-teraniaya-
Aku baru saja melangkahkan kaki, dan mulai keluar dari masjid usai mengisi ceramah di masjid desa sebelah. Ceramah yang baru saja kusampaikan, bertemakan dengan kesabaran seorang suami, yang diambil dari dari kitab Jawahirul Lu’luiyyah. Ya, meskipun diriku belum berumah tangga, setidaknya kusudah mulai memahami dan mulai mengerti, agar nanti jika diriku sudah menikah, kusudah memiliki kemampuan serta ilmu yang cukup untuk membangun rumah tangga. Kumulai menaiki motor usai berpamitan dengan pihak masjid serta beberapa jamaah yang masih belum pulang. Saat dalam perjalanan pulang, ada rasa yang sedikit tidak enak di saatku melaju. Entahlah, mungkin saja diriku sedang merasa tidak enak badan, sehingga apapun suasana di sekelilingku ini tak begitu nyaman untuk dirasakan.
Sepuluh menit kemudian, kumulai memasuki gang rumahku yang sedikit gelap. Tak biasanya jalanan ini gelap seperti ini, entah mungkin saja lampunya sudah tiba waktunya untuk diganti. Tak lama akan hal itu, diriku mulai dihadang oleh tiga orang yang berpakaian hitam layaknya seorang preman.
“Hey, berhenti!” seru salah seorang preman itu.
“Maaf bang ini ada apa ya?” tanyaku dengan penuh keheranan.
“Loe yang namanya Aldi kan?” Tanya preman itu.
“Iya emang ini ada apa ya bang?” tanyaku kembali.
“Ahhh udah nggak usah banyak bacot loe.” Tukas preman itu.
Tak banyak waktu, tiga orang preman itu langsung menghajarku. Perutku mulai ditendang, wajahku dihantam lalu tubuhku di injak-injak dan kakiku dipukul oleh sebuah balok kayu besar. Tak lama mereka menghajarku, dalam waktu lima menit mereka pun mulai pergi meninggalkan diriku yang mulai terkapar. Aku tak mampu untuk bergerak, dan kakiku tak mampu untuk kembali berdiri dalam membangkitkan tubuh ini. Karena begitu terasa sakit, pada akhirnya kumulai pingsan. Waktu tak berjalan lama, salah seorang warga menemukanku yang tergeletak lemas di jalanan ini.
“Yaa ampun Astaghfirullah hal adzim, ini kan mas Aldi.” Sontaknya dengan kaget.
“Tolong!! Tolong!!!.” Teriaknya kepada warga.
Warga pun mulai berdatangan, dan mulai membopongku menuju rumah yang jaraknya tak begitu jauh. Saat tiba di rumah, ibu begitu shock melihat tubuhku yang mulai terlihat memar.
“Astaghfirullah hal adzim ya Allah, kamu kenapa Di, kok bisa babak belur seperti ini.” Keluh ibu.
“Tadi Aldi dikeroyok sama sekelompok preman buk, nggak tahu apa masalahnya.” Jawabku.
Ibu mulai memijat tubuhku serta membersihkan beberapa luka yang masih membekas di pipiku. Tak begitu dalam rasa sakit yang saat ini kurasakan, kecuali kaki ini yang masih terasa sakit bila digerakkan. Tak ada hal lagi yang bisa kulakukan kecuali hanya tidur dan mulai beristirahat.
Satu hari pun telah berlalu, kumulai terbangun saat alarm berdering pada pukul setengah tiga pagi. Kumulai bangkit dari tempat tidur, namun tubuh ini masih terasa sakit. Kucoba untuk menguatkan diri meski kaki ini masih terasa memar, sehingga terpaksa diriku menjalani shalat dengan cara duduk. Dan ketika waktu pagi telah datang menyambut, ibu mulai memasuki kamarku dan mulai melihat kondisiku yang mulai melemah.
“Gimana kondisimu sekarang Di?” Tanya ibu.
“Yahh, kalau badan masih agak mending buk, tapi kaki Aldi terasa sakit bila digerakkan.” Jawabku.
“Hemm, ya sudah nanti ibuk antar kamu ke tukang pijat ya Di!” pinta ibu.
