-kepergian bapak-
Waktu telah menunjukkan di angka sepuluh malam, dan di malam inilah kumulai bersandar pada sebuah dipan dan mulai terbaring di atas ranjang. Kumulai terdiam serta merenungi segala apa yang telah terjadi, baik di saat dulu hingga sampai saat ini. Kucoba untuk bertanya pada hati yang terdalam atas sebuah perjalanan cerita kehidupanku, ternyata dari semua yang pernah kualami, tak sebanding dengan apa yang telah Aisy rasakan. Dan sampai saat ini, aku akan tetap mencari tahu mengenai kesalahan apa yang pernah kulakukan padanya, hingga pada akhirnya dirinya sudah tidak sudi lagi untuk berteman denganku.
Aku bisa saja pergi, dan mulai menghilang dari kehidupannya, namun mengapa diriku tak sanggup walau harus melangkah setapak. Mungkin semua itu karena diriku belum bisa melupakan segala kenangan yang dulu pernah kita lakukan bersama. Rasa sedih sudah pasti kurasakan, namun aku akan tetap berusaha membangun senyuman ini walau harus terpaksa. Semua itu karena diriku yang masih memiliki rasa penuh harap pada dirinya.
Mataku mulai terpejam dengan perlahan, sebagai tanda bahwa rasa kantuk itu telah datang. Namun kumulai terbangun saat merasakan sebuah getaran pada kepalaku. Kumulai membuka mata ini sedikit lalu mengambil handphone yang kutaruh di dekat bantal. Sebanyak tujuh kali missed call telah kudapati, dan itu berasal dari nomer ibunya Aisy.
“Mengapa beliau menelponku malam-malam, pasti ada yang tidak beres nih.” Batinku yang membuatku merasa gugup dan penasaran.
“Halo Assalamualaikum. Ada apa ya buk?” ucapku saat menelepon balik ke nomer beliau.
“Aldi, cepat kamu ke sini nak, kondisi bapak sangat kritis malam ini.” pinta beliau yang membuat detak jantungku berdetak begitu cepat.
“Baik buk, Aldi akan segera ke sana sekarang.” Jawabku.
Dengan sigap, kumulai berganti baju lalu menancap gas motor dengan sangat kencang. Rasa cemas, gelisah serta khawatir sudah pasti kurasakan. Aku sama sekali tak habis pikir, mengapa hal ini bisa terjadi. Entahlah, semoga tidak sampai terjadi apa-apa pada beliau.
“Ibuk.” Ucapku saat tiba di rumah sakit ini.
“Bapak kenapa buk." tanyaku dengan ekspresi yang sangat gugup serta cemas.
“Kondisi kesehatan bapak semakin memburuk Aldi, dan sepertinya bapak mulai kritis." jawab ibu dengan penuh tangis.
"Ya sudah ibuk yang sabar yaa, sekarang bapak di mana?" tanyaku.
"Bapak dibawa ke ruang ICU Di, karena kondisinya juga sangat memprihatinkan." jawab kembali ibu.
"Astaghfirullah hal Adzim. Semoga bapak tidak sampai kenapa-kenapa." imbuhku.
Sudah hampir tiga jam aku dan beliau telah menunggu kabar tentang kondisi bapak. Dan mungkin, ini sudah menjadi takdir yang tak bisa ditolak. Jam dua pagi, sebuah pernyataan mulai terlontarkan dari mulut seorang dokter saat diriku menenangkan ibu. Dokter telah menyatakan, bahwa di waktu ini juga, bapak baru saja menghembuskan nafas terakhirnya. Hal itulah yang secara spontan membuat ibu menangis dengan histeris. Begitu juga denganku, aku tak mampu lagi membendung air mata ini, hingga seluruh pipi mulai terbasahi oleh hangatnya air mata.
“Yaa Allah, begitu cepat Engkau memanggil bapak, sedangkan saat ini Aisy masih membutuhkan kasih sayangnya. Semoga Engkau tempatkan di tempat yang baik disisi-Mu.” Batinku.
