Home / Romansa / Panggil Aku Aisyah / 5. Aisyy Zacky

Share

5. Aisyy Zacky

Author: Viand Wahyudi
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

-Di pagi itu-

         Pagi yang cerah untuk jiwa yang sepi. Di pagi inilah kumulai merasakan aroma kesegaran, hembusan angin serta dinginnya udara di pagi hari mulai aku nikmati, sehingga kesejukkan mulai merasuk sampai ke dasar jiwaku. Jam enam pagi, adalah waktu di mana aku mulai terduduk sambil menikmati indahnya pesona alam. Kesepian dan kesendirian memang aku rasakan sekarang, namun jiwaku tidak hanya sendiri, karena ada Allah yang senantiasa menemani hari-hariku di setiap waktu.

          Saat ku terduduk di sini, saat itulah ku kembali teringat atas sosok wanita yang akhir-akhir ini mulai menghantui pikiranku di setiap waktu. Entah kenapa hal ini bisa terjadi aku sama sekali tak mengerti, mungkinkah ini sudah menjadi pertanda akan datang masa di mana aku akan menuai bahagia.

           “Aldi.” Ucap ibu dari arah belakangku.

           “Ehhh ibuk.” Jawabku.

           “Kamu belum berangkat? Kok masih duduk-duduk sendiri di sini.” Tanya ibu.

           “Iya buk lima menit lagi Aldi berangkat.” Jawabku.

           “Ya sudah, kamu sarapan dulu sana!” seru ibu.

           “Iya buk sudah, barusan Aldi sudah makan singkong buatan ibuk.” Jawabku.

           “Ohh, ya sudah kalau begitu.” Tambahnya.

           “Ohh iya buk, seratus harinya bapak kapan yaa?” tanyaku.

           “Insya Allah dua minggu lagi Di.” Jawab ibu kembali.

           “Emmm begitu.” Jawabku.

           Lalu ku membuka tas untuk mengambil sebuah amplop.

           “Ohh iya buk, ini gaji Aldi bulan kemarin buat ibuk, insya Allah ini cukup buat acara tahlilan almarhum bapak.” Ucapku.

           “Nggak usah Di, mending tuh uang kamu tabung aja, kamu kan belum menikah.” Tukas ibu.

           “Udah ibuk bawa aja, Aldi masih punya pegangan uang kogh buk.” Jawabku.

           “Ya sudah ibuk bawa, nanti kalau ada sisa ibuk kembalikan.” Imbuh ibu.

           “Tidak buk, semua buat ibuk aja.” Jawabku kembali.

          Waktu sudah menunjukkan di angka setengah tujuh, sudah waktunya diriku  berangkat.

           “Ohh iya buk, Aldi pamit berangkat dulu yaa.” Ucapku sambil kucium tangan ibu.

           “Iya Aldi hati-hati di jalan.” Seru ibu.

           “Iya buk, Assalamualaikum.” Ucapku.

           “Walaikum salam.” Jawab ibu kembali.

        Aku pun segera menaiki motor dan mulai melaju dengan pelan. Dalam perjalanan ini, kukembali menikmati suasana pemandangan alam di sekitarku, salah satunya adalah area persawahan. Ketika aku melihat persawahan itu, aku jadi teringat akan masa kecilku di mana di saat usiaku masih SD, bapak sering mengajakku untuk membantunya di sawah. Sayangnya kini bapak telah tiada, dan pergi di saatku jauh darinya.

          Entahlah, semua hanya bisa kupasrahkan pada Allah, aku hanya bisa mendoakan agar bapak mendapatkan kenikmatan di alam kuburnya. Kukembali melaju dengan kecepatan yang masih pelan, ketika baru saja melewati persimpangan, tak sengaja aku berpapasan dengan sebuah mobil sedan warna biru lagi. Kusempat melihat siapakah pengemudi itu ternyata dia adalah seseorang yang selama ini menghantui pikiranku. Tak banyak waktu, kulangsung berbalik arah dan mulai mengikuti mobil itu dari belakang.

       Kuyakin dia pasti orang di wilayah desa ini, karena seringkali kita selalu bertemu di daerah ini. Tak seberapa lama, perempuan itu telah sampai di depan rumahnya. Kumulai mengamatinya dari balik pohon. Tiba-tiba terjadi perdebatan antara perempuan itu dan ibunya.

