Dengan bantuan beberapa pelayan keluarga Leon, semua barang-barang Aleta sudah dirapikan ke dalam lemari besar. Begitu pun dengan barang-barang Leon yang ada di kamar pria itu, yang tak lebih banyak dari semua barangnya. Ia sempat mendengar mama mertuanya untuk memindahkan barang-barang pria itu yang ada di apartemen, tetapi segera mendapatkan reaksi yang tak menyenangkan sehingga Yoanna menawarkan akan membeli barang-barang yang baru untuk menambahkan. Yang tak dijawab apa pun oleh Leon dan menjadi lampu hijau bagi wanita paruh tersebut. Setelah makan malam di rumah utama, Aleta kembali ke paviliun. Sempat mengobrol sejenak dengan Lena, adik perempuan Leon yang kebetulan seumuran dengannya. Menawarkan diri jika Aleta butuh bantuan. Meski hubungan mereka tak cukup dekat, sikap Lena lebih ramah dan lembut kepadanya. Begitu pun dengan sang papa mertua. Lionel Ezardy. Sementara Leon, pria itu naik ke lantai dua dan kembali ketika menjelang jam sepuluh. Tepat ketika Aleta siap berbarin
"Pokoknya tidak. Kau tidak boleh mendekati Leon." "Kenapa?" "K-karena …" Yoanna kesulitan mendapatkan alasan. Tetapi kemudian pandangannya menangkap keberadaan Aleta yang masih tertunduk di depan Leon. Bersikap menjadi makhluk tak kasat mata seperti biasa. "Karena dia sudah menikah." "Menikahi gadis cacat tidak terhitung pernikahan, tante." Jawaban Anna sangat ringan. Melirik sekilas ke arah Aleta dengan ekspresi mencemooh. "Pokoknya … kau tidak boleh dekat-dekat dengan Leon. Dan jangan ganggu hubungan mereka. Mereka sudah menikah. Sekarang kau pulang ke rumahmu." Yoanna mendorong sang keponakan menjauh. "Tante …" rengek Anna. "Tante mengusirku?" "Ya. Pulang sana. Dan jangan pernah ke rumah tante lagi selama Leon dan Aleta menikah." Wajah Anna berubah semringah. "Jadi kalau mereke bercerai …" "Tidak. Pokoknya selama kau memandang Leon dengan bunga-bunga semacam itu di matamu. Kau tak boleh dekat-dekat di sekitar rumah tante." Anna mendengus sebal. "Berarti di kantor boleh,"
Leon pikir akan bisa mengabaikan tanda tanyanya tentang sikap sang mama pada Anna pagi tadi, tetapi rupanya apa yang ia dapatkan di kantor semakin memperkerut firasatnya. “Entah dari mana mamamu mendapatkan informasi semacam itu, Leon.” Jawaban Jacob pun terasa aneh. Mamanya jelas mengatakan bahwa Jacob sudah mempersiapkan posisi tersebut, dan ia juga sudah mengonfirmasinya lewat salah satu informannya di Singapore. Yang bahkan sudah ditandatangani oleh pria itu sendiri. “Jadi tidak?” Leon tak melepaskan pandangannya dari kedua mata biru Jacob Thobias yang tampak lebih terang dibandingkan miliknya. Jacob terkekeh. “Tentu saja tidak. Keberadaanmu di kantor pusat sangat dibutuhkan. Meski jika kau memenangkannya, itu akan menambah bebanmu. Kau tak masalah?” Leon menggeleng singkat. Untuk sesaat keduanya saling pandang, Leon memutus kontak mata tersebut lebih dulu sebelum kemudian mendekatkan berkas yang ada di depannya. “Ini berkas yang paman butuhkan.” Jacob membuka berkas terse