-Aisy kembali-
Dan waktu pagi pun telah tiba. Jenazah bapak mulai ditaruh di tengah ruang tamu. Orang-orang pun mulai berdatangan, dan memadati tempat ini. Di sekeliling rumah, orang-orang mulai duduk dan membacakan surat Yaasiin. Aku masih saja menangis, dan tanpa disadari, Aisy pun mulai tiba di tempat ini. Aisy mulai kaget dan betapa terkejutnya dia menyikapi keadaan yang penuh akan banyak orang. Tanpa banyak bergerak, Aisy langsung berlari menuju jenazah bapaknya. Tangisnya mulai terpecah, dan dengan histerisnya dia menangis di atas pusar bapaknya. Dan kumulai prihatin saat orang-orang di sekelilingnya menggelengkan kepala, seolah diriku merasa bahwa Aisy sudah dicap oleh para tetangga sebagai anak yang durhaka.
“Bapak bangun pak, maafkan semua kesalahan Aisy selama ini pak, Jangan tinggalin Aisy pak.” Rintih dan tangisnya di hadapan jenazah bapak.
Dua jam pun telah berlalu, dan kita semua beserta seluruh warga mulai berangkat menuju pemakaman umum yang jaraknya juga tak begitu dekat. Saat jenazah sudah sampai di pekuburan, dengan perlahan jenazah bapak mulai diturunkan. Aku pun sudah bersiap di liang lahat untuk meletakkan jenazah bapak lalu segera aku kumandangkan adzan. Kini jenazah beliau sudah dikuburkan, namun sesuangguhnya diriku tak tega melihat Aisy yang terus berderai air matanya, begitu juga dengan ibunya. Entahlah, semoga ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi Aisy, agar dia dapat berubah sebagaimana seorang anak yang patuh terhadap orang tua.
Tak berselang lama, para warga segera beranjak meninggalkan tempat pemakaman ini yang hanya menyisakan kita bertiga. Dalam hati, kuhanya bisa berkata “selamat tinggal bapak.”
“Ya sudah Aisy, kita segera pulang yuk.” Pintaku.
“Pulang ke mana? Ke rumahmu yang jelek dan kumuh itu.” Bantahnya dengan sedikit kesal.
“Udah Aisy udah. Baru aja kita nganter jenazah bapak, kok masih sempet-sempetnya kamu marah-marah.” Sahut ibunya.
Mungkin saja Aisy merasa sangat sedih atas kepergian bapaknya, sehingga dia harus melampiaskan amarahnya untukku. Lalu kita bertiga kembali pulang menuju rumah dengan membawa perasaan yang cukup menyedihkan. Entahlah, sebaiknya aku tak perlu lagi untuk merisaukan hal tersebut, karena aku menyadari jika ini hanyalah cobaan.
Dan kuhanya bisa terdiam sepi, tak berkutik sepatah katapun. Kuhanya bisa memandangi dirinya dari jarak jauh, meski diriku tak bisa lagi untuk berkomunikasi dengannya. Semua itu karena diriku telah menyadari sepenuhnya, bahwa kehadiranku di hadapannya hanyalah sebagai benalu, meski aku telah berniat baik untuknya sementara dia tak pernah menganggapku ada.
Matahari pun mulai terbenam, dan mulai menyembunyikan sinarnya. Kubaru saja datang ke rumahnya sekedar ingin membantu persiapan ibunya, karena nanti usai Maghrib akan ada acara tahlilan. Dari jarak yang tak terlalu jauh, kumulai memandangi dirinya yang masih terduduk dan hanya termenung sendiri di ujung rumahnya. Dengan bersandarkan tembok, dengan perlahan kumulai mendekatinya dengan maksud untuk menghiburnya, agar kesedihan yang dia alami, bisa segera rapuh.
“Assalamualaikum Aisy.” Sapaku, namun dia hanya terdiam tak menjawab.
“Aisy, nggak baik terus-terus nangisin orang yang sudah mati, lebih baik kita doain saja yuk.” Pintaku.
“Ahhh, kamu itu tau apa sih soal aku.” Bantahnya.
“Iya Aisy, aku ngerti perasaanmu kamu kok. Sekarang udah adzan Maghrib, sebaiknya kita shalat bareng-bareng.” seruku.
“Hmmm, buat apa aku shalat, kalau hal itu nggak bisa menjamin aku bahagia.” Tukasnya.
