-Perjalanan-
Ku mulai membuka mata dari tidur malamku. Sebuah Alarm yang kupasang telah berbunyi pada pukul setengah tiga di pagi hari ini. Sudah menjadi kebiasaan semenjak diriku masih tinggal di pesantren, bahwa shalat di sepertiga malam terakhir merupakan bagian dari kewajiban seorang santri. Ya, meskipun kini diriku sudah tidak lagi menjadi seorang santri, tetapi kelakukan serta perilaku harus tetap seperti seorang santri. Tak terasa juga matahari mulai terlihat di ufuk timur, dan ayam mulai berkokok, sebagai tanda bahwa matahari akan menampakkan sinarnya dalam menerangi bumi yang penuh akan kegelapan.
“Aldi.” Panggil oleh ibu.
“Iya buk.” Jawabku.
Lalu diriku segera berdiri dengan sigap menghampiri ibu untuk sarapan bersama.
“Ayokkk sarapan dulu.” Pinta ibu.
“Baik buk.” Jawabku.
Di saat diriku sedang menikmati hidangan pagi, tiba-tiba ibu ingin mengatakan sesuatu.
“Ohhh iya Di, kamu yakin hari ini mau ngelamar kerja.” Ucap ibu.
“Yaa yakinlah buk. Aldi kan juga sudah lulus sarjana. Aldi mau kerja kan semua juga demi ibuk.” Jawabku.
“Emm, ya sudah kalau begitu. Memang kamu mau melamar kerja di sekolah mana Di?” tanya ibu.
“Menurut informasi yang sudah Aldi baca. Di SD Al Hikmah sedang membutuhkan guru Agama, dan hari ini Aldi mau interview buk.” Jawabku.
“Ohhh begitu Di. Ya sudah semoga kamu bisa sukses ya nak.” Imbuh.
“Aamiinnn, ya sudah Aldi berangkat dulu ya buk, Assalamualaikum.” Ucapku sambil mencium tangan ibu.
“Iya Di walaikum salam.” Jawab ibu kembali.
-Pertemuan-
Aku mulai menaiki motor dan segera berangkat menuju ke sekolah itu. Dalam perjalanan ini, kumulai menikmati suasana serta pemandangan desa yang begitu indah. Kumelihat ada banyak petani yang mulai sibuk memanen padi, dan kujuga melihat banyak anak-anak yang berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki bersama, membuatku ingin untuk kembali bernostalgia dalam mengingat masa kecil yang pernah kualami di saatku masih SD. Aku kembali melaju dengan kecepatan yang tak begitu kencang, namun di saatku berbelok di sebuah tikungan, muncul sebuah mobil berwarna biru yang sempat sedikit menyerempet dan menabrakku. Kumulai tak bisa menyeimbangkan diri sehingga diriku harus terjatuh di pinggir jalanan ini.
Kemudian mobil itu mulai berhenti, dan pengemudinya adalah seorang perempuan. Wanita itu langsung menghampiri untuk menolongku.
“Aduhhh masnya nggak apa-apa kan.” Ucapnya sambil membantuku untuk bisa berdiri.
“Iya mbak nggak apa-apa kogh.” Jawabnya.
“Yakinn nggak apa-apa mas? Atau perlu saya bawa ke dokter terdekat.” Pintanya.
“Nggak usah mbak terima kasih, saya benar-benar tidak apa-apa kogh.” Tukasku.
“Ya sudah kalau begitu sekali lagi saya minta maaf ya mas, tadi saya benar-benar merasa ngantuk karena semalam juga nggak tidur.” Balasnya.
“Iya mbak pokoknya lain kali hati-hati aja.” Imbuhku sambil kututup hidung ini dengan tanganku.
“Iya mas terima kasih. Kalau begitu saya permisi.” Jawabnya.
“Baik mbak silahkan.” Tambahku.
Lalu perempuan itu kembali beranjak pergi menuju mobilnya dan mulai meninggalkanku sendiri.
“Yaaa ampun tuh cewek, pagi-pagi udah mabuk, semoga saja tidak terjadi apa-apa.” Batinku.
