-Masa SD-
Dua belas tahun sudah aku menjalani hidup, mulai dari TK dan tak terasa kini sudah masuk di kelas enam SD. Setidaknya ku akan lebih banyak belajar dengan giat, jika dulu ku lebih banyak menggunakan waktu untuk bermain, tapi untuk saat ini mulai aku kurangi, karenaku menyadari bahwa sebentar lagi diriku akan lulus.
Sekarang sudah memasuki tahun 2007, dan sudah masuk semester dua, jadi kurang enam bulan lagi aku pasti lulus dari sekolah. Bagiku, sekolah ini adalah sekolah yang luar biasa, karena telah banyak mengajarkanku menjadi seorang lelaki yang tangguh dan tahan baja. Cukup sering diriku kena hukum oleh guru-guru ketika tidak mengerjakan tugas, namun perlahan demi perlahan ku telah memiliki kesadaran penuh untuk menjadi seorang murid yang bertanggungjawab.
Semua ini juga karena ibu, ibu yang selalu mendidikku dengan baik, walau pada awalnya aku adalah anak yang paling bandel. Dan pada akhirnya aku cukup merasa senang berada di sekolah, karenaku tak hanya memiliki banyak teman, namun juga punya seorang sahabat yang tidak lain adalah perempuan itu.
Perempuan yang berseragam dengan rok panjang, serta berkerudung putih itu namanya Aisy, usianya lebih muda dariku, kurang lebih selisih enam bulanan. Sudah lama juga diriku bersahabat dengannya, tepatnya sejak kita berdua sama-sama duduk di bangku TK. Menurutku, dia adalah teman yang paling baik, di saat jam istirahat sekolah tiba, seringkali dia menawarkan sebuah jajanan kepadaku, yaitu kue serabi dengan kuah yang super enak, wajar saja karena ibunya juga jualan kue serabi di rumahnya.
Selama berteman, jarang sekali kita bertengkar walaupun itu hanyalah masalah sepele. Uniknya lagi, kita selalu bersama ke mana pun kita pergi, entah itu mengerjakan PR, bermain petak umpet, ataupun mencuci baju di sungai Brantas. Aku dan Aisy memanglah satu kesatuan yang sangat erat dalam menjalin hubungan pertemanan, dan sudah sepantasnya jika ia telah kuanggap sebagai sahabatku sendiri.
“Entar sore kita sholat di masjid bareng ya!” seru Aisy padaku saat kita hendak pulang bersama dari sekolah.
“Ya pastilah. Shalat berjamaah itukan pahalanya lebih besar daripada shalat sendirian di rumah,” jawabku.
Allahu Akbar Allahu Akbar. Suara azan mulai berkumandang pada jam enam sore, menandakan bahwa diriku harus menjalani shalat Maghrib berjamaah. Setiap hari aku selalu berangkat bersama Aisy menuju masjid terdekat, bukan hanya di waktu Maghrib melainkan juga di waktu Isyak, lebih-lebih di waktu Ashar jika kita kebetulan bertemu. Orang tuaku dan orang tua Aisy memang orang tua yang hebat, karena sejak kita masih TK sudah diajarkan menjalani shalat lima waktu setiap hari.
Hanya dalam waktu tidak sampai tiga puluh menit, diriku kembali pulang ke rumah. Saatku mengucap salam, dan baru saja kaki ini kulangkahkan, ternyata bapak dan ibu telah menungguku di ruang tamu, karena ada sesuatu yang sepertinya ingin bapak dan ibu bicarakan untukku.
“Aldi, duduk sini nak!” seru bapak.
“Baik pak.” Jawabku, lalu aku duduk di samping ayah dan ibu.
“Sebelumnya bapak dan ibu ingin meminta maaf sama kamu nak,”
“Minta maaf untuk apa pak?” tanyaku.
Lalu bapak dan ibu terdiam sejenak, mungkin mereka merasa berat yang ingin mengatakan sesuatu.
“Bapak dan ibu belum bisa untuk mendaftarkan kamu masuk di SMP 3.”
“Lohhh, kenapa pak, padahal kan itu sekolah favoritku, sejak kelas empat Aldi berharap agar bisa sekolah di situ.”
