-kegelisahanku-
“Aldi.” Sapa ibu saat diriku terduduk sendiri di teras rumah.
“Iya buk,” jawabku.
“Kamu kenapa masih di sini, udah jam segini kok belum berangkat?” tanya ibu.
“Iya buk, mungkin lima menit lagi.” Jawabku.
“Emm begitu, oh ya Di, ntar usai pulang kerja kamu mampir ke mpok Mina ya, seperti biasa ambil pesanan ibuk.” Pinta ibu.
“Ohh iya buk. Ya sudah kalau begitu Aldi berangkat kerja sekarang aja ya.” Tukasku.
“Ya Di, hati-hati saat di jalan ya.” Jawabnya.
Kumulai menaiki motor dan mulai melaju. Saat di persimpangan, dari kejauhan kusempat melihat mobilnya Aisy yang mengarah kepadaku. Saat posisinya mulai mendekat, kusempat mengamati akan dirinya yang ada di dalam mobil tersebut. Dan entah tak tahu kenapa, ternyata di dalam mobil itu bukan hanya ada Aisy, melainkan ada seorang cowok yang menemaninya di saat dia mengemudi.
“Itu kan Aisy, mengapa dia bisa sama cowok lain ya.” Batinku.
Kukembali melanjutkan perjalanan, dan kucoba untuk menenangkan pikiran sejenak. Namun entah tak tahu kenapa, semakin jauh ku melaju semakin kuat ingatanku tentangnya. Rasa khawatir serta gelisah sudah pasti kurasa, semua tidak lain hanya tentang dirinya. Entah mungkin dalam beberapa hari kedepan, kuharus mencari tahu, siapakah sosok lelaki yang tadi ada di sampingnya itu, karena aku takut jika lelaki tersebut adalah orang yang akan selalu memanfaatkan diri Aisy.
Entah kenapa hatiku terus merasa gelisah, di mana kegelisahan ini mulai meracuni hari-hariku. Ingin kuberlari jauh, agar terlepas dari bayangannya yang semu, namun apalah daya jika keadaan telah menolak. Jika saja dirinya bisa mengerti akan diriku, kuyakin dia pasti melihat dan mendengar akan tangisan hatiku yang haus akan kasih sayang. Dan sampai saat ini pun aku masih belum menemukan cara dan juga jalan agar dia bisa tahu perasaanku yang sebenarnya.
Terkadang di setiap malam, air mata ini selalu jatuh tak tertahan karena melihatnya terdiam. Karena cukup berat dari apa yang ingin kukatakan kecuali jika hal ini kuadukan pada Tuhan di waktu sepertiga malam.
-pertengkaran itu-
Aku baru saja keluar dari masjid ini setelah mengisi sebuah ceramah. Dan kumulai menaiki motor menuju ke rumah. Entah kenapa, sudah dua hari ini kumasih terpikirkan oleh dirinya, semakin sering kumengingatnya, semakin gelisah hari-hari yang kulalui. Sejak terakhir kali aku melihat Aisy bersama lelaki itu, rasa curiga mulai terasa. Bahkan di saatku sedang menjalani aktifitas apapun, rasa cemas sudah pasti datang, membuatku bertekad untuk mulai mencari tahu akan keberadaan Aisy sekarang.
Saat berada di persimpangan jalan, aku tidaklah belok ke arah rumah, melainkan ke arah di mana kumasih ingin menikmati udara dingin di malam ini. Dan tanpa sengaja, ku kembali berpapasan dengan Aisy. Aku tidaklah cuek begitu saja, karena rasa curigaku terhadapnya sudah mulai meninggi. Dan selagi diriku masih punya banyak waktu, kusempatkan saja untuk membuntutinya sejenak. Kuterus mengikutinya kemanapun dirinya pergi karena rasa khawatir pada hatiku mulai berlebih.