“Baiklah buk.” Jawabku.
Kumulai menikmati sarapan pagi yang sudah disiapkan oleh ibu, usai sarapan aku segera meluangkan waktu untuk duduk sejenak di teras rumah. Seperti biasanya hal ini selalu kulakukan agar tidak terasa jenuh serta sebagai upaya untuk menghibur diri.
Mentari mulai memancarkan sinarnya, dan mulai memberikan kehangatan untukku. Bunga-bunga mulai tersenyum dan puluhan burung mulai berkicau saat bertengger di atas ranting-ranting pepohonan yang lebat. Begitu juga dengan diriku, kumulai mencoba melukis senyuman baru pada wajahku, agar kudapat melupakan sejenak rasa sakit pada tubuh yang saat ini kuderita. Memang sendiri itu tak enak, apalagi di usia yang sudah mulai dewasa namun seorang permaisuri sebagai pendamping hidup belum tiba saatnya untuk datang.
Dalam kesendirian ini aku kembali berpikir tentang rasa sakit yang telah kualami saat ini. Kejadian tadi malam sungguh tidak masuk akal. Bayangkan saja, sekelompok preman menghajarku habis-habisan lantas mereka pergi begitu saja tanpa menjarah barang-barang yang kubawa. Aku mulai curiga, jangan-jangan dibalik semua ini ada otak yang menyuruh preman-preman tersebut untuk menghajarku. Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, secepatnya kuharus menyelidiki, tentang siapakah pelaku dibalik semua ini.
Kucoba untuk berdiri, dan mulai menggerakkan tubuh ini dengan perlahan. Saat aku berdiri, kumulai terjatuh. Ya ampun, ternyata cukup sakit juga bila kaki ini dibuat untuk berjalan. Entahlah, setidaknya aku akan bersabar untuk hari-hari ke depan, mungkin tak sampai dua minggu juga akan sembuh.
-kebun teh-
Terkadang sendiri itu menyakitkan, apalagi jika memendam rasa yang cukup dalam. Aku bagaikan mawar hitam yang tumbuh dalam sebuah pekarangan, tiada satupun bunga yang mekar. Sehingga hanyalah kehampaan, serta kesedihan yang selalu menekan. Hati kecilku pun mulai berkata, seakan ada dorongan untuk memaksa agar diriku bisa cepat mendapatkan sang pujaan hati. Aku menyadari akan hal itu, tetapi dalam waktu yang dekat ini, sepertinya juga tidak mungkin. Namun aku akan tetap bersabar dalam menyikapi keadaan ini, karena dibalik derasnya hujan dan badai, pasti akan hadir sebuah pelangi.
“Aldiiiii." panggil Aisy dari kejauhan saat diriku melamun dan bersandar pada tembok.
“Ehhh Aisy, ngagetin orang aja." jawabku sambil tersenyum.
“Abisss, kamu dari tadi ngelamun aja sihh, bikin aku bete aja." jawabnya sambil sedikit cemberut.
“Hehehe, iya-iya." balasku.
“Yaudah main yuk!" serunya.
“Hemm, emang mau main ke mana mendung-mendung begini. Awas hujan lohh." tukasku.
“Ke kebun teh sebelah. Yaudah buruan yuk nggak usah bengong!" serunya kembali.
“Yaudah, aku izin sama ibu dulu yaa." jawabku.
Setelah mendapat izin dari ibu, aku segera mengeluarkan sepeda dari dalam rumah. Aku dan Aisy mulai melakukan perjalanan yang kira-kira jaraknya dapat ditempuh sekitar lima kilometer dari rumah. Perjalanan kali ini sungguh sangat menyenangkan, di mana aku dan Aisy bisa saling berbicara di atas dua roda ini. Selain itu, di kiri maupun kanan penuh dengan pemandangan alam yang sangat indah, ada persawahan yang mulai menguning juga ada ribuan burung sriti terbang di atasnya.
