Aku langsung masuk ke kamar setelah semua keluarga Pak Bima pulang. Riuh yang tadi diciptakan oleh puluhan orang, kini hanya menyisakan suara dari detak jarum jam, berjalan dari detik satu ke detik berikutnya.
Setelah 2 jam sibuk menyambut tamu dari keluarga Pak Bima, badanku rasanya capai sekali. Kaki yang biasa kugunakan untuk berjalan, sekarang terasa pegal-pegal, mungkin karena terlalu lama berdiri diatas sepatu highhells yang tingginya tujuh cm. Seluruh tulang dan juga persendianku juga ikut sakit. Aku duduk di atas kasur, kemudian menyejajarkan kaki agar rasa pegalnya sedikit berkurang. Sedih rasanya jika harus meninggalkan ruangan yang sudah kutempati selama hampir 30 tahun ini. Namun, tidak mungkin jika seorang bos seperti Pak Bima bersedia untuk tidur di ruangan sempit seperti ini. Aku mengamati dengan saksama setiap sudut ruangan yang kusebut dengan kamar, terlalu banyak kenangan dan juga cerita yang tersimpan disini.
Pintu kamar terbuka perlahan. Pak Bima nyelonong masuk kemudian ikut duduk di atas kasur ini.
"Ngapain ke sini?" tanyaku konyol.
Dia mengerutkan dahinya, "Kalau enggak masuk ke sini, lalu aku harus masuk ke kamar siapa?" tanyanya polos.
Aku menepuk dahiku pelan. Aku bahkan hampir lupa bahwa saat ini dia sudah sah menjadi suamiku, meskipun baru sah secara agama, sih.
"Kan Pak Bima bisa ke kamar tamu du nolu," jawabku tak mau kalah.
"Kamar tamu? Saya kan enggak tau, kamar tamu letaknya di sebelah mana," celetuknya.
"Salah siapa Bapak enggak nanya ke saya." Aku melipat tangan di depan dada.
"Kok salah saya? Hla kamu tadi ninggalin saya gitu aja di depan rumah, gimana mau nanya?" tanya ketus, "lagian ngapain saya ke kamar tamu? Kan saya bukan tamu!" Dia melengos.
'Dih, setelah masuk kamar tanpa permisi, sekarang berani-beraninya dia melengos! Dasar manusia aneh!' gerutuku dalam hati.
"Ya kalau Bapak bukan tamu, lalu siapa?" Aku sudah mulai sebal dengan Pak Bima. Dari dulu dia memang selalu hobi berdebat denganku.
"Kamu nanya aku siapa?" Dia menggeser tubuhnya ke arahku, "Perasaan kamu belum tua-tua banget deh. IQmu juga gak dibawah rata-rata,"
"Maksud Bapak apa ngomong kaya gitu?" tanyaku sengit.
"Belum ada tiga jam loh aku sama Ayahmu ngucapin Ijab Kabul, sekarang tiba-tiba nanya aku siapa? Kiara, kamu pikun apa DDR (Daya Dong Rendah)?"
Nah kan, belum juga sehari jadi suami dah ngeselin gini. Genap setahun ngadepin manusia macem Pak Bima, bisa kena gejala stroke aku. Aku mencuri pandang ke arahnya, ekspresinya datar kaya tembok kamar, pantes gak laku-laku. Meski mukanya ganteng tapi siapa juga yang mau punya suami yang jarang senyum kaya gitu, aku aja kalau enggak gara-gara terjebak juga ogah nikah sama dia.
"Ya menurut Pak Bima gimana? Pikun apa DDR?" Bibirku mengerucut. Kalau habis ini jawaban dia ngeselin, tusuk konde yang ada di kepalaku, bakalan nancep di ujung hidungnya, biar pesek tuh hidung mancungnya.
"Kenapa manggut-manggut gitu?" tanyanya.
"Yeee terserah dong. Ayo jawab pertanyaanku tadi! Bukannya jawab, malah balik nanya!" gerutuku.