“Aisy, nggak baik ngomong kayak gitu, karena shalat itu merupakan kewajiban. Insya Allah dengan kita shalat, hati kita pasti akan lebih terasa tenang.” Imbuhku.
“Hufff, ya udah ayo.” Jawabnya dengan sedikit cuek.
“Alhamdulillah.” Batinku.
Lalu kita berdua menjalani shalat Maghrib dengan berjamaah. Syukurlah, kumerasa sangat senang di hari ini, karena Aisy bisa menjalani kewajiban ibadah shalat. Kusangat berharap, agar ke depannya dia bisa menjalani shalat tanpa harus ada aku di sampingnya. Ya Allah, andaikan diriku sudah menikah dengannya, pasti dia akan senantiasa kubimbing untuk senantiasa beribadah. Tetapi sayangnya, diriku bukanlah siapa-siapa untuknya, jangankan memberi dia kebahagiaan, membuatnya tersenyum sedikit saja, belum tentu aku bisa. Namun entah bagaimanapun caranya, aku akan tetap mencoba dan terus mencoba untuk membuatnya mengerti, serta memahami bahwa sebenarnya diriku memiliki niat baik terhadapnya, karena kumenyayangi dirinya itu apa adanya, bukan karena ada apa-apanya dari apa yang dia punya.
Dan keesokan hari pun telah tiba, aku masih menyempatkan waktu ke rumahnya, semua tidak lain karena kuingin meringankan beban ibunya usai ditinggal oleh suaminya, selain itu kujuga berniat untuk menghibur Aisy agar tidak terlalu larut akan kesedihan yang dia alami setiap hari. Kehilangan seseorang itu sangatlah berat, dan sungguh sangat menyakitkan, apalagi jika yang ditinggalkan itu adalah salah satu keluarga yang sangat kucintai. Namun harus bagaimana lagi, sebagai manusia biasa mungkin kita hanya bisa pasrah, karena kita juga tak bisa menolak takdir sedikitpun, namun kita juga harus yakin sepenuh hati, bahwa di balik semua itu, Allah pasti punya rencana baik yang tak pernah kita tahu.
-harapanku-
"Ibuk, Aldi berangkat dulu ya." ucapku pada ibu saat berpamitan untuk pergi ceramah di waktu sore.
"Iya Aldi, hati-hati dalam menyampaikan ilmu yaa, karena hal itu akan jadi pertanggung jawaban di hadapan Allah." jawab ibu.
"Iya buk, sudah pasti Aldi akan lebih teliti sebelum menyampaikan ilmu kepada para muslimin muslimat. Ya sudah buk, Aldi pamit, Assalamualaikum." ucapku kembali.
"Walaikum salam, hati-hati nak." jawab kembali ibu.
Waktu tak berselang lama, kini diriku telah tiba di masjid Quba. Alhamdulillah kedatanganku telah disambut baik oleh banyak orang, dan kini saatnya diriku bersiap-siap dalam menyampaikan ilmu.
"Hadirin para muslimin dan muslimat yang dirahmati oleh Allah, saat ini kita hidup di sebuah zaman di mana waktu telah berjalan semakin cepat. Satu tahun terasa sebulan, sebulan terasa seminggu, dan seminggu terasa beberapa hari saja. Inilah yang merupakan ciri-ciri dari sebuah tanda-tanda akan dekatnya kita pada hari kiamat. Maka dari itu, sudah selayaknya bagi kita untuk mempersiapkan diri, dalam membekali banyak amalan-amalan yang akan menyelamatkan kita di hari kiamat kelak, ..."
Alhamdulillah, baru saja aku berceramah di hadapan banyak orang, semoga bisa memberi manfaat untukku dan juga para umat. Menyikapi apa yang baru saja kulakukan, sebenarnya kumasih memiliki satu harapan untuk mengedukasi Aisy. Ingin rasanya diriku memberikan dia banyak ilmu yang berkaitan dengan agama, karena diriku berharap agar Aisy bisa menjadi pribadi perempuan yang salehah nantinya. Tiada lagi rasa harapku selain hanya kepada Allah SWT, karena kuyakin selama diriku tidak berhenti untuk terus berdoa, Allah pasti akan membukakan jalan terbaik, karena yang sebenarnya kuharapkan hanyalah satu, Allah bisa mempersatukan diriku dengan Aisy suatu saat nanti.