Tak sampai tiga puluh menit, kita akhirnya telah tiba di kebun teh ini. Aku dan dia segera memarkir sepeda lalu kita mulai berjalan menyusuri kebun yang indah ini. Kita mulai berlari-lari kecil sambil mengejar kupu-kupu yang terlintas di depan kita. Akan tetapi, semakin kita kejar kupu-kupu itu, semakin jauh pula kupu-kupu itu pergi. Kita berdua kembali berlari, namun kumulai lelah sehingga terpaksa diriku beristirahat sejenak, dan mulai bersandar di batang pohon.
“Ahhh Aldi kenapa berhenti sih.” Ucap Aisy.
“Bentar Aisy, aku capek banget nih.” Jawabku sambil mengusap keringat.
“Hemmm kamu, tiap kali diajak main selalu aja dikit-dikit capek.” Keluh Aisy sambil cemberut.
Lalu Aisy terduduk di depanku, namun dia hanya terdiam sayu, mungkin saja dia sedikit merasa kesal akan diriku yang tak bisa membuatnya gembira saat kita main bersama. Akan tetapi diriku tahu akan karakter Aisy, seberapa besar dia marah padaku, tak lama lagi dia juga pasti tersenyum. Tanpa sengaja, sepertinya aku telah menemukan sesuatu di belakangnya. Kumulai penasaran akan hal itu, sehingga mau tidak mau kuharus bicara.
-mahkota-
“Aisy, sepertinya aku melihat sesuatu di belakang kamu.” Ucapku.
“Apaan sih?” tanyanya.
Lalu aku berdiri dan mulai kuambil benda itu. Ternyata itu adalah mahkota yang dibuat dari serabut serta terhiasi penuh dengan bunga-bunga.
“Wahh apaan tuh Di?” Tanya Aisy.
“Aku juga nggak tahu ini apa, tapi kalau dilihat dari bentuknya. Ini sebuah mahkota yang terbuat dari hiasan bunga.” Jawabku.
“Indah sekali yaa.” Imbuh Aisy.
“Iya nih, coba aku pasang di kepalamu.” Pintaku.
“Emmm, boleh-boleh.” Jawabnya kembali.
Dengan perlahan, kumulai memasangkan mahkota ini padanya. Subhanallah, seumur hidup selama diriku kenal dengannya, tak pernah kulihat sebuah keindahan maupun kecantikan yang ada pada dirinya saat ini, begitu terlihat berbeda dari wajahnya yang dulu. Aku layaknya pangeran yang siap mengantarkan Cinderella menuju tempat tertinggi, di mana di sana kita akan menuai benih-benih cinta dan kebahagiaan.
“Tak perlu menjadi seorang raja untuk bisa kupasangkan mahkota indah ini padamu, karena sesungguhnya ketulusan hatiku hanya untuk dirimu seorang.” Batinku dalam hati.
Aku dan dirinya mulai terdiam dan saling menatap mata, namun tiba-tiba suara rintikan air mulai terdengar dengan perlahan. Ternyata hujan telah hadir dalam kebersamaan kita. Rintikan hujan itu semakin lama semakin kencang. Derasnya hujan yang membasahi bumi ini membuat kita berdua berlari kencang menuju tempat untuk bisa bernaung. Kita terus berlari kencang sambil berteriak dan tertawa bahagia. Hujan kali ini sungguh berbeda dari biasanya, begitu syahdu sekali dari yang kurasakan sebelumnya. Namun ketika jalanan ini mulai menurun, diriku kembali kelelahan hingga pada akhirnya kuterjatuh, blukkkkk.
“Aldi.” Panggil ibu.
“Emm iya bu.” Jawabku.
“Ayo katanya mau pijat, kok malah tiduran di sini?” Tanya ibu.
“Iya buk maaf Aldi ketiduran, ya sudah sebentar lagi ya.” Jawabku.
“Baiklah, ibuk siapin sarapan dulu.” Imbuh ibu kembali.
Ya Allah, begitu bahagianya diriku hari ini, bersama menikmati keindahan alam bersama Aisy di kebun teh. Ya, meskipun itu hanyalah mimpi sejenak yang baru saja kurasakan, namun hal tersebut telah mampu membawaku ke dunia lain. Entahlah, mungkin lebih baik diriku bersabar saja, karena mendapatkan hati seseorang itu juga tidak semudah dari yang kubayangkan.
