"Kau menikahinya karena hal ini?" Ketajaman manik Bastian menusuk seringai kepuasan Leon. "Tak hanya menjadikannya pion, kau memanfaatkannya?" Leon terkekeh. "Pada awalnya tidak, tapi … tidakkah kau merasa kekalahanmu kali ini telah telak?" "Berengsek kau, Leon!" Bastian bergerak maju dengan tangan terangkat. Yang ditangkap oleh Leon. "Hentikan, Bastian," pekik Aleta. Tubuhnya nyaris melompat, menahan kedua pria yang saling bersitegang tersebut. Leon dan Bastian yang terkejut dengan respon Aleta, sehingga gadis itu hampir jatuh dari atas meja membuat keduanya melompat ke samping. Menangkap lengan Aleta masing-masing. Aleta membeku. Tubuhnya yang sudah kehilangan keseimbangan di atas meja wastafel, tertahan oleh pegangan kedua pria tersebut. "Apa yang kau lakukan?" desis Leon dengan geram akan pandangan Bastian yang terpaku pada setengah tubuh telanjang Aleta yang tak tertutupi oleh handuk. Menyentakkan tangan Bastian dari lengan sang istri dan menaikkan handuk Aleta hing
Monica mendengus tipis ketika melihat mobil Bastian yang berhenti di halaman butik saat mendorong kursi sang putri keluar dari dalam butik. Melirik sinis pada Berlian yang juga melewati pintu butik. Dengan wajah muram dan kantong belanjaan yang sama sekali tak memuaskannya. “Tante Monica, Aleta,” sapa Bastian saat turun dari dalam mobil. Menghampiri sang tante dengan senyum ramah. Wajah muram Berlian seketika berubah semringah, mendekati Bastian dan bergelayut manja di lengan pria itu. “Kau sudah datang?” Bastian memberikan senyum tipisnya pada Berlian sebelum kemudian kembali menatap Aleta yang membuang wajah darinya. Bibirnya sudah membentuk celah, ingin mengatakan sesuatu tetapi tertahan dengan keberadaan sang tante dan Berlian. “Tante benar-benar kasihan denganmu, Bastian,” celetuk Monica. Melirik sinis ke arah Berlian, yang seketika memucat. “Maida memang tak pernah memikirkan kebahagiaanmu. Apa kau sungguh akan menikah dengan wanita seperti ini? Hanya untuk kelangsungk
Tepat seperti apa yang dikatakan oleh Leon. Dengan perasaan Aleta yang masih dipenuhi oleh Bastian sementara tubuhnya menjadi milik Leon, itu semakin menyiksa dirinya sendiri. Pun dengan perasaannya pada Bastian yang sudah tak sebesar dan sekuat dulu. Setiap kali Leon selesai dengan tubuhnya, perasaannya menjadi tak karuan karena tersadar. Bahwa peluh yang membasahi kening dan pelipisnya. Tubuhnya yang berkeringat, napasnya yang terengah dan rasa tak nyaman, terutama di antara pangkal pahanya. Semua itu juga adalah hasrat miliknya yang berhasil dipancing oleh Leon. Tubuhnya telah sepenuhnya menjadi milik pria itu. Kehangatan pelukan Leon ketika bangun pagi itu, semua itu memang lebih nyata ketimbang perasaan cintanya untuk Bastian. Juga harapan mereka yang tak pernah menjadi kenyataan. “Ya, bulan kemarin acara keluarga di rumah Monica. Jadi bulan ini akan diadakan di rumah kita.” Yoanna memberitahu semua anggota ketika di meja makan pagi itu. “Jadi untuk seminggu ke depan, mam