-teraniaya- Aku baru saja melangkahkan kaki, dan mulai keluar dari masjid usai mengisi ceramah di masjid desa sebelah. Ceramah yang baru saja kusampaikan, bertemakan dengan kesabaran seorang suami, yang diambil dari dari kitab Jawahirul Lu’luiyyah. Ya, meskipun diriku belum berumah tangga, setidaknya kusudah mulai memahami dan mulai mengerti, agar nanti jika diriku sudah menikah, kusudah memiliki kemampuan serta ilmu yang cukup untuk membangun rumah tangga. Kumulai menaiki motor usai berpamitan dengan pihak masjid serta beberapa jamaah yang masih belum pulang. Saat dalam perjalanan pulang, ada rasa yang sedikit tidak enak di saatku melaju. Entahlah, mungkin saja diriku sedang merasa tidak enak badan, sehingga apapun suasana di sekelilingku ini tak begitu nyaman untuk dirasakan. Sepuluh menit kemudian, kumulai memasuki gang rumahku yang se
-pelaku sebenarnya- Waktu pun akan terus berjalan, sudah satu minggu kepergian bapak dari kehidupan ini. Mungkin saja usai kepergian beliau, hal ini bisa membuat diri Aisy sadar dan mulai berubah akan perilakunya. Setiap untaian doa sudah pasti kupanjatkan untuknya, karena semua itu juga demi kebaikannya. Insya Allah, selama diriku terus berusaha, Allah pasti akan membukakan jalan untuknya, karena kujuga percaya bahwa kerasnya batu sudah pasti bisa hancur oleh tetesan air hujan. Namun sayangnya, ada satu hal yang membuat diriku tak habis pikir. Kuberpikir usai kepergian bapaknya mungkin bisa membuat diri Aisy bisa berubah, ternyata semua yang kupikirkan telah terjadi di luar dugaan. Aisy kembali terlibat dalam pergaulan yang salah sebagaimana yang dia lakukan bersama teman-temannya. Kurasa kesedihan yang kerap dia alami bisa membuat dirin
-kesendirian- Semenjak Aisy pergi meninggalkan rumah, aku mulai berperan membantu segala aktivitasnya di rumah, karena sebenarnya aku tak ingin beliau merasa kesepian dan tersendiri, maka sebisa mungkin kuharus bisa melukis senyuman baru pada wajah beliau. Rasa letih dan juga lelah sudah pasti kurasa, karena aktivitasku juga banyak sekali. Entahlah, kujalani saja semua ini dengan ikhlas dan sabar, karena aku menyadari jika ini sudah menjadi takdir yang harus diterima. “Nak Aldi." panggil beliau. “Iya buk." jawabku. “Sebaiknya kamu nggak usah setiap hari ke sini, tanpa harus kamu bantu-bantu ibuk sudah bisa melakukannya sendiri kok nak." ucapnya. 