Kini kumulai tiba di tempat ini, tempat di mana Aisy biasa menikmati malam-malamnya bersama teman-temannya. Kumulai berjalan mengamati keadaan sekitar. Dengan perlahan kumulai masuk ke tempat hiburan malam itu, sekedar menengok apakah Aisy ada di dalam sana. Kumulai mengamati keadaan sekitar, namun kutak melihat akan diri Aisy, mungkin dia sedang ke toilet. Namun, setelah agak lama kumenunggu, kumasih saja belum menemukan sosok diri Aisy. Lebih baik kusegera keluar saja, mungkin saja Aisy sedang berada di luar.
Kukembali berjalan mengambil motor yang terparkir di basement, tanpa ada banyak waktu, tak sengaja kumelihat Aisy dengan cowok lain. Kuyakin, mungkin saja itu adalah pacarnya. Kumulai mengamati perbincangan mereka dari kejauhan, dan sepertinya mereka sedang beradu mulut dan mulai bertengkar. Saat diriku menyaksikan hal itu, sepertinya kumulai sedikit merasa marah juga akan hal itu, karena ku tak tega melihat Aisy di maki-maki oleh lelaki itu. Tak lama kemudian, pertengkaran mereka mulai meluap, amarah cowok itu semakin meninggi lalu menampar Aisy dengan keras. Atas kejadian itu, tanpa banyak pikir kulangsung berlari ke arah mereka lalu kutonjok pria itu dengan keras hingga terjatuh.
Blukkkkk.
“Hei, kamu jangan pernah main tangan ya sama adikku.” Ucapku pada pria itu.
Tanpa harus membalas ucapanku, cowok itu langsung berdiri dan meninggalkan kita berdua di sini.
“Aisy, kamu nggak apa-apa kan?” tanyaku.
“Aduhhhh, ngapain juga sih kamu ke sini? Kamu ngikutin aku ya.” Jawabnya.
“Nggak Aisy, aku cuma sedikit khawatir dengan keadaan kamu, makanya kusempetin waktu untuk mencari keberadaan kamu sekarang.” Tukasku.
“Aduhh Aldi pliss deh, kamu itu nggak usah terlalu sok perhatian sama aku ya.” Bantahnya.
“Iya Aisy maaf, tapi apa salahnya jika aku berniat untuk melindungi kamu ke mana pun kamu pergi.” Tukasku kembali.
“Aldi cukup!. Mending sekarang kamu pergi dan jangan pernah sekali-kali datang ke tempat ini.” Serunya.
“Ya sudah, aku pergi sekarang, tapi kamu cepat pulang ya, kasihan ibumu di rumah. Assalamualaikum Ais.” Ucapku kembali.
Kuterpaksa harus pulang sendiri dengan perasaan yang sedikit sedih. Betapa tidak, Aisy dengan keras menyuruhku pulang sementara dia tidak ingin pulang. Atas pertengakaran yang baru saja terjadi antara dia dengan cowoknya, membuatku semakin khawatir akan keadaannya. Entah apa jadinya nanti jika dirinya terus-terus tenggelam dalam pergaulan yang tak diridhoi Allah. Mungkin kuhanya bisa berdoa atas kebaikannya, semoga Allah melindungi Aisy ke mana pun dirinya pergi.
“Aldi, kamu dari mana aja, jam segini kok baru pulang?” tanya ibu saat diriku baru sampai di rumah pada pukul sebelas malam.
“Iya buk, tadi Aldi masih jenguk teman yang lagi sakit.” Jawabku dengan sedikit berbohong.
“Ohhh kirain ke mana, ya sudah kamu makan dulu sana, masih ada banyak makanan di meja.” Pinta ibu.
“Ya buk.” Jawabku.
Lalu aku pun terduduk di dekat meja makan ini, dengan perlahan kumulai menikmati makanan ini. Namun entah kenapa, baru saja diriku memakan tiga suapan nasi, tiba-tiba diri ini merasa nggak mood yang mau makan, padahal kumerasa lapar. Entahlah, mungkin saja diriku sedang banyak pikiran, terutama soal perdebatanku dengannya di waktu tadi. Sampai saat ini, ku masih saja berpikir tentang apa yang harus kulakukan agar Aisy bisa berubah walau hanya sedikit, memang hal tersebut tidaklah mudah, namun apa salahnya jika diriku harus mencoba untuk terus menasihatinya.