"Apakah ini kesengajaanmu?" cecar Leon tepat ketika kakinya sudah melewati pintu paviliun. Aleta mengernyit tak mengerti, wajahnya tetap tertunduk. Karena jika ia bergerak sedikit saja, wajahnya akan bersentuhan dengan Leon. Yang menunduk terlalu dekat ke arahnya. Kedua lengannya yang melingkar di leher pria itu cukup pendek, membuat jarak wajah mereka tak lebih dari lima senti. Ya, ketegangan di meja makan memang sudah tak terkendalikan. Aura yang menguar dari tubuh Leon pun berhasil membuatnya menahan napas. Dan Leon tampak kewalahan menguasai emosi seperti pada malam itu. "Aku tak tahu apa yang kau katakan, Leon." Suara Aleta lirih, dengan napas tertahan karena kepala Leon bergerak lebih turun, hingga napas berat pria itu menerpa sisi wajahnya. "Meski memang aku yang menumpahkan kopiku, seharusnya tanganmu tak terkena tumpahannya." Aleta menelan ludahnya. Ya, tangannya memang terjulur ke arah pria itu, berusaha menyentuh Leon untuk menenangkan emosi yang semakin menggeb
Aleta sering kali mendapatkan penghinaan dan cecaran secara langsung dari siapa pun. Secara langsung maupun hanya sindiran-sindiran yang membuat kulit wajahnya serasa dikelupas. Namun, tak sekalipun ia pernah membantah semua kejelekan yang dilemparkan padanya. Memilih bungkam dan menerima semua itu meski hatinya tersakiti. Dan keberanian yang mendadak muncul oleh kata-kata Leon, mendorongnya untuk melakukan pemberontakan yang lebih besar. Kedua tangannya yang terpaku dalam cengkeraman Leon di atas kepala, tubuh yang dihimpit oleh tubuh besar dan setengah telanjang Leon, juga rahangnya yang diremas kuat mempertahankan posisi wajahnya yang dipagut oleh pria itu. Satu-satunya celah bagi Aleta untuk melawan adalah ketika lidah Leon memaksa masuk ke dalam mulutnya, gadis itu menggigitnya. Leon melepaskan pagutannya sambil menyumpah. Menatap Aleta yang menatapnya marah. Cih, gadis itu tak berhak memiliki amarah kepadanya. “Kau berani melawanku?” geramnya tepat di atas wajah Aleta. Bau
“Aleta?” Bastian yang baru setengah menutup pintu pun terkejut dengan keberadaan gadis itu di dalam toilet. Sebelum mencium Berlian, seingatnya Aleta masih duduk di samping Leon di ruang keluarga. Kesiap pelan Aleta memecah keterkejutan Bastian, melihat gadis itu yang menatap ke arah tangan kanannya. “Kenapa dengan tanganmu?” Aleta mendorong kursi rodanya mendekat pada Bastian. Memeriksan luka di telapak tangan pria itu. Bastian tak menjawab. Membiarkan tangannya disentuh oleh Aleta dan kecemasan di wajah gadis itu yang mengembangkan perasaan hangat di dadanya. Aleta yang tersadar, seketika terdiam. Bimbang akan kecemasannya terhadap Bastian atau senyum yang mengembang di kedua ujung pria itu. Tangannya sudah akan melepaskan tangan Bastian ketika pria itu menahannya. “Bisakah kau membantuku?” Bastian membungkuk, salah satu tangannya mendorong lengan kursi roda Aleta ke belakang. Ia duduk di penutup toilet dan memosisikan Aleta tepat di hadapannya lalu meletakkan tangannya