-Terbaring lemah- Alhamdulillah, hari libur pun telah datang untukku, sehingga kubisa kembali meluangkan banyak waktu untuk menemani ibunya Aisy. Lelah sudah pasti kurasa, namun aku sikapi semua dengan rasa senang, agar diriku bisa ikhlas dalam melakukan semua yang ada. Sebenarnya, hari ini kutelah diundang untuk mengisi sebuah ceramah di salah satu tempat, namun dengan lembut kumenolak, karena kulebih memilih menemani beliau agar tidak merasa kesepian. Kumulai membaca Al-Qur’an dengan tartil, karena di waktu ini rasa kegelisahanku mulai meluap, dan hanya dengan membaca Al-Qur'an hati ini akan terasa lebih tenang dan lebih tentram, di sisi lain kujuga turut mendoakan untuk kebaikan keluargaku dan juga keluarga Aisy. Baru saja diriku membaca tiga halaman, tiba-tiba diriku kaget usai mendengar suara gelas pecah di kamar beliau, pyarrrr
-Terbaring Lemah- Pagi hari ini cuacanya begitu sangat cerah. Angin-angin mulai berhembus dari arah timur, memberikan aku kesejukkan di saat diriku menikmati suasana pagi dengan secangkir kopi manis buatan ibu. Sekarang adalah hari minggu, hari di mana orang-orang menikmati waktunya untuk berlibur, entah itu ke pantai, atau ke puncak gunung. Aku tidaklah meluangkan waktu liburku untuk bermain, melainkanku lebih sering membantu ibu dalam berjualan rujak di rumah, lagipula kujuga belum berkeluarga, jadi masih banyak waktu yang bisa aku manfaatkan untuk menjalani aktifitas di rumah. Jam masih menunjukkan di angka enam pagi, dan matahari mulai hadir menampakkan sinarnya. Aku mulai membantu ibu mengangkat beberapa bahan makanan untuk membuat rujak, karena biasanya di pagi ini banyak orang berdatangan untuk membeli sarapan pagi. Syukurlah, di waktu ini jug
-Terbaring lemah- Dia masih tertidur dan terbaring lemah di atas ranjang itu, sudah satu hari ini kutelah menunggu agar dirinya bisa segera sadar. Segala doa telah kupanjatkan di saatku shalat maupun di setiap waktu, agar datang segera keajaiban atas kesadaran yang ada pada diri Aisy, baik sadar dalam hal fisik, maupun sadar atas segala sikap yang selama ini dia lakukan padaku, maupun pada sang ibu. Dengan perlahan, waktu demi waktu mulai berjalan, sudah saatnya bagiku untuk kembali pulang dan menuju rumah sakit yang berbeda di mana saat ini ibunya Aisy dirawat. Dalam perjalanan ini, Aku benar-benar bingung. Aisy sudah berhasil kutemukan, namun diriku belum siap untuk mengatakan hal ini pada ibunya, karena aku tak ingin melihat beliau jadi tambah stress dan juga shock setelah tahu bahwa Aisy baru saja mengalami kecelakaan, dan parahnya lagi,
-kepulangannya- Kebersamaan itu akan terasa lebih indah bersama seseorang yang kita cintai, baik antar keluarga maupun sahabat. Betapa bahagianya diri ku dahulu di saat bapak masih muda, di mana kita bisa bermain, bercanda tawa, serta beribadah bersama dalam satu rumah. Namun setelah kepergian bapak, hidupku seakan-akan tidak bisa bersemangat lagi meski telah kupaksakan. Namun beruntung, masih ada ibu di sampingku, yang bisa menemani diriku hingga kubisa menjalani hari-hari indah ini meski belum memiliki pasangan hidup. Hal yang sama juga dialami oleh Aisy, ayahnya baru saja meninggal dunia, meninggalkan semua kenangan indah yang pernah mereka miliki berdua. Aku sempat prihatin usai sepeninggalnya, akankah Aisy ada rasa penyesalan usai ayahnya pergi, atau malah membuat diri Aisy semakin bebas dalam bergaul, karena tidak ada keluarga yang bisa m
-aku mulai melupakannya- Saat diriku teringat bahwa ini adalah jilbab putih milik Aisy, saat itulah kumencoba untuk membersihkan jilbab ini dari bekas darahku yang telah menempel. Entah kenapa di saatku sedang mencuci jilbab ini, bayangan sosok Aisy di mataku semakin kuat, tentunya bukan bayangan Aisy yang sekarang, melainkan bayangan Aisy di saat dia masih kecil, tepatnya di saat kita masih sama-sama duduk di bangku sekolah. Setelah aku mencucinya, kucoba untuk memberikan sebuah pewangi agar harum sebelum kujemur di bawah terik panas matahari. Apa yang ingin kulakukan saat ini sebagai wujud untuk kembali mengenang masa-masa indah antara aku dengan dirinya, sejak dulu hingga saat ini. Hari telah berganti, dan kini tiba saatnya diriku untuk berpamitan pada ibu untuk berangkat kerja. Aku akan menjalani aktifitas seperti biasanya tanpa pernah meng