"Dasar emak-emak, ngomel mulu kerjaannya," keluhnya.
"Apa Bapak bilang? Emak-emak?" Aku medelik.
"Loh kenapa? Emang salah? Bener kan kalau situ emak-emak ... Calon emak untuk anak-anakku kelak," jawabnya sambil terkekeh.
"PD mampus! Siapa juga yang mau beranak sama Bapak! Kalau enggak gara-gara terpaksa nih, ogah banget nikah sama Bapak!" Aku berdiri kemudian memutuskan untuk duduk di depan meja rias.
Aku menatap bayanganku sendiri yang terbentuk di cermin. Dengan kebaya berwarna coklat muda serta bawahan batik berwarna hitam, aku terlihat sangat anggun. Rambutku ditata dengan sanggul sederhana, dilengkapi dengan tiara kecil diatas kepala dan bunga melati yang terurai sampai ke bahu. Aku nampak lebih cantik dari pada hari-hari biasanya.
Aku tersenyum melihat kecantikan yang terpancar dari diriku. Ya ampun, kalau tidak karena didandani sedemikian rupa, aku tidak mungkin sesombong ini. Aku terkekeh pelan, menertawakan kesombongan yang melintas begitu saja di dalam benakku.
Melalui pantulan kaca ini, aku bisa melihat Pak Bima yang juga sedang melirikku. "Apa lihat-lihat?" tanyaku galak.
Dia mencebik pelan, "Kalau ga mau dilihat jangan disitu lah, posisi dudukmu berada tepat di depan ku. Bikin aku serba salah aja."
Dia membuka kancing bajunya yang paling atas. Kemudian berlanjut membuka kancing yang ada di bawahnya. Aku menutup mata dengan telapak tangan, "Ngapain buka baju disitu pak?"
"Gerah," jawabnya singkat.
"Jangan disitu dong!" larangku secara langsung.
"Lalu di mana? Di depanmu?" tanyanya menyelidik.
"Kamar mandi lah. Tuh, kamar mandinya kosong," pintaku padanya. Sudah tidak ada lagi jawaban dari mulut Pak Bima. Suara ketusnya, berubah menjadi dengkuran halus. Dia sepertinya memang lelah sekali, mungkin terlalu capek menyiapkan mental juga pikiran untuk acara pernikahan pagi ini.
Aku mendekat kepadanya, berniat untuk mengambil baju yang dia letakkan secara acak di atas kasur. Jujur saja, aku paling tidak suka melihat kamarku berantakan. Aku mengendap-endap ke sisi kanan Pak Bima, mengambil bajunya dengan sangat hati-hati. Wajah lelah itu terpejam, mulutnya sedikit terbuka. Aku tertawa kecil, orang ini mangap aja cakep, apalagi kalau lagi senyum. Sayang, dia lebih sering marah daripada tersenyum, jadi banyak orang yang takut dari pada suka kepadanya.
"Hayo, mau nyuri kesempatan buat cium saya, ya?" tanyanya tiba-tiba. Aku memundurkan wajahku, kaget sekaligus malu.
"Cium? PD amat! Siapa juga yang mau cium, bilang aja situ yang ngebet pengen cium saya," selorohku.
"Kalau enggak mau cium, ngapain ngendus-ngendus depan muka saya?" selidiknya.
"Dih, amit-amit cium. Nih mau ambil baju, makanya kalau naruh baju kotor jangan sembarangan. Saya paling gak suka lihat kamar berantakan, bikin gak nyaman!" ketusku.
"Halah alibi, padahal pengen cium," ledeknya sambil menjulurkan lidah.
"Hih!" ucapku gemas. Aku berjalan meninggalkannya yang masih duduk di atas kasur.
Aku kembali duduk di depan meja rias, mengusap wajah dengan kapas yang sudah dibasahi dengan pembersih wajah. Make up hari ini memang tidak tebal, tapi banyak orang yang memuji hari ini aku cantik sekali. Mengingat pujian dari orang-orang membuatku senyum-senyum sendirian.