"Dia benar-benar menidurimu?" Bastian kembali memecah keheningan di antara mereka. Aleta seolah sengaja merapatkan mulut, tak ingin memberikan jawaban. Yang ia tahu akan membuatnya hancur. Bastian mendongakkan wajah Aleta, yang langsung gadis itu tepis. "Tak ada yang salah dengan itu, Bastian. Kami sudah menikah." "Dia bukan orang yang akan tertarik dengan …" "Gadis cacat sepertiku?" Bastian berkedip. Suaranya berubah lembut, tanpa tekanan seperti sebelumnya. "Aku tak bermaksud mengatakan seperti itu, Aleta." Aleta tetap menampilkan raut dinginnya meski sorot Bastian mengatakan yang sejujurnya. Bastian mengangguk. Meredam kecemburuan yang semakin sulit dikendalikan ketika bayangan liar itu muncul di benaknya. Tentang bagaimana Leon meniduri gadisnya. Matanya sempat menyipit, ketika sekilas menangkap kissmark yang tak berhasil disembunyikan di antara helaian rambut Aleta yang diurai. Suara langkah yang semakin mendekat menyela di antara pandangan keduanya yang masih saling ter
“Apa yang kau lakukan, Anna?” delik Monica, segera mencerna keterkejutannya melihat Anna yang telah berhasil mendaratkan ciuman di bibir Leon. Mendorong tubuh Anna menjauh dari Leon yang hanya memutar bola mata dengan jengah karena sikap kekanakan Anna. “Kau mabuk?” Anna hanya terkikik. Tubuhnya yang sedikit terhuyung berusaha mencari sandaran, lagi-lagi ke arah tubuh Leon. “Sedikit, Tante,” jawabnya dengan tawa kecil. Delikan Monica semakin membulat melihat Anna yang bergelayut manja di lengan Leon. Kedua tangannya terulur, melepaskan pegangan Anna dan kembali menjauhkan gadis itu dari sang menantu. “Sedikit, itu artinya pikiranmu masih cukup waras untuk mengenali saudaramu sendiri dan tidak menciumnya.” Anna mencebikkan bibirnya. “Ya, memang apa salahnya mencintai saudara sepupu sendiri. Mereka seharusnya tidak dijodohkan. Leon seharusnya menikah denganku, tante.” Monica tercengang cukup keras dengan pengakuan tersebut. “K-kau apa?” Suara Monica tercekat di tenggorokan. “K-kau
Aleta hendak turun dari tempat tidur ketika teringat kursi rodanya yang sengaja ditinggalkan Leon di bagasi mobil. Satu-satunya pakaiannya yang terlihat ada di lantai tengah ruangan, entah bagaimana bisa terlempar ke sana. Ia menarik tubuhnya terduduk, mempertahankan selimut tetap menutupi dada sembari tak melepaskan pandangan dari pintu kamar mandi yang masih tertutup rapat. Dengan kesunyian yang terlalu mencekam. Aleta hanya menunggu, dengan benaknya yang tak berhenti bertanya-tanya akan apa yang dilakukan pria itu di dalam sana. Suara gemericik air sudah berhenti sejak sekitar setengah jam yang lalu. Tengah malam pun sudah lewat. Ceklekk … Suara pintu yang didorong terbuka mengalihkan lamunan Aleta. Pandangan mereka saling bertemu saat langkah Leon sempat tersendak. Pandangan Aleta bergerak turun, melihat perban yang sudah membebat telapak tangan kanan Leon. Rambut pria itu masih basah, meneteskan sisa-sisa air ke pundak dan dada telanjang pria itu. Handuk melingkari pinggang