“Sekali lagi maafkan bapak nak.”
“Terus kalau Aldi tidak sekolah di situ, lantas Aldi mau disekolahkan di mana pak.”
“Bapak dan ibu sebenarnya ingin mengatakkan hal ini sejak lama. Karena yang jelas bapak ingin memasukkanmu di pesantren nak.”
“Betul Aldi, karena bapak dan ibuk ingin agar kamu kelak bisa menjadi anak yang saleh,” imbah ibu.
“Ya nggak bisa begitu dong pak, Aldi itu paling takut dan tidak biasa hidup di pesantren.”
“Suatu saat kamu pasti akan menyadari nak, bahwa inilah jalan yang terbaik.”
Aku dan bapak mulai sedikit berdebat. Namun sebagai anak, aku tidaklah pantas untuk membantah. Biarlah, akan kuturuti saja apa kemauan bapak meski sebenarnya kumerasa sangat kecewa sekali, karena tidak bisa satu sekolah SMP dengan Aisy nantinya.
-Pesantren Impian-
Selama diriku menjalani pendidikan di pesantren, banyak sekali kegiatan yang telah kuikuti, mulai dari sekolah, mengaji, atau mengikuti kegiatan keagamaan seperti acara shalawat’an. Tahun demi tahun telah kulewati, dan kumerasa sangat nyaman tinggal di pesantren ini, karenaku bisa memiliki banyak teman dan seorang sahabat sejati, dia bernama Rahma, sahabatku yang paling setia sejak diriku masih duduk di kelas satu SMP. Dan Rahma adalah sahabat yang selalu mengerti akan keadaanku serta bisa memahami segala kekuranganku, sehingga tanpa sadar kumulai memiliki perasaan dengan sangat dalam yang tak bisa kuungkapkan untuk saat ini.
-Sepuluh tahun kemudian-
Sepuluh tahun sudah diriku menjalani pendidikan di pondok pesantren. Dan tak terasa juga besok kuharus menjalani wisuda sarjana, karenaku baru saja menyelesaikan pendidikan tinggi di Universitas Islam Pontianak. Di sore ini, akan menjadi hari terakhir bagiku untuk menjalani pendidikan di madrasah diniyah, karena seminggu lagi aku akan menjalani ujian kelulusan. Entah tak tahu bagaimana nasib ataupun rencana yang akan kulakukan nantinya, tentu sudah pasti akan kujalani hari demi hari ini dengan baik.
“Baik murid-muridku semua. Ini adalah hari terakhir kalian mengikuti pembelajaran diniyah di sore hari ini, karena sebentar lagi kalian semua harus menjalani ujian akhir sebagai persiapan kelulusan.” Ucap seorang guru yang sedang mengajar di kelasku saat ini.
Pembelajaran pun telah usai. Kita semua dalam satu kelas mulai saling meminta maaf antar teman dan juga kepada guru-guru kita, karena sebentar lagi kita akan berpisah. Aku mulai keluar dari kelas, tanpa sengaja kumelihat Rahma yang juga baru keluar dari kelasnya, kucoba untuk menghampirinya, karena sebenarnya kujuga ingin tahu mengenai rencana apakah yang akan dilakukan nanti ketika kita sudah berpisah.
“Assalamualaikum Rahma.”
“Iya walaikum salam Aldi.”
“Hmmm. Oh ya Rahma, sebentar lagi usai lulusan kamu ada rencana apa?” tanyaku dengan iseng.
“Alhamdulillah, Insya Allah saya mau menikah Aldi, karena ayah sudah mencarikan Rahma jodoh.”
“Oh begitu ya.” Jawabku dengan perasaan yang penuh kaget.
“Kalau kamu sendiri gimana Aldi?” tanyanya.
“Emm, aku masih belum ada rencana Rahma. Tapi Insya Allah aku mau lanjut S2.”
“Oh begitu ya. Bagus dong, ya sudah aku kembali ke pondok dulu ya.” Imbuhnya.
“Iya Rahma, semangat terus ya.”
“Iya Aldi, kamu juga tetap semangat ya.”