Kumasih menyempatkan diri untuk memandang bulan dari sudut jendela, dan hal seperti ini sudah sering kulakukan sebelum diriku tidur. Kusengaja memandangi bulan itu, karena di malam inilah bulan selalu menjadi saksi di mana saat ini Aisy berada. Bulan juga pasti tahu apa yang dilakukan Aisy saat ini, kekhawatiranku mulai menjadi-jadi seketika kumulai tahu bahwa setiap malam dirinya selalu saja jarang pulang. Rasa cemas, resah dan gelisah seolah telah menjadi teman malamku, yang selalu saja datang dengan membawa berita-berita tentang Aisy, yang membuat diri ini semakin sedih.
Bukan juga soal Aisy yang membuatku prihatin, namun ini juga menyangkut soal ayahnya. Kurasa beliau pasti merasakan kesedihan daripada aku, apalagi sekarang beliau juga mulai sakit-sakitan. Namun apapun yang terjadi kuakan tetap berjuang, dan apapun akan kulakukan demi bisa mengembalikan Aisy seperti sedia kala. Mulai besok pagi, sepertinya diriku akan bekerja lebih keras lagi, kuyakin semua masa lalu itu juga akan kembali selama dirinya masih punya hati.
-doa-
Satu malam pun telah berlalu, di pagi ini juga kumulai menyempatkan diri untuk datang ke rumahnya. Dan aku yakin, dia pasti sudah pulang.
“Ibuk, Aldi berangkat dulu yaa.” Ucapku pada ibu saat beliau sedang menyapu.
“Kok pagi amat Di, sarapan dulu sana.” seru ibu.
“Nggak usah dulu buk, soalnya Aldi lagi buru-buru. Tapi Aldi udah bawa bekal dua kok.” Jawabku.
“Yaudah Di, hati-hati di jalan ya.” Imbuh ibu.
Saat diriku telah tiba di depan rumahnya, kumulai memandangi keadaan sekitar, namun sayangnya ku tak melihat mobilnya. Dan kumulai merasa, sepertinya Aisy masih belum pulang. Tak lama akan hal itu tiba-tiba ibunya mulai keluar sambil menuntun suaminya duduk di teras.
“Assalamualaikum ibuk.” Ucapku saat tiba di hadapan beliau.
“Walaikum salam Aldi, tumben pagi-pagi udah ke sini.” Gumam beliau.
“Iya buk, Aldi cuma mau ngasih nasi jagung kesukaan ibuk.” Jawabku.
“Aduhh Aldi makasih ya, tapi jangan terlalu sering-sering seperti ini, ibuk kan jadi nggak enak sama kamu.” Tukas beliau.
“Tidak apa-apa kok buk, lagipula juga tidak setiap hari. Oh iya, Aisy ke mana yah buk?” tanyaku dengan iseng.
“Hemm, kalau soal Aisy jangan ditanya deh, sudah jadi kebiasaan tuh anak, jarang pulang ke rumah.” Jawab beliau dengan cukup kesal.
“Sabar dulu ya buk, Aisy mungkin juga masih banyak urusan di luar sana.” tambahku.
“Iya tapi dia sudah terlalu sering loh seperti ini, ibuk jadi makin jengkel sama tuh anak.” Jawab beliau dengan sedikit amarah.
“Sudah cukup ibuk, nggak baik benci sama anak. Lebih baik ibuk dan bapak istirahat aja ya, biar Aldi yang nanti akan mencari Aisy.” Jawabku.
Ayahnya di rumah mulai melemah, ibunya merasa cemas dan diriku merasa khawatir lebih sementara Aisy belum menyadari akan hal itu. Aku tak mengerti jika ini semua harus terjadi. Kutak bisa pergi dan menyerah begitu saja, apalagi kedaan orang tuanya juga seperti itu, sebisa mungkin kuharus mencari cara. Dan satu hal yang tidak akan pernah kutinggalkan hanyalah berdoa atas kebaikannya.