Ketika mobil Leon mulai memasuki kediaman Ezardy, perhatian keduanya langsung terarahkan pada Yoanna yang berdiri di teras rumah. Tampak menunggu seseorang. “Kalian sudah sarapan?” Yoanna menghampiri Leon yang baru saja menurunkan Aleta dari dalam mobil. Membantu sang putra mengambil kursi roda Aleta di bagasi. “Sudah, Ma,” jawab Aleta karena Leon tampak sengaja membisu. Tampak sengaja menghindari bertatapan dengan Yoanna. “Kau bersiaplah. Nanti mamamu akan datang untuk mengantarmu ke rumah sakit.” Yoanna baru saja menyelesaikan kalimatnya ketika ketika melihat mobil lain yang melewati gerbang. “Ah, Bastian sudah datang.” “Bastian?” Gumaman Yoanna berhasil mengalihkan perhatian Leon. Yoanna mengangguk. “Ya, semalam Anna membuat keributan. Mama dan papa baru saja akan tidur ketika dia datang dan menggedor-gedor pintu paviliun. Terlalu banyak minum hingga tidur di lantai teras kalian. Jadi papamu membawanya ke kamar tamu dan mama menghubungi Bastian untuk membawanya pulang,” jelas
"Kau menikahinya karena hal ini?" Ketajaman manik Bastian menusuk seringai kepuasan Leon. "Tak hanya menjadikannya pion, kau memanfaatkannya?" Leon terkekeh. "Pada awalnya tidak, tapi … tidakkah kau merasa kekalahanmu kali ini telah telak?" "Berengsek kau, Leon!" Bastian bergerak maju dengan tangan terangkat. Yang ditangkap oleh Leon. "Hentikan, Bastian," pekik Aleta. Tubuhnya nyaris melompat, menahan kedua pria yang saling bersitegang tersebut. Leon dan Bastian yang terkejut dengan respon Aleta, sehingga gadis itu hampir jatuh dari atas meja membuat keduanya melompat ke samping. Menangkap lengan Aleta masing-masing. Aleta membeku. Tubuhnya yang sudah kehilangan keseimbangan di atas meja wastafel, tertahan oleh pegangan kedua pria tersebut. "Apa yang kau lakukan?" desis Leon dengan geram akan pandangan Bastian yang terpaku pada setengah tubuh telanjang Aleta yang tak tertutupi oleh handuk. Menyentakkan tangan Bastian dari lengan sang istri dan menaikkan handuk Aleta hing
Kening Aleta berkerut melihat keseriusan di wajah Leon ketika membaca pesan singkat yang baru saja masuk ke dalam ponsel pria itu Leon duduk tepat di sampingnya, dan tubuh keduanya masih dalam keadaan telanjang. Dan keringat masih membasahi tubuh keduanya, setelah aktiitas panas mereka.Dan sejujurnya sangat mudah bagi Aleta untuk melirik siapa pengirim pesan yang berhasil mendapatkan perhatian Leon. Tapi entah kenapa, ada sedikit kesungkanan yang membuatnya hanya terdiam. Menunggu pria itu mengatakan sesuatu.“Aku harus pergi,” ucap Leon. Menoleh ke samping dan mendaratkan satu kecupan di kening Aleta sembari salah satu tangan meletakkan ponselnya ke nakas dengan posisi terbalik.Aleta hanya memberikan satu anggukan singkat. Dengan pandangan mengikuti Leon yang bergerak turun dari ranjang. Mengenakan celana karet dan langsung menuju pintu kamar mandi untuk membersihkan diri.‘Juliakah? Seseorang yang menghubungin Leon baru saja?’
