Aku mengusap pipiku yang tergenang oleh air mata. Entah bercanda atau tidak, tapi perkataan Pak Bima tentang aksi bunuh diri tetangga sebelah, membuat pikiranku jadi tidak fokus. Aku langsung kabur dari kamar ketika menyadari punggung Pak Bima tidak nampak dari pandanganku.
Kepalaku menoleh ke kiri dan kanan, celingukan mencari keberadaan manusia super iseng yang tadi tega membuatku menangis.
"Pak...." panggilku dengan suara agak lirih. Aku tidak ingin membuat kegaduhan ketika tetanggaku sedang khusuk melaksanakan tahilan bersama.
"Pak ...." Aku mengendap-endap ke ruangan sebelah dengan mata yang ku edarkan ke setiap sudut ruangan. Hatiku masih berdesir tidak karuan, takut kalau saja ada sesuatu melayang di atas kepalaku.
"Pak ...." Untuk ketiga kalinya aku menyebutkan sapaanku padanya. Hening. Tidak ada jawaban dari Pak Bima.
'klek'
Aku membuka pintu secara perlahan dan seketika it
Aku masih celingukan ke sana sini mencari sumber suara. Bahkan aku melongokkan kepala ke bawah kasur untuk mengecek apakah suara itu benar bersumber dari sana. Takutnya nanti beneran ada ular yang masuk ke dalam kamar, kemudian merayap dan melilit ke tubuhku atau ke Pak Bima.Namun, setelah aku cek berulang kali, hasilnya nihil. Padahal semakin aku cari, suara desisan itu justru semakin kencang. Aku menoleh ke samping, mempertanyakan kenapa Pak Bima masih bisa tertidur pulas meski ada suara desisan sekeras itu."Sssshhhhhhhhhhhhh."Bibirku mencebik kesal. Setelah mencari suara desisan itu ke sana sini, ternyata sumber suaranya berasal dari orang yang tidur di sampingku. Aku lalu mendekat ke arah Pak Bima, mengamati gerakan bibirnya yang sedikit terbuka. Giginya rapat, matanya terpejam, eh seperti orang yang sedang memaksakan netranya untuk menutup. Badan Pak Bima sedikit bergetar, seperti orang yang sedang menggigil karena kedingina
Pukul setengah tiga dini hari aku terbangun. Udara dingin akibat hujan yang turun dengan sangat deras, memaksa mataku untuk terbeliak. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku yang masih mengantuk. Namun percuma, rasa perih dan berat yang menempel di kelopak mataku seakan tidak mengijinkan kedua netraku untuk terbuka, meski hanya sedikit.Aroma parfum leather menyeruak masuk ke dalam indra penciumanku. Telapak tanganku mengusap guling yang sedari tadi berada dalam pelukanku. Tapi, aku merasakan ada sesuatu yang janggal."Kok jadi tambah berisi gini, ya?" gumamku dengan mata yang masih terpejam.Aku melingkarkan kakiku pada guling di sampingku lalu menggesek-gesekkan perlahan. Aneh, ukurannya kok jadi lebih panjang dari pada biasanya. Masa iya, sih, guling bisa tumbuh layaknya anak bayi.Aku memeluk gulingku lebih erat lagi. Eh tapi tung
Selepas sarapan, aku langsung bergegas menuju halte bis, meninggalkan Pak Bima yang masih bersiap di dalam kamar. Pesan pribadi dari Pak Naufal selaku Kepala Divisi membuat pikiranku tidak tenang. Biasanya, Pak Naufal tidak akan memanggil bawahannya untuk hal-hal yang remeh, kecuali bawahannya memang melakukan sebuah kesalahan yang tidak bisa ditoleransi.Sampai di halte, aku merasa ada yang kurang dengan pagiku. Aku refleks membuka tas kerja berwarna hitam yang sedari tadi ku jinjing, ingin memastikan bahwa tidak ada satu barang pun yang tertinggal di rumah. Dompet, kacamata, gawai, id card, dan alat tulis sudah tersimpan rapi di dalam tas. Lalu apa yang tertinggal?Aku memainkan ujung rambut sambil mengingat-ingat sebenarnya barang apa yang lupa aku bawa. Tidak lama setelah itu, aku melihat Pak Bima berjalan cepat dari ujung gang. Mukanya tegang dan mulutnya menggembung. Aku menepuk jidatku pelan, astaga ternyata yang ketinggalan bukan barang bawaan, tetapi sua