-kritis- Seperti biasanya, setiap pagi dan setiap hari aku selalu membantu ibu mempersiapkan berbagai peralatan serta perlengkapan jualan rujak. Semua ini sudah menjadi kewajibanku dalam meringankan beban ibu sejak ayah tiada. Dan seperti biasanya, di hari libur seperti ini aku selalu menyempatkan waktu memberikan dua bungkus rujak ke orang tuanya Aisy, karena kusadar jika mereka sangat suka sekali rujak buatan ibu. Di saat hari mulai menjelang siang, segera kusempatkan waktu untuk berangkat ke rumahnya, dan kuyakin di siang hari ini Aisy pasti tidak ada di rumah, karena sudah menjadi rutinitas jika Aisy selalu saja suka bermain-main. “Assalamualikum.” sapaku saat tiba di rumah Aisy. “Walaikum salam nak Aldi, mari silakan masuk.” jawab ibunya Aisy.
-kepergian bapak- Waktu telah menunjukkan di angka sepuluh malam, dan di malam inilah kumulai bersandar pada sebuah dipan dan mulai terbaring di atas ranjang. Kumulai terdiam serta merenungi segala apa yang telah terjadi, baik di saat dulu hingga sampai saat ini. Kucoba untuk bertanya pada hati yang terdalam atas sebuah perjalanan cerita kehidupanku, ternyata dari semua yang pernah kualami, tak sebanding dengan apa yang telah Aisy rasakan. Dan sampai saat ini, aku akan tetap mencari tahu mengenai kesalahan apa yang pernah kulakukan padanya, hingga pada akhirnya dirinya sudah tidak sudi lagi untuk berteman denganku. Aku bisa saja pergi, dan mulai menghilang dari kehidupannya, namun mengapa diriku tak sanggup walau harus melangkah setapak. Mungkin semua itu karena diriku belum bisa melupakan segala kenangan yang dulu pernah kita lakukan bersama. Rasa s
-teraniaya- Aku baru saja melangkahkan kaki, dan mulai keluar dari masjid usai mengisi ceramah di masjid desa sebelah. Ceramah yang baru saja kusampaikan, bertemakan dengan kesabaran seorang suami, yang diambil dari dari kitab Jawahirul Lu’luiyyah. Ya, meskipun diriku belum berumah tangga, setidaknya kusudah mulai memahami dan mulai mengerti, agar nanti jika diriku sudah menikah, kusudah memiliki kemampuan serta ilmu yang cukup untuk membangun rumah tangga. Kumulai menaiki motor usai berpamitan dengan pihak masjid serta beberapa jamaah yang masih belum pulang. Saat dalam perjalanan pulang, ada rasa yang sedikit tidak enak di saatku melaju. Entahlah, mungkin saja diriku sedang merasa tidak enak badan, sehingga apapun suasana di sekelilingku ini tak begitu nyaman untuk dirasakan. Sepuluh menit kemudian, kumulai memasuki gang rumahku yang se
-pelaku sebenarnya- Waktu pun akan terus berjalan, sudah satu minggu kepergian bapak dari kehidupan ini. Mungkin saja usai kepergian beliau, hal ini bisa membuat diri Aisy sadar dan mulai berubah akan perilakunya. Setiap untaian doa sudah pasti kupanjatkan untuknya, karena semua itu juga demi kebaikannya. Insya Allah, selama diriku terus berusaha, Allah pasti akan membukakan jalan untuknya, karena kujuga percaya bahwa kerasnya batu sudah pasti bisa hancur oleh tetesan air hujan. Namun sayangnya, ada satu hal yang membuat diriku tak habis pikir. Kuberpikir usai kepergian bapaknya mungkin bisa membuat diri Aisy bisa berubah, ternyata semua yang kupikirkan telah terjadi di luar dugaan. Aisy kembali terlibat dalam pergaulan yang salah sebagaimana yang dia lakukan bersama teman-temannya. Kurasa kesedihan yang kerap dia alami bisa membuat dirin
-kesendirian- Semenjak Aisy pergi meninggalkan rumah, aku mulai berperan membantu segala aktivitasnya di rumah, karena sebenarnya aku tak ingin beliau merasa kesepian dan tersendiri, maka sebisa mungkin kuharus bisa melukis senyuman baru pada wajah beliau. Rasa letih dan juga lelah sudah pasti kurasa, karena aktivitasku juga banyak sekali. Entahlah, kujalani saja semua ini dengan ikhlas dan sabar, karena aku menyadari jika ini sudah menjadi takdir yang harus diterima. “Nak Aldi." panggil beliau. “Iya buk." jawabku. “Sebaiknya kamu nggak usah setiap hari ke sini, tanpa harus kamu bantu-bantu ibuk sudah bisa melakukannya sendiri kok nak." ucapnya. 