“Kau merasa bangga bisa mempengaruhi keputusan Jacob?” Maida muncul tiba-tiba di samping Yoanna yang baru saja selesai menata potongan kue di piring. Pandangannya sempat turun ke bawah, ke arah cangkir kopi hitam yang masih mengepulkan asap. Dan hanya satu cangkir. “Lionel tidak minum kopi.” “Hmm, aku baru akan memberitahumu. Jacob yang meminta.” “Dan kenapa kau yang melayaninya?” “Aku hanya kebetulan bersama dengan Lionel ketika dia menghampiri suamiku, Maida. Kenapa kau mendadak begitu sensitif? Kau pikir aku akan mencuri suamimu?” Wajah Maida membeku. “Selain Jacob sebagai pimpinan tertinggi Thobias Group, kupikir tak ada yang special darinya dibandingkan Lionel. Dan aku tak bermaksus membandingkan mereka. Tapi … wajahmu terlihat seperti kau kurang sentuhan akhir-akhir ini.” Maida mendelik dan seketika wajahnya berubah merah padam. “Apa maksudmu?” Yoanna menggeleng. Menyeret nampan yang sudah ia siapkan ke hadapan sang kakak. “Sebagai istrinya, kau seharuanya melaya
Anna mengangguk. “Sejujurnya aku sudah mencurigai ada hubungan yang aneh antara Bastian dan si ca …” “Istriku punya nama, Anna,” koreksi Leon penuh penekanan. “Aleta Ezardy, jika kau lupa.” Anna mengerjap. Menyadari ketajaman tatapan Leon yang mampu membuat bulu kuduknya berdiri. “Y-ya. Aleta. Maksudku, kupikir mereka memiliki sesuatu. Beberapa kali, aku memergoki mereka bertemu secara diam-diam. Sepertinya mereka memang memiliki sesuatu.” “Istriku jelas bukan tipe wanita yang akan ditiduri oleh Bastian, Anna.” Leon menarik lengannya dari gelayutan Anna. “Meski aku tahu setiap inci yang ada di balik pakaiannya dengan sangat baik. Jauh lebih indah dari yang dimiliki wanita manapun.” Bibir Anna memberengut kesal. “Wanita mana pun, kecuali aku. Kau perlu mengamati tubuhku dengan lebih teliti, Leon. Dia tak mungkin lebih baik dariku.” “Mungkin ya.” Mata Leon melirik turun, ke arah belahan dada Anna. “Sayangnya aku suka yang lebih alami. Terasa pas di tanganku.” Tangan Leon ter
Kening Aleta berkerut melihat keseriusan di wajah Leon ketika membaca pesan singkat yang baru saja masuk ke dalam ponsel pria itu Leon duduk tepat di sampingnya, dan tubuh keduanya masih dalam keadaan telanjang. Dan keringat masih membasahi tubuh keduanya, setelah aktiitas panas mereka.Dan sejujurnya sangat mudah bagi Aleta untuk melirik siapa pengirim pesan yang berhasil mendapatkan perhatian Leon. Tapi entah kenapa, ada sedikit kesungkanan yang membuatnya hanya terdiam. Menunggu pria itu mengatakan sesuatu.“Aku harus pergi,” ucap Leon. Menoleh ke samping dan mendaratkan satu kecupan di kening Aleta sembari salah satu tangan meletakkan ponselnya ke nakas dengan posisi terbalik.Aleta hanya memberikan satu anggukan singkat. Dengan pandangan mengikuti Leon yang bergerak turun dari ranjang. Mengenakan celana karet dan langsung menuju pintu kamar mandi untuk membersihkan diri.‘Juliakah? Seseorang yang menghubungin Leon baru saja?’