          “Aisy, dari mana saja kamu. Semalem nggak pulang-pulang, mau jadi apa kamu nak." sontak ibunya.

          “Aduhh ibuk, maaf Aisy lagi capek. Jadi jangan bikin Aisy tambah pusing dah." bantahnya.

           Di saatku mulai mengamati perdebatan mereka, kumulai teringat bahwa ternyata perempuan itu adalah Aisy, sahabatku di saat kita masih duduk di bangku SD. Kumulai tersenyum dan dengan perlahan kucoba untuk mendekati mereka.

           “Aisy.” Ucapku yang membuat mereka berdua langsung menoleh ke arah wajahku.

            Dengan rasa percaya diri, ku langsung menghampirinya.

           “Assalamualaikum Aisy, syukurlah jika kamu masih ingat sama aku.” Ucapku.

           “Ehemm, kamu siapa yaa, kok tiba-tiba datang dengan ucapan yang sangat aneh.” Gumamnya.

           “Aisy, kamu lupa yaa? Aku ini Aldi, sahabat kamu di saat kita sama-sama duduk di bangku SD, aku yakin kamu pasti ingat kan.” Terangku.

           “Oalahhh, Aldi anaknya pak Husein yang kerjanya jadi petani itu yaa.” Jawabnya sambil mengece.

           “Aisy, kalau bicara sama tamu tuh yang sopan.” Sahut ibunya Aisy.

           “Udah ahh buk, Aisy tuh ngantuk dari semalem belum tidur.” Bantah Aisy lalu masuk ke dalam rumah.

           “Nak Aldi, maafin Aisy ya, mungkin kita bisa bicara berdua di dalam!” seru ibunya.

           “Iya baik buk bisa.” Jawabku.

          Lalu aku dan beliau mulai terduduk di kursi tamu yang ada di teras.

         Saat kita terduduk, beliau sempat menawarkanku secangkir kopi namun dengan lembut aku menolak. Aku mulai menceritakan tentang diriku saat masih satu sekolah dengan Aisy di waktu SD, selain itu kumulai menceritakan pada ibunya mengenai perpisahanku dengannya selama ini, bahwa diriku telah menjalani masa pendidikan di pondok pesantren sampai pada akhirnya aku telah lulus kuliah lalu menjalani profesi sebagai seorang guru.

          Usai bercerita singkat dan tak terlalu panjang lebar, kini giliran beliau yang akan menceritakan tentang kehidupan Aisy sejak dia masih duduk di bangku SMP hingga Aisy dewasa seperti ini. Namun, betapa terkejutnya diriku ketika beliau mulai menceritakan tentang pergaulan Aisy selama ini, di mana Aisy mulai salah pergaulan di saat dia remaja. Ku benar-benar tak percaya, mengapa Aisy yang dulu kukenal sebagai perempuan yang baik, lugu, sopan dan lemah lembut, kini telah menjadi anak yang seringkali membangkang akan nasihat orang tua.

           “Ya sudah kalau begitu saya pamit berangkat dulu ya buk.” Ucapku pada bu Dewi.

           “Iya nak Aldi, hati-hati di jalan yaah.” Jawabnya.

           “Assalamualaikum.” Ucapku sambil mencium tangan beliau.

           “Walaikum salam.” Jawabnya kembali.

-mulai prihatin-

          Setelah berbincang-bincang dengan ibunya Aisy dengan waktu yang sedikit lama, kini kukembali berangkat menuju sekolah di mana ku harus mengajar para murid. Dalam perjalanan ini, pikiranku mulai sedikit tak tenang usai mendengar cerita dari apa yang telah diceritakan oleh beliau. Sungguh aku tak menduga dan benar-benar tak menyangka jika Aisy yang selama ini kukenal dengan sangat baik kini telah menjadi anak yang mulai durhaka terhadap orang tua, parahnya lagi, kelakuan Aisy yang seperti ini sudah mulai terjadi sejak dia masih duduk di bangku SMP, kusadari karena semua ini dia telah salah dalam memilih pergaulan.

        Hal ini tak bisa dibiarkan, secepatnya kuharus mencari tindakan, agar Aisy bisa berubah dan menyadari akan semua yang diperbuatnya. Pantas saja jika dia berubah, karena sejak dari dulu di waktu awal-awal kutinggal di pesantren, dia tak pernah membalas surat-suratku walau hanya sekedar tahu akan kabarku.