Rahma kembali berjalan menuju asramanya meninggalkanku sendiri. Aku masih tetap berdiri di sini sambil memandangi dirinya di saat melangkah pergi, dan saat itulah kumulai terdiam bercampur rasa sedih yang cukup menyiksa. Mengapa hati ini terasa perih di saat telinga baru saja mendengar kabar bahwa dirinya akan melangsungkan pernikahan. Aku dan dirinya sudah berteman selama sepuluh tahun, di saat itu juga kita sempat menjalin persahabatan sehingga tanpa sadar telah tumbuh sebuah rasa suka, kagum dan cinta yang selama ini kupendam dengan sangat dalam.
Aku terus merenungi akan hal itu hingga tanpa sadar mata ini mulai terbendung air mata. Kucoba tuk menahan, dan pada akhirnya terjatuh juga membasahi bumi.
“Ya Allah, mengapa ini terjadi padaku. Sudah sekian lama kumenginginkan dirinya, berharap di waktu yang tepat ini kubisa mengungkapkan rasa sekaligus melamarnya,” batinku.
Namun apalah daya jika pada akhirnya dia akan bersanding dengan pria lain. Terpaksa kuharus mengikhlaskan semua itu, karena ini sudah menjadi kehendak Allah yang tak bisa ku tolak. Demi Allah, aku belum siap merelakan dirinya, karena ia sudah kuanggap sebagai matahari yang senantiasa menyinari hari-hariku di pesantren ini, demi Allah aku ikhlas.
Waktu di malam hari telah tiba, dan ini adalah waktu pesantren akan menyelenggarakan acara shalawatan. Sudah menjadi rutinitas jika kegiatan ini dilakukan setiap satu bulan sekali, dan kebetulan juga aku mendapati jadwal memberikan Mauidzah Hasanah atau ceramah terhadap seluruh santri, dan untuk kali ini ku akan memberikan ceramah dengan judul menggapai cinta sang Rasul dengan banyak bershalawat.
Syukurlah, topik ini sudah kusiapkan sejak minggu kemarin, agar kudapat menyampaikannya secara baik dan juga maksimal. Setelah acara demi acara mulai terlewati, kini tiba saatnya waktuku untuk memasuki acara terakhir, yaitu ceramah yang akan kusampaikan. Di saat aku baru saja naik di atas panggung, kucoba untuk melirik ke sebelah utara, tentu barisan para santri akhwat.
Dengan perlahan, kumulai menyampaikan dengan baik dari materi yang akan kusampaikan. Tanpa sengaja, kusempat melihat wajah Rahma di mana dia telah duduk di barisan paling depan. Dengan hati yang cukup gembira, dia mulai tersenyum ke arah wajahku, begitu juga sebaliknya. Bisa jadi ini adalah malam yang terakhir aku bisa menampilkan diri kepadanya, maka dari itu, aku akan persembahkan momen ini dengan sebaik-baiknya, mengingat sebentar lagi kita akan berpisah dan dirinya juga akan menikah.
***
Kumulai membuka mata ini dan terbangun dari tidurku. Suara adzan belum terdengar karena waktu masih menunjukkan jam tiga pagi. Segera kubasuh tubuh ini dengan air wudhu, serta bersiap diri menjalani Qiyamullail. Kumulai membasuh diri ini, namun entah kenapa tiba-tiba kuteringat dengan ayah dan ibu di rumah, sepertinya aku merindukan mereka. Dalam waktu tiga tahun, hanya dalam sebulan ku bisa menikmati kebersamaan dengan mereka, mungkinkah aku harus segera kembali sedangkan diriku masih ingin menetap di pesantren untuk dua tahun ke depan. Sudahlah, tak perlu diriku merisaukan hal itu, lebih baik kujalani saja dari apa yang ingin kulakukan, Insya Allah pasti akan ada solusi serta jalan terbaik dari Allah SWT.
-Wisuda Sarjana-
Setelah sepuluh tahun menjalani pendidikan di pesantren, akhirnya kiniku telah berhasil meluluskan diri dari pendidikan tinggi dengan gelar terakhir S1. Ayah dan ibu begitu bangga melihatku, yang telah berhasil lulus dari perguruan tinggi. Entah nanti kedepannya harus bagaimana, yang jelas aku masih belum memiliki satu rencana, tetapi yang jelas, aku akan tetap berusaha lagi menjadi lebih baik sebagai anak yang bisa berbakti pada kedua orang tua.