-Terbaring lemah- Alhamdulillah, hari libur pun telah datang untukku, sehingga kubisa kembali meluangkan banyak waktu untuk menemani ibunya Aisy. Lelah sudah pasti kurasa, namun aku sikapi semua dengan rasa senang, agar diriku bisa ikhlas dalam melakukan semua yang ada. Sebenarnya, hari ini kutelah diundang untuk mengisi sebuah ceramah di salah satu tempat, namun dengan lembut kumenolak, karena kulebih memilih menemani beliau agar tidak merasa kesepian. Kumulai membaca Al-Qur’an dengan tartil, karena di waktu ini rasa kegelisahanku mulai meluap, dan hanya dengan membaca Al-Qur'an hati ini akan terasa lebih tenang dan lebih tentram, di sisi lain kujuga turut mendoakan untuk kebaikan keluargaku dan juga keluarga Aisy. Baru saja diriku membaca tiga halaman, tiba-tiba diriku kaget usai mendengar suara gelas pecah di kamar beliau, pyarrrr
-Terbaring Lemah- Pagi hari ini cuacanya begitu sangat cerah. Angin-angin mulai berhembus dari arah timur, memberikan aku kesejukkan di saat diriku menikmati suasana pagi dengan secangkir kopi manis buatan ibu. Sekarang adalah hari minggu, hari di mana orang-orang menikmati waktunya untuk berlibur, entah itu ke pantai, atau ke puncak gunung. Aku tidaklah meluangkan waktu liburku untuk bermain, melainkanku lebih sering membantu ibu dalam berjualan rujak di rumah, lagipula kujuga belum berkeluarga, jadi masih banyak waktu yang bisa aku manfaatkan untuk menjalani aktifitas di rumah. Jam masih menunjukkan di angka enam pagi, dan matahari mulai hadir menampakkan sinarnya. Aku mulai membantu ibu mengangkat beberapa bahan makanan untuk membuat rujak, karena biasanya di pagi ini banyak orang berdatangan untuk membeli sarapan pagi. Syukurlah, di waktu ini jug
-Terbaring lemah- Dia masih tertidur dan terbaring lemah di atas ranjang itu, sudah satu hari ini kutelah menunggu agar dirinya bisa segera sadar. Segala doa telah kupanjatkan di saatku shalat maupun di setiap waktu, agar datang segera keajaiban atas kesadaran yang ada pada diri Aisy, baik sadar dalam hal fisik, maupun sadar atas segala sikap yang selama ini dia lakukan padaku, maupun pada sang ibu. Dengan perlahan, waktu demi waktu mulai berjalan, sudah saatnya bagiku untuk kembali pulang dan menuju rumah sakit yang berbeda di mana saat ini ibunya Aisy dirawat. Dalam perjalanan ini, Aku benar-benar bingung. Aisy sudah berhasil kutemukan, namun diriku belum siap untuk mengatakan hal ini pada ibunya, karena aku tak ingin melihat beliau jadi tambah stress dan juga shock setelah tahu bahwa Aisy baru saja mengalami kecelakaan, dan parahnya lagi,
-Semangat Pagiku- Assalamualaikum Warahmatullah. Baru saja ku menyelesaikan shalat secara berjamaah bersama dia dan juga ibu, dan sekarang adalah waktu yang terbaik untukku agar segera mandi untuk persiapan masuk kerja. Saat diriku mulai beranjak menuju kamar mandi, saat itulah kumelihat dirinya berdandan dengan penuh pesona, aku dibuat kagum olehnya. Sudahlah, lebih baik kulanjutkan saja aktifitasku mandi sejenak. “Ibuk, ada yang bisa dibantu?” ucap Aisyah pada ibuku. “Emmm ndak usah dulu Aisyah, ibuk udah selesai kok.” Jawab ibu. “Ohh ya sudah, Aisyah beres-beres dulu aja ya buk.” Ucap kembali Aisyah. “Iya Aisyah, silakan.” Jawab ibu ke