Aku menyadari betul jika perempuan tersebut masih dalam keadaan mabuk, karena di saat dia melontarkan kata-kata, sungguh dapat tercium dengan jelas aroma alkohol dari mulutnya. Yaa Allah, aku hanya berharap jika memang perempuan itu baru saja menikmati minuman keras, semoga Allah bisa segera menghentikannya.
-Lamaran Kerja-
Aku kembali melaju di atas dua roda ini. Lumayan jauh perjalanan yang aku rasakan, kurang lebih sekitar sepuluh kilometer, namun aku selalu menikmati keadaan serta suasana pedesaan yang sejuk sehingga tanpa terasa diriku telah sampai di sekolah ini setelah perjalanan sekitar satu jam. Aku mulai memarkir motorku di halaman sekolah, dan saat itu juga ada salah seorang satpam yang menghampiriku untuk membantu.
“Selamat pagi pak, ada yang bisa dibantu?” tanya satpam itu.
“Iya pak, saya mau tes sekaligus wawancara mengenai lowongan kerja yang ada di sekolah ini.” jawabku.
“Baik pak. Silahkan langsung menuju ke gedung A yang ada di lantai dua.” Pintanya.
“Iya pak terima kasih.” Jawabku kembali.
Kumulai naik ke lantai dua pada gedung A. Kuterduduk di deretan kursi yang mulai dipenuhi oleh banyak orang. Waktu tes masih kurang tigapuluh menit lagi, jadi alangkah baiknya jika diriku berkenalan terhadap salah satu orang di dekatku, agar waktuku bisa terisi untuk saling berbicara.
“Sudah nunggu dari tadi mas?” ucapku dengan iseng.
“Ahh nggak juga mas, mungkin baru sepuluh menitan.” Jawabku.
“Hemmm begitu. Oh iya perkenalkan nama saya Aldi.” Ucapku.
“Iya mas. Perkenalkan juga nama saya Anas.” Jawabnya.
“Mas Anas mau ngelamar sebagai guru apa?” tanyaku.
“Guru olahraga. Kalau mas Aldi sendiri? Tanyanya balik.
“Sebagai guru Agama mas.” Jawabku.
“Ohh ya sudah, semoga lancar untuk tesnya hari ini.” imbuhnya.
“Iya mas sama-sama.” Jawabku.
Aku kembali berbincang-bincang dengan mas Anas. Banyak sekali cerita demi cerita yang aku ceritakan, entah itu di saat diriku masih tinggal di pesantren, sampai saat ini. Begitu juga dengannya, Anas juga menceritakan kisah perjalanan hidupnya sampai dia harus ditinggal mati oleh ayahnya. Ternyata nasib kita berdua sama, sama-sama menjadi anak yatim, tetapi kita sebagai anak yang saleh tetap harus berbakti pada sang ayah, dengan selalu mendoakan di manapun kita berada.
“Yaa Allah, cukup sedih juga rasanya jika harus kehilangan sang ayah.” Batinku dalam hati.
Setelah cukup lama menjalani beberapa tes dari pagi hingga sore, Alhamdulillah pada akhirnya aku telah diterima kerja di sekolah ini, dan insya Allah mulai minggu depan juga sudah bertugas. Ku tak sabar rasanya untuk segera pulang, karena ku juga ingin segera memberitahu ibu bahwa aku sudah diterima kerja di sekolah tersebut.
-Beberapa hari kemudian-
Tak terasa juga sekarang sudah memasuki hari minggu, dan besok adalah hari di mana aku akan menjalani kerja dalam mengajar di sekolah. Waktu telah menjelang sore, dan kini tiba saatnya diriku untuk mengantarkan ibu belanja ke pasar. Semenjak bapak tidak ada, aku yang selalu menjadi rutinitas untuk mengantar ibu belanja kebutuhan hidup, termasuk juga kebutuhan bahan untuk jualan rujak.
“Aldi, nanti kita berhenti di supermarket pojok ya!” seru ibu.
“Baik buk.” Jawabku.