-perpisahan- Sepuluh tahun sudah aku menjalani pendidikan dalam rangka menimba ilmu di pesantren ini. Banyak sekali kenangan indah yang telah kualami, entah itu bersama teman sekamar atau teman sekelas termasuk Rahma sahabatku. Kini semua teman-temanku sudah beranjak dewasa, begitu juga denganku. Di pagi ini, aku masih terduduk sambil menikmati secangkir kopi, kusempat memandangi teman-teman yang membawa beban berat, yang tiada lain adalah tas-tas besar berisi pakaian mereka. Sedikit demi sedikit teman-temanku mulai pergi meninggalkan pesantren ini. “Hey Aldi.” Panggil salah satu teman sekamarku. “Ehhh iya Boni.” “Kamu ngapain aja dari tadi kulihat bengong aja.” &nbs
-Ketika Bapak telah Pergi- Kehidupan yang saat ini aku jalani adalah bagian dari anugerah yang telah Allah SWT berikan. Setiap hari adalah hari-hari yang patut untuk disyukuri, dengan cara memaksimalkan setiap potensi yang ada dalam diri kita semua, dan hari Jumat adalah sebaik-baik hari untuk berkhidmat dan lebih mendekatkan diri pada yang Maha Kuasa. Shadakallahul Adzim. Aku baru saja menyelesaikan bacaan Qur’an sebanyak satu juz, dan kini tiba saatnya diri ini membersihkan tubuh dari segala kotoran serta bau badan, karena sekarang adalah hari Jumat, hari di mana setiap kotoran baik yang ada di raga maupun dalam jiwa harus dibersihkan. Di hari Jumat ini, aku juga mendapati jadwal untuk mengisi ceramah pada khutbah yang akan terlaksanakan nanti ketika shalat Jumat tiba. Kali ini kuingin berubah, berubah untuk bisa lebih berusaha dalam menata diri untuk bisa l
-Perjalanan- Ku mulai membuka mata dari tidur malamku. Sebuah Alarm yang kupasang telah berbunyi pada pukul setengah tiga di pagi hari ini. Sudah menjadi kebiasaan semenjak diriku masih tinggal di pesantren, bahwa shalat di sepertiga malam terakhir merupakan bagian dari kewajiban seorang santri. Ya, meskipun kini diriku sudah tidak lagi menjadi seorang santri, tetapi kelakukan serta perilaku harus tetap seperti seorang santri. Tak terasa juga matahari mulai terlihat di ufuk timur, dan ayam mulai berkokok, sebagai tanda bahwa matahari akan menampakkan sinarnya dalam menerangi bumi yang penuh akan kegelapan. “Aldi.” Panggil oleh ibu. “Iya buk.” Jawabku. Lalu diriku segera berdiri dengan sigap menghampiri i
-Di pagi itu- Pagi yang cerah untuk jiwa yang sepi. Di pagi inilah kumulai merasakan aroma kesegaran, hembusan angin serta dinginnya udara di pagi hari mulai aku nikmati, sehingga kesejukkan mulai merasuk sampai ke dasar jiwaku. Jam enam pagi, adalah waktu di mana aku mulai terduduk sambil menikmati indahnya pesona alam. Kesepian dan kesendirian memang aku rasakan sekarang, namun jiwaku tidak hanya sendiri, karena ada Allah yang senantiasa menemani hari-hariku di setiap waktu. Saat ku terduduk di sini, saat itulah ku kembali teringat atas sosok wanita yang akhir-akhir ini mulai menghantui pikiranku di setiap waktu. Entah kenapa hal ini bisa terjadi aku sama sekali tak mengerti, mungkinkah ini sudah menjadi pertanda akan datang masa di mana aku akan menuai bahagia. “Aldi.”