“Kita pulang?” Leon menatap ke arah Aleta, dengan tatapan penuh arti. Keduanya berdiri di depan teras rumah sakit. Dengan baby Lucien yang berada dalam gendongan Aleta dan lengannya yang melingkar posesif di pinggang sang istri.Aleta memberikan satu anggukan tipis. Dengan seulas senyum dan binar di kedua mata coklatnya. Ya, ia akan pulang. Ke mana pun Leon membawanya karena sekarang, pria itu adalah rumahnya.Nirel dan Monica yang baru saja keluar dari pintu putar rumah sakit sengaja melambatkan langkahnya. Membiarkan Aleta dan Leon berada di depan, sekaligus sengaja menciptakan jarak yang terkesan seadanya. Agar keduanya tak merasa terganggu oleh kebe radaannya.Kedua pasangan paruh baya tersebut saling pandang. Saling melemparkan senyum dalam pandangan tersebut. “Sepertinya kali ini aku percaya dengan pilihanmu. Yang terbaik untuk Aleta,” gumam Monica lirih. Memastikan Aleta dan Leon tak mendengarnya. “Apakah sejak awal kau tahu mereka ak
‘Cukup untuk kita bertiga.’Bagaimana mungkin Leon tak terpengaruh dengan jawaban yang diberikan oleh Aleta tersebut. Mempertanyakan kembali seberapa serius keinginan Aleta akan dirinya dan pernikahan mereka, hanya akan memperjelas bahwa dirinyalah yang begitu tolol telah melepaskan sang istri demi perusahaan.‘Bagaimana mungkin kau melakukan semua ini demi kebahagiaan semua orang. Jika kau sendiri tak bisa membahagiakan dirimu sendiri, Leon.’Kata-kata Julia pun kembali terngiang di benaknya.‘Jika kau tak becus mempertahankan kebahagiaanmu sendiri, aku tak akan terkejut jika apa yang kau lakukan saat ini untuk bertahan. Semua itu pada akhirnya tak bisa kau pertahankan. Karena kau sendirilah yang menghancurkan dirimu sendiri, Leon. Bukan kakek Aleta maupun Bastian. Juga bukan semua orang yang saat ini sedang menyusun rencana untuk menggulingkanmu.’“Jika keinginanmu terhadapku dan putra kita tidak cukup untukmu, akulah yang aka
“Aku tidak menandatanganinya tanpa keinginanku, Aleta. Apalagi yang kau butuhkan dan tunggu untuk menerima gugatan ini? Semua yang kau inginkan ada di dalam sini.”Aleta mengerjap dengan jawaban dingin yang diberikan Leon. Menelan kekecewaan yang sengaja di berikan Leon padanya. Tentu saja ia bisa menangkap kesengajaan pria itu untuk membuatnya kecewa. Dengan cepat, Aleta memasang ekspresi datarnya seapik mungkin. Kedua matanya menatap lurus tatapan intens Leon yang berusaha melucuti perasaannya. “Kakekku akan tetap mengusirmu dari perusahaan meski kita bercerai.”Leon membeku, keterkejutan menampar wajah pria itu dan butuh beberapa detik lebih lama baginya untuk mencerna keterkejutan dan menguasai raut wajahnya. Demi menyimpan kemarahan yang nyaris tak bisa disembunyikan dengan baik.Meski ini adalah informasi penting yang sudah ia perkirakan dan kartu lain untuk membuat Phyllian Mamora tak berkutik berada di tangannya. Ia hanya tak menyangka Ph
Phyllian Mamora dan Bastian tentu saja tak menyukai keberadaan Leon di ruang perawatan anak tersebut. Dan sama sekali tak menutupi kebencian keduanya di depan Leon. Aleta yang merasa terjebak dengan kecanggungan tersebut pun tak bisa melakukan apa pun. Terutama dengan sang kakek yang jelas-jelas ingin menyeret Leon keluar dari ruangan tersebut tapi tak mungkin membuat keributan di ruang perawatan baby Lucien yang kini sudah berbaring di ranjang pasien.“Kakek ingin bicara sebentar,” ucap Phyllian. Melirik ke arah Leon yang masih duduk di kursi. Tak melepaskan pandangan dari baby Lucien sedikit pun. Aleta mengangguk pelan, mengikuti sang kakek menuju pintu.“Awasi dia untukku,” pintah Phyllian pada Bastian sebelum mencapai pintu.Aleta tentu saja merasa tak nyaman dengan pintah tersebut. “K-kakek …”“Kakek tidak mempercayainya, Aleta. Siapa yang tahu kalau dia akan membawa lari cicitku.” Jawaban Phyllian yang tidak lirih se