“Kita pulang?” Leon menatap ke arah Aleta, dengan tatapan penuh arti. Keduanya berdiri di depan teras rumah sakit. Dengan baby Lucien yang berada dalam gendongan Aleta dan lengannya yang melingkar posesif di pinggang sang istri.Aleta memberikan satu anggukan tipis. Dengan seulas senyum dan binar di kedua mata coklatnya. Ya, ia akan pulang. Ke mana pun Leon membawanya karena sekarang, pria itu adalah rumahnya.Nirel dan Monica yang baru saja keluar dari pintu putar rumah sakit sengaja melambatkan langkahnya. Membiarkan Aleta dan Leon berada di depan, sekaligus sengaja menciptakan jarak yang terkesan seadanya. Agar keduanya tak merasa terganggu oleh kebe radaannya.Kedua pasangan paruh baya tersebut saling pandang. Saling melemparkan senyum dalam pandangan tersebut. “Sepertinya kali ini aku percaya dengan pilihanmu. Yang terbaik untuk Aleta,” gumam Monica lirih. Memastikan Aleta dan Leon tak mendengarnya. “Apakah sejak awal kau tahu mereka ak
‘Cukup untuk kita bertiga.’Bagaimana mungkin Leon tak terpengaruh dengan jawaban yang diberikan oleh Aleta tersebut. Mempertanyakan kembali seberapa serius keinginan Aleta akan dirinya dan pernikahan mereka, hanya akan memperjelas bahwa dirinyalah yang begitu tolol telah melepaskan sang istri demi perusahaan.‘Bagaimana mungkin kau melakukan semua ini demi kebahagiaan semua orang. Jika kau sendiri tak bisa membahagiakan dirimu sendiri, Leon.’Kata-kata Julia pun kembali terngiang di benaknya.‘Jika kau tak becus mempertahankan kebahagiaanmu sendiri, aku tak akan terkejut jika apa yang kau lakukan saat ini untuk bertahan. Semua itu pada akhirnya tak bisa kau pertahankan. Karena kau sendirilah yang menghancurkan dirimu sendiri, Leon. Bukan kakek Aleta maupun Bastian. Juga bukan semua orang yang saat ini sedang menyusun rencana untuk menggulingkanmu.’“Jika keinginanmu terhadapku dan putra kita tidak cukup untukmu, akulah yang aka
“Aku tidak menandatanganinya tanpa keinginanku, Aleta. Apalagi yang kau butuhkan dan tunggu untuk menerima gugatan ini? Semua yang kau inginkan ada di dalam sini.”Aleta mengerjap dengan jawaban dingin yang diberikan Leon. Menelan kekecewaan yang sengaja di berikan Leon padanya. Tentu saja ia bisa menangkap kesengajaan pria itu untuk membuatnya kecewa. Dengan cepat, Aleta memasang ekspresi datarnya seapik mungkin. Kedua matanya menatap lurus tatapan intens Leon yang berusaha melucuti perasaannya. “Kakekku akan tetap mengusirmu dari perusahaan meski kita bercerai.”Leon membeku, keterkejutan menampar wajah pria itu dan butuh beberapa detik lebih lama baginya untuk mencerna keterkejutan dan menguasai raut wajahnya. Demi menyimpan kemarahan yang nyaris tak bisa disembunyikan dengan baik.Meski ini adalah informasi penting yang sudah ia perkirakan dan kartu lain untuk membuat Phyllian Mamora tak berkutik berada di tangannya. Ia hanya tak menyangka Ph
Phyllian Mamora dan Bastian tentu saja tak menyukai keberadaan Leon di ruang perawatan anak tersebut. Dan sama sekali tak menutupi kebencian keduanya di depan Leon. Aleta yang merasa terjebak dengan kecanggungan tersebut pun tak bisa melakukan apa pun. Terutama dengan sang kakek yang jelas-jelas ingin menyeret Leon keluar dari ruangan tersebut tapi tak mungkin membuat keributan di ruang perawatan baby Lucien yang kini sudah berbaring di ranjang pasien.“Kakek ingin bicara sebentar,” ucap Phyllian. Melirik ke arah Leon yang masih duduk di kursi. Tak melepaskan pandangan dari baby Lucien sedikit pun. Aleta mengangguk pelan, mengikuti sang kakek menuju pintu.“Awasi dia untukku,” pintah Phyllian pada Bastian sebelum mencapai pintu.Aleta tentu saja merasa tak nyaman dengan pintah tersebut. “K-kakek …”“Kakek tidak mempercayainya, Aleta. Siapa yang tahu kalau dia akan membawa lari cicitku.” Jawaban Phyllian yang tidak lirih se
