -Terbaring lemah- Alhamdulillah, hari libur pun telah datang untukku, sehingga kubisa kembali meluangkan banyak waktu untuk menemani ibunya Aisy. Lelah sudah pasti kurasa, namun aku sikapi semua dengan rasa senang, agar diriku bisa ikhlas dalam melakukan semua yang ada. Sebenarnya, hari ini kutelah diundang untuk mengisi sebuah ceramah di salah satu tempat, namun dengan lembut kumenolak, karena kulebih memilih menemani beliau agar tidak merasa kesepian. Kumulai membaca Al-Qur’an dengan tartil, karena di waktu ini rasa kegelisahanku mulai meluap, dan hanya dengan membaca Al-Qur'an hati ini akan terasa lebih tenang dan lebih tentram, di sisi lain kujuga turut mendoakan untuk kebaikan keluargaku dan juga keluarga Aisy. Baru saja diriku membaca tiga halaman, tiba-tiba diriku kaget usai mendengar suara gelas pecah di kamar beliau, pyarrrr

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-04
  • Panggil Aku Aisyah   17. Kecelakaan Maut

    -Terbaring Lemah- Pagi hari ini cuacanya begitu sangat cerah. Angin-angin mulai berhembus dari arah timur, memberikan aku kesejukkan di saat diriku menikmati suasana pagi dengan secangkir kopi manis buatan ibu. Sekarang adalah hari minggu, hari di mana orang-orang menikmati waktunya untuk berlibur, entah itu ke pantai, atau ke puncak gunung. Aku tidaklah meluangkan waktu liburku untuk bermain, melainkanku lebih sering membantu ibu dalam berjualan rujak di rumah, lagipula kujuga belum berkeluarga, jadi masih banyak waktu yang bisa aku manfaatkan untuk menjalani aktifitas di rumah. Jam masih menunjukkan di angka enam pagi, dan matahari mulai hadir menampakkan sinarnya. Aku mulai membantu ibu mengangkat beberapa bahan makanan untuk membuat rujak, karena biasanya di pagi ini banyak orang berdatangan untuk membeli sarapan pagi. Syukurlah, di waktu ini jug

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-04

Bab terbaru

  • Panggil Aku Aisyah   25. Wanita Termulia Sepanjang Zaman

    -Semangat Pagiku- Assalamualaikum Warahmatullah. Baru saja ku menyelesaikan shalat secara berjamaah bersama dia dan juga ibu, dan sekarang adalah waktu yang terbaik untukku agar segera mandi untuk persiapan masuk kerja. Saat diriku mulai beranjak menuju kamar mandi, saat itulah kumelihat dirinya berdandan dengan penuh pesona, aku dibuat kagum olehnya. Sudahlah, lebih baik kulanjutkan saja aktifitasku mandi sejenak. “Ibuk, ada yang bisa dibantu?” ucap Aisyah pada ibuku. “Emmm ndak usah dulu Aisyah, ibuk udah selesai kok.” Jawab ibu. “Ohh ya sudah, Aisyah beres-beres dulu aja ya buk.” Ucap kembali Aisyah. “Iya Aisyah, silakan.” Jawab ibu ke

  • Panggil Aku Aisyah   24. Meniti Ilmu di Pesantren

    -sore yang indah- Aku baru saja mandi di waktu ini. Waktu telah menunjukkan tepat di angka tiga sore, sebagaimana rencana yang sudah kita buat kemarin, kita akan meluangkan waktu di taman bunga. Saat kita berdua sudah siap untuk berangkat, aku dan istriku segera berpamitan pada ibu. “Ibuk, kami berangkat dulu ya.” Ucap Aisyah pada ibu. “Iya nak, kalian berdua hati-hati di jalan ya, dan Jangan pulang malem-malem.” Jawab ibu. “Baik buk, insya Allah nanti jam delapan kita sudah berada di sini.” Tambahku. “Iya Di, jaga istri kamu ya!” seru ibu. “Iya buk, Assalamualaikum.” Uca

  • Panggil Aku Aisyah   23. Hijrah

    -hadiah terindah- Di sore hari ini, kumulai terduduk sendiri. Tak ada seorang pun yang bisa menemani kecuali hanyalah hembusan angin serta suara kicauan burung-burung yang sedang bertengger. Saat kuterduduk, di saat ini pula kumulai merenungi, akan sebuah kisah serta kebersamaan yang pernah kulakukan bersama dia di hari kemarin-kemarin. Kemarin kita masih bisa bersama, kemarin kita juga masih bisa tertawa bahagia. Namun kini kebahagiaan itu hanya ada di satu pihak, yang tidak lain hanya ada pada diri Aisy. Kuyakin hari ini dia pasti sangat berbahagia, karena dia sudah bisa menikmati kesehatan yang di mana selama ini dia harus bertahan dari kelumpuhan, sementara kuharus mundur dan mulai berniat melangkah pergi dari kenyataan itu. Tentu diriku tidak akan langsung pergi begitu saja, karena kuingin meninggalkan satu kenangan yang bisa kuberikan unt

  • Panggil Aku Aisyah   22. Keajaiban

    -ku mulai menyadari kesalahanku- Aisy mulai membuatku merasa bimbang dan penuh dengan rasa penasaran. Sebenarnya Aku belum siap menerima kalimat yang akan dia lontarkan saat ini, namun mau tidak kuharus segera menerima alasan yang akan dia berikan. Rasa takut dan bersalah memang sudah pasti kurasakan, namun entahlah, jika pun nanti pada akhirnya Aisy mulai memintaku untuk pergi, maka Aku harus siap sepenuh hati. “Aldi, kamu masih ingat kebersamaan kita di saat kita baru lulus dari sekolah SD.” Ucapnya. “Tentu Aisy, aku benar-benar ingat dengan semua yang pernah kita lakukan bersama pada saat itu.” Jawabku. “Dan kamu juga masih ingat kan, usai kelulusan itu kita sempat berpisa