         Dan kini kutelah tiba di sekolah. Sepertinya aku sedikit terlambat dikarenakan tadi masih menyempatkan waktu untuk mengobrol sejenak dengan ibunya Aisy. Dan ku kembali mengajar sebagaimana yang aku lakukan setiap harinya. Menjadi seorang guru itu memang sudah menjadi kewajiban dalam memberikan pendidikan terhadap murid-murid, agar kelak mereka bisa menjadi anak yang baik dan berguna terhadap masyarakat. Menyikapi akan hal ini, membuatku mulai berpikir. Akankah diriku bisa mendidik seorang perempuan, salah satunya adalah Aisy. Ingin rasanya diriku untuk bergerak dalam menjalani pertemanan sebagaimana kita dulu masih sama-sama duduk di bangku SD. Entahlah, kuyakin jika dirinya pasti memiliki sikap baik.

-album foto-

        Waktu sore pun telah tiba, kini aku telah selesai dalam menjalankan tugasku di hari ini, dan sudah saatnya kembali pulang ke rumah. Saat diriku telah sampai dan tiba di rumah, saat itu juga kumulai membuka sebuah koper yang berisi berkas-berkasku seperti ijazah serta surat-surat penting lainnya. Aku tidaklah mencari berkas, tetapi yang kucari-cari adalah album foto di mana dalam album tersebut terdapat banyak foto-foto di saatku masih duduk di bangku SD. Setelah cukup lama aku mencari, akhirnya telah kutemukan album foto itu. Lembar demi lembar mulai aku buka, banyak sekali segala kenangan indah yang ada di album tersebut, ada foto-foto di saat kita rekreasi bersama, dan ada juga foto-foto perpisahan di saat kita pernah menjalani prosesi wisuda.

        Kumulai mengambil satu foto di mana dalam gambar tersebut hanya ada kita berdua, yaitu aku dan Aisy. Dengan penuh ketelitian, kumulai memandangi foto Aisy dengan baik, ternyata sungguh sedikit jauh berbeda wajah Aisy antara dulu dan sekarang. Dulu Aisy terlihat sangat manis, lugu dan selalu memakai jilbab kemanapun dia pergi. Namun entah kenapa saat ini Aisy mulai berubah dalam penampilannya, semenjak dewasa ini, dia tak pernah memakai jilbab dan selalu berpakaian ketat layaknya para artis.

          Apakah ada yang salah dengan didikan orang tuanya, padahal yang aku tahu, Aisy adalah anak dari keluarga yang baik-baik. Sudahlah, aku tak perlu berprasangka buruk, mungkin saja Aisy sedang khilaf, dan aku masih tetap percaya jika Aisy adalah anak yang baik.

           “Aldi, kamu ngapain?” tanya ibu sambil menghampiriku.

           “Ini buk lihat-lihat foto waktu Aldi masih SD.” Jawabku.

           “Ohhh begitu. Itu foto yang kamu pegang, fotomu sama siapa Di, ibuk agak lupa.” Tanya ibu kembali.

           “Iya ini fotoku dengan Aisy buk, dia sahabat baikku dulu, dan dia adalah teman terbaikku dari semua teman-teman yang pernah ada.” Terangku.

           “Ohhh begitu, emang dia sekarang tinggal di mana?” tanyanya.

           “Masih tetap tinggal di desa sebelah kok buk.” Jawabku.

           “Emmm. Yaudah Aldi kamu makan dulu ya nak, ibuk udah persiapkan makan buat kita berdua.” Pinta ibu.

           “Ya buk.” Jawabku.

          Aku segera membereskan semua foto-foto ini, kecuali fotoku dengan Aisy yang masih kupegang, karena kuingin menaruhnya di pigora. Dan aku segera menuju meja makan bersama ibu. Alhamdulillah, dari dulu masakan ibu nggak pernah ada yang membuatku bosan, selalu enak dan juga sedap, segera kuangkat kedua tangan ini untuk memulai berdoa.

          “Rasa nikmat pada makanan ini mulai terasa, andaikan suatu saat ku bisa punya istri yang bisa memasak makanan seenak ini.” Batinku.