Dan akhirnya kita berdua sempat mampir di supermarket yang di maksud oleh ibu. Ibu segera membeli aneka keperluan barang seperti minyak, mie goreng, atau susu, dan masih ada banyak lagi barang-barang yang dibeli oleh ibu. Tak selang beberapa lama, akhirnya aku telah tiba di kasir meski harus antri di urutan nomer lima. Sambil menunggu waktu pembayaran, wajahku mulai menoleh ke arah luar. Karena tempat tersebut berdinding kaca, siapapun orang-orang yang akan masuk diriku pasti tahu.
Entah apa yang sudah terjadi, tiba-tiba sebuah mobil jenis sedan berwarna biru mulai datang ke tempat ini, dan tak lama akan hal itu, pengemudi tersebut mulai keluar. Saat itu juga diriku mulai kaget, ternyata pengemudi tersebut adalah seorang perempuan yang beberapa hari yang lalu sempat menabrakku.
“Ya ampun. Itu kan perempuan yang waktu itu sempat menabrakku.” Batinku dalam hati.
Perempuan tersebut mulai masuk ke tempat ini dan mulai berbelanja. Aku pun telah tiba di depan kasir, dan segera membayar seluruh barang yang akan dibeli. Dengan perlahan aku mulai keluar bersama ibu. Ku segera mengambil motor sambil memandangi mobil tersebut. Entah apa yang telah terjadi, kejadian tersebut sampai saat ini masih teringat keras di pikiranku. Mungkinkah ini akan menjadi suatu pertanda, bahwa diriku akan mendapati sebuah masalah baru. Ya sudahlah, tak perlu ku merisaukan hal tersebut, biarlah Allah yang mengatur semuanya.
Saat tiba di pasar pun, bayangan perempuan tersebut kembali teringat di pikiranku. Hampir di setiap detik, sulit bagiku untuk memikirkan hal yang lain kecuali hanyalah perempuan itu saja. Saat diriku dan ibu mulai mengelilingi pasar ini, aku hanya bisa terdiam, tak ingin bicara sedikitpun, semua ini telah terjadi mungkin karena diriku yang terlalu banyak pikiran.
Dan kini kita berdua kembali berjalan menuju rumah, kumulai terduduk dan kembali terdiam. Kucoba untuk melakukan sedikit cara, entah itu menonton televisi ataupun memandangi langit sore yang indah sama sekali tak berhasil untuk mengusir bayangan tersebut. Kukembali duduk saja agar bisa menenangkan diri sejenak.
“Aldi, kenapa dari tadi ibu perhatiin kogh kamu terlihat bengong, diem aja. Ada masalah memangnya?” tanya ibu.
“Nggak buk, Aldi nggak ada masalah apa-apa kogh.” Jawabku dengan lirih.
“Ahhh masak. Soalnya nggak biasanya kamu begini. Ya sudah kalau kamu nggak mau cerita, mendingan ibu buatin makan dulu ya untuk sore ini.” jawab ibu.
“Baik buk.” Jawabku kembali.
Aku sengaja untuk tidak bercerita dulu pada ibu tentang apa yang sudah kurasakan saat ini, karena pada dasarnya kujuga masih belum mengetahui tentang apa yang sudah terjadi pada diriku. Semua hanya bisa kuserahkan, dan aku pasrahkan pada Allah jika ini sudah menjadi skenario-Nya. Lebih baik aku memfokuskan diri untuk bekerja dalam mengemban amanah di saat mengajar di sekolah.
-Beberapa bulan kemudian-
Setelah cukup lama aku mengajar di sekolah, aku jadi semakin terampil untuk bekerja. Bekerja untuk mendidik anak-anak di sekolah dalam menuntut ilmu itu sungguh sangat menyenangkan. Kini tiba saatnya diriku untuk lebih memantapkan diri dalam berkarya, meskipun bayangan perempuan tersebut masih teringat kuat di pikiran ini. Jujur Aku akui, sampai saat ini bayangan sosok perempuan itu masih belum bisa hilang, dan hampir setiap hari bayangannya selalu teringat keras di pikiran ini, apalagi diri ini juga terkadang sering berpapasan dengannya saat mengendarai kendaraan di jalan, aku berfirasat dalam hati kecilku,
“Mungkinkah ini akan menjadi sebuah pertanda bahwa akan lahir sebuah rasa.” Batinku.