-sore yang indah- Aku baru saja mandi di waktu ini. Waktu telah menunjukkan tepat di angka tiga sore, sebagaimana rencana yang sudah kita buat kemarin, kita akan meluangkan waktu di taman bunga. Saat kita berdua sudah siap untuk berangkat, aku dan istriku segera berpamitan pada ibu. “Ibuk, kami berangkat dulu ya.” Ucap Aisyah pada ibu. “Iya nak, kalian berdua hati-hati di jalan ya, dan Jangan pulang malem-malem.” Jawab ibu. “Baik buk, insya Allah nanti jam delapan kita sudah berada di sini.” Tambahku. “Iya Di, jaga istri kamu ya!” seru ibu. “Iya buk, Assalamualaikum.” Uca
-hadiah terindah- Di sore hari ini, kumulai terduduk sendiri. Tak ada seorang pun yang bisa menemani kecuali hanyalah hembusan angin serta suara kicauan burung-burung yang sedang bertengger. Saat kuterduduk, di saat ini pula kumulai merenungi, akan sebuah kisah serta kebersamaan yang pernah kulakukan bersama dia di hari kemarin-kemarin. Kemarin kita masih bisa bersama, kemarin kita juga masih bisa tertawa bahagia. Namun kini kebahagiaan itu hanya ada di satu pihak, yang tidak lain hanya ada pada diri Aisy. Kuyakin hari ini dia pasti sangat berbahagia, karena dia sudah bisa menikmati kesehatan yang di mana selama ini dia harus bertahan dari kelumpuhan, sementara kuharus mundur dan mulai berniat melangkah pergi dari kenyataan itu. Tentu diriku tidak akan langsung pergi begitu saja, karena kuingin meninggalkan satu kenangan yang bisa kuberikan unt
-ku mulai menyadari kesalahanku- Aisy mulai membuatku merasa bimbang dan penuh dengan rasa penasaran. Sebenarnya Aku belum siap menerima kalimat yang akan dia lontarkan saat ini, namun mau tidak kuharus segera menerima alasan yang akan dia berikan. Rasa takut dan bersalah memang sudah pasti kurasakan, namun entahlah, jika pun nanti pada akhirnya Aisy mulai memintaku untuk pergi, maka Aku harus siap sepenuh hati. “Aldi, kamu masih ingat kebersamaan kita di saat kita baru lulus dari sekolah SD.” Ucapnya. “Tentu Aisy, aku benar-benar ingat dengan semua yang pernah kita lakukan bersama pada saat itu.” Jawabku. “Dan kamu juga masih ingat kan, usai kelulusan itu kita sempat berpisa
-kedatanganku- Pagi hari pun telah tiba, usai diriku mandi dan shalat Dhuha, aku segera berpamitan dengan ibu untuk berangkat kerja. Ada satu rencana yang ingin kulakukan tanpa harus bilang ke ibu, di mana di pagi ini aku berencana untuk menemui Aisy sebelum berangkat kerja, karena kumenduga mungkin ibu juga tidak akan setuju jika kuharus menemui Aisy. Sebenarnya, aku benar-benar tidak ada kemauan untuk menemui dirinya, hanya saja untuk kali ini kuharus nekat. Kedatanganku hanyalah ingin meminta maaf serta mengembalikan jilbab putih ini yang sudah berumur belasan tahun. Ya, lebih baik kukembalikan saja agar diriku tidak tergoda untuk mengenangnya. “Aldi berangkat dulu ya buk." ucapku pada ibu saat berpamitan untuk berangkat kerja. “Iya Di, hati-hati di jalan, semangat ya.