  • Panggil Aku Aisyah   21. Wujud Balas Budiku

    -kedatanganku- Pagi hari pun telah tiba, usai diriku mandi dan shalat Dhuha, aku segera berpamitan dengan ibu untuk berangkat kerja. Ada satu rencana yang ingin kulakukan tanpa harus bilang ke ibu, di mana di pagi ini aku berencana untuk menemui Aisy sebelum berangkat kerja, karena kumenduga mungkin ibu juga tidak akan setuju jika kuharus menemui Aisy. Sebenarnya, aku benar-benar tidak ada kemauan untuk menemui dirinya, hanya saja untuk kali ini kuharus nekat. Kedatanganku hanyalah ingin meminta maaf serta mengembalikan jilbab putih ini yang sudah berumur belasan tahun. Ya, lebih baik kukembalikan saja agar diriku tidak tergoda untuk mengenangnya. “Aldi berangkat dulu ya buk." ucapku pada ibu saat berpamitan untuk berangkat kerja. “Iya Di, hati-hati di jalan, semangat ya.

  • Panggil Aku Aisyah   20. Mimpiku

    -aku mulai melupakannya- Saat diriku teringat bahwa ini adalah jilbab putih milik Aisy, saat itulah kumencoba untuk membersihkan jilbab ini dari bekas darahku yang telah menempel. Entah kenapa di saatku sedang mencuci jilbab ini, bayangan sosok Aisy di mataku semakin kuat, tentunya bukan bayangan Aisy yang sekarang, melainkan bayangan Aisy di saat dia masih kecil, tepatnya di saat kita masih sama-sama duduk di bangku sekolah. Setelah aku mencucinya, kucoba untuk memberikan sebuah pewangi agar harum sebelum kujemur di bawah terik panas matahari. Apa yang ingin kulakukan saat ini sebagai wujud untuk kembali mengenang masa-masa indah antara aku dengan dirinya, sejak dulu hingga saat ini. Hari telah berganti, dan kini tiba saatnya diriku untuk berpamitan pada ibu untuk berangkat kerja. Aku akan menjalani aktifitas seperti biasanya tanpa pernah meng

  • Panggil Aku Aisyah   19. Jilbab Putih

    -kepulangannya- Kebersamaan itu akan terasa lebih indah bersama seseorang yang kita cintai, baik antar keluarga maupun sahabat. Betapa bahagianya diri ku dahulu di saat bapak masih muda, di mana kita bisa bermain, bercanda tawa, serta beribadah bersama dalam satu rumah. Namun setelah kepergian bapak, hidupku seakan-akan tidak bisa bersemangat lagi meski telah kupaksakan. Namun beruntung, masih ada ibu di sampingku, yang bisa menemani diriku hingga kubisa menjalani hari-hari indah ini meski belum memiliki pasangan hidup. Hal yang sama juga dialami oleh Aisy, ayahnya baru saja meninggal dunia, meninggalkan semua kenangan indah yang pernah mereka miliki berdua. Aku sempat prihatin usai sepeninggalnya, akankah Aisy ada rasa penyesalan usai ayahnya pergi, atau malah membuat diri Aisy semakin bebas dalam bergaul, karena tidak ada keluarga yang bisa m

  • Panggil Aku Aisyah   18. Kelumpuhan

    -Terbaring lemah- Dia masih tertidur dan terbaring lemah di atas ranjang itu, sudah satu hari ini kutelah menunggu agar dirinya bisa segera sadar. Segala doa telah kupanjatkan di saatku shalat maupun di setiap waktu, agar datang segera keajaiban atas kesadaran yang ada pada diri Aisy, baik sadar dalam hal fisik, maupun sadar atas segala sikap yang selama ini dia lakukan padaku, maupun pada sang ibu. Dengan perlahan, waktu demi waktu mulai berjalan, sudah saatnya bagiku untuk kembali pulang dan menuju rumah sakit yang berbeda di mana saat ini ibunya Aisy dirawat. Dalam perjalanan ini, Aku benar-benar bingung. Aisy sudah berhasil kutemukan, namun diriku belum siap untuk mengatakan hal ini pada ibunya, karena aku tak ingin melihat beliau jadi tambah stress dan juga shock setelah tahu bahwa Aisy baru saja mengalami kecelakaan, dan parahnya lagi,

  • Panggil Aku Aisyah   17. Kecelakaan Maut

    -Terbaring Lemah- Pagi hari ini cuacanya begitu sangat cerah. Angin-angin mulai berhembus dari arah timur, memberikan aku kesejukkan di saat diriku menikmati suasana pagi dengan secangkir kopi manis buatan ibu. Sekarang adalah hari minggu, hari di mana orang-orang menikmati waktunya untuk berlibur, entah itu ke pantai, atau ke puncak gunung. Aku tidaklah meluangkan waktu liburku untuk bermain, melainkanku lebih sering membantu ibu dalam berjualan rujak di rumah, lagipula kujuga belum berkeluarga, jadi masih banyak waktu yang bisa aku manfaatkan untuk menjalani aktifitas di rumah. Jam masih menunjukkan di angka enam pagi, dan matahari mulai hadir menampakkan sinarnya. Aku mulai membantu ibu mengangkat beberapa bahan makanan untuk membuat rujak, karena biasanya di pagi ini banyak orang berdatangan untuk membeli sarapan pagi. Syukurlah, di waktu ini jug

DMCA.com Protection Status