-Di pagi itu- Pagi yang cerah untuk jiwa yang sepi. Di pagi inilah kumulai merasakan aroma kesegaran, hembusan angin serta dinginnya udara di pagi hari mulai aku nikmati, sehingga kesejukkan mulai merasuk sampai ke dasar jiwaku. Jam enam pagi, adalah waktu di mana aku mulai terduduk sambil menikmati indahnya pesona alam. Kesepian dan kesendirian memang aku rasakan sekarang, namun jiwaku tidak hanya sendiri, karena ada Allah yang senantiasa menemani hari-hariku di setiap waktu. Saat ku terduduk di sini, saat itulah ku kembali teringat atas sosok wanita yang akhir-akhir ini mulai menghantui pikiranku di setiap waktu. Entah kenapa hal ini bisa terjadi aku sama sekali tak mengerti, mungkinkah ini sudah menjadi pertanda akan datang masa di mana aku akan menuai bahagia. “Aldi.”
-kebiasaan rutin Aisy- Kehidupan yang saat ini Aisy jalani memang sangat jauh berbeda dibandingkan dengan dulu di saat dia masih duduk di bangku sekolah. Hubunganku dengannya begitu sangat dekat karena kita berdua sudah menjadi satu sahabat yang selamanya akan terus erat. Yang aku tahu, dulu Aisy adalah anak yang rajin, bakti pada orang tua serta senantiasa menjaga tali silaturahim kepada siapapun, siapa sangka jika pada akhirnya dirinya telah berubah drastis, menjadi anak yang selalu membangkang dari nasihat orang tua. Semua itu karena dia salah dalam memilih pergaulan, dia sepertinya sudah terjebak dalam sebuah sumur kenistaan yang dengan perlahan akan menghancurkan jati dirinya sebagai seorang wanita. Setelah aku mengetahui akan hal itu, aku bukannya menghindar dan menjauh dari dirinya, karena aku bukanlah lelaki yang dengan mudah menilai keburukan seorang wanita
-sangat khawatir- Hari ini adalah hari liburku untuk bekerja, jadi kalau sudah datang waktu libur, aku lebih banyak membantu ibu berjualan. Aku mulai membantu ibu mempersiapkan dagangan yang akan dijual, mulai dari menata bahan-bahan, menata meja serta membersihkan warung. Alhamdulillah, masih di jam delapan pagi dagangan ibu sudah lumayan ramai. Aku benar-benar semangat untuk hari ini. Tapi, di saatku sedang asyik-asyiknya bekerja, aku jadi teringat akan sosok Aisy dulu di saat dia suka mencicipi rujak buatan ibu, entah sampai saat ini apakah kira-kira Aisy masih suka atau tidak. Saat tiba jam sepuluh pagi, saat itulah aku mulai ingin pergi menuju rumahnya, yang tidak lain hanyalah untuk memberikan bungkusan rujak yang bisa mereka cicipi. Apa yang akan kulakukan saat ini sebagai upaya untuk membangun tali silaturahmi dengan keluarganya. Kusegera berangkat dengan berpamit
-tekadku- Kini pada akhirnya kuharus pulang sendiri usai memarahi Aisy, yang baru saja menikmati waktu malamnya beserta teman-temannya yang tidak benar. Dalam perjalanan pulang kali ini, aku mulai mengeluh dan juga sedikit menangis meratapi apa yang sudah Aisy lakukan. Dalam hati, aku benar-benar bingung, mengapa Aisy bisa seperti ini perilakunya, tak seperti dulu sebagaimana Aisy yang pernah aku kenal. Kubenar-benar sangat prihatin sekali, aku merasa bahwa Aisy sudah terjebak dalam sebuah pergaulan yang sangat membahayakan dirinya. Entah sudah berapa lamakah Aisy seperti ini. “Ya Allah semoga tidak sampai terjadi apa-apa dengan Aisy ke depannya.” Batinku. Saat diriku sudah tiba di rumah, kumulai terduduk dan hanya diam. Kumulai berpikir dengan cukup cermat, mengena