-Semangat Pagiku- Assalamualaikum Warahmatullah. Baru saja ku menyelesaikan shalat secara berjamaah bersama dia dan juga ibu, dan sekarang adalah waktu yang terbaik untukku agar segera mandi untuk persiapan masuk kerja. Saat diriku mulai beranjak menuju kamar mandi, saat itulah kumelihat dirinya berdandan dengan penuh pesona, aku dibuat kagum olehnya. Sudahlah, lebih baik kulanjutkan saja aktifitasku mandi sejenak. “Ibuk, ada yang bisa dibantu?” ucap Aisyah pada ibuku. “Emmm ndak usah dulu Aisyah, ibuk udah selesai kok.” Jawab ibu. “Ohh ya sudah, Aisyah beres-beres dulu aja ya buk.” Ucap kembali Aisyah. “Iya Aisyah, silakan.” Jawab ibu ke
-sore yang indah- Aku baru saja mandi di waktu ini. Waktu telah menunjukkan tepat di angka tiga sore, sebagaimana rencana yang sudah kita buat kemarin, kita akan meluangkan waktu di taman bunga. Saat kita berdua sudah siap untuk berangkat, aku dan istriku segera berpamitan pada ibu. “Ibuk, kami berangkat dulu ya.” Ucap Aisyah pada ibu. “Iya nak, kalian berdua hati-hati di jalan ya, dan Jangan pulang malem-malem.” Jawab ibu. “Baik buk, insya Allah nanti jam delapan kita sudah berada di sini.” Tambahku. “Iya Di, jaga istri kamu ya!” seru ibu. “Iya buk, Assalamualaikum.” Uca
-hadiah terindah- Di sore hari ini, kumulai terduduk sendiri. Tak ada seorang pun yang bisa menemani kecuali hanyalah hembusan angin serta suara kicauan burung-burung yang sedang bertengger. Saat kuterduduk, di saat ini pula kumulai merenungi, akan sebuah kisah serta kebersamaan yang pernah kulakukan bersama dia di hari kemarin-kemarin. Kemarin kita masih bisa bersama, kemarin kita juga masih bisa tertawa bahagia. Namun kini kebahagiaan itu hanya ada di satu pihak, yang tidak lain hanya ada pada diri Aisy. Kuyakin hari ini dia pasti sangat berbahagia, karena dia sudah bisa menikmati kesehatan yang di mana selama ini dia harus bertahan dari kelumpuhan, sementara kuharus mundur dan mulai berniat melangkah pergi dari kenyataan itu. Tentu diriku tidak akan langsung pergi begitu saja, karena kuingin meninggalkan satu kenangan yang bisa kuberikan unt
-ku mulai menyadari kesalahanku- Aisy mulai membuatku merasa bimbang dan penuh dengan rasa penasaran. Sebenarnya Aku belum siap menerima kalimat yang akan dia lontarkan saat ini, namun mau tidak kuharus segera menerima alasan yang akan dia berikan. Rasa takut dan bersalah memang sudah pasti kurasakan, namun entahlah, jika pun nanti pada akhirnya Aisy mulai memintaku untuk pergi, maka Aku harus siap sepenuh hati. “Aldi, kamu masih ingat kebersamaan kita di saat kita baru lulus dari sekolah SD.” Ucapnya. “Tentu Aisy, aku benar-benar ingat dengan semua yang pernah kita lakukan bersama pada saat itu.” Jawabku. “Dan kamu juga masih ingat kan, usai kelulusan itu kita sempat berpisa
-kedatanganku- Pagi hari pun telah tiba, usai diriku mandi dan shalat Dhuha, aku segera berpamitan dengan ibu untuk berangkat kerja. Ada satu rencana yang ingin kulakukan tanpa harus bilang ke ibu, di mana di pagi ini aku berencana untuk menemui Aisy sebelum berangkat kerja, karena kumenduga mungkin ibu juga tidak akan setuju jika kuharus menemui Aisy. Sebenarnya, aku benar-benar tidak ada kemauan untuk menemui dirinya, hanya saja untuk kali ini kuharus nekat. Kedatanganku hanyalah ingin meminta maaf serta mengembalikan jilbab putih ini yang sudah berumur belasan tahun. Ya, lebih baik kukembalikan saja agar diriku tidak tergoda untuk mengenangnya. “Aldi berangkat dulu ya buk." ucapku pada ibu saat berpamitan untuk berangkat kerja. “Iya Di, hati-hati di jalan, semangat ya.