-pelaku sebenarnya- Waktu pun akan terus berjalan, sudah satu minggu kepergian bapak dari kehidupan ini. Mungkin saja usai kepergian beliau, hal ini bisa membuat diri Aisy sadar dan mulai berubah akan perilakunya. Setiap untaian doa sudah pasti kupanjatkan untuknya, karena semua itu juga demi kebaikannya. Insya Allah, selama diriku terus berusaha, Allah pasti akan membukakan jalan untuknya, karena kujuga percaya bahwa kerasnya batu sudah pasti bisa hancur oleh tetesan air hujan. Namun sayangnya, ada satu hal yang membuat diriku tak habis pikir. Kuberpikir usai kepergian bapaknya mungkin bisa membuat diri Aisy bisa berubah, ternyata semua yang kupikirkan telah terjadi di luar dugaan. Aisy kembali terlibat dalam pergaulan yang salah sebagaimana yang dia lakukan bersama teman-temannya. Kurasa kesedihan yang kerap dia alami bisa membuat dirin
-kesendirian- Semenjak Aisy pergi meninggalkan rumah, aku mulai berperan membantu segala aktivitasnya di rumah, karena sebenarnya aku tak ingin beliau merasa kesepian dan tersendiri, maka sebisa mungkin kuharus bisa melukis senyuman baru pada wajah beliau. Rasa letih dan juga lelah sudah pasti kurasa, karena aktivitasku juga banyak sekali. Entahlah, kujalani saja semua ini dengan ikhlas dan sabar, karena aku menyadari jika ini sudah menjadi takdir yang harus diterima. “Nak Aldi." panggil beliau. “Iya buk." jawabku. “Sebaiknya kamu nggak usah setiap hari ke sini, tanpa harus kamu bantu-bantu ibuk sudah bisa melakukannya sendiri kok nak." ucapnya. 
-Terbaring lemah- Alhamdulillah, hari libur pun telah datang untukku, sehingga kubisa kembali meluangkan banyak waktu untuk menemani ibunya Aisy. Lelah sudah pasti kurasa, namun aku sikapi semua dengan rasa senang, agar diriku bisa ikhlas dalam melakukan semua yang ada. Sebenarnya, hari ini kutelah diundang untuk mengisi sebuah ceramah di salah satu tempat, namun dengan lembut kumenolak, karena kulebih memilih menemani beliau agar tidak merasa kesepian. Kumulai membaca Al-Qur’an dengan tartil, karena di waktu ini rasa kegelisahanku mulai meluap, dan hanya dengan membaca Al-Qur'an hati ini akan terasa lebih tenang dan lebih tentram, di sisi lain kujuga turut mendoakan untuk kebaikan keluargaku dan juga keluarga Aisy. Baru saja diriku membaca tiga halaman, tiba-tiba diriku kaget usai mendengar suara gelas pecah di kamar beliau, pyarrrr
-Terbaring Lemah- Pagi hari ini cuacanya begitu sangat cerah. Angin-angin mulai berhembus dari arah timur, memberikan aku kesejukkan di saat diriku menikmati suasana pagi dengan secangkir kopi manis buatan ibu. Sekarang adalah hari minggu, hari di mana orang-orang menikmati waktunya untuk berlibur, entah itu ke pantai, atau ke puncak gunung. Aku tidaklah meluangkan waktu liburku untuk bermain, melainkanku lebih sering membantu ibu dalam berjualan rujak di rumah, lagipula kujuga belum berkeluarga, jadi masih banyak waktu yang bisa aku manfaatkan untuk menjalani aktifitas di rumah. Jam masih menunjukkan di angka enam pagi, dan matahari mulai hadir menampakkan sinarnya. Aku mulai membantu ibu mengangkat beberapa bahan makanan untuk membuat rujak, karena biasanya di pagi ini banyak orang berdatangan untuk membeli sarapan pagi. Syukurlah, di waktu ini jug