-aku mulai melupakannya- Saat diriku teringat bahwa ini adalah jilbab putih milik Aisy, saat itulah kumencoba untuk membersihkan jilbab ini dari bekas darahku yang telah menempel. Entah kenapa di saatku sedang mencuci jilbab ini, bayangan sosok Aisy di mataku semakin kuat, tentunya bukan bayangan Aisy yang sekarang, melainkan bayangan Aisy di saat dia masih kecil, tepatnya di saat kita masih sama-sama duduk di bangku sekolah. Setelah aku mencucinya, kucoba untuk memberikan sebuah pewangi agar harum sebelum kujemur di bawah terik panas matahari. Apa yang ingin kulakukan saat ini sebagai wujud untuk kembali mengenang masa-masa indah antara aku dengan dirinya, sejak dulu hingga saat ini. Hari telah berganti, dan kini tiba saatnya diriku untuk berpamitan pada ibu untuk berangkat kerja. Aku akan menjalani aktifitas seperti biasanya tanpa pernah meng
-kepulangannya- Kebersamaan itu akan terasa lebih indah bersama seseorang yang kita cintai, baik antar keluarga maupun sahabat. Betapa bahagianya diri ku dahulu di saat bapak masih muda, di mana kita bisa bermain, bercanda tawa, serta beribadah bersama dalam satu rumah. Namun setelah kepergian bapak, hidupku seakan-akan tidak bisa bersemangat lagi meski telah kupaksakan. Namun beruntung, masih ada ibu di sampingku, yang bisa menemani diriku hingga kubisa menjalani hari-hari indah ini meski belum memiliki pasangan hidup. Hal yang sama juga dialami oleh Aisy, ayahnya baru saja meninggal dunia, meninggalkan semua kenangan indah yang pernah mereka miliki berdua. Aku sempat prihatin usai sepeninggalnya, akankah Aisy ada rasa penyesalan usai ayahnya pergi, atau malah membuat diri Aisy semakin bebas dalam bergaul, karena tidak ada keluarga yang bisa m
-Terbaring lemah- Dia masih tertidur dan terbaring lemah di atas ranjang itu, sudah satu hari ini kutelah menunggu agar dirinya bisa segera sadar. Segala doa telah kupanjatkan di saatku shalat maupun di setiap waktu, agar datang segera keajaiban atas kesadaran yang ada pada diri Aisy, baik sadar dalam hal fisik, maupun sadar atas segala sikap yang selama ini dia lakukan padaku, maupun pada sang ibu. Dengan perlahan, waktu demi waktu mulai berjalan, sudah saatnya bagiku untuk kembali pulang dan menuju rumah sakit yang berbeda di mana saat ini ibunya Aisy dirawat. Dalam perjalanan ini, Aku benar-benar bingung. Aisy sudah berhasil kutemukan, namun diriku belum siap untuk mengatakan hal ini pada ibunya, karena aku tak ingin melihat beliau jadi tambah stress dan juga shock setelah tahu bahwa Aisy baru saja mengalami kecelakaan, dan parahnya lagi,
-Terbaring Lemah- Pagi hari ini cuacanya begitu sangat cerah. Angin-angin mulai berhembus dari arah timur, memberikan aku kesejukkan di saat diriku menikmati suasana pagi dengan secangkir kopi manis buatan ibu. Sekarang adalah hari minggu, hari di mana orang-orang menikmati waktunya untuk berlibur, entah itu ke pantai, atau ke puncak gunung. Aku tidaklah meluangkan waktu liburku untuk bermain, melainkanku lebih sering membantu ibu dalam berjualan rujak di rumah, lagipula kujuga belum berkeluarga, jadi masih banyak waktu yang bisa aku manfaatkan untuk menjalani aktifitas di rumah. Jam masih menunjukkan di angka enam pagi, dan matahari mulai hadir menampakkan sinarnya. Aku mulai membantu ibu mengangkat beberapa bahan makanan untuk membuat rujak, karena biasanya di pagi ini banyak orang berdatangan untuk membeli sarapan pagi. Syukurlah, di waktu ini jug