"Senyum-senyum daritadi, seneng ya nikah sama saya?" Pak Bima beranjak dari kasur kemudian berjalan mendekat ke arahku.
"Heh! Kalau bukan karena tragedi menyebalkan itu, mana mungkin saya mau nikah sama cowok dingin kaya Bapak!" bentakku.
"Yakin saya dingin?" Dia memainkan alisnya, "Saya bisa juga loh jadi orang yang hangat, sekaligus menghangatkan kamu," godanya kepadaku. Dia memainkan alisnya di depan wajahku.
Aku memejamkan mata sejenak, menetralisir rasa dengan jantung yang berdegup sangat kencang. Ini orang kenapa deh jadi agresif kaya gini.
"Jangan goda saya!" bentakku lagi.
"Istriku," ucapnya sambil mengerlingkan sebelah matanya. Dia mengusap lembut bahuku.
"Bapak nyebelin banget, sih!" Aku berjalan ke arah kamar mandi. Sebelum masuk, aku menyempatkan diri untuk mengintip Pak Bima. Dia masih ada di samping meja rias sambil cekikikan.
'sialan nih orang,' batinku
"Gak usah grogi gitu dong, saya cuma bercanda kali," kekehnya.
Aku masuk ke kamar mandi kemudian membanting pintu. Debuman dari pintu menggema di ruangan.
"Jangan lama-lama sayang, nanti aku keburu pengen," ucapnya setengah berteriak.
Ini orang bisa tengil juga ternyata.
Aku membuka bawahan dari batik yang menempel di tubuhku. Udara panas membuatku ingin segera berganti baju. Setelah bawahanku lepas, aku kemudian membuka kancing kebaya yang kukenakan. Kancing yang terpasang di belakang ini membuatku kesulitan untuk membukanya. Tadi pagi sih ada ibu yang membantuku untuk memasang. Namun, sepulangnya keluarga Pak Bima ke rumah, ibu dan ayah juga menghilang. Sepertinya mereka sengaja meninggalkan kami, entah memberi kesempatan kepada kamu untuk berduaan, atau memang masih marah kepada kami.Aku masih berusaha untuk melepaskan kancing kebaya ini. Namun, lama-lama aku capek sendiri. Kancing ini sepertinya memang didesign untuk dipasang lepaskan oleh orang lain. Dengan keberanian yang masih setengah-setengah, aku keluar dari kamar mandi.
"Pak, bisa bantu saya enggak?" tanyaku.
Dia menoleh ke arahku, "Tentu saja,"
"Hmmm ...." Aku tidak yakin meminta tolong kepadanya, jangan-jangan setelah menggodaku, nantinya berani berbuat tidak senonoh kepadaku.
"Kenapa sayang?" Dia mendekat kemudian memegang bahuku dengan lembut.
Nah kan! Baru juga ngomong, dia udah berani pegang-pegang bahu.
"Jangan pegang-pegang!"
"Yaelah, gitu doang bentak. Ya sudah, minta bantu apa?"
"Tolong bukain kancing kebaya saya dong, saya mau ganti baju," pintaku.
Dia berjalan memutariku. Kemudian jari-jari panjangnya mulai membuka kancing kebayaku satu persatu. Dadaku mulai tidak karuan, rasanya aku malah pengen buang air kecil saking groginya.
Pak Bima mulai membuka kancing dari bawah, sehingga ketika sudah sampai di kancing teratas, kulit jarinya yang lembut tidak sengaja mengusap punggungku. Entah kenapa badanku bergetar, ada gigilan yang memaksa kedua tanganku untuk mendekap erat diriku sendiri.
"Stop!" kataku, "Bapak lagi ngapain?" tanyaku kemudian.
"Buka kancing kebaya, kan," jawabnya polos. Ekspresi mukanya kaya kanebo kering. Datar dan lempeng.
"Bapak, ngapain ngendus-ngendus punggung saya? Nafsu ya?" Aku reflek berbalik badan.