“Kau masih belum menyentuhnya?” gumam Monica membuka berkas di meja yang tampaknya masih tak tersentuh, bahkan setelah beberapa hari setelah Aleta mencoba menemui Leon di kantor. Kepalanya berputar, menatap sang putri yang berdiri di tengah ruangan, menggendong baby Lucien yang tampaknya mulai tenang.Aleta hanya menatap sang mama, tanpa memberikan jawaban apa pun.“Masih ingin bicara dengan Leon?”Aleta memberikan satu anggukan pelan, menundukkan wajah dan menatap sang putra yang sudah terlelap. Ia pun berjalan mendekati boks bayi, membaringkan baby Lucien dan tetap berdiri di samping boks bayi.“Tadi malam papamu bertemu dengan kakekmu.” Monica mendekati Aleta. Menyentuh pundak wanita itu dengan lembut. “Kakekmu mengatakan akan mengambil alih semua permasalaha ini dan mengatur pengacara terbaik untukmu.”Aleta menoleh ke samping, napasnya semakin tertahan. “K-kakek?”Monica mengangguk. “Mama dan papa sudah menega
“Apakah pria itu berhasil mempengaruhimu sehingga membuatmu seperti ini?” ulang Bastian dengan penekanan di ujung kalimatnya. “Jadi pria itu sudah berhasil mengubah perasaanmu padaku?”Aleta tak langsung menjawab. Menatap binar harapan di kedua mata Bqstian yang perlahan meredup. Sama sekali tak menyangkal pertanyaan tersebut.Bahkan pertanyaan tersebutlah yang membuat Aleta tersadar. Bahwa perasaannya pada Bastian memang sudah berubah. Berubah sepenuhnya tanpa ia sadari.Bastian menggeleng. “Tidak. Ini terlalu cepat, Aleta. Dan semua ini bukan karena Leon.Tetapi karena ancaman Berlian padamu, kan?”Aleta tetap bergeming. Ekspresi wajah Bastian tampak begitu emosional.“Berlian sudah mengatakan padaku. Semua itu hanya kelicikannya, Aleta. Percaya padaku.” Bastian melangkah maju, tetapi tubuh Aleta bergerak mundur. Mempertahankan jarak di antara mereka tetap terbentang.Aleta menggeleng. “Kakekku, kau, dan Berl
Aleta menatap berkas yang tergeletak di sampingnya. Tak ia sentuh sejak kemarin sang mama meletakkannya di sana. Tahu benar apa yang ada di dalam sana, tetapi ia tak memiliki keberanian untuk membukanya.Semua harapan dan keinginannya ada di dalam sana. Terkabulkan hanya dengan membubuhkan tanda tangannya di sana.Namun …Akan tetapi …Kenapa sekarang perasaannya telah berubah? Kenapa keinginan dan harapannya tidak sama?‘Mama tak tahu apakah mama perlu menyampaikannya padamu. Kakekmu dan Bastian menukarkan semua ini dengan perusahaan.’‘Mama dan papa tidak memihak siapa pun selain dirimu, Aleta. Yang kami inginkan hanyalah kebahagiaanmu semata. Jadi … pertimbangkan baik-baik keputusanmu.’Kata-kata sang mama kembali terngiang. Semudah inikah Leon menyerah untuknya? UntukLucien? Ya, tentu saja dirinya tak bisa dibandingkan dengan kursi tertinggi di Thobias Group.Aleta menghela napas pan
“Kau benar-benar tak punya hati, Bastian. Anak kita nyaris mati dan kau masih saja sibuk memikirkan Aleta?” Mata Berlian digenangi air mata yang meleleh membasahi kedua pipinya. Tersedu oleh isakannya yang semakin menjadi. “Atau kau merasa bersedih karena anak ini tidak jadi mati? Dan menganggapnya sebagai batu sandungan untuk kisah cintamu dan Aleta?”Bastian mendesah gusar. “Berhenti bersandiwara, Berlian. Kau sendirilah yang bermain-main dengan nyawanya. Kau pikir aku tak tahu kau melakukan kenekatan ini untuk menarik simpati Aleta? Sehingga dia harus terpaksa mundur. Jangan pikir aku tak tahu kelicikanmu. Aku tak setolol itu.”Wajah Berlian membeku, meski tak terlalu terkejut dengan tuduhan Bastian yang memang benar adanya. Ya, keduanya tahu akan kelembutan dan kepolosan hati Aleta, yang di matanya malah tampak seperti sebuah ketololan. Ia hanya perlu mengundang simpati dan rasa iba Aleta, untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dari wanita bodo