Aku mengelap wajah yang sudah penuh dengan peluh. Siang ini, ruang kerja Pak Brian terasa sangat panas sekali. Entah karena udara di luar memang sedang panas-panasnya atau mungkin karena tubuhku sedang diserang oleh perasaan tegang yang bercampur dengan rasa takut.Aku menundukkan kepala berusaha untuk tidak bersitatap dengan orang yang sedang duduk di depanku. Wajah jutek dan ekspresi dingin milik Pak Brian membuatku seperti orang stroke, kaku dan juga gagu. Aku menghela napas berkali-kali, memaksa hatiku untuk tetap tenang. Tapi, bagaimanapun juga ketakutan ini membuat pikiranku jadi berkelana kemana-mana.“Kedatangan Anda ke mari, merupakan sebuah kehormatan bagi saya, Nyonya. Bagaimana saya tidak tersanjung, jika istri dari tuan muda Bima, bersedia masuk dan bahkan duduk di sofa butut milik saya.” Pak Brian mulai membuka percakapan. Tubuhku menggigil mendengar suara dingin miliknya. Jika saja aku tidak menjadi istri dari Pak
“Yang dijemput kan enggak Cuma anak-anak, Ki. Tapi nenek-nenek juga.” Dia terkekeh.“Heh, suka sembarangan ya kalau ngomong.” Aku memukul bahunya menggunakan tas jinjing milikku. Pak Bima mengelak kemudian berlari menjauhiku.Dari jarak lima meter ini, aku bisa melihat senyum manis yang tercetak di wajahnya. Tatapan mata elang milik suamiku, malam ini berubah menjadi teduh, bahkan sangat sangat teduh. Aku melempar senyum ke arah lain kemudian baru berlari mendekatinya.Pak Bima masih berlari sambil tertawa dengan renyahnya. Sedangkan aku sengaja memperlambat langkahku agar dia tidak tahu bahwa aku sedang mengamati wajahnya dari kejauhan. Aku suka senyumnya, aku suka tawanya, aku suka tatapannya, aku suka ekspresi tengilnya dan entah sejak kapan aku mulai suka mencuri-curi kesempatan untuk memperhatikan tingkahnya. Pak Bima seperti candu bagiku. Setiap menit, bahkan setiap detik, bayangannya selalu mampir ke dalam pikiranku. Su
Sesampainya di rumah, aku langsung merebahkan diriku di atas kasur. Kejadian di warmindo tadi masih berkecamuk di dalam pikiranku. Segala asumsi tidak mengenakkan langsung memenuhi isi kepalaku. Dibalik pernikahan yang serba instan ini, sebenarnya apa yang sedang direncanakan oleh Pak Bima?Aku membuang napas dengan kasar. Hari ini rasanya sungguh melelahkan. Setelah dihajar dengan timbunan pekerjaan oleh Pak Brian, malam ini aku harus menengkan pikiranku yang semakin lama semakin tidak bisa dikendalikan.“Ki, saya sudah menyiapkan air hangat untuk kamu mandi. Kamu belum tidur kan?” Dia mengetuk pintu kamar dengan pelan, kemudian memutar handle pintu yang ku kunci dengan rapat.“Ki, Kiara. Mandi dulu, ya. Kamu seharian kerja, loh. Badanmu pasti lengket. Kalau enggak mandi, nanti tidurmu tidak bisa nyenyak.” Dia kembali mengetuk pintu, kali ini temponya lebih cepat dari ketukan yang pertama.“Ya sud