-pertikaian- Aku segera mengambil motor yang telah terparkir di teras rumah Aisy, di mana pada sore hari ini, aku dan ibu akan pulang dengan tangan hampa serta rasa yang penuh dengan kekecewaan. Saat dalam perjalanan pulang, ibu hanya diam saja dengan wajah yang sedikit cemberut terhadapku, aku berfirasat bisa jadi ibu merasa kecewa karena tidak habis pikir setelah melihat kelakuan Aisy yang terbilang kasar pada orang tuanya. Dalam hati aku mulai menyadari sepenuhnya bahwa memang sekarang bukanlah saat yang tepat bagiku untuk mengenalkan Aisy pada ibu. Namun entah bagaimana lagi sedangkan aku ingin ibu bisa cepat merestui diriku yang ingin menjalin hubungan serius dengan Aisy. Dan kini aku dan ibu telah sampai di depan rumah, rasa malu dan tenggang rasa sudah pasti ada dalam hatiku. Betapa tidak, bahwa kelakuan Aisy barusan benar-benar telah me
-kegelisahanku- “Aldi.” Sapa ibu saat diriku terduduk sendiri di teras rumah. “Iya buk,” jawabku. “Kamu kenapa masih di sini, udah jam segini kok belum berangkat?” tanya ibu. “Iya buk, mungkin lima menit lagi.” Jawabku. “Emm begitu, oh ya Di, ntar usai pulang kerja kamu mampir ke mpok Mina ya, seperti biasa ambil pesanan ibuk.” Pinta ibu. “Ohh iya buk. Ya sudah kalau begitu Aldi berangkat kerja sekarang aja ya.” Tukasku. “
-kritis- Seperti biasanya, setiap pagi dan setiap hari aku selalu membantu ibu mempersiapkan berbagai peralatan serta perlengkapan jualan rujak. Semua ini sudah menjadi kewajibanku dalam meringankan beban ibu sejak ayah tiada. Dan seperti biasanya, di hari libur seperti ini aku selalu menyempatkan waktu memberikan dua bungkus rujak ke orang tuanya Aisy, karena kusadar jika mereka sangat suka sekali rujak buatan ibu. Di saat hari mulai menjelang siang, segera kusempatkan waktu untuk berangkat ke rumahnya, dan kuyakin di siang hari ini Aisy pasti tidak ada di rumah, karena sudah menjadi rutinitas jika Aisy selalu saja suka bermain-main. “Assalamualikum.” sapaku saat tiba di rumah Aisy. “Walaikum salam nak Aldi, mari silakan masuk.” jawab ibunya Aisy.
-kepergian bapak- Waktu telah menunjukkan di angka sepuluh malam, dan di malam inilah kumulai bersandar pada sebuah dipan dan mulai terbaring di atas ranjang. Kumulai terdiam serta merenungi segala apa yang telah terjadi, baik di saat dulu hingga sampai saat ini. Kucoba untuk bertanya pada hati yang terdalam atas sebuah perjalanan cerita kehidupanku, ternyata dari semua yang pernah kualami, tak sebanding dengan apa yang telah Aisy rasakan. Dan sampai saat ini, aku akan tetap mencari tahu mengenai kesalahan apa yang pernah kulakukan padanya, hingga pada akhirnya dirinya sudah tidak sudi lagi untuk berteman denganku. Aku bisa saja pergi, dan mulai menghilang dari kehidupannya, namun mengapa diriku tak sanggup walau harus melangkah setapak. Mungkin semua itu karena diriku belum bisa melupakan segala kenangan yang dulu pernah kita lakukan bersama. Rasa s