Related chapters

  • Panggil Aku Aisyah   6. Gemerlapnya Dunia

    -kebiasaan rutin Aisy- Kehidupan yang saat ini Aisy jalani memang sangat jauh berbeda dibandingkan dengan dulu di saat dia masih duduk di bangku sekolah. Hubunganku dengannya begitu sangat dekat karena kita berdua sudah menjadi satu sahabat yang selamanya akan terus erat. Yang aku tahu, dulu Aisy adalah anak yang rajin, bakti pada orang tua serta senantiasa menjaga tali silaturahim kepada siapapun, siapa sangka jika pada akhirnya dirinya telah berubah drastis, menjadi anak yang selalu membangkang dari nasihat orang tua. Semua itu karena dia salah dalam memilih pergaulan, dia sepertinya sudah terjebak dalam sebuah sumur kenistaan yang dengan perlahan akan menghancurkan jati dirinya sebagai seorang wanita. Setelah aku mengetahui akan hal itu, aku bukannya menghindar dan menjauh dari dirinya, karena aku bukanlah lelaki yang dengan mudah menilai keburukan seorang wanita

  • Panggil Aku Aisyah   7. Sadis

    -sangat khawatir- Hari ini adalah hari liburku untuk bekerja, jadi kalau sudah datang waktu libur, aku lebih banyak membantu ibu berjualan. Aku mulai membantu ibu mempersiapkan dagangan yang akan dijual, mulai dari menata bahan-bahan, menata meja serta membersihkan warung. Alhamdulillah, masih di jam delapan pagi dagangan ibu sudah lumayan ramai. Aku benar-benar semangat untuk hari ini. Tapi, di saatku sedang asyik-asyiknya bekerja, aku jadi teringat akan sosok Aisy dulu di saat dia suka mencicipi rujak buatan ibu, entah sampai saat ini apakah kira-kira Aisy masih suka atau tidak. Saat tiba jam sepuluh pagi, saat itulah aku mulai ingin pergi menuju rumahnya, yang tidak lain hanyalah untuk memberikan bungkusan rujak yang bisa mereka cicipi. Apa yang akan kulakukan saat ini sebagai upaya untuk membangun tali silaturahmi dengan keluarganya. Kusegera berangkat dengan berpamit

  • Panggil Aku Aisyah   8. Berniat untuk Ibadah

    -tekadku- Kini pada akhirnya kuharus pulang sendiri usai memarahi Aisy, yang baru saja menikmati waktu malamnya beserta teman-temannya yang tidak benar. Dalam perjalanan pulang kali ini, aku mulai mengeluh dan juga sedikit menangis meratapi apa yang sudah Aisy lakukan. Dalam hati, aku benar-benar bingung, mengapa Aisy bisa seperti ini perilakunya, tak seperti dulu sebagaimana Aisy yang pernah aku kenal. Kubenar-benar sangat prihatin sekali, aku merasa bahwa Aisy sudah terjebak dalam sebuah pergaulan yang sangat membahayakan dirinya. Entah sudah berapa lamakah Aisy seperti ini. “Ya Allah semoga tidak sampai terjadi apa-apa dengan Aisy ke depannya.” Batinku. Saat diriku sudah tiba di rumah, kumulai terduduk dan hanya diam. Kumulai berpikir dengan cukup cermat, mengena

  • Panggil Aku Aisyah   9. Selalu Saja Salah

    -pertikaian- Aku segera mengambil motor yang telah terparkir di teras rumah Aisy, di mana pada sore hari ini, aku dan ibu akan pulang dengan tangan hampa serta rasa yang penuh dengan kekecewaan. Saat dalam perjalanan pulang, ibu hanya diam saja dengan wajah yang sedikit cemberut terhadapku, aku berfirasat bisa jadi ibu merasa kecewa karena tidak habis pikir setelah melihat kelakuan Aisy yang terbilang kasar pada orang tuanya. Dalam hati aku mulai menyadari sepenuhnya bahwa memang sekarang bukanlah saat yang tepat bagiku untuk mengenalkan Aisy pada ibu. Namun entah bagaimana lagi sedangkan aku ingin ibu bisa cepat merestui diriku yang ingin menjalin hubungan serius dengan Aisy. Dan kini aku dan ibu telah sampai di depan rumah, rasa malu dan tenggang rasa sudah pasti ada dalam hatiku. Betapa tidak, bahwa kelakuan Aisy barusan benar-benar telah me