"Astaga, Kiara. PD amat sih! Siapa juga yang ngendus-ngendus! Tuh dipunggung kamu ada bekas cacar airnya. Kirain tahi lalat, ternyata bekas koreng!" Dia kemudian duduk di atas kasur lagi.
"Koreng-koreng!" Aku mendelik. Aku berlari ke kamar mandi karena malu. Kukira Pak Bima mau melakukan hal yang tidak-tidak, ternyata dia mengamati bekas cacar air yang belum hilang dari punggungku. Aku menutup wajahku dengan telapak tangan. Mukaku panas. Aku malu.
Aku yakin, mukaku sekarang pasti sudah memerah seperti kepiting rebus. Rasa malu yang aku rasakan, menjalar begitu cepat ke sekujur tubuh. Mukaku panas, dan kakiku mendadak terasa lemas, lumpuh seketika.Aku menyeka ujung mataku dengan ibu jari. Ya ampun, aku nangis saking malunya. Kalau Tuhan kasih aku satu permintaan, tentu saja aku ingin Tuhan menghapus ingatan Pak Bima saat ini juga, biarin deh Pak Bima hilang ingatan sampe dia kakek-kakek nanti. Aduh, tapi kalau Pak Bima amnesia, nasibku nanti gimana dong?Kepalaku sebelah kiri tiba-tiba berdenyut kencang. Ternyata semakin dipikirkan, justru membuat kedua kakiku menjadi semakin lemas. Badanku ambruk seketika."Kiara, kenapa? Kamu jatuh?" suara Pak Bima terdengar sangat jelas di telingaku."Eng-enggak, Pak. Saya baik-baik saja," jawabku dengan suara yang agak bergetar. Udara di dalam kamar mandi ini sebenarnya panas, tapi tubuhku merinding
Setiap kali teringat kejadian semalam, pipiku pasti langsung memerah dan terasa sedikit panas. Rasa malu itu masih ada, meski aku sudah berusaha melupakan kejadian semalam.Setelah Pak Bima memergoki rambutku yang masih lengket akibat bilasan sabun yang kurang bersih, aku langsung berlari menuju ke kamar mandi. Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengguyurkan air ke sekujur badan. Bibirku mencebik ketika sadar bahwa baju yang kukenakan masih lengkap dan melekat di tubuhku."Kamu ngapain basah-basahan begitu? Emang gak dingin?" Pak Bima mungkin merasa aneh melihatku mandi dengan pakaian yang masih lengkap."BAPAK, NGAPAIN ADA DI SITU?" teriakku kepadanya.Dia menopang dagu, kemudian menjawab pertanyaanku dengan santai, "saya dari tadi duduk di sini sambil kerja, dan kamu tau itu. Kok tiba-tiba sekarang nanya ngapain saya di sini? Aneh." Dia menggelengkan kepalanya pelan."BAPAK, SAYA BARU MANDI!" bentakku.