-kebiasaan rutin Aisy- Kehidupan yang saat ini Aisy jalani memang sangat jauh berbeda dibandingkan dengan dulu di saat dia masih duduk di bangku sekolah. Hubunganku dengannya begitu sangat dekat karena kita berdua sudah menjadi satu sahabat yang selamanya akan terus erat. Yang aku tahu, dulu Aisy adalah anak yang rajin, bakti pada orang tua serta senantiasa menjaga tali silaturahim kepada siapapun, siapa sangka jika pada akhirnya dirinya telah berubah drastis, menjadi anak yang selalu membangkang dari nasihat orang tua. Semua itu karena dia salah dalam memilih pergaulan, dia sepertinya sudah terjebak dalam sebuah sumur kenistaan yang dengan perlahan akan menghancurkan jati dirinya sebagai seorang wanita. Setelah aku mengetahui akan hal itu, aku bukannya menghindar dan menjauh dari dirinya, karena aku bukanlah lelaki yang dengan mudah menilai keburukan seorang wanita
-sangat khawatir- Hari ini adalah hari liburku untuk bekerja, jadi kalau sudah datang waktu libur, aku lebih banyak membantu ibu berjualan. Aku mulai membantu ibu mempersiapkan dagangan yang akan dijual, mulai dari menata bahan-bahan, menata meja serta membersihkan warung. Alhamdulillah, masih di jam delapan pagi dagangan ibu sudah lumayan ramai. Aku benar-benar semangat untuk hari ini. Tapi, di saatku sedang asyik-asyiknya bekerja, aku jadi teringat akan sosok Aisy dulu di saat dia suka mencicipi rujak buatan ibu, entah sampai saat ini apakah kira-kira Aisy masih suka atau tidak. Saat tiba jam sepuluh pagi, saat itulah aku mulai ingin pergi menuju rumahnya, yang tidak lain hanyalah untuk memberikan bungkusan rujak yang bisa mereka cicipi. Apa yang akan kulakukan saat ini sebagai upaya untuk membangun tali silaturahmi dengan keluarganya. Kusegera berangkat dengan berpamit
-tekadku- Kini pada akhirnya kuharus pulang sendiri usai memarahi Aisy, yang baru saja menikmati waktu malamnya beserta teman-temannya yang tidak benar. Dalam perjalanan pulang kali ini, aku mulai mengeluh dan juga sedikit menangis meratapi apa yang sudah Aisy lakukan. Dalam hati, aku benar-benar bingung, mengapa Aisy bisa seperti ini perilakunya, tak seperti dulu sebagaimana Aisy yang pernah aku kenal. Kubenar-benar sangat prihatin sekali, aku merasa bahwa Aisy sudah terjebak dalam sebuah pergaulan yang sangat membahayakan dirinya. Entah sudah berapa lamakah Aisy seperti ini. “Ya Allah semoga tidak sampai terjadi apa-apa dengan Aisy ke depannya.” Batinku. Saat diriku sudah tiba di rumah, kumulai terduduk dan hanya diam. Kumulai berpikir dengan cukup cermat, mengena
-pertikaian- Aku segera mengambil motor yang telah terparkir di teras rumah Aisy, di mana pada sore hari ini, aku dan ibu akan pulang dengan tangan hampa serta rasa yang penuh dengan kekecewaan. Saat dalam perjalanan pulang, ibu hanya diam saja dengan wajah yang sedikit cemberut terhadapku, aku berfirasat bisa jadi ibu merasa kecewa karena tidak habis pikir setelah melihat kelakuan Aisy yang terbilang kasar pada orang tuanya. Dalam hati aku mulai menyadari sepenuhnya bahwa memang sekarang bukanlah saat yang tepat bagiku untuk mengenalkan Aisy pada ibu. Namun entah bagaimana lagi sedangkan aku ingin ibu bisa cepat merestui diriku yang ingin menjalin hubungan serius dengan Aisy. Dan kini aku dan ibu telah sampai di depan rumah, rasa malu dan tenggang rasa sudah pasti ada dalam hatiku. Betapa tidak, bahwa kelakuan Aisy barusan benar-benar telah me