  • Panggil Aku Aisyah   10. Doaku

    -kegelisahanku- “Aldi.” Sapa ibu saat diriku terduduk sendiri di teras rumah. “Iya buk,” jawabku. “Kamu kenapa masih di sini, udah jam segini kok belum berangkat?” tanya ibu. “Iya buk, mungkin lima menit lagi.” Jawabku. “Emm begitu, oh ya Di, ntar usai pulang kerja kamu mampir ke mpok Mina ya, seperti biasa ambil pesanan ibuk.” Pinta ibu. “Ohh iya buk. Ya sudah kalau begitu Aldi berangkat kerja sekarang aja ya.” Tukasku. “

  • Panggil Aku Aisyah   11. Terpenjara Dalam Sepi

    -kritis- Seperti biasanya, setiap pagi dan setiap hari aku selalu membantu ibu mempersiapkan berbagai peralatan serta perlengkapan jualan rujak. Semua ini sudah menjadi kewajibanku dalam meringankan beban ibu sejak ayah tiada. Dan seperti biasanya, di hari libur seperti ini aku selalu menyempatkan waktu memberikan dua bungkus rujak ke orang tuanya Aisy, karena kusadar jika mereka sangat suka sekali rujak buatan ibu. Di saat hari mulai menjelang siang, segera kusempatkan waktu untuk berangkat ke rumahnya, dan kuyakin di siang hari ini Aisy pasti tidak ada di rumah, karena sudah menjadi rutinitas jika Aisy selalu saja suka bermain-main. “Assalamualikum.” sapaku saat tiba di rumah Aisy. “Walaikum salam nak Aldi, mari silakan masuk.” jawab ibunya Aisy.

  • Panggil Aku Aisyah   12. Selamat Tinggal Bapak

    -kepergian bapak- Waktu telah menunjukkan di angka sepuluh malam, dan di malam inilah kumulai bersandar pada sebuah dipan dan mulai terbaring di atas ranjang. Kumulai terdiam serta merenungi segala apa yang telah terjadi, baik di saat dulu hingga sampai saat ini. Kucoba untuk bertanya pada hati yang terdalam atas sebuah perjalanan cerita kehidupanku, ternyata dari semua yang pernah kualami, tak sebanding dengan apa yang telah Aisy rasakan. Dan sampai saat ini, aku akan tetap mencari tahu mengenai kesalahan apa yang pernah kulakukan padanya, hingga pada akhirnya dirinya sudah tidak sudi lagi untuk berteman denganku. Aku bisa saja pergi, dan mulai menghilang dari kehidupannya, namun mengapa diriku tak sanggup walau harus melangkah setapak. Mungkin semua itu karena diriku belum bisa melupakan segala kenangan yang dulu pernah kita lakukan bersama. Rasa s

  • Panggil Aku Aisyah   13. Karena Kucinta

    -teraniaya- Aku baru saja melangkahkan kaki, dan mulai keluar dari masjid usai mengisi ceramah di masjid desa sebelah. Ceramah yang baru saja kusampaikan, bertemakan dengan kesabaran seorang suami, yang diambil dari dari kitab Jawahirul Lu’luiyyah. Ya, meskipun diriku belum berumah tangga, setidaknya kusudah mulai memahami dan mulai mengerti, agar nanti jika diriku sudah menikah, kusudah memiliki kemampuan serta ilmu yang cukup untuk membangun rumah tangga. Kumulai menaiki motor usai berpamitan dengan pihak masjid serta beberapa jamaah yang masih belum pulang. Saat dalam perjalanan pulang, ada rasa yang sedikit tidak enak di saatku melaju. Entahlah, mungkin saja diriku sedang merasa tidak enak badan, sehingga apapun suasana di sekelilingku ini tak begitu nyaman untuk dirasakan. Sepuluh menit kemudian, kumulai memasuki gang rumahku yang se

Latest chapter

  • Panggil Aku Aisyah   25. Wanita Termulia Sepanjang Zaman

    -Semangat Pagiku- Assalamualaikum Warahmatullah. Baru saja ku menyelesaikan shalat secara berjamaah bersama dia dan juga ibu, dan sekarang adalah waktu yang terbaik untukku agar segera mandi untuk persiapan masuk kerja. Saat diriku mulai beranjak menuju kamar mandi, saat itulah kumelihat dirinya berdandan dengan penuh pesona, aku dibuat kagum olehnya. Sudahlah, lebih baik kulanjutkan saja aktifitasku mandi sejenak. “Ibuk, ada yang bisa dibantu?” ucap Aisyah pada ibuku. “Emmm ndak usah dulu Aisyah, ibuk udah selesai kok.” Jawab ibu. “Ohh ya sudah, Aisyah beres-beres dulu aja ya buk.” Ucap kembali Aisyah. “Iya Aisyah, silakan.” Jawab ibu ke