Aku mengucek mata secara perlahan, memastikan orang yang ada di sebelahku sudah tertidur lelap. Namun, setelah berkali-kali aku mengusap mata, aku tidak menemukan orang itu. Aku reflek duduk kemudian menyalakan lampu tidur yang ada di atas nakas. Kuedarkan pandangan ke setiap sudut kamar untuk mencari keberadaan Pak Bima dan ketika mata ini tidak sengaja menatap ke bawah, aku menemukan dia sedang meringkuk di bawah ranjang.Aku turun dari kasur kemudian membalikkan badan Pak Bima yang saat itu sedang tidur dengan posisi telungkup. Meski badan Pak Bima tergolong kecil, namun ternyata butuh beratus-ratus kalori untuk menelentangkan badannya. Aku menggoyang-goyangkan lengannya agar dia segera bangun. Namun, usaha yang aku lakukan sepertinya percuma. Jangankan bangun, bergerak saja tidak. Karena aku capek menggoyangkan badan, akhirnya aku menggunakan jurus pamungkas, yaitu memencet hidung mancun
Aku terperanjat setelah melihat tonjolan yang ada di dalam celana Pak Bima. Baru kali ini aku melihat tonjolan sebesar itu. Dengan kaki yang gemetar, aku mengendap-endap melewati Pak Bima, merangkak sepelan mungkin agar dia tidak terbangun."Uhmm ...." Pak Bima mengigau sambil menggaruk pipi tirusnya.Aku menahan napasku ketika tubuh mungilku berada di atas Pak Bima, jangan sampai embusan napas ini membangunkan dia yang masih sibuk merangkai mimpi. Namun, ketika mataku tidak sengaja menatap wajah polosnya yang masih terlelap, tanganku enggan beranjak dari tempat itu. Muka tampan Pak Bima sepertinya menyimpan ribuan magnet yang membuat kedua bola mataku tak mampu berpaling ke arah lain. Ku perhatikan setiap lekuk wajah yang dimiliki oleh Pak Bima. Alis yang tebal, kedua mata yang agak sipit, hidung mancung, bibir sintal, pipi tirus, dagu yang ah dia memiliki ketampanan yang tanpa cela."Ki ...." gumamnya pelan. Dia melingk
Suasana di ruang makan mendadak menjadi kacau. Pak Bima mendekat ke arahku dengan muka yang masih merah padam karena menahan amarah. Aku menunduk, takut melihat ekspresi tidak menyenangkan dari orang-orang yang ada di ruangan ini."Kak Bima duduk dulu, semua bisa kita bicarakan dengan baik. Asal Kak Bima mau meredam emosi dan juga menurunkan ego milik Kakak," bisik Binar pada Pak Bima."Apa yang perlu dibahas? Dalam kasus ini memang mereka yang salah. Bima susah diarahkan sedangkan istrinya tidak bisa menjaga diri." Brian menyuapkan nasi ke dalam mulutnya,"Wanita itu seharusnya bisa menjaga dirinya, bukan malah mengobral diri kesana kemari. Secantik apapun orangnya, kalau sudah begitu ya enggak menarik lagi, buatku wanita seperti itu, kesannya justru sangat murahan sekali."Pak Bima menggebrak meja yang ada di depannya. Rahangnya menegang dengan gigi yang terdengar saling bergesekan."Apa maksudmu, hah?" Pak Bima me
Aku mendekat ke ruang kerja Pak Bima untuk menajamkan pendengaranku. Aku kira kegaduhan tadi pagi, yang berujung pada keluarnya Pak Bima dari rumah, sudah cukup untuk meredam kemarahan dari Pak Hans. Tapi, nyatanya aku keliru. Pertengkaran di dalam ruangan ini justru lebih gaduh jika dibandingkan dengan cek cok mulut tadi pagi.Aku menempelkan telingaku di daun pintu setelah beberapa saat tidak mendengar suara apapun dari dalam ruangan. Aku takut jika satu diantara mereka melakukan hal-hal yang tidak baik, sebab aku tau orang dari keluarga Pak Hans memiliki watak yang keras dan tidak mau mengalah. Ditambah lagi aku sering mendengar dari karyawan kantor ini, bahwa mereka tidak segan menghalalkan segala cara untuk memenuhi keinginan mereka.'klek'Pintu terbuka secara tiba-tiba bersamaan dengan terhuyungnya badanku ke dalam ruangan. Aku jatuh tersungkur di depan Pak Hans dan Pak Bima yang mukanya masih sama-sama menegang. Tatapan
Obrolan sederhana tentang sein motor emak-emak membuat kami tidak berhenti tertawa. Hujan yang deras, bahkan tidak mampu meredam suara tawa milik kami."Kamu tau gak, Ki, kenapa papa muda enggak berani nglawan emak-emak pakai daster?" Pak Bima masih memeluk bahuku dengan erat."Hmm mungkin karena emak berdaster galak kali ya, Pak?" Aku menjawab pertanyaan Pak Bima dengan sebuah pertanyaan."Yee salah!" Serunya sambil menahan tawa."Lah kenapa emang?""Soalnya kalau emak berdaster udah dandan, pesonanya bikin papa muda kelonjotan kaya orang epilepsi hahaha." Tawanya meledak.Aku tersenyum mendengar ocehannya. Kalau diamati dari samping begini, ternyata Pak Bima ganteng juga. Wajah tirusnya, dagu yang terbelah secara alami, tatapan mata tajamnya, hidung mancungnya, alisnya yang tebal, dan semua yang tercetak di wajahnya membuat siapa saja bisa tertarik kepadanya dengan begitu mudah.