-Semangat Pagiku- Assalamualaikum Warahmatullah. Baru saja ku menyelesaikan shalat secara berjamaah bersama dia dan juga ibu, dan sekarang adalah waktu yang terbaik untukku agar segera mandi untuk persiapan masuk kerja. Saat diriku mulai beranjak menuju kamar mandi, saat itulah kumelihat dirinya berdandan dengan penuh pesona, aku dibuat kagum olehnya. Sudahlah, lebih baik kulanjutkan saja aktifitasku mandi sejenak. “Ibuk, ada yang bisa dibantu?” ucap Aisyah pada ibuku. “Emmm ndak usah dulu Aisyah, ibuk udah selesai kok.” Jawab ibu. “Ohh ya sudah, Aisyah beres-beres dulu aja ya buk.” Ucap kembali Aisyah. “Iya Aisyah, silakan.” Jawab ibu ke
-sore yang indah- Aku baru saja mandi di waktu ini. Waktu telah menunjukkan tepat di angka tiga sore, sebagaimana rencana yang sudah kita buat kemarin, kita akan meluangkan waktu di taman bunga. Saat kita berdua sudah siap untuk berangkat, aku dan istriku segera berpamitan pada ibu. “Ibuk, kami berangkat dulu ya.” Ucap Aisyah pada ibu. “Iya nak, kalian berdua hati-hati di jalan ya, dan Jangan pulang malem-malem.” Jawab ibu. “Baik buk, insya Allah nanti jam delapan kita sudah berada di sini.” Tambahku. “Iya Di, jaga istri kamu ya!” seru ibu. “Iya buk, Assalamualaikum.” Uca
-hadiah terindah- Di sore hari ini, kumulai terduduk sendiri. Tak ada seorang pun yang bisa menemani kecuali hanyalah hembusan angin serta suara kicauan burung-burung yang sedang bertengger. Saat kuterduduk, di saat ini pula kumulai merenungi, akan sebuah kisah serta kebersamaan yang pernah kulakukan bersama dia di hari kemarin-kemarin. Kemarin kita masih bisa bersama, kemarin kita juga masih bisa tertawa bahagia. Namun kini kebahagiaan itu hanya ada di satu pihak, yang tidak lain hanya ada pada diri Aisy. Kuyakin hari ini dia pasti sangat berbahagia, karena dia sudah bisa menikmati kesehatan yang di mana selama ini dia harus bertahan dari kelumpuhan, sementara kuharus mundur dan mulai berniat melangkah pergi dari kenyataan itu. Tentu diriku tidak akan langsung pergi begitu saja, karena kuingin meninggalkan satu kenangan yang bisa kuberikan unt
-ku mulai menyadari kesalahanku- Aisy mulai membuatku merasa bimbang dan penuh dengan rasa penasaran. Sebenarnya Aku belum siap menerima kalimat yang akan dia lontarkan saat ini, namun mau tidak kuharus segera menerima alasan yang akan dia berikan. Rasa takut dan bersalah memang sudah pasti kurasakan, namun entahlah, jika pun nanti pada akhirnya Aisy mulai memintaku untuk pergi, maka Aku harus siap sepenuh hati. “Aldi, kamu masih ingat kebersamaan kita di saat kita baru lulus dari sekolah SD.” Ucapnya. “Tentu Aisy, aku benar-benar ingat dengan semua yang pernah kita lakukan bersama pada saat itu.” Jawabku. “Dan kamu juga masih ingat kan, usai kelulusan itu kita sempat berpisa
-kedatanganku- Pagi hari pun telah tiba, usai diriku mandi dan shalat Dhuha, aku segera berpamitan dengan ibu untuk berangkat kerja. Ada satu rencana yang ingin kulakukan tanpa harus bilang ke ibu, di mana di pagi ini aku berencana untuk menemui Aisy sebelum berangkat kerja, karena kumenduga mungkin ibu juga tidak akan setuju jika kuharus menemui Aisy. Sebenarnya, aku benar-benar tidak ada kemauan untuk menemui dirinya, hanya saja untuk kali ini kuharus nekat. Kedatanganku hanyalah ingin meminta maaf serta mengembalikan jilbab putih ini yang sudah berumur belasan tahun. Ya, lebih baik kukembalikan saja agar diriku tidak tergoda untuk mengenangnya. “Aldi berangkat dulu ya buk." ucapku pada ibu saat berpamitan untuk berangkat kerja. “Iya Di, hati-hati di jalan, semangat ya.