“Ki ...” Pak Bima masih memanggilku sambil mengetuk pintu kamar, “saya tidak bermaksud untuk kurang ajar terhadapmu ... maaf.” Ini sudah kali ketiganya Pak Bima kata maaf kepadaku.“Biarkan saya sendiri, Pak,” ucapku dengan bibir gemetar.Aku kembali merebahkan diriku di atas kasur. Kejadian di kamar sebelah membuat perasaanku menjadi tidak karuan. Mataku terpejam sedangkan hidungku terus-terusan mengambil napas panjang. Menetralkan perasaan ternyata tidak semudah yang aku bayangkan.Aku menatap wajahku melalui layar handphone. Pipiku tampak memerah seperti cabai rawit. Meskipun di kamar ini tidak ada siapapun selain aku, tapi rasa malu itu perlahan menghantuiku. Aku kemudian menutupi wajahku menggunakan telapak tangan, ternyata pipiku terasa sedikit lebih hangat dari pada tadi. Debaran jantungku masih sangat kencang, membuat pikiranku yang sedang kalut menjadi semakin tidak nyaman.Berulang kali aku mencoba untuk m
Aku menghela napas perlahan, kemudian menatap lekat kartu nama yang ada di atas meja kerjaku. Aku sama sekali tidak menyangka bahwa dua belas angka yang tertera di kartu nama tersebut, sudah tersimpan dengan rapi di kontak handphoneku. Untuk meyakinkan diri, ku ketik ulang nomor yang tertera pada kartu nama tersebut. Lalu beberapa saat setelah itu, aku harus menelan mentah rasa kecewa yang bersemanyam di dalam hatiku. Nama itu muncul lagi didaftar panggilan keluarku, "Ervan".Hidup memang terkadang tidak asik atau aku yang kesulitan untuk memaknai. Di saat aku berambisi untuk memilikinya, dia pergi. Namun, ketika aku sudah mengikhlaskan segala hal yang berkaitan dengannya, dia datang tanpa aku harus mencari.Kepalaku berdenyut cepat dan ada luapan perasaan yang susah untuk aku kendalikan. Haruskah aku bahagia dengan kemunculannya? Atau aku harus sedih dengan kedatangannya diwaktu yang t
"Baik,Ki. Aku akan pergi dari sini."Aku membenamkan kepala ke dalam dekapan Pak Bima. Rasa muak yang sudah kutahan beberapa waktu terakhir ini, akhirnya tumpah setelah melihat batang hidung milik Putri. Aku tidak menyangka bahwa dia memiliki nyali yang besar untk datang ke rumah ini."Duduk dulu, ya. Kamu butuh minum untuk meredakan emosimu."Jika biasanya aku selalu membantah perkataan Pak Bima, kali ini aku turuti semua saran darinya. Hal ini aku lakukan bukan karena aku ingin membuat Putri cemburu, tapi lebih kepada rasa lelah yang mengungkung hati dan juga pikiranku. Jujur, aku sudah capek dengan segalanya. Jika Pak Bima ingin menuntaskan semuanya saat ini juga, maka aku sudah menyiapkan hatiku."Minum dulu, Ki." Dia menyodorkan segelas air bening kepadaku. "Tarik napas dalam-dalam, kemudian keluarkan pelan-pelan."Pak Bima berjalan memutariku, kemudian memposisikan diri tepat di samp
Aku menangis setelah berada di dalam kamar. Setiap kali membahas tentang Putri, rasa sakit akibat cemburu ini tidak bisa dikendalikan. Aku selalu terbayang bagaimana dulu Pak Suami menjamah tubuh Putri dan kini aku pun pernah melakukannya bersama dengan Pak Bima. Rasa-rasanya aku seperti sedang berbagi raga dengan sahabat baikku sendiri dan saat ingatan itu muncul, dadaku terasa begitu sesak."Ki, Kiara, jangan marah. Kita bicarakan baik-baik masalah ini, Ki." Pak Bima mengetuk pintu kamar dengan keras.Aku menutup kedua telingaku menggunakan telapak tangan. Suara dari Pak Bima mengetuk hati. Membuat rasa sakit yang bersemayam di dalam sana, menjalar dengan cepat ke seluruh tubuhku."Kiara, saya minta maaf jika saya selalu mengecewakanku. Saya salah, tapi untuk kali ini biarkan saya menjelaskan semuanya kepadamu." Dia menaikkan ritme ketukan pada pintu kamar ini."Kiara." Dia memanggil namaku dengan suara