-Terbaring lemah- Dia masih tertidur dan terbaring lemah di atas ranjang itu, sudah satu hari ini kutelah menunggu agar dirinya bisa segera sadar. Segala doa telah kupanjatkan di saatku shalat maupun di setiap waktu, agar datang segera keajaiban atas kesadaran yang ada pada diri Aisy, baik sadar dalam hal fisik, maupun sadar atas segala sikap yang selama ini dia lakukan padaku, maupun pada sang ibu. Dengan perlahan, waktu demi waktu mulai berjalan, sudah saatnya bagiku untuk kembali pulang dan menuju rumah sakit yang berbeda di mana saat ini ibunya Aisy dirawat. Dalam perjalanan ini, Aku benar-benar bingung. Aisy sudah berhasil kutemukan, namun diriku belum siap untuk mengatakan hal ini pada ibunya, karena aku tak ingin melihat beliau jadi tambah stress dan juga shock setelah tahu bahwa Aisy baru saja mengalami kecelakaan, dan parahnya lagi,
-kepulangannya- Kebersamaan itu akan terasa lebih indah bersama seseorang yang kita cintai, baik antar keluarga maupun sahabat. Betapa bahagianya diri ku dahulu di saat bapak masih muda, di mana kita bisa bermain, bercanda tawa, serta beribadah bersama dalam satu rumah. Namun setelah kepergian bapak, hidupku seakan-akan tidak bisa bersemangat lagi meski telah kupaksakan. Namun beruntung, masih ada ibu di sampingku, yang bisa menemani diriku hingga kubisa menjalani hari-hari indah ini meski belum memiliki pasangan hidup. Hal yang sama juga dialami oleh Aisy, ayahnya baru saja meninggal dunia, meninggalkan semua kenangan indah yang pernah mereka miliki berdua. Aku sempat prihatin usai sepeninggalnya, akankah Aisy ada rasa penyesalan usai ayahnya pergi, atau malah membuat diri Aisy semakin bebas dalam bergaul, karena tidak ada keluarga yang bisa m
-aku mulai melupakannya- Saat diriku teringat bahwa ini adalah jilbab putih milik Aisy, saat itulah kumencoba untuk membersihkan jilbab ini dari bekas darahku yang telah menempel. Entah kenapa di saatku sedang mencuci jilbab ini, bayangan sosok Aisy di mataku semakin kuat, tentunya bukan bayangan Aisy yang sekarang, melainkan bayangan Aisy di saat dia masih kecil, tepatnya di saat kita masih sama-sama duduk di bangku sekolah. Setelah aku mencucinya, kucoba untuk memberikan sebuah pewangi agar harum sebelum kujemur di bawah terik panas matahari. Apa yang ingin kulakukan saat ini sebagai wujud untuk kembali mengenang masa-masa indah antara aku dengan dirinya, sejak dulu hingga saat ini. Hari telah berganti, dan kini tiba saatnya diriku untuk berpamitan pada ibu untuk berangkat kerja. Aku akan menjalani aktifitas seperti biasanya tanpa pernah meng
-kedatanganku- Pagi hari pun telah tiba, usai diriku mandi dan shalat Dhuha, aku segera berpamitan dengan ibu untuk berangkat kerja. Ada satu rencana yang ingin kulakukan tanpa harus bilang ke ibu, di mana di pagi ini aku berencana untuk menemui Aisy sebelum berangkat kerja, karena kumenduga mungkin ibu juga tidak akan setuju jika kuharus menemui Aisy. Sebenarnya, aku benar-benar tidak ada kemauan untuk menemui dirinya, hanya saja untuk kali ini kuharus nekat. Kedatanganku hanyalah ingin meminta maaf serta mengembalikan jilbab putih ini yang sudah berumur belasan tahun. Ya, lebih baik kukembalikan saja agar diriku tidak tergoda untuk mengenangnya. “Aldi berangkat dulu ya buk." ucapku pada ibu saat berpamitan untuk berangkat kerja. “Iya Di, hati-hati di jalan, semangat ya.