-aku mulai melupakannya- Saat diriku teringat bahwa ini adalah jilbab putih milik Aisy, saat itulah kumencoba untuk membersihkan jilbab ini dari bekas darahku yang telah menempel. Entah kenapa di saatku sedang mencuci jilbab ini, bayangan sosok Aisy di mataku semakin kuat, tentunya bukan bayangan Aisy yang sekarang, melainkan bayangan Aisy di saat dia masih kecil, tepatnya di saat kita masih sama-sama duduk di bangku sekolah. Setelah aku mencucinya, kucoba untuk memberikan sebuah pewangi agar harum sebelum kujemur di bawah terik panas matahari. Apa yang ingin kulakukan saat ini sebagai wujud untuk kembali mengenang masa-masa indah antara aku dengan dirinya, sejak dulu hingga saat ini. Hari telah berganti, dan kini tiba saatnya diriku untuk berpamitan pada ibu untuk berangkat kerja. Aku akan menjalani aktifitas seperti biasanya tanpa pernah meng
-kepulangannya- Kebersamaan itu akan terasa lebih indah bersama seseorang yang kita cintai, baik antar keluarga maupun sahabat. Betapa bahagianya diri ku dahulu di saat bapak masih muda, di mana kita bisa bermain, bercanda tawa, serta beribadah bersama dalam satu rumah. Namun setelah kepergian bapak, hidupku seakan-akan tidak bisa bersemangat lagi meski telah kupaksakan. Namun beruntung, masih ada ibu di sampingku, yang bisa menemani diriku hingga kubisa menjalani hari-hari indah ini meski belum memiliki pasangan hidup. Hal yang sama juga dialami oleh Aisy, ayahnya baru saja meninggal dunia, meninggalkan semua kenangan indah yang pernah mereka miliki berdua. Aku sempat prihatin usai sepeninggalnya, akankah Aisy ada rasa penyesalan usai ayahnya pergi, atau malah membuat diri Aisy semakin bebas dalam bergaul, karena tidak ada keluarga yang bisa m
-Terbaring lemah- Dia masih tertidur dan terbaring lemah di atas ranjang itu, sudah satu hari ini kutelah menunggu agar dirinya bisa segera sadar. Segala doa telah kupanjatkan di saatku shalat maupun di setiap waktu, agar datang segera keajaiban atas kesadaran yang ada pada diri Aisy, baik sadar dalam hal fisik, maupun sadar atas segala sikap yang selama ini dia lakukan padaku, maupun pada sang ibu. Dengan perlahan, waktu demi waktu mulai berjalan, sudah saatnya bagiku untuk kembali pulang dan menuju rumah sakit yang berbeda di mana saat ini ibunya Aisy dirawat. Dalam perjalanan ini, Aku benar-benar bingung. Aisy sudah berhasil kutemukan, namun diriku belum siap untuk mengatakan hal ini pada ibunya, karena aku tak ingin melihat beliau jadi tambah stress dan juga shock setelah tahu bahwa Aisy baru saja mengalami kecelakaan, dan parahnya lagi,
-Terbaring Lemah- Pagi hari ini cuacanya begitu sangat cerah. Angin-angin mulai berhembus dari arah timur, memberikan aku kesejukkan di saat diriku menikmati suasana pagi dengan secangkir kopi manis buatan ibu. Sekarang adalah hari minggu, hari di mana orang-orang menikmati waktunya untuk berlibur, entah itu ke pantai, atau ke puncak gunung. Aku tidaklah meluangkan waktu liburku untuk bermain, melainkanku lebih sering membantu ibu dalam berjualan rujak di rumah, lagipula kujuga belum berkeluarga, jadi masih banyak waktu yang bisa aku manfaatkan untuk menjalani aktifitas di rumah. Jam masih menunjukkan di angka enam pagi, dan matahari mulai hadir menampakkan sinarnya. Aku mulai membantu ibu mengangkat beberapa bahan makanan untuk membuat rujak, karena biasanya di pagi ini banyak orang berdatangan untuk membeli sarapan pagi. Syukurlah, di waktu ini jug