Sudah tiga hari ini aku berdiam diri kamar. Rasa sakit dan kecewa akibat kebohongan Pak Bima, masih terpahat rapi di sudut hatiku. Aku sudah berkali-kali menafikkan semua pikiran negatif tentang dia dan juga Putri. Namun, semakin kutolak, pikiran jelek tersebut semakin terpatri di dalam pikiranku.Aku beranjak dari kasur menuju meja rias. Setelah beberapa kali mengamati, ternyata wajahku lebih cocok dikatakan mirip Alien dari pada seorang wanita yang sedang patah hati. Mukaku terlihat sangat kuyu dengan tatapan mata sendu dan manik yang berkantung karena kurang tidur.Aku tidak tahu bagaimana keadaan Pak Bima setelah dia terjatuh dari tangga 3 hari yang lalu. Setelah aku masuk ke dalam kamar, aku tidak lagi mendengar panggilan darinya. Bisa jadi saat ini dia sedang meringis kesakitan, atau justru sedang tertawa karena dirawat oleh Putri. Ah, sial! Pikiranku selalu saja lari ke sana. Sadar atau tidak, ada rasa iri dan kesal ketika teringat akan sosok Putri. Kepolosan ya
Bima PoV'BRAK'Aku mengusap dadaku perlahan, gebrakan pintu di balik sana membuat jantungku melompat dari tempatnya."Telan semua alasan dan juga rahasiamu! Saya tidak butuh dan bahkan tidak peduli dengan segala hal yang berkaitan dengan kehidupanmu!" Kiara kembali berteriak dari dalam kamar tidur. Suara melengkingnya membuat hatiku hancur. Aku tidak menyangka bahwa kesalahpahaman ini ternyata membuat dia semarah ini kepadaku.Dengan dada yang masih berdegub kencang, aku mulai beringsut mundur. Rasanya percuma aku berdiri terpaku di depan kamar seperti ini, sebab sekeras apapun aku berusaha untuk meyakinkan, Kiara tetap tidak akan mempercayaiku.Aku duduk termenung dengan kedua tangan menyangga kepala. Rasa sakit yang tadi bersemayam di dalam hati, kiri merembet naik ke kepalaku. Denyutan demi denyutan menjalar dari pelipis naik ke ubun-ubun. Jika seluruh bagian yang ada di kepalaku ini bisa berteriak, pasti ruangan ini sudah gaduh den
Sejujurnya aku masih tidak menyangka, bahwa ternyata dua orang yang paling aku percaya tega membiarkanku larut dalam ketidaktahuan. Aku kecewa dan tentunya marah kepada mereka. Dulu ketika Putri datang ke rumah dalam keadaan hamil dan meminta perlindungan, aku beserta dengan orang rumah membuka lebar pintu rumah kami, sebagai tempatnya untuk bersandar dan berpulang. Aku tidak tahu siapa orang yang tega memperlakukan Putri dengan cara yang tidak baik, merenggut kesuciannya, lalu meninggalkannya begitu saja tanpa sebuah kejelasan. Putri pun selalu bungkam ketika kami menanyakan siapa orang brengsek yang berani menghamilinya dan tidak mau bertanggung jawab, atas bayi yang ada di dalam kandungannya. Tiga tahun sudah dia memendam semuanya sendirian, dan hari ini semuanya terbongkar. Aku akhirnya tahu bahwa si bejat tidak bertanggung jawab itu adalah Pak Bima, suamiku sendiri. Dengan hati yang sudah terkoyak dan jantung yang detakannya patah-patah, aku mencoba