“Kau masih belum menyentuhnya?” gumam Monica membuka berkas di meja yang tampaknya masih tak tersentuh, bahkan setelah beberapa hari setelah Aleta mencoba menemui Leon di kantor. Kepalanya berputar, menatap sang putri yang berdiri di tengah ruangan, menggendong baby Lucien yang tampaknya mulai tenang.Aleta hanya menatap sang mama, tanpa memberikan jawaban apa pun.“Masih ingin bicara dengan Leon?”Aleta memberikan satu anggukan pelan, menundukkan wajah dan menatap sang putra yang sudah terlelap. Ia pun berjalan mendekati boks bayi, membaringkan baby Lucien dan tetap berdiri di samping boks bayi.“Tadi malam papamu bertemu dengan kakekmu.” Monica mendekati Aleta. Menyentuh pundak wanita itu dengan lembut. “Kakekmu mengatakan akan mengambil alih semua permasalaha ini dan mengatur pengacara terbaik untukmu.”Aleta menoleh ke samping, napasnya semakin tertahan. “K-kakek?”Monica mengangguk. “Mama dan papa sudah menega
“Apakah pria itu berhasil mempengaruhimu sehingga membuatmu seperti ini?” ulang Bastian dengan penekanan di ujung kalimatnya. “Jadi pria itu sudah berhasil mengubah perasaanmu padaku?”Aleta tak langsung menjawab. Menatap binar harapan di kedua mata Bqstian yang perlahan meredup. Sama sekali tak menyangkal pertanyaan tersebut.Bahkan pertanyaan tersebutlah yang membuat Aleta tersadar. Bahwa perasaannya pada Bastian memang sudah berubah. Berubah sepenuhnya tanpa ia sadari.Bastian menggeleng. “Tidak. Ini terlalu cepat, Aleta. Dan semua ini bukan karena Leon.Tetapi karena ancaman Berlian padamu, kan?”Aleta tetap bergeming. Ekspresi wajah Bastian tampak begitu emosional.“Berlian sudah mengatakan padaku. Semua itu hanya kelicikannya, Aleta. Percaya padaku.” Bastian melangkah maju, tetapi tubuh Aleta bergerak mundur. Mempertahankan jarak di antara mereka tetap terbentang.Aleta menggeleng. “Kakekku, kau, dan Berl
Aleta menatap berkas yang tergeletak di sampingnya. Tak ia sentuh sejak kemarin sang mama meletakkannya di sana. Tahu benar apa yang ada di dalam sana, tetapi ia tak memiliki keberanian untuk membukanya.Semua harapan dan keinginannya ada di dalam sana. Terkabulkan hanya dengan membubuhkan tanda tangannya di sana.Namun …Akan tetapi …Kenapa sekarang perasaannya telah berubah? Kenapa keinginan dan harapannya tidak sama?‘Mama tak tahu apakah mama perlu menyampaikannya padamu. Kakekmu dan Bastian menukarkan semua ini dengan perusahaan.’‘Mama dan papa tidak memihak siapa pun selain dirimu, Aleta. Yang kami inginkan hanyalah kebahagiaanmu semata. Jadi … pertimbangkan baik-baik keputusanmu.’Kata-kata sang mama kembali terngiang. Semudah inikah Leon menyerah untuknya? UntukLucien? Ya, tentu saja dirinya tak bisa dibandingkan dengan kursi tertinggi di Thobias Group.Aleta menghela napas pan
“Kau benar-benar tak punya hati, Bastian. Anak kita nyaris mati dan kau masih saja sibuk memikirkan Aleta?” Mata Berlian digenangi air mata yang meleleh membasahi kedua pipinya. Tersedu oleh isakannya yang semakin menjadi. “Atau kau merasa bersedih karena anak ini tidak jadi mati? Dan menganggapnya sebagai batu sandungan untuk kisah cintamu dan Aleta?”Bastian mendesah gusar. “Berhenti bersandiwara, Berlian. Kau sendirilah yang bermain-main dengan nyawanya. Kau pikir aku tak tahu kau melakukan kenekatan ini untuk menarik simpati Aleta? Sehingga dia harus terpaksa mundur. Jangan pikir aku tak tahu kelicikanmu. Aku tak setolol itu.”Wajah Berlian membeku, meski tak terlalu terkejut dengan tuduhan Bastian yang memang benar adanya. Ya, keduanya tahu akan kelembutan dan kepolosan hati Aleta, yang di matanya malah tampak seperti sebuah ketololan. Ia hanya perlu mengundang simpati dan rasa iba Aleta, untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dari wanita bodo