-aku mulai melupakannya- Saat diriku teringat bahwa ini adalah jilbab putih milik Aisy, saat itulah kumencoba untuk membersihkan jilbab ini dari bekas darahku yang telah menempel. Entah kenapa di saatku sedang mencuci jilbab ini, bayangan sosok Aisy di mataku semakin kuat, tentunya bukan bayangan Aisy yang sekarang, melainkan bayangan Aisy di saat dia masih kecil, tepatnya di saat kita masih sama-sama duduk di bangku sekolah. Setelah aku mencucinya, kucoba untuk memberikan sebuah pewangi agar harum sebelum kujemur di bawah terik panas matahari. Apa yang ingin kulakukan saat ini sebagai wujud untuk kembali mengenang masa-masa indah antara aku dengan dirinya, sejak dulu hingga saat ini. Hari telah berganti, dan kini tiba saatnya diriku untuk berpamitan pada ibu untuk berangkat kerja. Aku akan menjalani aktifitas seperti biasanya tanpa pernah meng
-kepulangannya- Kebersamaan itu akan terasa lebih indah bersama seseorang yang kita cintai, baik antar keluarga maupun sahabat. Betapa bahagianya diri ku dahulu di saat bapak masih muda, di mana kita bisa bermain, bercanda tawa, serta beribadah bersama dalam satu rumah. Namun setelah kepergian bapak, hidupku seakan-akan tidak bisa bersemangat lagi meski telah kupaksakan. Namun beruntung, masih ada ibu di sampingku, yang bisa menemani diriku hingga kubisa menjalani hari-hari indah ini meski belum memiliki pasangan hidup. Hal yang sama juga dialami oleh Aisy, ayahnya baru saja meninggal dunia, meninggalkan semua kenangan indah yang pernah mereka miliki berdua. Aku sempat prihatin usai sepeninggalnya, akankah Aisy ada rasa penyesalan usai ayahnya pergi, atau malah membuat diri Aisy semakin bebas dalam bergaul, karena tidak ada keluarga yang bisa m
-Terbaring lemah- Dia masih tertidur dan terbaring lemah di atas ranjang itu, sudah satu hari ini kutelah menunggu agar dirinya bisa segera sadar. Segala doa telah kupanjatkan di saatku shalat maupun di setiap waktu, agar datang segera keajaiban atas kesadaran yang ada pada diri Aisy, baik sadar dalam hal fisik, maupun sadar atas segala sikap yang selama ini dia lakukan padaku, maupun pada sang ibu. Dengan perlahan, waktu demi waktu mulai berjalan, sudah saatnya bagiku untuk kembali pulang dan menuju rumah sakit yang berbeda di mana saat ini ibunya Aisy dirawat. Dalam perjalanan ini, Aku benar-benar bingung. Aisy sudah berhasil kutemukan, namun diriku belum siap untuk mengatakan hal ini pada ibunya, karena aku tak ingin melihat beliau jadi tambah stress dan juga shock setelah tahu bahwa Aisy baru saja mengalami kecelakaan, dan parahnya lagi,
-Terbaring Lemah- Pagi hari ini cuacanya begitu sangat cerah. Angin-angin mulai berhembus dari arah timur, memberikan aku kesejukkan di saat diriku menikmati suasana pagi dengan secangkir kopi manis buatan ibu. Sekarang adalah hari minggu, hari di mana orang-orang menikmati waktunya untuk berlibur, entah itu ke pantai, atau ke puncak gunung. Aku tidaklah meluangkan waktu liburku untuk bermain, melainkanku lebih sering membantu ibu dalam berjualan rujak di rumah, lagipula kujuga belum berkeluarga, jadi masih banyak waktu yang bisa aku manfaatkan untuk menjalani aktifitas di rumah. Jam masih menunjukkan di angka enam pagi, dan matahari mulai hadir menampakkan sinarnya. Aku mulai membantu ibu mengangkat beberapa bahan makanan untuk membuat rujak, karena biasanya di pagi ini banyak orang berdatangan untuk membeli sarapan pagi. Syukurlah, di waktu ini jug