Aku mengumpulkan seluruh tenagaku yang masih tersisa kemudian mendorong kuat-kuat tubuhnya yang masih mendekapku. Sebelum rasa nyaman menguasaiku, sebelum hatiku mulai melemah lagi, aku harus bisa menjauhkan diriku darinya."SAYA MAU PULANG!" Aku kembali membentaknya."Iya, Ki, iya. Kita pulang sekarang." Pak Bima menjawab bentakanku dengan begitu sabar. Suaranya lembut, seperti seorang Ayah yang sedang menghadapi anaknya yang sedang tantrum.Aku berjalan beberapa langkah di depan Pak Bima. Ku percepat langkahku agar dia tidak bisa menyejajarkan posisi kami. Pak Bima berulang kali menggaungkan namaku di koridor hotel, tapi tidak satupun panggilan darinya yang aku respon. Hatiku sudah terlalu sakit dan juga kecewa, tubuhku juga kembali menggigil. Hal ini bukan karena hawa dingin yang mulai menyusup kulit, tapi lebih kepada amarah yang sudah terlalu susah untuk dikendalikan.Pandangan mataku mengarah lurus ke depan tapi tatapan mataku kosong. Jaket yang tad
Tanganku gemetar tatkala memutar handle pintu kamar. Aku benar-benar tidak menyangka bahwa Pak Bima dan Putri bisa setega ini kepadaku. Kemarin aku sudah bertanya baik-baik perihal hubungan mereka. Namun, mereka sama-sama mengatakan bahwa sebelumnya tidak saling mengenal. Aku mencoba untuk berlari, menjauh sebisaku dari kamar hotel yang saat ini sedang aku tempati. Kejadian ini mengingatkanku pada keputusan yang dibuat oleh Ervan beberapa tahun yang lalu, sama-sama menyakitkan dan sama-sama mengandung sebuah kebohongan. Ah... Tapi setelah dipikir ulang, aku rasa kebenaran ini berkali-kali lebih menyakitkan dari pada apa yang pernah Ervan lakukan terhadapku. Aku bukanlah orang yang mudah menjatuhkan hati kepada orang lain, begitu pula terhadap Pak Bima. Namun, setelah aku mempercayainya dan menyerahkan seluruhnya kepada Pak Bima, dia tega berbohong bahkan menyembunyikan sesuatu yang sangat penting dariku, dari istrinya sendiri.Benarkah mereka pernah berhubungan? Jika iya, apa
"Ki, jangan lupa bawa jaket yang tebal, kalau perlu yang banyak deh." Pak Bima melirikku sekilas, kemudian fokus kepada benda kotak yang ada di dalam genggamannya. "Lebay amat! Emang kita mau liburan ke kutub?" Aku menjulurkan lidahku. "Dih, dikasih tau malah ngledek! Besok kalau sampai di sana kamu menggigil kedinginan, saya ceburin ke empang sekalian!" Pak Bima menatapku sengit. "Yakin nih mau nglempar saya ke empang?" Aku beranjak dari posisiku, kemudian berjalan mendekat ke arahnya. "Ya iya lah. Biar tau rasa kamu!" Dia melengos, bibirnya mengerucut ke depan. "Ahh ... Yakin?" Aku naik ke atas kasur, kemudian merangkak mendekatinya. Kebetulan siang ini aku sedang memakai kemeja tanpa motif dengan ukuran oversize, sehingga membuat Pak Bima bisa dengan mudahnya melihat isi kaosku. "Masa sih Bapak tega lemparin saya ke empang?" Dengan posisi seperti orang merangkak,
"Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bihi, wallahu waliyu taufiq." Suara lantang milik Pak Bima menggema dengan mantap di langit-langit gedung ini. Aku tersenyum simpul ketika melihat raut wajah leganya setelah mengucapkan kalimat sakral itu. Meskipun ini bukan kali pertamanya dia menerima Ijab dari Ayah, tetapi rasa tegang itu tetap saja melekat padanya, ketika dia melafalkan kalimat kabul."Saahhh?" tanya Pak Penghulu"Saahhhhhh." Riuh sahutan dari saksi dan tepuk tangan mereka membuat debaran yang ada di dalam hati kami mereda.Aku mencium tangannya dengan perasaan bahagia, sedangkan dia mengecup keningku dengan perasaan suka cita. Kali ini kami benar-benar menjadi suami istri yang sah, baik sah secara agama ataupun negara.Setelah proses ijab kabul selesai, aku dan Pak Bima duduk di depan para tamu. Sebenarnya tidak ada acara yang 'wah' untuk pernikahan kami, hanya saja Ayah memintaku untuk mengadakan peng