  • Panggil Aku Aisyah   24. Meniti Ilmu di Pesantren

    -sore yang indah- Aku baru saja mandi di waktu ini. Waktu telah menunjukkan tepat di angka tiga sore, sebagaimana rencana yang sudah kita buat kemarin, kita akan meluangkan waktu di taman bunga. Saat kita berdua sudah siap untuk berangkat, aku dan istriku segera berpamitan pada ibu. “Ibuk, kami berangkat dulu ya.” Ucap Aisyah pada ibu. “Iya nak, kalian berdua hati-hati di jalan ya, dan Jangan pulang malem-malem.” Jawab ibu. “Baik buk, insya Allah nanti jam delapan kita sudah berada di sini.” Tambahku. “Iya Di, jaga istri kamu ya!” seru ibu. “Iya buk, Assalamualaikum.” Uca

  • Panggil Aku Aisyah   23. Hijrah

    -hadiah terindah- Di sore hari ini, kumulai terduduk sendiri. Tak ada seorang pun yang bisa menemani kecuali hanyalah hembusan angin serta suara kicauan burung-burung yang sedang bertengger. Saat kuterduduk, di saat ini pula kumulai merenungi, akan sebuah kisah serta kebersamaan yang pernah kulakukan bersama dia di hari kemarin-kemarin. Kemarin kita masih bisa bersama, kemarin kita juga masih bisa tertawa bahagia. Namun kini kebahagiaan itu hanya ada di satu pihak, yang tidak lain hanya ada pada diri Aisy. Kuyakin hari ini dia pasti sangat berbahagia, karena dia sudah bisa menikmati kesehatan yang di mana selama ini dia harus bertahan dari kelumpuhan, sementara kuharus mundur dan mulai berniat melangkah pergi dari kenyataan itu. Tentu diriku tidak akan langsung pergi begitu saja, karena kuingin meninggalkan satu kenangan yang bisa kuberikan unt

  • Panggil Aku Aisyah   22. Keajaiban

    -ku mulai menyadari kesalahanku- Aisy mulai membuatku merasa bimbang dan penuh dengan rasa penasaran. Sebenarnya Aku belum siap menerima kalimat yang akan dia lontarkan saat ini, namun mau tidak kuharus segera menerima alasan yang akan dia berikan. Rasa takut dan bersalah memang sudah pasti kurasakan, namun entahlah, jika pun nanti pada akhirnya Aisy mulai memintaku untuk pergi, maka Aku harus siap sepenuh hati. “Aldi, kamu masih ingat kebersamaan kita di saat kita baru lulus dari sekolah SD.” Ucapnya. “Tentu Aisy, aku benar-benar ingat dengan semua yang pernah kita lakukan bersama pada saat itu.” Jawabku. “Dan kamu juga masih ingat kan, usai kelulusan itu kita sempat berpisa

  • Panggil Aku Aisyah   21. Wujud Balas Budiku

    -kedatanganku- Pagi hari pun telah tiba, usai diriku mandi dan shalat Dhuha, aku segera berpamitan dengan ibu untuk berangkat kerja. Ada satu rencana yang ingin kulakukan tanpa harus bilang ke ibu, di mana di pagi ini aku berencana untuk menemui Aisy sebelum berangkat kerja, karena kumenduga mungkin ibu juga tidak akan setuju jika kuharus menemui Aisy. Sebenarnya, aku benar-benar tidak ada kemauan untuk menemui dirinya, hanya saja untuk kali ini kuharus nekat. Kedatanganku hanyalah ingin meminta maaf serta mengembalikan jilbab putih ini yang sudah berumur belasan tahun. Ya, lebih baik kukembalikan saja agar diriku tidak tergoda untuk mengenangnya. “Aldi berangkat dulu ya buk." ucapku pada ibu saat berpamitan untuk berangkat kerja. “Iya Di, hati-hati di jalan, semangat ya.