Aku mengusap pipiku yang tergenang oleh air mata. Entah bercanda atau tidak, tapi perkataan Pak Bima tentang aksi bunuh diri tetangga sebelah, membuat pikiranku jadi tidak fokus. Aku langsung kabur dari kamar ketika menyadari punggung Pak Bima tidak nampak dari pandanganku.Kepalaku menoleh ke kiri dan kanan, celingukan mencari keberadaan manusia super iseng yang tadi tega membuatku menangis."Pak...." panggilku dengan suara agak lirih. Aku tidak ingin membuat kegaduhan ketika tetanggaku sedang khusuk melaksanakan tahilan bersama."Pak ...." Aku mengendap-endap ke ruangan sebelah dengan mata yang ku edarkan ke setiap sudut ruangan. Hatiku masih berdesir tidak karuan, takut kalau saja ada sesuatu melayang di atas kepalaku."Pak ...." Untuk ketiga kalinya aku menyebutkan sapaanku padanya. Hening. Tidak ada jawaban dari Pak Bima.'klek'Aku membuka pintu secara perlahan dan seketika it
"Baik,Ki. Aku akan pergi dari sini."Aku membenamkan kepala ke dalam dekapan Pak Bima. Rasa muak yang sudah kutahan beberapa waktu terakhir ini, akhirnya tumpah setelah melihat batang hidung milik Putri. Aku tidak menyangka bahwa dia memiliki nyali yang besar untk datang ke rumah ini."Duduk dulu, ya. Kamu butuh minum untuk meredakan emosimu."Jika biasanya aku selalu membantah perkataan Pak Bima, kali ini aku turuti semua saran darinya. Hal ini aku lakukan bukan karena aku ingin membuat Putri cemburu, tapi lebih kepada rasa lelah yang mengungkung hati dan juga pikiranku. Jujur, aku sudah capek dengan segalanya. Jika Pak Bima ingin menuntaskan semuanya saat ini juga, maka aku sudah menyiapkan hatiku."Minum dulu, Ki." Dia menyodorkan segelas air bening kepadaku. "Tarik napas dalam-dalam, kemudian keluarkan pelan-pelan."Pak Bima berjalan memutariku, kemudian memposisikan diri tepat di samp
Aku menangis setelah berada di dalam kamar. Setiap kali membahas tentang Putri, rasa sakit akibat cemburu ini tidak bisa dikendalikan. Aku selalu terbayang bagaimana dulu Pak Suami menjamah tubuh Putri dan kini aku pun pernah melakukannya bersama dengan Pak Bima. Rasa-rasanya aku seperti sedang berbagi raga dengan sahabat baikku sendiri dan saat ingatan itu muncul, dadaku terasa begitu sesak."Ki, Kiara, jangan marah. Kita bicarakan baik-baik masalah ini, Ki." Pak Bima mengetuk pintu kamar dengan keras.Aku menutup kedua telingaku menggunakan telapak tangan. Suara dari Pak Bima mengetuk hati. Membuat rasa sakit yang bersemayam di dalam sana, menjalar dengan cepat ke seluruh tubuhku."Kiara, saya minta maaf jika saya selalu mengecewakanku. Saya salah, tapi untuk kali ini biarkan saya menjelaskan semuanya kepadamu." Dia menaikkan ritme ketukan pada pintu kamar ini."Kiara." Dia memanggil namaku dengan suara