-Semangat Pagiku- Assalamualaikum Warahmatullah. Baru saja ku menyelesaikan shalat secara berjamaah bersama dia dan juga ibu, dan sekarang adalah waktu yang terbaik untukku agar segera mandi untuk persiapan masuk kerja. Saat diriku mulai beranjak menuju kamar mandi, saat itulah kumelihat dirinya berdandan dengan penuh pesona, aku dibuat kagum olehnya. Sudahlah, lebih baik kulanjutkan saja aktifitasku mandi sejenak. “Ibuk, ada yang bisa dibantu?” ucap Aisyah pada ibuku. “Emmm ndak usah dulu Aisyah, ibuk udah selesai kok.” Jawab ibu. “Ohh ya sudah, Aisyah beres-beres dulu aja ya buk.” Ucap kembali Aisyah. “Iya Aisyah, silakan.” Jawab ibu ke
-sore yang indah- Aku baru saja mandi di waktu ini. Waktu telah menunjukkan tepat di angka tiga sore, sebagaimana rencana yang sudah kita buat kemarin, kita akan meluangkan waktu di taman bunga. Saat kita berdua sudah siap untuk berangkat, aku dan istriku segera berpamitan pada ibu. “Ibuk, kami berangkat dulu ya.” Ucap Aisyah pada ibu. “Iya nak, kalian berdua hati-hati di jalan ya, dan Jangan pulang malem-malem.” Jawab ibu. “Baik buk, insya Allah nanti jam delapan kita sudah berada di sini.” Tambahku. “Iya Di, jaga istri kamu ya!” seru ibu. “Iya buk, Assalamualaikum.” Uca
-hadiah terindah- Di sore hari ini, kumulai terduduk sendiri. Tak ada seorang pun yang bisa menemani kecuali hanyalah hembusan angin serta suara kicauan burung-burung yang sedang bertengger. Saat kuterduduk, di saat ini pula kumulai merenungi, akan sebuah kisah serta kebersamaan yang pernah kulakukan bersama dia di hari kemarin-kemarin. Kemarin kita masih bisa bersama, kemarin kita juga masih bisa tertawa bahagia. Namun kini kebahagiaan itu hanya ada di satu pihak, yang tidak lain hanya ada pada diri Aisy. Kuyakin hari ini dia pasti sangat berbahagia, karena dia sudah bisa menikmati kesehatan yang di mana selama ini dia harus bertahan dari kelumpuhan, sementara kuharus mundur dan mulai berniat melangkah pergi dari kenyataan itu. Tentu diriku tidak akan langsung pergi begitu saja, karena kuingin meninggalkan satu kenangan yang bisa kuberikan unt
-ku mulai menyadari kesalahanku- Aisy mulai membuatku merasa bimbang dan penuh dengan rasa penasaran. Sebenarnya Aku belum siap menerima kalimat yang akan dia lontarkan saat ini, namun mau tidak kuharus segera menerima alasan yang akan dia berikan. Rasa takut dan bersalah memang sudah pasti kurasakan, namun entahlah, jika pun nanti pada akhirnya Aisy mulai memintaku untuk pergi, maka Aku harus siap sepenuh hati. “Aldi, kamu masih ingat kebersamaan kita di saat kita baru lulus dari sekolah SD.” Ucapnya. “Tentu Aisy, aku benar-benar ingat dengan semua yang pernah kita lakukan bersama pada saat itu.” Jawabku. “Dan kamu juga masih ingat kan, usai kelulusan itu kita sempat berpisa
-kedatanganku- Pagi hari pun telah tiba, usai diriku mandi dan shalat Dhuha, aku segera berpamitan dengan ibu untuk berangkat kerja. Ada satu rencana yang ingin kulakukan tanpa harus bilang ke ibu, di mana di pagi ini aku berencana untuk menemui Aisy sebelum berangkat kerja, karena kumenduga mungkin ibu juga tidak akan setuju jika kuharus menemui Aisy. Sebenarnya, aku benar-benar tidak ada kemauan untuk menemui dirinya, hanya saja untuk kali ini kuharus nekat. Kedatanganku hanyalah ingin meminta maaf serta mengembalikan jilbab putih ini yang sudah berumur belasan tahun. Ya, lebih baik kukembalikan saja agar diriku tidak tergoda untuk mengenangnya. “Aldi berangkat dulu ya buk." ucapku pada ibu saat berpamitan untuk berangkat kerja. “Iya Di, hati-hati di jalan, semangat ya.