  • Panggil Aku Aisyah   20. Mimpiku

    -aku mulai melupakannya- Saat diriku teringat bahwa ini adalah jilbab putih milik Aisy, saat itulah kumencoba untuk membersihkan jilbab ini dari bekas darahku yang telah menempel. Entah kenapa di saatku sedang mencuci jilbab ini, bayangan sosok Aisy di mataku semakin kuat, tentunya bukan bayangan Aisy yang sekarang, melainkan bayangan Aisy di saat dia masih kecil, tepatnya di saat kita masih sama-sama duduk di bangku sekolah. Setelah aku mencucinya, kucoba untuk memberikan sebuah pewangi agar harum sebelum kujemur di bawah terik panas matahari. Apa yang ingin kulakukan saat ini sebagai wujud untuk kembali mengenang masa-masa indah antara aku dengan dirinya, sejak dulu hingga saat ini. Hari telah berganti, dan kini tiba saatnya diriku untuk berpamitan pada ibu untuk berangkat kerja. Aku akan menjalani aktifitas seperti biasanya tanpa pernah meng

  • Panggil Aku Aisyah   19. Jilbab Putih

    -kepulangannya- Kebersamaan itu akan terasa lebih indah bersama seseorang yang kita cintai, baik antar keluarga maupun sahabat. Betapa bahagianya diri ku dahulu di saat bapak masih muda, di mana kita bisa bermain, bercanda tawa, serta beribadah bersama dalam satu rumah. Namun setelah kepergian bapak, hidupku seakan-akan tidak bisa bersemangat lagi meski telah kupaksakan. Namun beruntung, masih ada ibu di sampingku, yang bisa menemani diriku hingga kubisa menjalani hari-hari indah ini meski belum memiliki pasangan hidup. Hal yang sama juga dialami oleh Aisy, ayahnya baru saja meninggal dunia, meninggalkan semua kenangan indah yang pernah mereka miliki berdua. Aku sempat prihatin usai sepeninggalnya, akankah Aisy ada rasa penyesalan usai ayahnya pergi, atau malah membuat diri Aisy semakin bebas dalam bergaul, karena tidak ada keluarga yang bisa m

  • Panggil Aku Aisyah   18. Kelumpuhan

    -Terbaring lemah- Dia masih tertidur dan terbaring lemah di atas ranjang itu, sudah satu hari ini kutelah menunggu agar dirinya bisa segera sadar. Segala doa telah kupanjatkan di saatku shalat maupun di setiap waktu, agar datang segera keajaiban atas kesadaran yang ada pada diri Aisy, baik sadar dalam hal fisik, maupun sadar atas segala sikap yang selama ini dia lakukan padaku, maupun pada sang ibu. Dengan perlahan, waktu demi waktu mulai berjalan, sudah saatnya bagiku untuk kembali pulang dan menuju rumah sakit yang berbeda di mana saat ini ibunya Aisy dirawat. Dalam perjalanan ini, Aku benar-benar bingung. Aisy sudah berhasil kutemukan, namun diriku belum siap untuk mengatakan hal ini pada ibunya, karena aku tak ingin melihat beliau jadi tambah stress dan juga shock setelah tahu bahwa Aisy baru saja mengalami kecelakaan, dan parahnya lagi,

  • Panggil Aku Aisyah   17. Kecelakaan Maut

    -Terbaring Lemah- Pagi hari ini cuacanya begitu sangat cerah. Angin-angin mulai berhembus dari arah timur, memberikan aku kesejukkan di saat diriku menikmati suasana pagi dengan secangkir kopi manis buatan ibu. Sekarang adalah hari minggu, hari di mana orang-orang menikmati waktunya untuk berlibur, entah itu ke pantai, atau ke puncak gunung. Aku tidaklah meluangkan waktu liburku untuk bermain, melainkanku lebih sering membantu ibu dalam berjualan rujak di rumah, lagipula kujuga belum berkeluarga, jadi masih banyak waktu yang bisa aku manfaatkan untuk menjalani aktifitas di rumah. Jam masih menunjukkan di angka enam pagi, dan matahari mulai hadir menampakkan sinarnya. Aku mulai membantu ibu mengangkat beberapa bahan makanan untuk membuat rujak, karena biasanya di pagi ini banyak orang berdatangan untuk membeli sarapan pagi. Syukurlah, di waktu ini jug

DMCA.com Protection Status