-Semangat Pagiku- Assalamualaikum Warahmatullah. Baru saja ku menyelesaikan shalat secara berjamaah bersama dia dan juga ibu, dan sekarang adalah waktu yang terbaik untukku agar segera mandi untuk persiapan masuk kerja. Saat diriku mulai beranjak menuju kamar mandi, saat itulah kumelihat dirinya berdandan dengan penuh pesona, aku dibuat kagum olehnya. Sudahlah, lebih baik kulanjutkan saja aktifitasku mandi sejenak. “Ibuk, ada yang bisa dibantu?” ucap Aisyah pada ibuku. “Emmm ndak usah dulu Aisyah, ibuk udah selesai kok.” Jawab ibu. “Ohh ya sudah, Aisyah beres-beres dulu aja ya buk.” Ucap kembali Aisyah. “Iya Aisyah, silakan.” Jawab ibu ke
-sore yang indah- Aku baru saja mandi di waktu ini. Waktu telah menunjukkan tepat di angka tiga sore, sebagaimana rencana yang sudah kita buat kemarin, kita akan meluangkan waktu di taman bunga. Saat kita berdua sudah siap untuk berangkat, aku dan istriku segera berpamitan pada ibu. “Ibuk, kami berangkat dulu ya.” Ucap Aisyah pada ibu. “Iya nak, kalian berdua hati-hati di jalan ya, dan Jangan pulang malem-malem.” Jawab ibu. “Baik buk, insya Allah nanti jam delapan kita sudah berada di sini.” Tambahku. “Iya Di, jaga istri kamu ya!” seru ibu. “Iya buk, Assalamualaikum.” Uca
-hadiah terindah- Di sore hari ini, kumulai terduduk sendiri. Tak ada seorang pun yang bisa menemani kecuali hanyalah hembusan angin serta suara kicauan burung-burung yang sedang bertengger. Saat kuterduduk, di saat ini pula kumulai merenungi, akan sebuah kisah serta kebersamaan yang pernah kulakukan bersama dia di hari kemarin-kemarin. Kemarin kita masih bisa bersama, kemarin kita juga masih bisa tertawa bahagia. Namun kini kebahagiaan itu hanya ada di satu pihak, yang tidak lain hanya ada pada diri Aisy. Kuyakin hari ini dia pasti sangat berbahagia, karena dia sudah bisa menikmati kesehatan yang di mana selama ini dia harus bertahan dari kelumpuhan, sementara kuharus mundur dan mulai berniat melangkah pergi dari kenyataan itu. Tentu diriku tidak akan langsung pergi begitu saja, karena kuingin meninggalkan satu kenangan yang bisa kuberikan unt
-ku mulai menyadari kesalahanku- Aisy mulai membuatku merasa bimbang dan penuh dengan rasa penasaran. Sebenarnya Aku belum siap menerima kalimat yang akan dia lontarkan saat ini, namun mau tidak kuharus segera menerima alasan yang akan dia berikan. Rasa takut dan bersalah memang sudah pasti kurasakan, namun entahlah, jika pun nanti pada akhirnya Aisy mulai memintaku untuk pergi, maka Aku harus siap sepenuh hati. “Aldi, kamu masih ingat kebersamaan kita di saat kita baru lulus dari sekolah SD.” Ucapnya. “Tentu Aisy, aku benar-benar ingat dengan semua yang pernah kita lakukan bersama pada saat itu.” Jawabku. “Dan kamu juga masih ingat kan, usai kelulusan itu kita sempat berpisa
-kedatanganku- Pagi hari pun telah tiba, usai diriku mandi dan shalat Dhuha, aku segera berpamitan dengan ibu untuk berangkat kerja. Ada satu rencana yang ingin kulakukan tanpa harus bilang ke ibu, di mana di pagi ini aku berencana untuk menemui Aisy sebelum berangkat kerja, karena kumenduga mungkin ibu juga tidak akan setuju jika kuharus menemui Aisy. Sebenarnya, aku benar-benar tidak ada kemauan untuk menemui dirinya, hanya saja untuk kali ini kuharus nekat. Kedatanganku hanyalah ingin meminta maaf serta mengembalikan jilbab putih ini yang sudah berumur belasan tahun. Ya, lebih baik kukembalikan saja agar diriku tidak tergoda untuk mengenangnya. “Aldi berangkat dulu ya buk." ucapku pada ibu saat berpamitan untuk berangkat kerja. “Iya Di, hati-hati di jalan, semangat ya.