-aku mulai melupakannya- Saat diriku teringat bahwa ini adalah jilbab putih milik Aisy, saat itulah kumencoba untuk membersihkan jilbab ini dari bekas darahku yang telah menempel. Entah kenapa di saatku sedang mencuci jilbab ini, bayangan sosok Aisy di mataku semakin kuat, tentunya bukan bayangan Aisy yang sekarang, melainkan bayangan Aisy di saat dia masih kecil, tepatnya di saat kita masih sama-sama duduk di bangku sekolah. Setelah aku mencucinya, kucoba untuk memberikan sebuah pewangi agar harum sebelum kujemur di bawah terik panas matahari. Apa yang ingin kulakukan saat ini sebagai wujud untuk kembali mengenang masa-masa indah antara aku dengan dirinya, sejak dulu hingga saat ini. Hari telah berganti, dan kini tiba saatnya diriku untuk berpamitan pada ibu untuk berangkat kerja. Aku akan menjalani aktifitas seperti biasanya tanpa pernah meng
-kepulangannya- Kebersamaan itu akan terasa lebih indah bersama seseorang yang kita cintai, baik antar keluarga maupun sahabat. Betapa bahagianya diri ku dahulu di saat bapak masih muda, di mana kita bisa bermain, bercanda tawa, serta beribadah bersama dalam satu rumah. Namun setelah kepergian bapak, hidupku seakan-akan tidak bisa bersemangat lagi meski telah kupaksakan. Namun beruntung, masih ada ibu di sampingku, yang bisa menemani diriku hingga kubisa menjalani hari-hari indah ini meski belum memiliki pasangan hidup. Hal yang sama juga dialami oleh Aisy, ayahnya baru saja meninggal dunia, meninggalkan semua kenangan indah yang pernah mereka miliki berdua. Aku sempat prihatin usai sepeninggalnya, akankah Aisy ada rasa penyesalan usai ayahnya pergi, atau malah membuat diri Aisy semakin bebas dalam bergaul, karena tidak ada keluarga yang bisa m
-Terbaring lemah- Dia masih tertidur dan terbaring lemah di atas ranjang itu, sudah satu hari ini kutelah menunggu agar dirinya bisa segera sadar. Segala doa telah kupanjatkan di saatku shalat maupun di setiap waktu, agar datang segera keajaiban atas kesadaran yang ada pada diri Aisy, baik sadar dalam hal fisik, maupun sadar atas segala sikap yang selama ini dia lakukan padaku, maupun pada sang ibu. Dengan perlahan, waktu demi waktu mulai berjalan, sudah saatnya bagiku untuk kembali pulang dan menuju rumah sakit yang berbeda di mana saat ini ibunya Aisy dirawat. Dalam perjalanan ini, Aku benar-benar bingung. Aisy sudah berhasil kutemukan, namun diriku belum siap untuk mengatakan hal ini pada ibunya, karena aku tak ingin melihat beliau jadi tambah stress dan juga shock setelah tahu bahwa Aisy baru saja mengalami kecelakaan, dan parahnya lagi,
-Terbaring Lemah- Pagi hari ini cuacanya begitu sangat cerah. Angin-angin mulai berhembus dari arah timur, memberikan aku kesejukkan di saat diriku menikmati suasana pagi dengan secangkir kopi manis buatan ibu. Sekarang adalah hari minggu, hari di mana orang-orang menikmati waktunya untuk berlibur, entah itu ke pantai, atau ke puncak gunung. Aku tidaklah meluangkan waktu liburku untuk bermain, melainkanku lebih sering membantu ibu dalam berjualan rujak di rumah, lagipula kujuga belum berkeluarga, jadi masih banyak waktu yang bisa aku manfaatkan untuk menjalani aktifitas di rumah. Jam masih menunjukkan di angka enam pagi, dan matahari mulai hadir menampakkan sinarnya. Aku mulai membantu ibu mengangkat beberapa bahan makanan untuk membuat rujak, karena biasanya di pagi ini banyak orang berdatangan untuk membeli sarapan pagi. Syukurlah, di waktu ini jug