Sudah tiga hari ini aku berdiam diri kamar. Rasa sakit dan kecewa akibat kebohongan Pak Bima, masih terpahat rapi di sudut hatiku. Aku sudah berkali-kali menafikkan semua pikiran negatif tentang dia dan juga Putri. Namun, semakin kutolak, pikiran jelek tersebut semakin terpatri di dalam pikiranku.Aku beranjak dari kasur menuju meja rias. Setelah beberapa kali mengamati, ternyata wajahku lebih cocok dikatakan mirip Alien dari pada seorang wanita yang sedang patah hati. Mukaku terlihat sangat kuyu dengan tatapan mata sendu dan manik yang berkantung karena kurang tidur.Aku tidak tahu bagaimana keadaan Pak Bima setelah dia terjatuh dari tangga 3 hari yang lalu. Setelah aku masuk ke dalam kamar, aku tidak lagi mendengar panggilan darinya. Bisa jadi saat ini dia sedang meringis kesakitan, atau justru sedang tertawa karena dirawat oleh Putri. Ah, sial! Pikiranku selalu saja lari ke sana. Sadar atau tidak, ada rasa iri dan kesal ketika teringat akan sosok Putri. Kepolosan ya
Bima PoV'BRAK'Aku mengusap dadaku perlahan, gebrakan pintu di balik sana membuat jantungku melompat dari tempatnya."Telan semua alasan dan juga rahasiamu! Saya tidak butuh dan bahkan tidak peduli dengan segala hal yang berkaitan dengan kehidupanmu!" Kiara kembali berteriak dari dalam kamar tidur. Suara melengkingnya membuat hatiku hancur. Aku tidak menyangka bahwa kesalahpahaman ini ternyata membuat dia semarah ini kepadaku.Dengan dada yang masih berdegub kencang, aku mulai beringsut mundur. Rasanya percuma aku berdiri terpaku di depan kamar seperti ini, sebab sekeras apapun aku berusaha untuk meyakinkan, Kiara tetap tidak akan mempercayaiku.Aku duduk termenung dengan kedua tangan menyangga kepala. Rasa sakit yang tadi bersemayam di dalam hati, kiri merembet naik ke kepalaku. Denyutan demi denyutan menjalar dari pelipis naik ke ubun-ubun. Jika seluruh bagian yang ada di kepalaku ini bisa berteriak, pasti ruangan ini sudah gaduh den
Sejujurnya aku masih tidak menyangka, bahwa ternyata dua orang yang paling aku percaya tega membiarkanku larut dalam ketidaktahuan. Aku kecewa dan tentunya marah kepada mereka. Dulu ketika Putri datang ke rumah dalam keadaan hamil dan meminta perlindungan, aku beserta dengan orang rumah membuka lebar pintu rumah kami, sebagai tempatnya untuk bersandar dan berpulang. Aku tidak tahu siapa orang yang tega memperlakukan Putri dengan cara yang tidak baik, merenggut kesuciannya, lalu meninggalkannya begitu saja tanpa sebuah kejelasan. Putri pun selalu bungkam ketika kami menanyakan siapa orang brengsek yang berani menghamilinya dan tidak mau bertanggung jawab, atas bayi yang ada di dalam kandungannya. Tiga tahun sudah dia memendam semuanya sendirian, dan hari ini semuanya terbongkar. Aku akhirnya tahu bahwa si bejat tidak bertanggung jawab itu adalah Pak Bima, suamiku sendiri. Dengan hati yang sudah terkoyak dan jantung yang detakannya patah-patah, aku mencoba
Aku mengumpulkan seluruh tenagaku yang masih tersisa kemudian mendorong kuat-kuat tubuhnya yang masih mendekapku. Sebelum rasa nyaman menguasaiku, sebelum hatiku mulai melemah lagi, aku harus bisa menjauhkan diriku darinya."SAYA MAU PULANG!" Aku kembali membentaknya."Iya, Ki, iya. Kita pulang sekarang." Pak Bima menjawab bentakanku dengan begitu sabar. Suaranya lembut, seperti seorang Ayah yang sedang menghadapi anaknya yang sedang tantrum.Aku berjalan beberapa langkah di depan Pak Bima. Ku percepat langkahku agar dia tidak bisa menyejajarkan posisi kami. Pak Bima berulang kali menggaungkan namaku di koridor hotel, tapi tidak satupun panggilan darinya yang aku respon. Hatiku sudah terlalu sakit dan juga kecewa, tubuhku juga kembali menggigil. Hal ini bukan karena hawa dingin yang mulai menyusup kulit, tapi lebih kepada amarah yang sudah terlalu susah untuk dikendalikan.Pandangan mataku mengarah lurus ke depan tapi tatapan mataku kosong. Jaket yang tad