-aku mulai melupakannya- Saat diriku teringat bahwa ini adalah jilbab putih milik Aisy, saat itulah kumencoba untuk membersihkan jilbab ini dari bekas darahku yang telah menempel. Entah kenapa di saatku sedang mencuci jilbab ini, bayangan sosok Aisy di mataku semakin kuat, tentunya bukan bayangan Aisy yang sekarang, melainkan bayangan Aisy di saat dia masih kecil, tepatnya di saat kita masih sama-sama duduk di bangku sekolah. Setelah aku mencucinya, kucoba untuk memberikan sebuah pewangi agar harum sebelum kujemur di bawah terik panas matahari. Apa yang ingin kulakukan saat ini sebagai wujud untuk kembali mengenang masa-masa indah antara aku dengan dirinya, sejak dulu hingga saat ini. Hari telah berganti, dan kini tiba saatnya diriku untuk berpamitan pada ibu untuk berangkat kerja. Aku akan menjalani aktifitas seperti biasanya tanpa pernah meng
-kepulangannya- Kebersamaan itu akan terasa lebih indah bersama seseorang yang kita cintai, baik antar keluarga maupun sahabat. Betapa bahagianya diri ku dahulu di saat bapak masih muda, di mana kita bisa bermain, bercanda tawa, serta beribadah bersama dalam satu rumah. Namun setelah kepergian bapak, hidupku seakan-akan tidak bisa bersemangat lagi meski telah kupaksakan. Namun beruntung, masih ada ibu di sampingku, yang bisa menemani diriku hingga kubisa menjalani hari-hari indah ini meski belum memiliki pasangan hidup. Hal yang sama juga dialami oleh Aisy, ayahnya baru saja meninggal dunia, meninggalkan semua kenangan indah yang pernah mereka miliki berdua. Aku sempat prihatin usai sepeninggalnya, akankah Aisy ada rasa penyesalan usai ayahnya pergi, atau malah membuat diri Aisy semakin bebas dalam bergaul, karena tidak ada keluarga yang bisa m
-Terbaring lemah- Dia masih tertidur dan terbaring lemah di atas ranjang itu, sudah satu hari ini kutelah menunggu agar dirinya bisa segera sadar. Segala doa telah kupanjatkan di saatku shalat maupun di setiap waktu, agar datang segera keajaiban atas kesadaran yang ada pada diri Aisy, baik sadar dalam hal fisik, maupun sadar atas segala sikap yang selama ini dia lakukan padaku, maupun pada sang ibu. Dengan perlahan, waktu demi waktu mulai berjalan, sudah saatnya bagiku untuk kembali pulang dan menuju rumah sakit yang berbeda di mana saat ini ibunya Aisy dirawat. Dalam perjalanan ini, Aku benar-benar bingung. Aisy sudah berhasil kutemukan, namun diriku belum siap untuk mengatakan hal ini pada ibunya, karena aku tak ingin melihat beliau jadi tambah stress dan juga shock setelah tahu bahwa Aisy baru saja mengalami kecelakaan, dan parahnya lagi,
-Terbaring Lemah- Pagi hari ini cuacanya begitu sangat cerah. Angin-angin mulai berhembus dari arah timur, memberikan aku kesejukkan di saat diriku menikmati suasana pagi dengan secangkir kopi manis buatan ibu. Sekarang adalah hari minggu, hari di mana orang-orang menikmati waktunya untuk berlibur, entah itu ke pantai, atau ke puncak gunung. Aku tidaklah meluangkan waktu liburku untuk bermain, melainkanku lebih sering membantu ibu dalam berjualan rujak di rumah, lagipula kujuga belum berkeluarga, jadi masih banyak waktu yang bisa aku manfaatkan untuk menjalani aktifitas di rumah. Jam masih menunjukkan di angka enam pagi, dan matahari mulai hadir menampakkan sinarnya. Aku mulai membantu ibu mengangkat beberapa bahan makanan untuk membuat rujak, karena biasanya di pagi ini banyak orang berdatangan untuk membeli sarapan pagi. Syukurlah, di waktu ini jug