Tanganku gemetar tatkala memutar handle pintu kamar. Aku benar-benar tidak menyangka bahwa Pak Bima dan Putri bisa setega ini kepadaku. Kemarin aku sudah bertanya baik-baik perihal hubungan mereka. Namun, mereka sama-sama mengatakan bahwa sebelumnya tidak saling mengenal. Aku mencoba untuk berlari, menjauh sebisaku dari kamar hotel yang saat ini sedang aku tempati. Kejadian ini mengingatkanku pada keputusan yang dibuat oleh Ervan beberapa tahun yang lalu, sama-sama menyakitkan dan sama-sama mengandung sebuah kebohongan. Ah... Tapi setelah dipikir ulang, aku rasa kebenaran ini berkali-kali lebih menyakitkan dari pada apa yang pernah Ervan lakukan terhadapku. Aku bukanlah orang yang mudah menjatuhkan hati kepada orang lain, begitu pula terhadap Pak Bima. Namun, setelah aku mempercayainya dan menyerahkan seluruhnya kepada Pak Bima, dia tega berbohong bahkan menyembunyikan sesuatu yang sangat penting dariku, dari istrinya sendiri.Benarkah mereka pernah berhubungan? Jika iya, apa
"Ki, jangan lupa bawa jaket yang tebal, kalau perlu yang banyak deh." Pak Bima melirikku sekilas, kemudian fokus kepada benda kotak yang ada di dalam genggamannya. "Lebay amat! Emang kita mau liburan ke kutub?" Aku menjulurkan lidahku. "Dih, dikasih tau malah ngledek! Besok kalau sampai di sana kamu menggigil kedinginan, saya ceburin ke empang sekalian!" Pak Bima menatapku sengit. "Yakin nih mau nglempar saya ke empang?" Aku beranjak dari posisiku, kemudian berjalan mendekat ke arahnya. "Ya iya lah. Biar tau rasa kamu!" Dia melengos, bibirnya mengerucut ke depan. "Ahh ... Yakin?" Aku naik ke atas kasur, kemudian merangkak mendekatinya. Kebetulan siang ini aku sedang memakai kemeja tanpa motif dengan ukuran oversize, sehingga membuat Pak Bima bisa dengan mudahnya melihat isi kaosku. "Masa sih Bapak tega lemparin saya ke empang?" Dengan posisi seperti orang merangkak,
"Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bihi, wallahu waliyu taufiq." Suara lantang milik Pak Bima menggema dengan mantap di langit-langit gedung ini. Aku tersenyum simpul ketika melihat raut wajah leganya setelah mengucapkan kalimat sakral itu. Meskipun ini bukan kali pertamanya dia menerima Ijab dari Ayah, tetapi rasa tegang itu tetap saja melekat padanya, ketika dia melafalkan kalimat kabul."Saahhh?" tanya Pak Penghulu"Saahhhhhh." Riuh sahutan dari saksi dan tepuk tangan mereka membuat debaran yang ada di dalam hati kami mereda.Aku mencium tangannya dengan perasaan bahagia, sedangkan dia mengecup keningku dengan perasaan suka cita. Kali ini kami benar-benar menjadi suami istri yang sah, baik sah secara agama ataupun negara.Setelah proses ijab kabul selesai, aku dan Pak Bima duduk di depan para tamu. Sebenarnya tidak ada acara yang 'wah' untuk pernikahan kami, hanya saja Ayah memintaku untuk mengadakan peng